Você está na página 1de 30

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. MS

Umur : 72 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Bangsa/Suku : Bugis

Alamat : Moncongloe

Tanggal Pemeriksaan : 30 Oktober 2015

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Nyeri pada mata kanan

Anamnesis Terpimpin :

Dialami sejak ± 14 hari yang lalu sebelum berobat ke poli mata BKMM akibat benda
asing masuk mata kanan (serangga) dan pasien megucek matanya. Mata merah (+).
Air mata berlebih (+), Nyeri (+), kotoran mata berlebih (-), rasa mengganjal (+).
Pasien sulit membuka kelopak mata(+),silau(+). Keluhan disertai pandangan berkabut
yang dialami sejakl 2 tahun terakhir secara perlahan-lahan. Riwayat hipertensi (+),
Riwayat DM (-), Riwayat memakai kaca mata (+) ketika membaca, Riwayat penyakit
yang sama dalam keluarga(-)
III. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI

Foto klinis pasien

INSPEKSI

No Pemeriksaan OD OS
1 Palpebra Edema (-) Edema(-)
2 Apparatus Lakrimasi (+) Lakrimasi (-)
Lakrimalis
3 Silia Sekret (-) Sekret (-)
4 Konjungtiva Hiperemis (+) Injeksi Hiperemis (-),
perikornea (+)
5 Bola mata Normal Normal
6 Mekanisme muscular Kesegala arah kesegala arah
ODS
OD
OS
7 Kornea Keruh bagian sentral, Jernih
fluorescent(-)
8 Bilik mata depan Normal Normal
9 Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)
10 Pupil Bulat, sentral, RC (+) Bulat, sentral, RC(+)
11 Lensa Keruh Keruh

B. PALPASI

No Pemeriksaan OD OS
1 Tensi okuler Tn Tn
2 Nyeri tekan (-) (-)
3 Massa tumor (-) (-)
4 Glandula pre-aurikuler Tidak ada pembesaran Tdk ada pembesaran

C. TONOMETRI : Tidak dilakukan pemeriksaan

D. VISUS : VOD = 3/60

: VOS = 5/60

E. CAMPUS VISUAL: Tidak dilakukan pemeriksaan.

F. COLOR SENSE : Tidak dilakukan pemeriksaan.

G. LIGHT SENSE : Tidak dilakukan pemeriksaan.


H. PENYINARAN OBLIK :

No Pemeriksaan OD OS
1 Konjungtiva Hiperemis(+)Injeksi Hiperemis (-)
perikorna (+)
2 Kornea Keruh bagian sentral, Jernih
fluorescent(-)Infiltrat
multiple berbentuk bulat
seperti uang logam
3 Bilik Mata Depan Normal Normal
4 Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)
5 Pupil Bulat, Sentral, RC (+) Bulat, Sentral, RC(+)
6 Lensa Keruh, Iris shadow (+) Keruh, Iris Shadow (+)

I. DIAFANOSKOPI : Tidak dilakukan pemeriksaan

J. OFTALMOSKOP : Tidak dilakukan pemeriksaan

K. SLIT LAMP :

SLOD : Konjungtiva hiperemis (+), kornea keruh bagian sentral ukuran diameter +
3mm , BMD normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, RC (+), Lensa keruh, Iris
Shadow (+)
SLOS : Konjungtiva hiperemis (-), kornea jernih , BMD normal, iris coklat, kripte
(+), pupil bulat, RC (+), lensa keruh, Iris shadow (+)
L. SEIDEL TES : Tidak dilakukan pemeriksaan
M. FLOURESCENT TEST: kornea (-)

IV. RESUME
Seorang laki-laki umur 72 tahun datang ke poli RSUD Daya dengan keluhan
nyeri pada mata kanan yang dialami sejak ± 14 hari yang lalu akibat benda asing
masuk mata kanan (serangga) dan pasien megucek matanya. Mata merah (+). Air
mata berlebih (+), Nyeri (+), kotoran mata berlebih (-), rasa mengganjal (+). Pasien
sulit membuka kelopak mata(+),silau(+). Keluhan disertai pandangan berkabut yang
dialami sejakl 2 tahun terakhir secara perlahan-lahan. Riwayat hipertensi (+),
Riwayat DM (-), Riwayat memakai kaca mata (+) ketika membaca, Riwayat penyakit
yang sama dalam keluarga(-)

Pada pemeriksaan inspeksi, OD konjungtiva hiperemis (+), kornea keruh bagian


sentral, lakrimasi (+),BMD normal , iris coklat (kripte +), lensa keruh, iris shadow
(+). Pada pemeriksaan inspeksi, OS konjungtiva hiperemis (-), kornea jernih,
hiperlakrimasi (-),BMD normal , iris coklat (kripte +), lensa keruh, Iris shadow (+)

Pada pemeriksaan visus, VOD = 3/60, VOS= 5/60. SLOD : Konjungtiva


hiperemis (+), kornea keruh bagian sentral dengan infiltrate multiple berbentuk
seperti uang logam ukuran diameter + 3mm, fluorescent(-), BMD normal, iris coklat,
kripte (+), pupil bulat, RC (+)

