Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
4
4. Apa humanisme itu?
5. Apa itu humanisme Menurut Maslow dan Aplikasinya dalam Pendidikan
?
6. Apa teori carl roger tentang humanisme?
7. Bagaimana Penerapan Pendekatan Teori Belajar Humanisme dalam
Pendidikan dan Proses Pembelajaran?
1.3 Tujuan
Tujuan adanya makalah ini adalah Untuk dapat mengetahui semua
yang telah dituangkan dalam rumusan masalah. Dan dapat mengetahui
terobosan baru untuk diimplikasikan dalam suatu pembelajaran.
1.4 Manfaat
Beberapa manfaat yang dapat kita peroleh dari penugasan makalah ini
yaitu sebagai berikut:
1. bagi mahasiswa manfaat dengan adanya tugas makalah ini
yaitudapat mengetahui tentang teori belajar konstruktivisme dan
humanisme.
2. bagi dosen manfaat dengana danya praktikum ini yaitu dosen
dapatmengetahui tingkat pemahaman siswa yang telah makalah tentang
teori belajar konstruktivisme dan humanisme.
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
konstruktivisme, pengembangan pengetahuan bagi siswa dapat dilakukan
oleh siswa itu sendiri melalui kegiatan penelitian atau pengamatan langsung
sehingga siswa dapat menyalurkan ide-ide baru sesuai dengan pengalaman
dengan menemukan fakta yang sesuai dengan kajian teori, (2) antara
pengetahuan-pengetahuan yang ada harus ada keterkaitan dengan
pengalaman yang ada dalam diri siswa, (3) setiap siswa mempunyai peranan
penting dalam menentukan apa yang mereka pelajari. (4) Peran guru hanya
sebagai pembimbing dengan menyediakan materi atau konsep apa yang
akan dipelajari serta memberikan peluang kepada siswa untuk menganalisis
sesuai dengan materi yang dipelajari.
Paradigma pembelajaran konstruktivisme memiliki tujuan sebagai
berikut:
a) Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab
siswa itu sendiri.
b) Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan
dan mencari sendiri jawabannya.
c) Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian atau pemaha,an
konsep secara lengkap.
d) Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang
mandiri.
e) Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
7
asimilasi dan akomodasi skema mereka. Oleh karena itu, belajar
merupakan suatu proses yang terus menerus, tidak berkesudahan.
Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam
otaknya, seperti sebuah kotak-kotak yang masing-masing mempunyai
makna yang berbeda-beda. Pengalaman yang sama bagi seseorang
akan dimaknai berbeda oleh masing-masing individu dan disimpan
dalam kotak yang berbeda. Oleh karena itu, pada saat manusia belajar,
menurut Piaget, sebenarnya telah terjadi dua proses dalam dirinya
yaitu proses organisasi informasi dan proses adaptasi.
Proses organisasi adalah proses ketika manusia menghubungkan
informasi yang diterimanya dengan struktur-struktur pengetahuan
yang sudah disimpan atau sudah ada sebelumnya dalam otak. Melalui
proses organisasi inilah manusia dapat memahami sebuah informasi
baru yang didapatnya dengan menyesuaikann informasi tersebut
dengan struktur pengetahuan yang dimilikinya, sehingga manusia
dapat mengasimilasikan dan mengakomodasikan informasi atau
pengetahuan tersebut.
Proses adaptasi adalah proses yang berisikan dua kegiatan:
1) Menggabungkan atau mengintegrasikan pengetahuan yang diterima
atau disebut dengan asimilasi.
2) Mengubah struktur pengetahuan yang sudah dimiliki dengan struktur
pengetahuan yang sudah dimiliki dengan struktur pengetahuan baru,
sehingga akan terjadi keseimbangan. Dalam proses adaptasi ini, Piaget
mengemukakan empat konsep dasar (Nurhadi, 2004) yaitu skemata,
asimilasi, akomodasi, dan keseimbangan.
Skemata yaitu manusia berusaha menyesuaikan diri
denganlingkungannya.
Asimilasi yaitu penyerapan informasi atau pengalaman baru dalam
pikirannya dan memadukan stimulus dengan perilaku yang sudah ada
dalam diri.
