Você está na página 1de 25

Nama : Hasna Mujahidah

NIM : 04011381320025
Kelompok Tutorial 4 Blok 15

LEARNING ISSUE
I. Hipertensi
A. Definisi
Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan
tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg (Wilson LM, 1995). Tekanan darah diukur
dengan spygmomanometer yang telah dikalibrasi dengan tepat (80% dari ukuran
manset menutupi lengan) setelah pasien beristirahat nyaman, posisi duduk punggung
tegak atau terlentang paling sedikit selama lima menit sampai tiga puluh menit setelah
merokok atau minum kopi. Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya
didefinisikan sebagai hipertensi esensial. Beberapa penulis lebih memilih istilah
hipertensi primer untuk membedakannya dengan hipertensi lain yang sekunder karena
sebab-sebab yang diketahui. Menurut The Seventh Report of The Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood
Pressure (JNC VII) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi
kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2 (Yogiantoro M,
2006).
B. Epidemiologi
Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala
yang berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke untuk otak, penyakit jantung
koroner untuk pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung. Penyakit ini telah
menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia maupun di
beberapa negara yang ada di dunia. Semakin meningkatnya populasi usia lanjut maka
jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan bertambah.
Diperkirakan sekitar 80 % kenaikan kasus hipertensi terutama di negara berkembang
tahun 2025 dari sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000, di perkirakan menjadi 1,15
milyar kasus di tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada angka penderita hipertensi
saat ini dan pertambahan penduduk saat ini (Armilawati et al, 2007). Angka-angka
prevalensi hipertensi di Indonesia telah banyak dikumpulkan dan menunjukkan di
daerah pedesaan masih banyak penderita yang belum terjangkau oleh pelayanan
kesehatan. Baik dari segi case finding maupun penatalaksanaan pengobatannya.
Jangkauan masih sangat terbatas dan sebagian besar penderita hipertensi tidak
mempunyai keluhan. Prevalensi terbanyak berkisar antara 6 sampai dengan 15%,
tetapi angka prevalensi yang rendah terdapat di Ungaran, Jawa Tengah sebesar 1,8%
dan Lembah Balim Pegunungan Jaya Wijaya, Irian Jaya sebesar 0,6% sedangkan
angka prevalensi tertinggi di Talang Sumatera Barat 17,8% (Wade, 2003).
C. Etiologi dan Faktor Resiko
Sampai saat ini penyebab hipertensi esensial tidak diketahui dengan pasti.
Hipertensi primer tidak disebabkan oleh faktor tunggal dan khusus. Hipertensi ini
disebabkan berbagai faktor yang saling berkaitan. Hipertensi sekunder disebabkan
oleh faktor primer yang diketahui yaitu seperti kerusakan ginjal, gangguan obat
tertentu, stres akut, kerusakan vaskuler dan lain-lain. Adapun penyebab paling umum
pada penderita hipertensi maligna adalah hipertensi yang tidak terobati. Risiko relatif
hipertensi tergantung pada jumlah dan keparahan dari faktor risiko yang dapat
dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor-faktor yang tidak dapat
dimodifikasi antara lain faktor genetik, umur, jenis kelamin, dan etnis. Sedangkan
faktor yang dapat dimodifikasi meliputi stres, obesitas dan nutrisi (Yogiantoro M,
2006).
Riwayat keluarga
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi juga mempertinggi risiko
terkena hipertensi terutama pada hipertensi primer. Dari data statistik terbukti bahwa
seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika
orang tuanya menderita hipertensi. Hipertensi cenderung merupakan penyakit
keturunan, jika seorang dari orang tua kita mempunyai hipertensi maka sepanjang
hidup kita mempunyai 25% kemungkinan mendapatkannya pula. Jika kedua orang tua
kita mempunyai hipertensi, kemungkinan kita mendapatkan penyakit tersebut 60%.
Perilaku merokok
Nikotin dalam tembakau merupakan penyebab meningkatnya tekanan darah segera
setelah hisapan pertama. Seperti zat-zat kimia lain dalam asap rokok, nikotin diserap
oleh pembuluh-pembuluh darah amat kecil di dalam paru-paru dan diedarkan ke aliran
darah. Hanya dalam beberapa detik nikotin sudah mencapai otak. Otak bereaksi
terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas
epinefrin (adrenalin). Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembuluh darah dan
memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi. Dengan
mengisap sebatang rokok akan memberi pengaruh besar terhadap naikya tekanan
darah. Hal ini dikarenakan asap rokok mengandung kurang lebih 4000 bahan kimia
yang 200 diantaranya beracun dan 43 jenis lainnya dapat menyebabkan kanker bagi
tubuh.
Aktivitas Fisik
Kurangnya aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi karena
meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga cenderung
mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya
harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung
harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri.
Tekanan darah dipengaruhi oleh aktivitas fisik. Tekanan darah akan lebih tinggi
pada saat melakukan aktivitas fisik dan lebih rendah ketika beristirahat. Aktivitas fisik
adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama
melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi diluar metabolisme untuk
bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk
mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-
sisa dari tubuh.
Konsumsi kopi
Minum kopi berbahaya bagi penderita hipertensi karena senyawa kafein bisa
menyebabkan tekanan darah meningkat tajam. Cara kerja kafein dalam tubuh dengan
mengambil alih reseptor adinosin dalam sel saraf yang yang akan memicu produksi
hormon adrenalin dan menyebabkan peningkatan tekanan darah, sekresi asam
lambung, dan aktivitas otot, serta perangsang hati untuk melepaskan senyawa gula
dalam aliran darah untuk menghasilkan energi ekstra. Kafein mempunyai sifat
antagonis endogenus adenosin, sehingga dapat menyebabkan vasokontriksi dan
peningkatan resistensi pembuluh darah tepi. Namun dosis yang digunakan dapat
mempengaruhi efek peningkatan tekanan darah. Seseorang yang biasa minum kopi
dengan dosis kecil mempunyai adaptasi yang rendah terhadap efek kafein.
Konsumsi Garam
Garam merupakan hal yang sangat penting pada mekanisme timbulnya hipertensi.
Pengaruh asupan garam terhadap hipertensi melalui peningkatan volume plasma
(cairan tubuh) dan tekanan darah. Keadaan ini akan diikuti oleh peningkatan ekskresi
kelebihan garam sehingga kembali pada keadaan hemodinamik (sistem pendarahan)
yang normal. Pada 9
hipertensi esensial mekanisme ini terganggu, di samping ada faktor lain yang
berpengaruh. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan
asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari
menyebabkan prevalensi hipertensi yang rendah, sedangkan jika asupan garam antara
5-15 gram perhari prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20 %. Pengaruh
asupan terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma,
curah jantung dan tekanan darah.
D. Klasifikasi
Tekanan darah diklasifikasikan berdasarkan pada pengukuran rata-rata dua kali
atau lebih pengukuran pada dua kali atau lebih kunjungan.
Tabel Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII.