V. DIAGNOSIS

OD Keratitis Numularis + ODS Katarak immatur

VI. TERAPI

Obat tetes:

 Vigamox 6x1tetes OD
 P.Pred 5 x 1 tetes OD

Obat oral :
 Metylprednisolon 3x1
VII. ANJURAN

Pemeriksaan laboratorium

VII. DISKUSI

Dari anamnesis, pasien mengeluh adanya nyeri pada mata kanan akibat
kemasukan benda asing(serangga). Nyeri bisa disebabkan oleh aktifasi mediator-
mediator radang akibat trauma, selain itu juga bisa disebabkan oleh trauma pada
daerah kornea, dimana daerah ini memiliki serabut saraf tidak bermielin (sensibilitas
cabang pertama nervus trigimenus pada kornea), sehingga sangat sensitif terhadap
rangsangan.

Penglihatan pasien juga menjadi kabur setelah trauma. Pada pemeriksaan fisis
didapatkan VOD = 3/60. Penglihatan kabur ini bisa disebabkan oleh adanya
gangguan media refraksi. Kornea adalah salah satu media refrakta, adanya defek pada
kornea membuat pembiasaan cahaya tidak berjalan sempurna yang membuat sinar
datang menjadi terhalang sehingga membuat visus pasien menurun. Selain itu pada
pemeriksaan slit lamp ODS didapatkan lensa keruh sebagian dengan iris shadow (+)
yang membuat visus akan semakin menurun.
KERATITIS NUMULARIS

Pendahuluan
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang merupakan bagian dari
media refraksi, kornea juga berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang
dilalui berkas cahaya menuju retina. Kornea terdiri atas 5 lapis yaitu epitel, membran
bowman, stroma, membran descemet, dan endotel. Endotel lebih penting daripada
epitel dalam mekanisme dehidrasi dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh
lebih berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan
edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya cedera pada epitel hanya
menyebabkan edema lokal sesaat pada stroma kornea yang akan menghilang bila sel-
sel epitel itu telah beregenerasi.1,2
Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh bakteri, virus,
dan jamur. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lapis kornea yang terkena
seperti keratitis superficial dan profunda, atau berdasarkan penyebabnya. Keratitis
diklasifikasikan berdasarkan lapisan pada kornea yang terkena, keratitis superfisial
dan keratitis profunda, atau berdasarkan penyebabnya yaitu keratitis karena
berkurangnya sekresi air mata, keratitis karena keracunan obat, keratitis reaksi alergi,
infeksi, reaksi kekebalan, reaksi terhadap konjungtivitis menahun. 2,3,4
Pada Keratitis sering timbul rasa sakit yang berat oleh karena kornea
bergesekan dengan palpebra, karena kornea berfungsi sebagai media untuk refraksi
sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang yang masuk ke mata
maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama apabila lesi
terletak sentral dari kornea. Fotofobia terutama disebabkan oleh iris yang meradang
Keratitis dapat memberikan gejala mata merah, rasa silau dan merasa ada yang
mengganjal atau kelilipan. 3,4
Beberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan kejadian terjadinya keratitis
antara lain perawatan lensa kontak yang buruk, Herpes genital atau infeksi virus lain,
kekebalan tubuh yang menurun karena penyakit lain, higienis dan nutrisi yang tidak
baik
Klasifikasi keratitis berdasarkan lokasi yang terkena dari lapisan kornea :
1. Keratitis superfisialis
a. Keratitis epitelial
1) Keratitis pungtata superfisialis
2) Herpes simplek
3) Herpes zoster
b. Keratitis subepitelial
1) Keratitis didiformis dari Westhoff
2) Keratitis numularis dari Dimmer
c. Keratitis stromal
1)Keratitis neuroparalitik

2. Keratitis profunda
a. Keratitis sklerotikan
b. Keratitis intersisial
c. Keratitis disiformis 3

Di Indonesia kekeruhan kornea masih merupakan masalah kesehatan mata


sebab kelainan ini menempati urutan kedua penyebab kebutaan dan bila terlambat di
diagnosis atau diterapi secara tidak tepat akan mengakibatkan kerusakan stroma dan
meninggalkan jaringan parut yang luas. Pada referat ini akan dibahas mengenai
keratitis numularis
Anatomi dan Fisiologi Kornea