Akomodasi yaitu menyusun kembali struktur pikiran karena adanya
informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat.
8
Keseimbangan yaitu keserasian antara asimilasi dan akomodasi dalam
diri seseorang agar terjadi efisiensi interaksi dalam lingkungannya.
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa dalam pengetahuan tidak
diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan
perkembangan kognitif anak tergantung pada seberapa jauh mereka aktif
memanupulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan
perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses kesinambungan
tentang keadaan ketidak seimbangan dan keadaan keseimbangan.
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak
dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak
mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual
anak.Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan
konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn, dan Tony,
1995:222) mengajukan karakteristik sebagai berikut:
Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki
tujuan.
Belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan
siswa.
Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi
secara personal.
Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan
pengaturan situasi kelas.
Kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat
pembelajaran, materi, situasi dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih
mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan
bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan
kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.
Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga
pengetahuan bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara
hirarkis (Hudoyo, 1998:5).
9
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu
aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri
pelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan
perubahan tingkah laku.Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam
kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan
kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembangan mental. Ruseffendi
(1998: 133) mengemukakan:
1) Perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang
selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan
mengalami urutan-urutan tersebut dengan urutan yang sama.
2) Tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi
mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis
dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkal laku
intelektual
3) Gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan
(equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang
interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul
(akomodasi).
Adapun dampak yang terjadi akibat penerapan teori konstruktivisme
dari Piaget terhadap pembelajaran:
o Kurikulum: pendidik harus merencanakan kurikulum yang berkembang
sesuai dengan peningkatan logika anak dan pertumbuhan konseptual
anak.
o Pengajaran: guru harus lebih menekankan pentingnya peran pengalaman
bagi anak, atau interaksi anak dengan lingkungan di sekelilingnya. Misal
guru harus mencermati peran penting konsep-konsep fundamental,
seperti kelestarian objek-objek, serta permainan-permainan yang
menunjang struktur kognitif.
10
1) Belajar merupakan proses secara biologi sebagai proses dasar.
2) Proses secara psikososial sebagai proses yang lebih tinggi dan
esensinya berkaitan dengan lingkungan sosial budaya.
Sehingga muncul perilaku sesorang karena intervening kedua
elemen tersebut, pada saat seseorang mendapatkan stimulus dari
lingkungannya, ia akan menggunakan fisiknya berupa alat inderanya
untuk menangkap atau menyerap stimulus tersebut, kemudian dengan
menggunakan saraf otaknya informasi yang telah diterima tersebut
diolah.
Fungsi mental biasanya ada dalam percakapan atau komunikasi
dan kerja sama di antara individu-individu (proses sosialisasi) sebelum
akhirnya berada dalam diri individu (internalisasi). Pentingnya
interaksi sosial dalam perkembangan kognitif manusia telah
melahirkan konsep perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif
manusia berkaitan erat dengan perkembangan bahasanya. Sehingga
Vygotsky membagi perkembangan kognitif yang didasarkan pada
perkembangan bahasa menjadi empat tahap (Ella, 2003) yaitu:
1) Preintelectual speech
Tahap awal dalam perkembangan kognitif ketika manusia
baru lahir, yang ditunjukkan dengan adanya proses dasar secara
biologis (menangis, mengoceh dan bergoyang-goyangkan tangan)
yang secara perlahan-lahan berkembang menjadi bentuk yang lebih
sempurna seperti berbicara.
2) Native psychology
Tahap kedua dari perkembangan bahasa ketika seorang anak
“mengeksplore” atau menggali objek-objek konkret dalam dunia
mereka. Anak mulai memberi nama atau label terhadap objek-
objek tersebut dan telah dapat mengucapkan beberapa kata dalam
pembicaraannya.
3) Egocentric speech
11
Tahap ini ketika anak berusia 3 tahun, anak selalu melakukan
percakapan tanpa mempedulikan orang lain atau apakah orang lain
mendengarkan mereka atau tidak.