Klasifikasi tekanan darah Tekanan darah sistolik Tekanan darah diastolik


(mmHg) (mmHg)
Normal >120 Dan < 80
Prehipertensi 120 – 139 Atau 80-89
Hipertensi tahap I 140 – 159 Atau 90-99
Hipertensi tahap II > 160 Atau >100
Dikutip dari: Arif Mansjoer, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I : Nefrologi dan
Hipertensi. Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 2001. p: 519-520.

Tabel Klasifikasi tekanan darah menurut WHO / ISH


Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah
Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Hipertensi berat ≥ 180 ≥ 110
Hipertensi sedang 160-179 100-109
Hipertensi ringan 140-159 90-99
Hipertensi perbatasan 140-149 90-94
Hipertensi sistolik 140-149 < 90
perbatasan
Hipertensi sistolik > 140 < 90
terisolasi
Normotensi < 140 < 90
Optimal < 120 < 80
Dikutip dari: Arif Mansjoer, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I : Nefrologi dan
Hipertensi. Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 2001. p: 519-520.
E. Patofisiologi
Tekanan darah dipengaruhi volume sekuncup dan Total Peripheral Resistance.
Apabila terjadi peningkatan salah satu dari variabel tersebut yang tidak terkompensasi
maka dapat menyebabkan timbulnya hipertensi.
Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara
akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi dan mempertahankan stabilitas tekanan
darah dalam jangka panjang. Sistem pengendalian tekanan darah sangat kompleks.
Pengendalian dimulai dari sistem reaksi cepat seperti refleks kardiovaskuler melalui
sistem saraf, refleks kemoreseptor, respon iskemia, susunan saraf pusat yang berasal
dari atrium, dan arteri pulmonalis otot polos. Sedangkan sistem pengendalian reaksi
lambat melalui perpindahan cairan antara sirkulasi kapiler dan rongga intertisial yang
dikontrol oleh hormon angiotensin dan vasopresin. Kemudian dilanjutkan sistem
poten dan berlangsung dalam jangka panjang yang dipertahankan oleh sistem
pengaturan jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ.
Patofisiologi hipertensi primer terjadi melalui mekanisme :
1). Curah jantung dan tahanan perifer
Peningkatan curah jantung terjadi melalui dua cara yaitu peningkatan volume
cairan atau preload dan rangsangan saraf yang mempengaruhi kontraktilitas jantung.
Curah jantung meningkat secara mendadak akibat adanya rangsang saraf adrenergik.
Barorefleks menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sehingga tekanan darah
kembali normal. Namun pada orang tertentu, kontrol tekanan darah melalui
barorefleks tidak adekuat sehingga terjadi vasokonstriksi perifer.
Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama terjadi apabila terdapat
peningkatan volume plasma berkepanjangan akibat gangguan penanganan garam dan
air oleh ginjal atau konsumsi garam berlebihan. Peningkatan pelepasan renin atau
aldosteron maupun penurunan aliran darah ke ginjal dapat mengubah penanganan air
dan garam oleh ginjal. Peningkatan volume plasma menyebabkan peningkatan
volume diastolik akhir sehingga terjadi peningkatan volume sekuncup dan tekanan
darah. Peningkata preload biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan sistolik.
Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh terhadap
normalitas tekanan darah. Tekanan darah ditentukan oleh konsentrasi sel otot halus
yang terdapat pada arteriol kecil. Peningkatan konsentrasi sel otot halus berpengaruh
pada peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan konsentrasi otot halus
mengakibatkan penebalan pembuluh darah arteriol yang dimediasi oleh angiotensin
dan menjadi awal meningkatnya tahanan perifer yang irreversible.
Peningkatan resistensi perifer disebabkan oleh resistensi garam (hipertensi tinggi
renin) dan sensitif garam (hipertensi rendah renin). Penderita hipertensi tinggi renin
memiliki kadar renin tinggi akibat jumlah natrium dalam tubuh yang menyebabkan
pelepasan angiotensin II. Kelebihan angiotensin II menyebabkan vasokonstriksi dan
memacu hipertrofi dan proliferasi otot polos vaskular. Kadar renin dan angiotensin II
yang tinggi pada hipertensi berkorelasi dengan kerusakan vaskular. Sedangkan pada
pasien rendah renin, akan mengalami retensi natrium dan air yang mensupresi sekresi
renin. Hipertensi rendah renin akan diperburuk dengan asupan tinggi garam.
Jantung harus memompa secara kuat dan menghasilkan tekanan lebih besar untuk
mendorong darah melintasi pembuluh darah yang menyempit pada peningkatan Total
Periperial Resistence. Keadaan ini disebut peningkatan afterload jantung yang
berkaitan dengan peningkatan tekanan diastolik. Peningkatan afterload yang
berlangsung lama, menyebabkan ventrikel kiri mengalami hipertrofi. Terjadinya
hipertrofi mengakibatkan kebutuhan oksigen ventrikel semakin meningkat sehingga
ventrikel harus mampu memompa darah lebih keras untuk memenuhi kebutuhan
tesebut. Pada hipertrofi, serat-serat otot jantung mulai menegang melebihi panjang
normalnya yang akhirnya menyebabkan penurunan kontraktilitas dan volume
sekuncup.
2). Sistem renin-angiotensin
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan ekstraseluler
dan sekresi renin. Sistem renin-angiotensin merupakan sistem endokrin penting dalam
pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi oleh juxtaglomerulus aparantus ginjal
sebagai respon glomerulus underperfusion, penurunan asupan garam, ataupun respon
dari sistem saraf simpatetik.
Mekanisme terjadinya hipertensi melalui terbentuknya angiotensin II dari
angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE memegang peranan
fisiologis penting dalam pengaturan tekanan darah. Darah mengandung
angiotensinogen yang diproduksi hati, kemudian oleh hormon renin yang diproduksi
ginjal akan diubah menjadi angiotensin I (dekapeptida tidak aktif). Angiotensin I
diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida sangat aktif) oleh ACE yang terdapat di
paru-paru. Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena
bersifat sebagai vasokonstriktor melalui dua jalur, yaitu:
a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH
diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur
osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang
diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis) sehingga urin menjadi pekat dan tinggi
osmolalitasnya. Untuk mengencerkan, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan
dengan cara menarik cairan dari bagian instraseluler. Akibatnya volume darah
meningkat sehingga meningkatkan tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan
hormon steroid yang berperan penting pada ginjal untuk mengatur volume cairan
ekstraseluler. Aldosteron mengurangi ekskresi NaCl dengan cara reabsorpsi dari
tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada akhirnya meningkatkan volume
dan tekanan darah.
3). Sistem saraf simpatis
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di
pusat vasomotor pada medula otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula
spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin yang
merangsang serabut saraf paska ganglion ke pembuluh darah, di mana dengan
dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.
Sirkulasi sistem saraf simpatis menyebabkan vasokonstriksi dan dilatasi arteriol.
Sistem saraf otonom memiliki peran penting dalam mempertahankan tekanan darah.
Hipertensi terjadi karena interaksi antara sistem saraf otonom dan sistem renin-
angiotensin bersama dengan faktor lain termasuk natrium, volume sirkulasi, dan
beberapa hormon.30 Hipertensi rendah renin atau hipertensi sensitif garam, retensi
natrium dapat disebabkan oleh peningkatan aktivitas adrenergik simpatis atau akibat
defek pada transpor kalsium yang berpapasan dengan natrium. Kelebihan natrium
menyebabkan vasokonstriksi yang mengubah pergerakan kalsium otot polos.
4). Perubahan struktur dan fungsi pembuluh darah
Perubahan struktural dan fungsional sistem pembuluh darah perifer bertanggung
jawab terhadap perubahan tekanan darah terutama pada usia lanjut. Perubahan
struktur pembuluh darah meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat,
dan penurunan relaksasi otot polos pembuluh darah, yang mengakibatkan penurunan
kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Sel endotel pembuluh darah
juga memiliki peran penting dalam pengontrolan pembuluh darah jantung dengan cara
memproduksi sejumlah vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida
endotelium. Disfungsi endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer.
F. Gejala Klinis
Pemeriksaan fisik dapat pula tidak dijumpai kelainan apapun selain peninggian
tekanan darah yang merupakan satu-satunya gejala.. Individu penderita hipertensi
kadang tidak menampakkan gejala sampai bertahun-tahun. Apabila terdapat gejala,
maka gejala tersebut menunjukkan adanya kerusakan vaskuler, dengan manifestasi
khas sesuai sistem organ yang divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan.
Elizabeth J. Corwin menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul
setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun. Manifestasi klinis yang timbul dapat
berupa nyeri kepala saat terjaga yang kadang-kadang disertai mual dan muntah akibat
peningkatan tekanan darah intrakranium, penglihatan kabur akibat kerusakan retina,
ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan saraf, nokturia (peningkatan
urinasi pada malam hari) karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerolus, edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler. Keterlibatan
pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang
bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi atau hemiplegia atau
gangguan tajam penglihatan.
Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga
berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata berkunang-kunang.
G. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah:
1. Target tekanan darah yaitu <140/90 mmHg dan untuk individu berisiko tinggi
seperti diabetes melitus, gagal ginjal target tekanan darah adalah <130/80 mmHg.
2. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler.
3. Menghambat laju penyakit ginjal.
Terapi dari hipertensi terdiri dari terapi non farmakologis dan farmakologis seperti
penjelasan dibawah ini.
1. Terapi Non Farmakologis
a. Menurunkan berat badan bila status gizi berlebih.
Peningkatan berat badan di usia dewasa sangat berpengaruh terhadap tekanan
darahnya. Oleh karena itu, manajemen berat badan sangat penting dalam prevensi dan
kontrol hipertensi.
b. Meningkatkan aktifitas fisik.
Orang yang aktivitasnya rendah berisiko terkena hipertensi 30-50% daripada yang
aktif. Oleh karena itu, aktivitas fisik antara 30-45 menit sebanyak >3x/hari penting
sebagai pencegahan primer dari hipertensi.
c. Mengurangi asupan natrium.
Apabila diet tidak membantu dalam 6 bulan, maka perlu pemberian obat anti
hipertensi oleh dokter.
d. Menurunkan konsumsi kafein dan alkohol
Kafein dapat memacu jantung bekerja lebih cepat, sehingga mengalirkan lebih
banyak cairan pada setiap detiknya. Sementara konsumsi alkohol lebih dari 2-3
gelas/hari dapat meningkatkan risiko hipertensi.
2. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis yaitu obat antihipertensi yang dianjurkan oleh JNC VII yaitu
diuretika, terutama jenis thiazide (Thiaz) atau aldosteron antagonis, beta blocker,
calcium chanel blocker atau calcium antagonist, Angiotensin Converting Enzyme
Inhibitor (ACEI), Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 receptor antagonist/
blocker (ARB).
H. Komplikasi
Hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya penyakit jantung, gagal
jantung kongesif, stroke, gangguan penglihatan dan penyakit ginjal. Hipertensi yang
tidak diobati akan mempengaruhi semua sistem organ dan akhirnya memperpendek
harapan hidup sebesar 10-20 tahun. Dengan pendekatan sistem organ dapat diketahui
komplikasi yang mungkin terjadi akibat hipertensi, yaitu:
Tabel Komplikasi Hipertensi
Sistem Organ Komplikasi Komplikasi Hipertensi