Gambar 1. Kornea

Kornea (latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian
selaput mata yang tembus cahaya.² Kornea transparan (jernih), bentuknya hampir
sebagian lingkaran dengan diameter vertikal 10-11mm dan horizontal 11-12mm, tebal
0,6-1mm terdiri dari 5 lapis .Kemudian indeks bias 1,375 dengan kekutan pembiasan
80%. Sifat kornea yang dapat ditembus cahaya ini disebabkan oleh struktur kornea
yang uniform, avaskuler dan diturgesens atau keadaan dehidrasi relative jaringan
kornea, yang dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi
sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting daripada epitel dalam mencegah
dehidrasi, dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih berat daripada cedera
pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel jauh menyebabkan sifat transparan hilang dan
edema kornea, sedangkan kerusakan epitel hanya menyebabkan edema lokal sesaat
karena akan menghilang seiring dengan regenerasi epitel.
Kornea dipersarafi oleh banyak serat saraf sensoris terutama saraf siliaris
longus, saraf nasosiliaris, saraf ke V saraf siliaris longus berjalan supra koroid ,
masuk kedalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung
Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai kedua lapis terdepan tanpa ada
akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan didaerah limbus. Daya
regenerasi saraf sesudah dipotong didaerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system pompa
endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel
tidak mempunyai daya regenerasi.

Gambar 2. Lapisan Kornea


Kornea merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri
atas lapis:²
1. Epitel
Bentuk epitel gepeng berlapis tanpa tanduk. Bersifat fat soluble substance. Ujung
saraf kornea berakhir di epitel oleh karena itu kelaianan pada epitel akan
menyebabkan gangguan sensibilatas korena dan rasa sakit dan mengganjal. Daya
regenerasi cukup besar, perbaikan dalam beberapa hari tanpa membentuk jaringan
parut. Tebalnya 50um, terdiri atas sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang
tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering
terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong kedepan menjadi lapis sel sayap
dan semakin maju kedepan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel
basal disampingnya dan sel poligonal didepannya melalui desmosom dan makula
okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang
merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat
kepadanya. Bila terjadi gangguan akan menjadi erosi rekuren. Epitel berasal dari
ektoderm permukaan.2
2. Membrana Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
Mempertahankan bentuk kornea Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
Kerusakan akan berakhir dengan terbentuknya jaringan parut.2
3. Stroma
Lapisan yang paling tebal dari kornea. Bersifat water soluble substance. Terdiri
atas jaringan kolagen yang tersusun atas lamel-lamel, pada permukaan terlihat
anyaman yang teratur sedang dibagian perifer serat kolagen bercabang. Stroma
bersifat higroskopis yang menarik air, kadar air diatur oleh fungsi pompa sel
endotel dan penguapan oleh sel epitel. Gangguan dari susunan serat kornea
terlihat keruh. Terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang
kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblast terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau
sesudah trauma.2
4. Dua’s Layer : lapisan ini merupakan lapisan tipis sebelum membrane descement,
maka dari itu sering juga disebut pre descement, dulunya dianggap sebagai bagian
dari membrana descement sampai diketahui ternaya merupakan bagian tersendiri
dari lapisan kornea
5. Membran Descemet
Lapisan tipis yang bersifat kenyal, kuat dan tidak berstruktur dan bening terletak
dibawah stroma dan pelindung atau barrier infeksi dan masuknya pembuluh
darah. Merupakan membrane selular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan. sel endotel dan merupakan membrane basalnya. Bersifat
sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40um.2
6. Endotel
Satu lapis sel terpenting untuk mempertahankan kejernihan kornea, mengatur
cairan didalam stroma kornea, tidak mempunyai daya regenerasi, pada kerusakan
bagian ini tidak akan normal lagi. Dapat rusak atau terganggu fungsinya akibat
trauma bedah, penyakit intra okuler dan usia lanjut jumlah mulai berkurang.
Berasal dari mesotalium, berlapis satu bentuk heksagonal besar 20-40um. Endotel
melekat pada mebran descemet melalui hemi desmosom dan zonula okluden.2
Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal dari saraf
siliar longus, saraf nasosiliar, saraf V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk
ke dalam stroma kornea, menembus membran bowman melepaskan selubung
Schwannya. Seluruh lapis epitel di persyarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa
ada akhir syaraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus.
Daya regenerasi syaraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3
bulan. Kornea bersifat avaskular, mendapat nutrisi secara difusa dari humor aquos
dan dari tepi kapiler. Bagian sentral kornea menerima oksigen secara tidak langsung
dari udara, melalui oksigen yang larut dalam lapisan air mata, sedangkan bagian
perifer, menerima oksigen secara difusa dari pembuluh darah siliaris anterior. 4

Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem


pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea.
Endotel tidak memiliki daya regenerasi.4 Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh
kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan
oleh kornea. Transparansi kornea disebabkan oleh strukturnya yang seragam,
avaskularitas dan detrugensi.4

Lapisan epitel merupakan sawar yang efisien terhadap masuknya


mikroorganisme ke dalam kornea. Cedera pada epitel mengakibatkan stroma dan
membran bowman mudah terkena infeksi, seperti bakteri, amuba dan jamur.
Kortikosteroid lokal maupun sistemik akan mengubah reaksi imun hospes dengan
berbagai cara dan memungkinkan terjadi infeksi oportunistik.2

Kornea memiliki banyak serabut nyeri sehingga lesi kornea dapat


menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit diperhebat oleh gesekan palpebra
(terutama palpebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh. Lesi kornea
pada umumnya dapat mengaburkan penglihatan terutama pada lesi di tengah kornea.2

Fotofobia kornea terjadi akibat kontraksi dari iris yang meradang. Dilatasi
pembuluh darah iris merupakan fenomena refleks yang disebabkan oleh iritasi pada
ujung saraf kornea. Meskipun mata berair dan fotofobia umumnya menyertai
penyakit kornea namun kotoran mata hanya terjadi pada ulkus bakteri purulenta.