4) Inner speech
Tahap ini memberikan fungsi yang penting dalam
mengarahkan perilaku sesorang.Ide dasar dari teori belajar
Vygotsky adalah scaffolding yaitu memberikan dukungan dan
bantuan kepada seorang anak yang sedang belajar, kemudian
sedikit demi sedikit mengurangi dukungan atau bantuan tersebut
setelah anak mampu untuk memecahkan problem dari tugas yang
dihadapinya agar anak dapat belajar mandiri.
Berbeda dengan konstruktivisme kognitivisme ala Piaget,
konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh vygotsky adalah bahwa
belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial
maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah
diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999:62).
Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti
konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan
eksternal yang penekananya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam
pendidikan anak (Poedjiadi, 1999:63) adalah sebagai berikut:
1. Tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah
menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir
untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.
2. Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang
memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh
peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah seringkali
dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah
dalam kehidupan sehari-hari
3. Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara
belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai
12
mediator, fasilitator, dan teman yang membuat situasi yang kondusif
untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Mengenai belajar sains, Vygotsky menyarankan bahwa interaksi
sosial itu penting saat siswa menginternalisasi pemahaman-pemahaman
yang sulit, masalah-masalah, dan proses. Elanjutnya proses internalisasi
melibatkan rekonstruksi aktivitas psikologis dengan dasar penggunaan
bahasa. Jelas tampak bahwa penggunaan bahasa secara aktif yang
didasarkan pemikiran merupakan sarana bagi siswa untuk
menegosiasikan kebermaknaan pengalaman-pengalaman mereka.Para
konstruktivis sosial menekankan bentuk-bentuk bahasa untuk
mempermudah konstruksi kebermaknaan anak, antara lain: pertanyaan
dengan ujung terbuka, menulis kreatif, dialog kelas, dan lain-
lain. Lawson (1998) menurutnya orang yang terampil dalam
beragumentasi, terampul pula dalam menalar. Dari pengalaman mengajar
selama ini, kita merasakan bahwa dengan meminta para siswa
beragumentasi, kita pupuk keterbukaan dalam diri mereka, yang
merupakan suatu syarat untuk memperoleh daya nalar yang tinggi.
Dampak konsep Vygotsky terhadap pembelajaran ditengarai
sebagai berikut:
o Kurikulum: karena anak belajar umumnya melalui interaksi,
kurikulum harus dirancang untuk menekankan adanya interaksi antara
pembelajar dengan tugas-tugas pembelajaran
o Pembelajaran: dengan bantuan yang sesuai oleh orang dewasa, anak-
anak sering dapat melaksanakan tugas-tugas yang tidak mampu
diselesaikan sendiri. Terkait dengan itu, maka scaffolding (pijakan
atau para-para) dimana orang dewasa secara kontinyu menyesuaikan
tingkat responnya terhadap tingkat kognitif (kinerja) anak-anak
terbuksi sebagai suatu cara pengajaran yang efektif.
Menurut Setiawan (2004:28) bahwa dalam teori konstruktivisme,
siswa lebih diberi tempat daripada guru. Artinya dalam proses
pembelajaran, siswa merupakan pusat pembelajaran (student centre).
Pandangan ini berangkat dari penelitian bahwa siswa pada hakikatnya
13
terus menerus melakukan interaksi dengan benda-benda atau kejadian-
kejadian, serta berhubungan dengan lingkungan sosial dan alam
sekelilingnya. Dari hasil interaksi tersebut, mereka memperoleh
pemahaman tertentu. Pemahaman-pemahaman tersebut selanjutnya
dibangun sebagai pengetahuan yang tersimpan di dalam otaknya.
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan
bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri(Von
Glasersfeld dalam Bettencourt, 1989 dan Matthews, 1994). Von
Glasersfeld menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari
kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia
kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan akibat dari konstruksi
kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang.
Para Rasionalis lebih menekankan rasio, logika, dan pengetahuan
deduktif, sedangkan kaum empiris lebih menekankan pengalaman dan
pengetahuan induktif. Menurut Staver, konstruktivisme merupakan
sintesis pandangan rasionalis dan empiris. Konstruktivisme menunjukkan
interaksi antara subjek dan objek, antara realitas yang eksternal dan
internal.