Jantung Gagal jantung kongestif


Angina pectoris
Infark miokard
Sistem saraf pusat Ensefalopati hipertensif
Ginjal Gagal ginjal kronis
Mata Retinopati hipertensif
Pembuluh darah perifer Penyakit pembuluh darah perifer
Komplikasi yang terjadi pada hipertensi ringan dan sedang mengenai mata, ginjal,
jantung dan otak. Pada mata berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan sampai
dengan kebutaan. Gagal jantung merupakan kelainan yang sering ditemukan pada
hipertensi berat selain kelainan koroner dan miokard. Pada otak sering terjadi
perdarahan yang disebabkan oleh pecahnya mikroaneurisma yang dapat
mengakibakan kematian. Kelainan lain yang dapat terjadi adalah proses tromboemboli
dan serangan iskemia otak sementara (Transient Ischemic Attack/TIA) (Anggreini AD
et al, 2009).

II. Sindrom Koroner Akut


A. Definisi
Sindrom koroner akut merupakan spektrum manifestasi akut dan berat yang
merupakan keadaan kegawatdaruratan dari koroner akibat ketidakseimbangan antara
kebutuhan oksigen miokardium dan aliran darah (Kumar, 2007).
Organisasi kesehatan dunia memprediksi bahwa penyakit kardiovaskuler, terutama
SKA akan menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di negara-negara
berkembang sebelum tahun 2020 (Katz,2006). World Health Organization (WHO)
(Tunstall H dkk,1994) dan American Heart Association (AHA) pada akhir tahun 1950
menegakkan diagnosis SKA berdasarkan 2 dari 3 kriteria yaitu manifestasi klinis nyeri
dada, gambaran EKG dan penanda enzim jantung (Luepker,2003).
Sindroma Koroner Akut (SKA) terdiri dari infark miokard akut (IMA) disertai
elevasi segmen ST (IMA STE), IMA tanpa elevasi segmen ST (IMA non STE) dan
angina pektoris tak stabil (APTS) (Braunwald,1989; Christopher PC,2005). Walaupun
presentasi klinisnya berbeda tetapi memiliki kesamaan patofisiologi (Libby,1995). Jika
troponin T atau I positif tetapi tanpa gambaran ST elevasi disebut IMA non STE dan
jika troponin negatif disebut APTS. (Hamm dkk,2004; PERKI,2012)
American College of Cardiology (ACC) menyatakan bahwa adanya peningkatan
enzim jantung yaitu troponin ataupun creatine kinase MB (otot,otak) (Luciano,2005)
walaupun hanya sedikit merupakan penanda adanya nekrosis miokard dan pasien harus
dikategorikan sebagai IMA (Newby dkk,2003).
Secara umum, IMA-STE menggambarkan oklusi koroner total akut (Foo & De
Bono,2000). Tujuan terapi adalah tindakan reperfusi segera, komplit dan menetap
dengan angioplasti primer (Levine dkk,2011) atau terapi fibrinolitik (Antman
dkk,2008). Sedangkan pada pasien dengan IMA non STE/APTS, strategi awal pada
pasien ini adalah meredakan iskemia dan gejala, memantau pasien dengan EKG serial
dan mengulangi pengukuran penanda nekrosis miokard (Wright RS dkk,2011).
Data dari GRACE 2001, menunjukkan pasien yang datang ke rumah sakit dengan
keluhan nyeri dada ternyata yang terbanyak adalah IMA-STE (34%), IMA non STE
(31%) dan APTS (29%) (Budaj dkk,2003)
B. Epidemiologi
Angka mortalitas dalam rawatan di rumah sakit pada IMA-STE dibanding IMA
non STE adalah 7% dibandingkan 4%, tetapi pada jangka panjang (4 tahun), angka
kematian pasien IMA non STE ternyata 2 kali lebih tinggi dibanding pasien IMA-STE
(Rationale and design of GRACE, 2001).
C. Etiologi
Etiologi SKA antara lain:
• Penyempitan arteri koroner karena robek/pecahnya thrombus yang ada pada
plak aterosklerosis.
• Obstruksi dinamik karena spasme fokal yang terus-menerus pada segmen
arteri koroner epikardium. Spasme ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas otot polos
pembuluh darah dan/atau akibat disfungsi endotel.
• Penyempitan yang hebat namun bukan karena spasme/thrombus, terjadi pada
sejumlah pasien dengan aterosklerosis progresif atau dengan stenosis ulang setelah
intervensi koroner perkutan (PCI).
• Inflamasi: penyempitan arteri, destabilisasi plak, ruptur, trombogenesis.
Adanya makrofag, dan limfosit T meningkatkan sekresi metalloproteinase, sehingga
terjadi penipisan dan ruptur plak
• Keadaan/factor pencetus:
a. ↑ kebutuhan oksigen miokard: demam, takikardi, tirotoksikosis
b. ↓ aliran darah koroner
c. ↓ pasokan oksigen miokard: anemia, hipoksemia
D. Faktor Resiko
Faktor risiko dibagi menjadi menjadi dua kelompok besar yaitu faktor risiko
konvensional dan faktor risiko yang baru diketahui berhubungan dengan proses
aterotrombosis (Braunwald, 2007).
Faktor risiko yang sudah kita kenal antara lain merokok, hipertensi, hiperlipidemia,
diabetes melitus, aktifitas fisik, dan obesitas. Termasuk di dalamnya bukti keterlibatan
tekanan mental, depresi. Sedangkan beberapa faktor yang baru antara lain CRP,
Homocystein dan Lipoprotein(a) (Santoso, 2005).
Di antara faktor risiko konvensional, ada empat faktor risiko biologis yang tak
dapat diubah, yaitu: usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Hubungan antara
usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya mencerminkan lebih panjangnya lama
paparan terhadap faktor-faktor aterogenik (Valenti, 2007).
Wanita relatif lebih sulit mengidap penyakit jantung koroner sampai masa
menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti pria. Hal ini diduga oleh
karena adanya efek perlindungan estrogen (Verheugt, 2008).
Faktor-faktor risiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat
memperlambat proses aterogenik. Faktor-faktor tersebut adalah peningkatan kadar
lipid serum, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa dan diet tinggi lemak
jenuh, kolesterol, dan kalori .
SKA umumnya terjadi pada pasien dengan usia diatas 40 tahun. Walaupun begitu,
usia yang lebih muda dari 40 tahun dapat juga menderita penyakit tersebut. Banyak
penelitian yang telah menggunakan batasan usia 40-45 tahun untuk mendefenisikan
“pasien usia muda” dengan penyakit jantung koroner atau infark miokard akut (IMA).
IMA mempunyai insidensi yang rendah pada usia muda (Wiliam, 2007).
E. Patofisiologi
Lapisan endotel pembuluh darah yang normal akan mengalami kerusakan oleh
adanya faktor risiko antara lain, faktor hemodinamik seperti hipertensi, zat-zat
vasokonstriktor, mediator (sitokin) dari sel darah, asap rokok, peningkatan gula darah