Definisi keratitis

Keratitis adalah suatu kondisi dimana kornea bagian depan mata mengalami
inflamasi. Kondisi ini sering ditandai dengan rasa nyeri,kemudian berkembang
menjadi photofobia atau rasa silau bila terkena cahaya dan dapat terjadi gangguan
penglihatan.

Keratitis dapat terjadi pada setiap kelompok usia dan tidak dipengaruhi oleh
jenis kelamin. .

Gambar 3. Keratitis 8

Etiologi

Penyebab keratitis bermacam-macam, seperti infeksi bakteri, virus maupun


jamur (virus herpes simpleks merupakan penyebab tersering), kekeringan kornea,
pajanan cahaya yang terlalu terang, benda asing, reaksi alergi terhadap kosmetik,
debu, polusi atau bahan iritan lainnya, kekurangan vitamin A dan penggunaan lensa
kontak yang kurang baik.2
Gejala dan Tanda Keratitis

a. Gejala keratitis 1,2,4

 Mata terasa sakit


 Gangguan penglihatan
 Trias keratitis (lakrimasi, fotofobia dan blefarospasme)

b. Tanda keratitis 1,2,4

 Infiltrat (berisi infiltrat sel radang, kejernihan kornea berkurang,


terjadi supurasi dan ulkus)
 Neovaskularisasi (superfisial bentuk bercabang-cabang, profunda
berbentuk lurus seperti sisir)
 Injeksi perikornea
 Kongesti jaringan yang lebih dalam (iridosiklitis yang dapat disertai
hipopion)

Stadium Perjalanan Keratitis

Stadium infiltrasi. Infiltrasi epitel stroma, sel epitel rusak, edema, nekrosis
lokal. Hanya stadium 1 yang terjadi pada keratitis, sedangkan stadium 2 dan 3 terjadi
pada keratitis lanjut seperti pada ulkus kornea. Gejala objektif pada stadium ini selalu
ada dengan batas kabur, disertai tanda radang, warna keabu-abuan dan injeksi
perikorneal.9
Stadium regresi. Ulkus disertai infiltrasi di sekitarnya, vaskularisasi
meningkat dengan tes flouresensi positif.9
Stadium sikatrik. Pada stadium ini terjadi epitelisasi, ulkus menutup,
terdapat jaringan sikatrik dengan warna kornea kabur. Tanpa disertai tanda keratitis,
batas jelas, tanpa tanda radang, warna keputihan dan tanpa injeksi perikorneal.9
Patofisiologi

Karena kornea avaskular, maka pertahanan sewaktu peradangan tidak dapat


segera datang. Maka badan kornea, sel-sel yang terdapat di dalam stroma segera
bekerja sebagai makrofag baru kemudian disusul oleh pembuluh darah yang terdapat
di limbus dan tampak sebagi Injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrat,
yang tampak sebagai bercak bewarna kelabu, keruh, dan permukaan yang licin.
Kemudian dapat terjadi kerusakan epitel kornea dan timbul ulkus yang dapat
menyebar ke permukaan dalam stroma. Pada peradangan yang hebat, toksin dari
kornea dapat menyebar ke iris dan badan siliar dengan melalui membran descemet
dan endotel kornea. Baru demikian iris dan Badan siliar meradang dan timbullah
kekeruhan dicairan COA, disusul dengan terbentuknya hipopion. Bila peradangan
terus mendalam, tetapi tidak mengenai membran descemet dapat timbul tonjolan
membran descement yang disebut mata lalat atau descementocele. Pada peradangan
dipermukaan kornea, penyembuhan dapat berlangsung tanpa pembentukan jaringan
parut. Pada peradangan yang lebih dalam, penyembuhan berakhir dengan
terbentuknya jaringan parut yang dapat berupa nebula, makula, atau leukoma. Bila
ulkusnya lebih mendalam Lagi dapat timbul perforasi yang dapat mengakibatkan
endoftalmitis, panoftalmitis, dan berakhir dengan ptisis bulbi.2

Klasifikasi Keratitis

Keratitis diklasifikasikan menurut lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis


superfisialis apabila mengenal lapisan epitel atau Bowman dan keratitis profunda atau
interstisialis (atau disebut juga keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan
stroma. Pada keratitis epitelial dan keratitis stromal, tes fluoresin (+), sedangkan pada
keratitis subepitelial dan keratitis profunda, tes fluoresin (-).
Menurut tempatnya, keratitis diklasifikasikan sebagai berikut:
I. Keratitis Superfisial
1. Keratitis epitelial
a. Keratitis punctata superfisialis
b. Herpes simpleks
c. Herpes zoster
2. Keratitis subepitelial
a. Keratitis nummularis
b. Keratitis disiformis
3. Keratitis stromal
a. Keratitis neuroparalitik
b. Keratitis et lagoftalmus

II. Keratitis Profunda


1. Keratitis interstisial
2. Keratitis sklerotikans
3. Keratitis disiformis

Keratitis Superfisial

Keratitis superfisial dapat dibagi menjadi keratitis superfisial nonulseratif dan


keratitis superfisial ulseratif.