Osborne (1993) dan Matthews (1994) menjelaskan bahwa
konstruktivisme mengandung suatu bahaya yang mengarah ke empirisme
dan relativisme. Beberapa konstruktivis lainnya terlalu menekankan
abstraksi atau konstruksi yang dapat mengarah ke relativisme, yang
menyatakan bahwa semua konsep adalah sah karena setiap ide yang
diturunkan dari suatu abstraksi harus dianggap sah. Empirisme
menyatakan bahwa semua pengetahuan diturunkan dari pengalaman
indrawi. Empirisme adalah pandangannya bahwa sumber terpenting dari
pengetahuan adalah dunia luar. Bagi empirisme, esensi pengetahuan
adalah representasi dari dunia luar yang didapat terutama dari observasi
atas alam semesta. Nativisme berlawanan dengan empirisme. Nativisme
mengklaim bahwa sumber pengetahuan adalah dari dalam. Kalau kita
simak, konstruktivisme memuat dua segi empirisme dan nativisme,
14
pengetahuan itu sumbernya berasal dari luar tetapi dikonstruksikan dari
dalam diri seseorang.
Konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil
konstruksi manusia. Manusia mengkonstruksi pengetahuan mereka
melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman, dan
lingkungan mereka. Bagi konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat
ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus
diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Pengetahuan bukan
sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus-
menerus. Dalam proses ini keaktifan seseorang yang ingin tahu amat
berperan dalam perkembangan pengetahuannya
15
mengaktualisasikan dirinya, mampu mengembangkan potensinya secara
utuh, bermakna dan berfungsi bagi kehidupan dirinya dan lingkungannya.
Teori humanisme merupakan konsep belajar yang lebih melihat pada
sisi perkembangan kepribadian manusia. Berfokus pada potensi manusia
untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan
mengembangkan kemampuan tersebut.
Teori belajar humanistik sifatnya sangat mementingkan isi yang
dipelajari dari pada proses belajar itu. Teori belajar ini lebih banyak
berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusi yang
dicita-citakan dan bertujuan untuk memanusiakan manusia itu sendiri serta
tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal.
Tujuan belajar menurut teori ini adalah memanusiakan manusia
artinya perilaku tiap orang ditentukan oleh orang itu sendiri dan memahami
manusia terhadap lingkungan dan dirinya sendiri.Menurut para pendidik
aliran ini penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan
perasaan dan perhatian siswa. Tujuan utama pendidik adalah membantu
siswa mengembangkan dirinya yaitu membantu individu untuk mengenal
dirinya sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu mewujudkan
potensi mereka. Para ahli humanistic melihat adanya dua bagian pada proses
belajar yaitu proses pemerolehan informasi baru dan personalisasi informasi
ini pada individu.
Sesuai beberapa pendapat-pendapat di atas teori Humanistik adalah
suatu teori yang mana manusia itu dapat mengaktualisasikan dirinya sesuai
dengan peunjuk-petunjuk yang baik serta mampu mengembangkan
potensinya secara utuh, bermakna dan berfungsi bagi kehidupan dirinya dan
lingkungannya
16
Maslow mengemukakan bahwa individu berprilaku dalam upaya
memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing orang
bias timbul berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berkembang
atau berusaha, mengambil kesempatan, membahayakan apa yang sudah dia
miliki dan sebgainya, tetapi di sisi lain seseorang memiliki dorongan untuk
lebih maju kea rah keutuhan, kepercayaan diri menghadapi dunia luar.
Maslow berpendapat, bahwa manusia memilki hierarki kebutuhan
yang dimulai dari kebutuhan jasmani yang paling asasi sampai dengan
kebutuhan tertinggi yang paling estetis.
Teori Maslow mengenai proses belajar mengajar, misalnya apabila
guru menemukan kesulitan untuk memahami mengapa siswa-siswa tertentu
tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengapa siswa tidak dapat tenang di
kelas, atau bahkan mengapa siswa tidak mempunyai motivasi belajar.