dan oksidasi oleh Low Density Lipoprotein-C (LDL-C) (Libby,1995; Hamm
dkk,2004). Kerusakan ini akan menyebabkan sel endotel menghasilkan cell molecule
adhesion seperti sitokin (interleukin-1), tumor nekrosis faktor (TNF-α), kemokin
(monocyte chemoatractant factor-I), dan platelet derived growth factor. Sel inflamasi
seperti monosit dan T-limfosit masuk ke permukaan endotel dan bermigrasi dari
endotelium ke sub endotel. Monosit kemudian berproliferasi menjadi makrofag dan
mengambil LDL teroksidasi yang bersifat lebih aterogenik. Makrofag ini terus
membentuk sel busa (Braunwald, 1989; Libby,1995). LDL yang teroksidasi
menyebabkan kematian sel endotel dan menghasilkan respon inflamasi. Sebagai
tambahan terjadi respon dari angiotensin II yang menyebabkan gangguan vasodilatasi
dan mengaktifkan efek protrombin dengan melibatkan platelet dan faktor koagulasi.
Akibat kerusakan endotel terjadi respon protektif yang dipicu oleh inflamasi dan
terbentuk lesi fibrofatty dan fibrous. Plak yang stabil bisa menjadi tidak stabil
(vulnerable) dan mengalami rupture (Libby, 1995).
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis seperti kolagen, adenosin
diphosphate (ADP), epinefrin dan serotonin memicu aktivasi trombosit, yang
selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan-A2 (vasokonstriktor lokal
yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu reseptor glikoprotein II/IIIa yang
mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut
(integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen. Dimana keduanya
adalah molekul multivalent yang dapat mengikat platelet yang berbeda secara
simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi (Deckelbaum,1990; Foo
dkk,2000).
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang
rusak. Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi
trombin yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang
terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat
trombus dan fibrin (Findlay dkk, 2005; Braunwald, 1989).
IMA STE umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. Stenosis
arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu IMA STE
karena timbulnya banyak kolateral sepanjang waktu. Pada sebagian besar kasus, infark
terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi
ruptur lokal akan menyebabkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologi
menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap
yang tipis dan inti kaya lipid. Pada IMA STE gambaran klasik terdiri dari fibrin rich
red trombus yang dipercaya menjadi dasar sehingga IMA STE memberikan respon
terhadap terapi trombolitik. ( Hamm dkk,2004)
F. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis awal sangat prediktif untuk prognosis awal. Timbulnya gejala saat
istirahat menandakan prognosis lebih buruk dibanding gejala yang hanya timbul pada
saat aktivitas fisik. Pada pasien dengan gejala intermiten, peningkatan jumlah episode
yang mendahului kejadian acuan juga mempunyai dampak terhadap hasil akhir klinis.
Adanya takikardia, hipotensi atau gagal jantung pada saat masuk rumah sakit juga
mengindikasikan prognosis buruk dan memerlukan diagnosis serta tatalaksana
segera(PERKI,2012).Faktor risiko yang tinggi termasuk angina yang memberat, nyeri
dada yang berkelanjutan (> 20 menit), edema paru (Killip klas ≥2 ), hipotensi dan
aritmia. (Antman EM, 2005).
Scirica dkk (2002) melaporkan bahwa pasien dengan IMA non STE / APTS yang
mengalami serangan angina yang memberat akan memiliki risiko kematian yang
meningkat dalam 1 tahun.
G. Penatalaksanaan
1. Angina Pektoris Tak Stabil
Tindakan umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit sebaiknya di unit intensif koroner, pasien
perlu di istirahatkan (bed rest), di beri penenang dan oksigen; pemberian morfin atau
petidin perlu pada pasien yang masih merasakan nyeri dada walaupun sudah
mendapat nitrogliserin (Trisnohadi, 2006).
Terapi medikamentosa
• Obat anti iskemia
• Nitrat, penyekat beta, antagonis kalsium.
• Obat anti agregasi trombosit
• Aspirin, tiklodipin, klopidogrel, inhibitor glikoprotein IIb/ IIIa
• Obat anti trombin
• Unfractionnated Heparin , low molecular weight heparin
• Direct trombin inhibitors
Tindakan revaskularisasi pembuluh darah
Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan iskemia berat,
dan refrakter dengan terapi medikamentosa.
Pada pasien dengan penyempitan di left main atau penyempitan pada 3 pembuluh
darah, bila di sertai faal ventrikel kiri yang kurang, tindakan operasi bypass (CABG)
dapat memperbaiki harapan, kualitas hidup dan mengurangi resiko kembalinya ke
rumah sakit. Pada tindakan bedah darurat mortalitas dan morbiditas lebih buruk
daripada bedah elektif.
Pada pasien dengan faal jantung yang masih baik dengan penyempitan pada satu
atau dua pembuluh darah atau bila ada kontra indikasi pembedahan, PCI merupakan
pilihan utama.
Pada angina tak stabil perlunya dilakukan tindakan invasif dini atau konservatif
tergantung dari stratifikasi risiko pasien; pada resiko tinggi, seperti angina terus-
menerus, adanya depresi segmen ST, kadar troponin meningkat, faal ventrikel yang
buruk, adanya gangguan irama jantung seperti takikardi ventrikel, perlu tindakan
invasif dini (Trisnohadi, 2006).
2. Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI)
Tatalaksana di rumah sakit
ICCU; Aktivitas, Pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama. Diet, karena resiko
muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard, pasien harus puasa atau hanya
minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam pertama. Diet mencakup lemak < 30%
kalori total dan kandungan kolesterol <300mg/hari. Menu harus diperkaya serat,
kalium, magnesium, dan rendah natrium.
Bowels, istirahat di tempat tidur. Penggunaan narkotik sering menyebabkan efek
konstipasi sehingga di anjurkan penggunaan pencahar ringan secara rutin.
Sedasi, pasien memerlukan sedasi selama perawatan, untuk mempertahankan
periode inaktivasi dengan penenang (Alwi, 2006).
Terapi farmakologis
• Fibrinolitik