- Keratitis Superfisial nonulseratif

Keratitis Pungtata Superfisial dari Fuchs


Merupakan suatu peradangan akut, yang mengenai satu, kadang-kadang dua
mata, mulai dengan konjungitivitis kataral, disertai dengan infeksi dari traktus
respiratorius bagian atas. Disusul dengan pembentukan infiltrat yang berupa titik-
titik pada kedua permukaan membran Bowman. Infiltrat tersebut dapat besar atau
kecil dan dapat timbul hingga berratus-ratus. Infiltrat ini di dapatkan di bagian
superfisial dari stroma, sedang epitel di atasnya tetap licin sehingga tes fluoresin
(-) oleh karena letaknya di subepitelial.

Gambar 5. Keratitis pungtata superfisial

Penyebabnya adalah infeksi virus, bakteri, parasit, neurotropik, dan nutrisial.

Keratitis Numularis atau Keratitis Dimmer

Gambar 6. Keratitis Numularis

Keratitis numularis disebut juga keratitis sawahica atau keratitis punctata

tropica. Keratitis numularis diduga diakibatkan oleh virus. Diduga virus yang masuk

ke dalam epitel kornea melalui luka setelah trauma. Replikasi virus pada sel epitel
diikuti penyebaran toksin pada stroma kornea sehingga menimbulkan kekeruhan atau

infiltrat berbentuk bulat seperti mata uang. Pada kornea terdapat infiltrat bulat-bulat
2,3,7
subepitelial dan di tengahnya lebih jernih, seperti halo. Tes fluoresinnya (-).

Untuk melihat adanya defek pada epitel kornea dapat dilakukan uji fluoresin.

Caranya, kertas fluoresin dibasahi terlebih dahulu dengan garam fisiologis kemudian

diletakkan pada saccus konjungtiva inferior setelah terlebih dahulu penderita diberi

anestesi lokal. Penderita diminta menutup matanya selama 20 detik, kemudian kertas

diangkat. Defek kornea akan terlihat berwarna hijau dan disebut sebagai uji fluoresin

positif.

Keratitis Disiformis dari Westhoff

Gambar 7. Keratitis disiformis

Disebut juga sebagai keratitis sawah, karena merupakan peradangan kornea yang
banyak di negeri persawahan basah. Penyebabnya adalah virus yang berasal dari
sayuran dan binatang. Pada anamnesa umumnya ada riwayat trauma dari lumpur
sawah. Pada mata tanda radang tidak jelas, mungkin terdapat injeksi silier. Apabila
disertai dengan infeksi sekunder, mungkin timbul tanda-tanda konjungtivitis. Pada
kornea tampak infiltrat yang bulat-bulat, di tengahnya lebih padat dari pada di tepi
dan terletak subepitelial. Tes Fluoresin (-).3 Terletak terutama dibagian tengah kornea.
Umumnya menyerang orang-orang berumur 15-30 tahun.

Keratokonjungtivitis Epidemika

Keratokonjungtivitis epidemika umumnya bilateral. Awalnya sering pada satu


mata saja, dan biasanya mata pertama lebih parah. Kekeruhan subepitel bulat. Sensasi
kornea normal. Nodus preaurikuler yang nyeri tekan adalah khas. Edema palpebra,
kemosis, dan hiperemia konjungtiva menandai fase akut. Folikel dan perdarahan
konjungtiva sering muncul dalam 48 jam. Dapat membentuk pseudomembran dan
mungkin diikuti parut datar atau pembentukan simbelfaron. 2, 4
Konjungtivitis berlangsung paling lama 3-4 minggu. Kekeruhan subepitel
terutama terdapat di pusat kornea, bukan di tepi, dan menetap berbulan-bulan namun
tidak meninggalkan jaringan parut ketika sembuh. 4 Keratokonjungtivitis epidemika
pada orang dewasa terbatas pada bagian luar mata. Namun, pada anak-anak mungkin
terdapat gejala sistemik infeksi virus seperti demam, sakit tenggorokan, otitis media,
dan diare.4 Keratokonjungtivitis epidemika disebabkan oleh adenovirus tipe 8, 19, 29,
dan 37 (subgroub D dari adenovirus manusia). Virus-virus ini dapat diisolasi dalam
biakan sel dan diidentifikasi dengan tes netralisasi. Kerokan konjungtiva
menampakkan reaksi radang mononuklear primer; bila terbentuk pseudomembran,
juga terdapat banyak neutrofil. 2
Transmisi nosokomial selama pemeriksaan mata sangat sering terjadi melalui jari-
jari tangan dokter, alat-alat pemeriksaan mata yang kurang steril, atau pemakaian
larutan yang terkontaminasi. Larutan mata, terutama anastetika topikal, mungkin
terkontaminasi saat ujung penetes obat menyedot materi terinfeksi dari konjungtiva
atau silia. Virus itu dapat bertahan dalam larutan itu, yang menjadi sumber
penyebaran. 2,4
Kontaminasi botol larutan dapat dihindari dengan memakai penetes steril pribadi
atau memakai tetes mata dengan kemasan unit-dose. Cuci tangan secara teratur di
antara pemeriksaan dan pembersihan serta sterilisasi alat-alat yang menyentuh mata
khususnya tonometer. Tonometer aplanasi harus dibersihkan dengan alkohol atau
hipoklorit, kemudian dibilas dengan air steril dan dikeringkan dengan hati-hati. 4