Menurut Maslow, guru tidak bisa menyalakan siswa atas kejadian ini secara
berlangsung, sebelum memahami barangkali ada proses tidak terpenuhinya
kebutuhan siswa di bawah kebutuhan untuk tahu dan mengerti. Bisa jadi
anak-anak tersebut belum atau tidak melakukan makan pagi yang cukup,
semalam tidak tidur dengan nyenyak, atau ada masalah pribadi atau
keluarga yang membuat mereka cemas atau takut, dan lain-lain.
17
caranya sendiri, dan menilainya sendiri tenteng apakah proses belajarnya
berhasil. Jadi teori belajar humanisme yaitu suatu teori dalam pembelajaran
yang mengedepankan bagaimana memanusiakan manusia serta peserta
peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya.
Gagasan Rogers mengenai prinsip-prinsip belajar yang humanistic itu
meliputi :
1. Hasrat untuk belajar
Menurut Rogers manusia itu mempunyai hasrat alami untuk belajar.
Hal ini mudah dibuktikan. Perhatikan saja betapa ingin tahunya anak
kalau ia sedang mengeksplorasi lingkungannya. Dorongan ingin tahu
untuk belajar ini merupakan asumsi dasar pendidikan humanistic. Di
dalam kelas yang humanistic anak-anak diberi kebebasan untuk
memuaskan dorongan ingin tahunya, untuk memenuhi minatnya dan
untuk menemukan apa yang penting dan berarti tentang dunia
disekitarnya. Orientasi ini bertentangan sekali dengan kelas-kelas gaya
lama dimana guru atau kurikulum menentukan apa yang harus dipelajari
oleh anak-anak.
2. Belajar yang berarti
Prinsip kedua ini adalah belajar yang berarti, yang mempunyai
makna. Hal ini terjadi apabila yang dipelajari relevan dengan kebutuhan
dan maksud anak. Anak akan belajar dengan cepat apabila yang
dipelajari itu mempunyai arti baginya. Sebagai contoh, misalnya anak
cepat belajar menghitung uang receh karena uang tersebut dapat
digunakan untuk membeli sesuatu permainan yang digemarinya.
3. Belajar tanpa ancaman
Menurut Rogers, belajar itu mudah dilakukan dan hasilnya dapat
disimpan dengan baik apabila berlangsung dalam lingkungan yang bebas
ancaman. Proses belajar berjalan dengan lancer manakala murid dapat
menguji kemampuannya, dapat mencoba pengalaman-pengalaman baru
atau membuat kesalahan-kesalahan tanpa mendapat kecaman yang
biasanya menyinggung perasaan.
4. Belajar atas inisiatif sendiri
18
Bagi para humanist, belajar itu paling bermakna manakala hal itu
dilakukan atas inisiatif sendiri dan apabila melibatkan perasaan dan
pikiran si pelajar. Mampu memilih arah belajarnya sendiri sangatlah
memberikan motivasi dan mengulurkan kesempatan kepada siswa untu
belajar bagaimana caranya belajar (to learn how to learn). Tidaklah perlu
diragukan bahwa menguasai bahan pelajaran itu penting tetapi tidak lebih
penting daripada memperoleh kecakapan untuk mencari dan menemukan
sumber, merumuskan masalah, menguji praduga dan menilai hasil.
Belajar atas inisiatif sendiri itu memusatkan perhatian murid baik pada
proses maupun terhadap hasil belajar.
Belajar atas inisiatif sendiri juga mengajar murid menjadi bebas,
tidak bergantung, dan percaya pada diri sendiri. Apabila murid itu
belajar atas inisiatif sendiri, dia memiliki kesempatan untuk menimbang-
nimbang dan membuat keputusan, menentukan pilihan dan melakukan
penilaian. Dia menjadi lebih bergantu pada dirinya sendiri dan kurang
bersandar pada penilaian pihak lain.