• Antitrombotik

• Inhibitor ACE

• Beta-Blocker
3. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST (NSTEMI)
Pasien NSTEMI harus istirahat ditempat tidur dengan pemantauan EKG untuk
deviasi segmen ST dan irama jantung. Empat komponen utama terapi harus
dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu:
• Terapi antiiskemia
• Terapi anti platelet/antikoagulan
• Terapi invasif (kateterisasi dini/ revaskularisasi)
• Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan RS.
H. Komplikasi
1. Syok Kardiogenik
2. Aritmia Malignant
3. Gagal Jantung
4. Mechanical ruptur, MR akut, VSD
5. Gangguan Hantaran
ANALISIS MASALAH
1. Apa penyebab dan mekanisme :
a. Unconcious
Jawab:
Pingsan merupakan suatu keadaan tidak sadarkan diri seperti orang tidur pada
seseorang akibat sakit, kecelakaan, kekurangan oksigen, kekurangan darah, keracunan,
terkejut/kaget, lapar/haus, kondisi fisik lemah, kepanasan, dan lain sebagainya.
Aliran darah yang berkurang ke otak dapat terjadi karena:
1) Jantung gagal untuk memompa darah
2) Pembuluh-pembuluh darah tidak mempunyai cukup kekuatan untuk
mempertahankan tekanan darah untuk memasok darah ke otak
3) Tidak ada cukup darah atau cairan di dalam pembuluh-pembuluh darah
4) Gabungan dari sebab 1, 2, dan 3
b. Nauseous
Jawab:
Mual dan muntah adalah gejala-gejala dari penyakit yang mendasarinya dan bukan
penyakit spesifik. Mual adalah perasaan bahwa lambung ingin mengosongkan dirinya.
Penyebab:
- Gastritis akut
- Penyebab-penyebab pusat (sinyal-sinyal dari otak)
- Hubungan dengan penyakit-penyakit lain yang jauh dari lambung
- Obat-obat dan perawatan medis
- Rintangan mekanis dari usus besar
Korban-korban serangan jantung mungkin mengalami mual dan muntah sebagai
presentasi yang tidak khas dari angina, terutama jika myocardial infarcyion
mempengaruhi jantung bagian bawah.