Keratitis Superfisial Ulseratif

a. Keratitis Pungtata Superfisial Ulserativa

Penyakit ini didahului oleh konjungtivitis kataral, akibat stafilokok ataupun


pneumokok. Tes fluoresin (+).4

b. Keratokonjungtivitis Flikten

Gambar 8. Keratokonjungtivitis flikten

Merupakan radang kornea dan konjungtiva akibat dari reaksi imun yang
mungkin sel mediated pada jaringan yang sudah sensitif terhadap antigen. Pada mata
terdapat flikten yaitu berupa benjolan berbatas tegas berwarna putih keabuan yang
terdapat pada lapisan superfisial kornea dan menonjol di atas permukaan kornea. 2,5
Bentuk keratitis dengan gambaran bermacam-macam, dengan ditemukannya
infiltrat dan neovaskularisasi pada kornea. Gambaran karakteristiknya adalah dengan
terbentuknya papul dan pustula pada kornea ataupun konjungtiva. Pada mata terdapat
flikten pada kornea berupa benjolan berbatas tegas berwarna putih keabuan, dengan
atau tanpa neovaskularisasi yang menuju kearah benjolan tersebut. Biasanya bersifat
bilateral yang dimulai dari daerah limbus.
Pada gambaran klinis akan terlihat suatu keadaan sebagai hiperemia
konjungtiva, kurangnya air mata, menebalnya epitel kornea, perasaan panas disertai
gatal dan tajam penglihatan yang berkurang. Pada limbus di dapatkan benjolan putih
kemerahan dikelilingi daerah konjungtiva yang hyperemia. Bila terjadi penyembuhan
akan terjadi jaringan parut dengan noevaskularisasi pada kornea.
Pada anak-anak keratitis flikten disertai gizi buruk dapat berkembang menjadi
tukak kornea karena infeksi sekunder. Tukak flikten sering ditemukan berbentuk
sebagai benjolan abu-abu, yang pada kornea terlihat sebagai:
- Ulkus fasikular, berbentuk ulkus yang menjalar melintas kornea dengan
pembuluh darah jelas dibelakangnya.
- Flikten multipel di sekitar limbus
- Ulkus cincin, yang merupakan gabungan ulkus.

c. Keratitis Herpetika
Keratitis herpes simpleks merupakan radang kornea yang disebabkan oleh
infeksi virus herpes simpleks tipe 1 maupun tipe 2. Kelainan mata akibat infeksi
herpes simpleks dapat bersifat primer dan kambuhan. lnfeksi primer ditandai oleh
adanya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis folikutans,
bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kebanyakan kasus bersifat
unilateral, walaupun dapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-pasien atopi.
Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi
epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus
diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya pada:
herpes zoster oftalmikus, keratitis akibat pemaparan dan mata kering, pengguna lensa
kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada keratitis herpes
simpleks ringan adalah tidak adanya fotofobia.
Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu paska infeksi primer
dengan mekanisme yang tidak jelas. Virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik
atau ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion nervus
trigeminus, dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus. Namun akhir-
akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan sebagai tempat
berlindung virus herpes simpleks6.

Gambar 9. Keratitis dendritik

Keratitis superfisial dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik. Keratitis