Disamping atas inisiatif sendiri, belajar juga harus melibatkan
semua aspek pribadi, kognitif maupun afektif. Rogers dan pada humanist
yang lain menamakan jenis belajar ini sebagai whole-person learning,
belajar dengan seluruh pribadi, belajar dengan pribadi yang utuh. Para
humanist berkeyakinan bahwa kalau belajar itu bersifat pribadi dan
afektif akan menghasilkan roso handarbeni, perasaan memiliki (feeling of
belonging) pada diri siswa. Dengan demikian siswa akan merasa lebih
terlibat dalam belajar, lebih bersemangat menangani tugas-tugas dan
yang terpenting ialah lebih bergairah untuk terus belajar.
5. Belajar dan perubahan
Prinsip terakhir yang dikemukakan oleh Rogers ialah bahwa
belajar yang paling bermanfaat itu ialah belajar tentang proses belajar.
Menurut Rogers, di waktu-waktu yang lampau murid belajar mengenai
fakta-fakta gagasan-gagasan yang statis. Waktu itu dunia lambat berubah,
dan apa yang dipelajari di sekolah sudah di pandang cukup untuk
memenuhi tuntutan jaman. Tetapi kini, perubahan merupakan fakta hidup
19
yang sentral. Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu maju dan melaju.
Apa yang dipelajari dimasa lalu tidak lagi dapat membekali orang untuk
hidup dan berfungsi dengan berhasil didunia mutakhir ini. Apa yang
dibutuhkan dewasa ini ialah orang-rang yang mampu belajar
dilingkungan yang sedang berubah dan akan terus berubah.
20
student center ) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri.
Diharapkan siswa mampu memahami potensi diri, mengembangkan potensi
dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat
negatif.Pembelajaran berdasarkan teori humanisme ini cocok untuk
diterapkan. Keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah,
berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan
sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas,
berani, tidak terkait oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya
sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau
melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang berlaku.
2.8 Pendidikan
1. Hakikat Pendidikan
Imanuel Kant dalam Faisal (1988c: 211) menyatakan bahwa
manusia menjadi manusia karena pendidikan. Berikut ini konsep-konsep
tentang pendidikan yang telah dirangkum oleh Saifullah (1988; 79-95).
a. Pendidikan adalah kegiatan memperoleh dan menyampaikan
pengetahuan, sehingga memungkinkan transmisi kebudayaan dari
generasi satu kegenerasi berikutnya.
b. Pendidikan adalah proses dimana individu diajar bersikap setia dan
taat dengan mana pikiran manusia ditera dan dibina.
c. Pendidikan adalah suatu proses pertumbuhan di dalam, dimana
individu diberi pertolongan untuk mengembangkan kekuatan, bakat
kemampuan dan minatnya.
d. Pendidikan adalah pembangunan kembali atau penyusunan kembali
pengalaman, sehingga memperkaya arit perbendaharaan pengalaman
yang dapat meningkatkan kemampuan dalam menetukan arah tujuan
pengalaman selanjutnya.
e. Pendidikan adalah proses dimana seseorang diberi kesempatan
menyesuaikan diri terhadap aspek-aspek kehidupan lingkungan yang
berkaitan dengan kehidupan modern untuk mempersiapkan agar
berhasil dalam kehidupan orang dewasa.
21
2. Aliran-aliran dalam pendidikan
Aliran pendidikan merupakan gagasan dan pelaksanaan pendidikan
yang selalu dinamis dan sesuai dengan dinamika dankebutuhan manusia
dan masyarakat.
1) Aliran Klasik
Adapun aliran-aliran klasik dalam pendidikan antara lain:
a. Aliran Empirisme. Aliran empirisme bertolak dari Lockean
Tradition yang mementingkan stimulasi eksternal dalam
perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan
anak tergantung pada lingkungannya, sedangkan pembawaan tidak
dipertimbangkan sama sekali. Tokoh aliran ini adalah filsuf Inggris
yang bernama John Locke (1704-1932) yang mengemukakan
tentang Teori Tabularasa, yakni
1. Segala pengetahuan, keterampilan, dan sikap manusia dalam
perkembangan ditentukan oleh pengalaman (empiri)
2. Lingkungan membentuk perkembangan manusia atau anak didik
3. Lingkungan 100% menentukan perkembangan manusia
4. Anak yang lahir tidak membawa, ia bagaikan kertas kosong.
b. Aliran Nativisme. Aliran ini bertolak dari Libnitzian Tradition yang
menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor yang
juga termasuk dalam kategori pendidikan, dianggap kurang
berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil perkembangan
tersebut ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperoleh sejak
kelahiran. Schopenhauser (filsuf Jerman 1788-1800) berpendapat
diantaranya:
1. Anak yang lahir sudah memiliki pembawaan baik dan buruk
sendiri-sendiri.