2. Bagaimana patofisiologi hipertensi?


Jawab:
Tekanan darah dipengaruhi volume sekuncup dan Total Peripheral Resistance.
Apabila terjadi peningkatan salah satu dari variabel tersebut yang tidak terkompensasi
maka dapat menyebabkan timbulnya hipertensi.
Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara
akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi dan mempertahankan stabilitas tekanan
darah dalam jangka panjang. Sistem pengendalian tekanan darah sangat kompleks.
Pengendalian dimulai dari sistem reaksi cepat seperti refleks kardiovaskuler melalui
sistem saraf, refleks kemoreseptor, respon iskemia, susunan saraf pusat yang berasal dari
atrium, dan arteri pulmonalis otot polos. Sedangkan sistem pengendalian reaksi lambat
melalui perpindahan cairan antara sirkulasi kapiler dan rongga intertisial yang dikontrol
oleh hormon angiotensin dan vasopresin. Kemudian dilanjutkan sistem poten dan
berlangsung dalam jangka panjang yang dipertahankan oleh sistem pengaturan jumlah
cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ.
Patofisiologi hipertensi primer terjadi melalui mekanisme :
1). Curah jantung dan tahanan perifer
Peningkatan curah jantung terjadi melalui dua cara yaitu peningkatan volume
cairan atau preload dan rangsangan saraf yang mempengaruhi kontraktilitas jantung.
Curah jantung meningkat secara mendadak akibat adanya rangsang saraf adrenergik.
Barorefleks menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sehingga tekanan darah kembali
normal. Namun pada orang tertentu, kontrol tekanan darah melalui barorefleks tidak
adekuat sehingga terjadi vasokonstriksi perifer.
Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama terjadi apabila terdapat
peningkatan volume plasma berkepanjangan akibat gangguan penanganan garam dan air
oleh ginjal atau konsumsi garam berlebihan. Peningkatan pelepasan renin atau aldosteron
maupun penurunan aliran darah ke ginjal dapat mengubah penanganan air dan garam oleh
ginjal. Peningkatan volume plasma menyebabkan peningkatan volume diastolik akhir
sehingga terjadi peningkatan volume sekuncup dan tekanan darah. Peningkata preload
biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan sistolik.
Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh terhadap
normalitas tekanan darah. Tekanan darah ditentukan oleh konsentrasi sel otot halus yang
terdapat pada arteriol kecil. Peningkatan konsentrasi sel otot halus berpengaruh pada
peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan konsentrasi otot halus
mengakibatkan penebalan pembuluh darah arteriol yang dimediasi oleh angiotensin dan
menjadi awal meningkatnya tahanan perifer yang irreversible.
Peningkatan resistensi perifer disebabkan oleh resistensi garam (hipertensi tinggi
renin) dan sensitif garam (hipertensi rendah renin). Penderita hipertensi tinggi renin
memiliki kadar renin tinggi akibat jumlah natrium dalam tubuh yang menyebabkan
pelepasan angiotensin II. Kelebihan angiotensin II menyebabkan vasokonstriksi dan
memacu hipertrofi dan proliferasi otot polos vaskular. Kadar renin dan angiotensin II yang
tinggi pada hipertensi berkorelasi dengan kerusakan vaskular. Sedangkan pada pasien
rendah renin, akan mengalami retensi natrium dan air yang mensupresi sekresi renin.
Hipertensi rendah renin akan diperburuk dengan asupan tinggi garam.
Jantung harus memompa secara kuat dan menghasilkan tekanan lebih besar untuk
mendorong darah melintasi pembuluh darah yang menyempit pada peningkatan Total
Periperial Resistence. Keadaan ini disebut peningkatan afterload jantung yang berkaitan
dengan peningkatan tekanan diastolik. Peningkatan afterload yang berlangsung lama,
menyebabkan ventrikel kiri mengalami hipertrofi. Terjadinya hipertrofi mengakibatkan
kebutuhan oksigen ventrikel semakin meningkat sehingga ventrikel harus mampu
memompa darah lebih keras untuk memenuhi kebutuhan tesebut. Pada hipertrofi, serat-
serat otot jantung mulai menegang melebihi panjang normalnya yang akhirnya
menyebabkan penurunan kontraktilitas dan volume sekuncup.
2). Sistem renin-angiotensin
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan ekstraseluler
dan sekresi renin. Sistem renin-angiotensin merupakan sistem endokrin penting dalam
pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi oleh juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai
respon glomerulus underperfusion, penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem
saraf simpatetik.
Mekanisme terjadinya hipertensi melalui terbentuknya angiotensin II dari
angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE memegang peranan
fisiologis penting dalam pengaturan tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen
yang diproduksi hati, kemudian oleh hormon renin yang diproduksi ginjal akan diubah
menjadi angiotensin I (dekapeptida tidak aktif). Angiotensin I diubah menjadi angiotensin
II (oktapeptida sangat aktif) oleh ACE yang terdapat di paru-paru. Angiotensin II
berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena bersifat sebagai vasokonstriktor
melalui dua jalur, yaitu:
a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH
diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur
osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang
diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis) sehingga urin menjadi pekat dan tinggi
osmolalitasnya. Untuk mengencerkan, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan
dengan cara menarik cairan dari bagian instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat
sehingga meningkatkan tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan
hormon steroid yang berperan penting pada ginjal untuk mengatur volume cairan
ekstraseluler. Aldosteron mengurangi ekskresi NaCl dengan cara reabsorpsi dari tubulus
ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan
volume cairan ekstraseluler yang pada akhirnya meningkatkan volume dan tekanan darah.
3). Sistem saraf simpatis
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di
pusat vasomotor pada medula otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis,
yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke
ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam
bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada
titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin yang merangsang serabut saraf paska
ganglion ke pembuluh darah, di mana dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan
konstriksi pembuluh darah.
Sirkulasi sistem saraf simpatis menyebabkan vasokonstriksi dan dilatasi arteriol.
Sistem saraf otonom memiliki peran penting dalam mempertahankan tekanan darah.
Hipertensi terjadi karena interaksi antara sistem saraf otonom dan sistem renin-angiotensin
bersama dengan faktor lain termasuk natrium, volume sirkulasi, dan beberapa hormon.30
Hipertensi rendah renin atau hipertensi sensitif garam, retensi natrium dapat disebabkan
oleh peningkatan aktivitas adrenergik simpatis atau akibat defek pada transpor kalsium
yang berpapasan dengan natrium. Kelebihan natrium menyebabkan vasokonstriksi yang
mengubah pergerakan kalsium otot polos.
4). Perubahan struktur dan fungsi pembuluh darah
Perubahan struktural dan fungsional sistem pembuluh darah perifer bertanggung
jawab terhadap perubahan tekanan darah terutama pada usia lanjut. Perubahan struktur
pembuluh darah meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan
relaksasi otot polos pembuluh darah, yang mengakibatkan penurunan kemampuan distensi
dan daya regang pembuluh darah. Sel endotel pembuluh darah juga memiliki peran
penting dalam pengontrolan pembuluh darah jantung dengan cara memproduksi sejumlah
vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi endotelium
banyak terjadi pada kasus hipertensi primer.