dendritika merupakan proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang diakibatkan oleh
perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulkañ kematian sel serta membentuk
defek dengan gambaran bercabang. Keratitis dendritika dapat berkembang menjadi
keratitis geografika, hal ini terjadi akibat bentukan ulkus bercabang yang melebar dan
bentuknya menjadi ovoid. Dengan demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta
geografi dengan kaki cabang mengelilingi ulkus.
Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis herpes
zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang
dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil.
Keratitis epitelial dapat berkembang menjadi ulkus metaherpetik, dalam hal
ini terjadi perobekan membrana basalis. Ulkus metaherpetik bersifat steril,
deepitelisasi meluas sampai stroma. Ulkus ini berbentuk bulat atau lonjong dengan
ukuran beberapa milimeter dan bersifat tunggal. Pada kasus ini dapat dijumpai
adanya edema stroma yang berat disertai lipatan membrana descemet. Reaksi iritasi
konjungtiva bersifat ringan akibat adanya hipestesia. Reflek lakrimasi berkurang,
sehingga produksi tear film menjadi relatif tidak cukup. Ulkus metaherpetik dapat
menetap dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan. Untuk penyembuhannya
memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 minggu.
Klasifikasi Diagnosis:
Hogan dkk. (1964) membuat klasifikasi diagnosis keratitis herpes simpleks
sebagai berikut:
1. Superfisial, dibedakan atas bentuk dendritika, dendritika dan stroma,
geografika.
2. Profunda, dibedakan atas stroma dan disciform, stroma dan penyembuhan,
stroma dan ulserasi.
3. Uveitis, dibedakan atas kerato uveitis dan uveitis; dalam hal ini keratouveitis
dibedakan atas bentuk ulserasi dan non ulserasi.
Klasifikasi tersebut ternyata kurang sempurna, karena bentuk keratitis pungtata
yang merupakan awal keratitis dendnitik tidak dimasukkan. Selain itu, pada beberapa
kasus yang berat ternyata dijumpai glaukoma sekunder yang diakibatkan oleh radang
jaringan trabekulum.
Untuk membuat diagnosis, sekarang ini dianut kiasifikasi yang dibuat oleh
Pavan-Langston (1983) sebagai berikut:
1. Ulserasi epitelial, dibedakan atas bentuk pungtata, dendritika,
dendrogeografika, geografika.
2. Ulserasi trophik atau meta herpetika.
3. Stroma, dibedakan atas bentuk keratitis disciform, keratitis interstitialis.
4. Uveitis anterior dan trabekulitis.

Klasifikasi menurut Pavan-Langston inipun belum sempurna, mengingat


sangat jarang ditemukan kasus uveitis anterior maupun trabekulitis yang berdiri
sendiri tanpa melibatkan adanya keratitis.

d. Keratokonjungtivitis Sika

Gambar 10. Keratokonjungtivitis sika

Keratokonjungtivitis sika adalah suatu keadaan keringnya permukaan kornea dan


konjungtiva. Kelainan ini terjadi pada penyakit yang mengakibatkan :
1. Defisiensi komponen lemak air mata. Misalnya: blefaritis menahun, distikiasis
dan akibat pembedahan kelopak mata.
2. Defisiensi kelenjar air mata: sindrom Sjogren, sindrom Riley Day, alakrimia
congenital, aplasi congenital saraf trigeminus, sarkoidosis limfoma kelenjar
air mata, obat-obat diuretik kimia, atropin dan usia tua.
3. Defisiensi komponen musin: benign ocular pemphigoid, defisiensi vitamin A,
trauma kimia, sindrom Stevens Johnson, penyakit-penyakit yang
mengakibatkan cacatnya konjungtiva.
4. Akibat penguapan yang berlebihan seperti pada keratitis neroparalitik, hidup
di gurun pasir, keratitis lagoftalmus.
5. Karena parut pada kornea atau menghilangnya mikrovili kornea.
Pada keratokonjungtivitis sika terdapat rasa gatal pada mata. Pada mata
didapatkan sekresi mukus yang berlebihan. Sukar menggerakkan kelopak mata. Mata
kering karena dengan erosi kornea.
Pada pemeriksaan lama celah didapatkan miniskus air mata pada tepi kelopak
mata bawah hilang, edema konjungtiva bulbi, filamen (benang-benang) melekat di
kornea.1

Penatalaksanaan

Keratitis Superfisial nonulseratif

Keratitis Pungtata Superfisial dari Fuchs


Pengobatan yang dapat diberikan pada keratitis pungtata superfisial dari
Fuchs adalah pengobatan lokal, yaitu salep antibiotik atau sulfa untuk mencegah
terjadinya infeksi sekunder, dan dapat dikombinasi dengan kortikosteroid.

Keratitis Numularis atau Keratitis Dimmer


Tidak ada pengobatan yang spesifik terhadap penyakit ini. Obat-obatan
hanya diberikan untuk mencegah infeksi sekunder. Untuk terapi lokal diberikan
salep antibiotika yang dapat dikombinasi dengan kortikosteroid.
Keratitis Disiformis dari Westhoff
Untuk keratitis Disiformis dari Westhoff dapat diberikan salep mata
antibiotik yang dapat dikombinasikan dengan kortikosteroid. Pada keratitis ini,
biasanya perjalanan penyakit lama hingga berbulan-bulan.3