2. Pembawaanlah yang menentukan perkembangan anak tersebut.
3. Lingkungan sama sekali tidak bisa berpengaruh terhadap
perkembangan dan pertumbuhan anak.
22
c. Aliran Naturalisme. Aliran ini ada persamaan dengan aliran
nativisme. Filsuf Prancis J.J Rouseau (1712-1778) berpendapat
bahwa:
1. Sejak lahir anak sudah memiliki pembawaan sendiri-sendiri,
baik bakat, minat, kemampuan, sifat, watak, maupun
pembawaan lainnya.
2. Pembawaan itu akan berkembang sesuai dengan perkembangan
lingkungannya.
3. Semua yang baik tangan sang pencipta, dan semua menjadi
buruk di tangan manusia.
d. Aliran Konvergensi. Perintis aliran ini adalah William Stern (1871-
1939), ahli pendidikan bangsa Jerma. Ia berpendapat bahwa:
1. Faktor pembawaan dan faktor lingkungan sama-sama
mempunyai peranan yang penting terhadap perkembangan dan
pertumbuhan dan sulit untuk dipisahkannya
2. Perkembangan anak tergantung pada pembawa dan lingkungan,
yakni kedua garis itu menuju ke satu titik yang disebut proses
konvergensi.
23
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari paparan diatas dapat kita simpulkan bahwa :
1. teori konstruktivisme
menurut teori konstruktivisme belajar adalah proses
mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengabstraksi pengalaman
sebagai hasil interaksi antara siswa dengan realitas baik realitas pribadi,
alam, maupun realitas sosial. Proses konstruksi pengetahuan berlangsung
secara pribadi maupun sosial. Proses ini adalah proses yang aktif dan
dinamis. Beberapa faktor seperti pengalaman, pengetahuan awal,
kemampuan kognitif dan lingkungan sangat berpengaruh dalam proses
konstruksi makna.Argumentasi para konstruktivis memperlihatkan
bahwa sebenarnya teori belajar konstrukvisme telah banyak mendapat
pengaruh dari psikologi kognitif, sehingga dalam batas tertentu aliran ini
dapat disebut juga neokognitif.
2. Teori belajar humanistik
Teori belajar humanistik adalah teori belajar dan pembelajaran
yang mengedepankan memanusiakan manusi dalam pembelajaran,
menurut pandangan teori humanistik pendidik bukan sekedar
mengembangkan aspek kognitif siswa, akan tetapi juga pendidik
diharapkan dapat mengembangkan aspek psikomotorik (keterampilan)
dan aspek afeksi (sikap). Teori belajar humanistik merupakan
menyempurna dari teori pembelajaran sebelumnya. Yang hanya
menyangkup sebuah aspek saja. Guru dalam teori humanistik sebagai
fasilitator, guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna
belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar
kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan
pembelajaran
24
3.2 Saran
Penggunaan metode pembelajaran humanistik sesuai bagi peserta
didik, karena dalam metode pembelajaran humanistik tak
hanya mengajarkan kognitif dan psikomotor saja, akan tetapi afektif. Hal ini
diperlukan untuk mendidik peserta didik lebih memiliki sikap yang baik, tak
hanya pandai dan cerdas
Ada baiknya dalam proses belajar mengajar seorang guru haruslah
memahami konsep dasar dari teori belajar dan pembelajaran, sehingga dapat
memahami setiap kondisi dari setiap situasi yang dialaminya didalam kelas
dengan para peserta didiknya.
25
DAFTAR PUSTAKA
Suyono. Hariyanto. 2014. “Belajar dan Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar”.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Ahmed, L, Wanita & Gender Dalam Islam, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2000.
26