3. Apa saja komplikasi dari hipertensi?


Jawab:
Hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya penyakit jantung, gagal
jantung kongesif, stroke, gangguan penglihatan dan penyakit ginjal. Hipertensi yang
tidak diobati akan mempengaruhi semua sistem organ dan akhirnya memperpendek
harapan hidup sebesar 10-20 tahun. Dengan pendekatan sistem organ dapat diketahui
komplikasi yang mungkin terjadi akibat hipertensi, yaitu:
Tabel Komplikasi Hipertensi
Sistem Organ Komplikasi Komplikasi Hipertensi

Jantung Gagal jantung kongestif


Angina pectoris
Infark miokard
Sistem saraf pusat Ensefalopati hipertensif
Ginjal Gagal ginjal kronis
Mata Retinopati hipertensif
Pembuluh darah perifer Penyakit pembuluh darah perifer
Komplikasi yang terjadi pada hipertensi ringan dan sedang mengenai mata, ginjal,
jantung dan otak. Pada mata berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan sampai
dengan kebutaan. Gagal jantung merupakan kelainan yang sering ditemukan pada
hipertensi berat selain kelainan koroner dan miokard. Pada otak sering terjadi
perdarahan yang disebabkan oleh pecahnya mikroaneurisma yang dapat
mengakibakan kematian. Kelainan lain yang dapat terjadi adalah proses tromboemboli
dan serangan iskemia otak sementara (Transient Ischemic Attack/TIA) (Anggreini AD
et al, 2009).

4. Bagaimana manifestasi klinis dari hipertensi?


Jawab:
Pemeriksaan fisik dapat pula tidak dijumpai kelainan apapun selain peninggian
tekanan darah yang merupakan satu-satunya gejala.. Individu penderita hipertensi kadang
tidak menampakkan gejala sampai bertahun-tahun. Apabila terdapat gejala, maka gejala
tersebut menunjukkan adanya kerusakan vaskuler, dengan manifestasi khas sesuai sistem
organ yang divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan.
Elizabeth J. Corwin menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul
setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa
nyeri kepala saat terjaga yang kadang-kadang disertai mual dan muntah akibat
peningkatan tekanan darah intrakranium, penglihatan kabur akibat kerusakan retina,
ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan saraf, nokturia (peningkatan
urinasi pada malam hari) karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus,
edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler. Keterlibatan pembuluh darah otak
dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi sebagai
paralisis sementara pada satu sisi atau hemiplegia atau gangguan tajam penglihatan.
Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga
berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata berkunang-kunang.

5. Bagaimana keterkaitan hipertensi dan perokok berat dengan kasus Mr. T?


Jawab:
Nikotin dalam tembakau merupakan penyebab meningkatnya tekanan darah segera
setelah hisapan pertama. Seperti zat-zat kimia lain dalam asap rokok, nikotin diserap oleh
pembuluh-pembuluh darah amat kecil di dalam paru-paru dan diedarkan ke aliran darah.
Hanya dalam beberapa detik nikotin sudah mencapai otak. Otak bereaksi terhadap nikotin
dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin (adrenalin).
Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk
bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi. Dengan mengisap sebatang rokok
akan memberi pengaruh besar terhadap naikya tekanan darah. Hal ini dikarenakan asap
rokok mengandung kurang lebih 4000 bahan kimia yang 200 diantaranya beracun dan 43
jenis lainnya dapat menyebabkan kanker bagi tubuh.

6. Bagaimana cara mendiagnosis?


Jawab:
a. Angina Pektoris Tak Stabil
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang
bertambah dari biasa. Nyeri dada pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama,
mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang minimal. Nyeri
dada dapat disertai keluhan sesak nafas, mual sampai muntah, kadang-kadang disertai
keringat dingin. Pada pemeriksaan fisik sering kali tidak ada yang khas.
Pemeriksaan penunjang
• Elektrokardiografi (EKG)

• Pemeriksan laboratorium
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah di terima sebagai
pertanda paling penting.
b. Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI)
Pada anamnesis perlu ditanyakan dengan lengkap bagaimana kriteria nyeri dada yang
di alami pasien, sifat nyeri dada pada pasien STEMI merupakan nyeri dada tipikal
(angina). Faktor resiko seperti hipertensi,diabetes melitus, dislipidemia, merokok, serta
riwayat penyakit jantung koroner di keluarga (Alwi, 2006).
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti
aktivitas fisik berat, stress, emosi, atau penyakit medis lain yang menyertai. Walaupun
STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, tetapi variasi sirkadian di laporkan
dapat terjadi pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.
Pada pemeriksaan fisik di dapati pasien gelisah dan tidak bisa istirahat. Seringkali
ektremitas pucat di sertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit
dan banyak keringat di curigai kuat adanya STEMI. Tanda fisis lain pada disfungsi
ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas jantung pertama dan split
paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late
sistolik apikal yang bersifat sementara (Alwi, 2006).
Selain itu diagnosis STEMI ditegakan melalui gambaran EKG adanya elevasi ST
kurang lebih 2mm, minimal pada dua sadapan prekordial yang berdampingan atau
kurang lebih 1mm pada 2 sadapan ektremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama
troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis (Alwi, 2006).
c. Infark Miokard Akut tanpa Elevasi ST (NSTEMI)
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadang kala di epigastrium dengan ciri
seperti di peras, perasaan seperti di ikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul,rasa penuh,
berat atau tertekan, menjadi persentasi gejala yang sering di temukan pada penderita
NSTEMI. Gejala tidak khas seperti dispnea, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di
lengan, epigastrium, bahu atas atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar
pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun.
Gambaran EKG, secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal penting
yang menentukan resiko pada pasien.
Troponin T atau Troponin I merupakan pertanda nekrosis miokard yang lebih di sukai,
karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional seperti CK dan CK-MB. Pada
pasien dengan infark miokard akut, peningkatan awal troponin pada daerah perifer
setelah 3-4 jamdan dapat menetap sampai 2 minggu (Sjaharuddin, 2006).