Keratokonjungtivitis Epidemika
Pengobatan pada keadaan akut sebaiknya diberikan kompres dingin dan
pengobatan penunjang lainnya. Lebih baik diobati secara konservatif. Bila terjadi
kekeruhan pada kornea yang menyebabkan penurunan visus yang berat dapat
diberikan steroid tetes mata 3 kali sehari.2 Antibiotik sebaiknya diberikan apabila
terdapat superinfeksi bakteri.
Keratitis Superfisial Ulseratif

a. Keratitis Pungtata Superfisial Ulserativa


Salep antibiotika atau sulfa yang sesuai dengan kumannya yang
didapatkan atau memakai obat antibiotika yang berspektrum luas.

b. Keratokonjungtivitis Flikten
Pengobatan keratokonjungtivitis flikten adalah dengan memberi
steroid lokal maupun sistemik. Flikten kornea dapat menghilang tanpa bekas
namun apabila telah terjadi ulkus akibat infeksi sekunder dapat terjadi parut
kornea. Dalam keadaan yang berat dapat terjadi perforasi kornea.

c. Keratitis Herpetika
Pengobatan kadang-kadang tidak diperlukan karena dapat sembuh
spontan atau dapat sembuh dengan melakukan debridement. Dapat juga
dengan memberikan obat antivirus topikal dan antibiotika topikal. Antivirus
seperti IDU 0.1% diberikan setiap 1 jam atau asiklovir.
Sebagian besar para pakar menganjurkan melakukan debridement
sebelumnya. Debridement epitel kornea selain berperan untuk pengambilan
spesimen diagnostik, juga untuk menghilangkan sawar epitelial sehingga
antiviral lebih mudah menembus. Dalam hal ini juga untuk mengurangi
subepithelial "ghost" opacity yang sering mengikuti keratitis dendritik.
Diharapkan debridement juga mampu mengurangi kandungan virus epithelial
sehingga reaksi radang akan cepat berkurang.

d. Keratokonjungtivitis Sika
Pengobatan harus langsung bertujuan untuk mempertahankan lapisan
air mata dengan menggantinya dengan air mata buatan. Pada
keratokonjungtivitis yang berhubungan dengan Sjogren sindrom pemberian
kortikosteroid dosis rendah dan topikal siklosporin menunjukkan keefektifan.

Prognosis
Prognosis pada setiap kasus tergantung pada beberapa faktor, termasuk luas
dan dalamnya lapisan kornea yang terlibat, ada atau tidaknya perluasan ke jaringan
orbita lain, status kesehatan pasien (contohnya immunocompromised), virulensi
patogen,ada atau tidaknya vaskularisasi dan deposit kolagen pada jaringan tersebut,
waktu penegakkan diagnosis klinis yang dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan
penunjang seperti kultur pathogen di laboratorium. Pasien dengan infeksi ringan dan
diagnosis mikrobiologi yang lebih awal memiliki prognosis yang baik; bagaimana
pun, kontrol dan eradikasi infeksi yang meluas didalam sklera atau struktur
intraokular sangat sulit. Diagnosis awal dan terapi tepat dapat membantu mengurangi
kejadian hilangnya penglihatan. Imunitas tubuh merupakan hal yang penting dalam
kasus ini karena diketahui reaksi imunologik tubuh pasien sendiri yang memberikan
respon terhadap virus ataupun bakteri. Pada keratitis superfisialis pungtata
penyembuhan biasanya berlangsung baik meskipun tanpa pengobatan
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology. Externa disease and cornea. San


Fransisco 2007
2. Vaughan, Daniel G et al. 2010. Oftalmologi Umum edisi-14. Jakarta: Widya
Medika. Hal: 129 – 152
3. ILyas S. Mata merah dengan penglihatan turun mendadak. Dalam : Ilyas S.
Ilmu Penyakit Mata edisi 3; 2004. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hal ; 149
4. Srinivasan M, et al. Distinguishing infectious versus non infectious keratitis.
Indian Journal of Opthalmology. 2006. 56:3; 50-56
5. Radjiman T, dkk. Ilmu Penyakit Mata. Airlangga. Surabaya, 1984
6. Zorab R A, Straus H,Dondrea, et.al. Fundamental and Principles of
Ophtalmology. Section 2. International ophtalmology american academy of

ophtalmology. The Eye M.D;2008-2009. p.43

7. Lang G.Infectious Keratitis dalam Opthamology.A textbook Atlas.2nd Edition


2006.

8. Kaye SB, Lynas C, Patterson A, Risk JM, McCarthy K, Hart CA. Evidence
for herpes simplex viral latency in the human cornea, Bri Ophthalmol 1991;

75: 195200

9. Anonym. 2010. Keratitis. Faculty of Harvard Medical School, National Eye


Institute. Diakses tanggal 29 ktober 2015

10. Wilson. SA. 2008. Management of Corneal Abrasion. www.aafp.com, diakses


tanggal 29 Oktober 2015
11. Anatomy of Eye. 2010. www.medscape.com, diakses tanggal 29 Oktober 2015

12. Opthalmology of Evaluation. 2010. www.medscape.com, diakses tanggal 29

Oktober 2015

13. Keratitis. 2012. www.medscape.com, diakses tanggal 29 Oktober 2015

Você também pode gostar