7. Apa definisi dari Working diagnosis?


Jawab:
Sindrom koroner akut merupakan spektrum manifestasi akut dan berat yang
merupakan keadaan kegawatdaruratan dari koroner akibat ketidakseimbangan antara
kebutuhan oksigen miokardium dan aliran darah (Kumar, 2007).
Organisasi kesehatan dunia memprediksi bahwa penyakit kardiovaskuler, terutama
SKA akan menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di negara-negara
berkembang sebelum tahun 2020 (Katz,2006). World Health Organization (WHO)
(Tunstall H dkk,1994) dan American Heart Association (AHA) pada akhir tahun 1950
menegakkan diagnosis SKA berdasarkan 2 dari 3 kriteria yaitu manifestasi klinis nyeri
dada, gambaran EKG dan penanda enzim jantung (Luepker,2003).
Sindroma Koroner Akut (SKA) terdiri dari infark miokard akut (IMA) disertai
elevasi segmen ST (IMA STE), IMA tanpa elevasi segmen ST (IMA non STE) dan angina
pektoris tak stabil (APTS) (Braunwald,1989; Christopher PC,2005). Walaupun presentasi
klinisnya berbeda tetapi memiliki kesamaan patofisiologi (Libby,1995). Jika troponin T
atau I positif tetapi tanpa gambaran ST elevasi disebut IMA non STE dan jika troponin
negatif disebut APTS. (Hamm dkk,2004; PERKI,2012)
American College of Cardiology (ACC) menyatakan bahwa adanya peningkatan
enzim jantung yaitu troponin ataupun creatine kinase MB (otot,otak) (Luciano,2005)
walaupun hanya sedikit merupakan penanda adanya nekrosis miokard dan pasien harus
dikategorikan sebagai IMA (Newby dkk,2003).
Secara umum, IMA-STE menggambarkan oklusi koroner total akut (Foo & De
Bono,2000). Tujuan terapi adalah tindakan reperfusi segera, komplit dan menetap dengan
angioplasti primer (Levine dkk,2011) atau terapi fibrinolitik (Antman dkk,2008).
Sedangkan pada pasien dengan IMA non STE/APTS, strategi awal pada pasien ini adalah
meredakan iskemia dan gejala, memantau pasien dengan EKG serial dan mengulangi
pengukuran penanda nekrosis miokard (Wright RS dkk,2011).
Data dari GRACE 2001, menunjukkan pasien yang datang ke rumah sakit dengan
keluhan nyeri dada ternyata yang terbanyak adalah IMA-STE (34%), IMA non STE (31%)
dan APTS (29%) (Budaj dkk,2003)

8. Apa working diagnosis dari kasus?


Jawab:
Sindrom Koroner Akut
9. Bagaimana patofisiologi dari kasus?
Jawab:
Lapisan endotel pembuluh darah yang normal akan mengalami kerusakan oleh
adanya faktor risiko antara lain, faktor hemodinamik seperti hipertensi, zat-zat
vasokonstriktor, mediator (sitokin) dari sel darah, asap rokok, peningkatan gula darah dan
oksidasi oleh Low Density Lipoprotein-C (LDL-C) (Libby,1995; Hamm dkk,2004).
Kerusakan ini akan menyebabkan sel endotel menghasilkan cell molecule adhesion seperti
sitokin (interleukin-1), tumor nekrosis faktor (TNF-α), kemokin (monocyte
chemoatractant factor-I), dan platelet derived growth factor. Sel inflamasi seperti monosit
dan T-limfosit masuk ke permukaan endotel dan bermigrasi dari endotelium ke sub
endotel. Monosit kemudian berproliferasi menjadi makrofag dan mengambil LDL
teroksidasi yang bersifat lebih aterogenik. Makrofag ini terus membentuk sel busa
(Braunwald, 1989; Libby,1995). LDL yang teroksidasi menyebabkan kematian sel endotel
dan menghasilkan respon inflamasi. Sebagai tambahan terjadi respon dari angiotensin II
yang menyebabkan gangguan vasodilatasi dan mengaktifkan efek protrombin dengan
melibatkan platelet dan faktor koagulasi. Akibat kerusakan endotel terjadi respon protektif
yang dipicu oleh inflamasi dan terbentuk lesi fibrofatty dan fibrous. Plak yang stabil bisa
menjadi tidak stabil (vulnerable) dan mengalami rupture (Libby, 1995).
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis seperti kolagen, adenosin
diphosphate (ADP), epinefrin dan serotonin memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya
akan memproduksi dan melepaskan tromboksan-A2 (vasokonstriktor lokal yang poten).
Selain itu aktivasi trombosit memicu reseptor glikoprotein II/IIIa yang mempunyai afinitas
tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor
von Willebrand (vWF) dan fibrinogen. Dimana keduanya adalah molekul multivalent yang
dapat mengikat platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet
dan agregasi (Deckelbaum,1990; Foo dkk,2000).
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang
rusak. Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin
yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat
kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombus dan
fibrin (Findlay dkk, 2005; Braunwald, 1989).
IMA STE umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. Stenosis
arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu IMA STE
karena timbulnya banyak kolateral sepanjang waktu. Pada sebagian besar kasus, infark
terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi ruptur
lokal akan menyebabkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologi menunjukkan plak
koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya
lipid. Pada IMA STE gambaran klasik terdiri dari fibrin rich red trombus yang dipercaya
menjadi dasar sehingga IMA STE memberikan respon terhadap terapi trombolitik ( Hamm
dkk,2004)

Sumber:
HS FK,. 2011. Sindrom Koroner Akut. Diakses di
http://respiratory.usu.ac.id/bitstream/123456789/23084/4/Chapter%2011.pdf pada tanggal 19
Januari 2015.

Simanjutak, MM. 2013. Sindrom Koroner Akut. Diakses di


http://respiratory.usu.ac.id/bitstream/123456789/34964/4/Chapter%2011.pdf pada tanggal 19
Januari 2015.

Sidabutar, R. P., Wiguno P. Hipertensi Essensial. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Balai
Penerbit FK-UI; 1999. p: 210.

Você também pode gostar