Você está na página 1de 11

A.

Perekonomian Indonesia Sebagai Ilmu yang Berdiri Sendiri

Sama seperti ekonomi pembangunan, studi mengenai Perekonomian Indonesia secara


umum merupakan bidang studi yang berdiri sendiri. Ia bahkan mampu mengembangkan
identitas analitis dan metodologinya sendiri yang khas dengan pesat. Ia adalah ilmu ekonomi
khusus mengenai Indonesia yang boleh dikatakan masih sedang berkembang, yang memiliki
aneka orientasi idiologi (sosialis-pasar/kapitalis, nasional-agama), latar belakang budaya yang
beragam (Bali, Jawa, Islam – Katolik), dan masalah-masalah ekonomi yang sangat kompleks
yang semuanya menuntut satu pemikiran dan pendekatan baru. Studi pertama mengenai
Perekonomian Indonesia dilakukan oleh J. Boeke pada tahun 1953 dalam rangka program
doktornya di Negeri Belanda yang kemudian melahirkan teori pembangunan ekonomi
dualistis. Arsitektur Perekonomian Indonesia Orde Baru adalah Profesor Sumitro dari
Universitas Indonesia bersama sama dengan apa yang dikenal dengan Barkeley Mafia
(Profesor Emil Salim, Profesor Sadli, Profesor Ali Wardana dkk). Tidak boleh dilupakan
Bapak Koperasi Indonesia yakni Muhammad Hatta. Arsitek perekonomian Indonesia yang
muncul belakangan adalah Profesor Mubyarto dkk dari Universitas Gajah Mada yang
memerlukan Ekonomi Pancasila. Studi terinci mengenai berbagai aspek Perekonomian
Indonesia dapat ditemukan pada Buletin of Indonesia Economic Studies (BIES) yang
diterbitkan setiap triwulan oleh Indonesia Project, Departement of Asian and Pasific Studies,
Australia National University, Camberra, Australia, dan pada Ekonomi dan Keuangan
Indonesia (Economics and Finance Indonesia) yang diterbitkan empat kali setahun oleh
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Perekonomian Indonesia berkaitan langsung dengan keseluruhan proses politik,
budaya, dan ekonomi yang diperlukan untuk mempengaruhi transformasi struktural dan
kelembagaan yang cepat dari seluruh masyarakat demi menghasilkan rentetan kemajuan
ekonomi yang benar-benar bermanfaat, dan melalui proses efisien, bagi sebagian besar
peduduk. Bertolak dari kenyataan tersebut, maka tidak seperti ilmu ekonomi pada umumnya,
perekonomian Indonesia dan ekonomi pembangunan pada umumnya menganggap penting
mekanisme yang membuat keluarga, daerah dan seluruh bangsa terperangkap dalam
kemiskinan, dan juga strategi yang paling efektif untuk dapat melepaskan diri dari perangkap
tersebut. Perekonomian Indonesia seperti ilmu ekonomi pembangunan pada umumnya juga
mengakui manfaat peranan pemerintah yang lebih besar dan berbagi tingkatan perumusan
atau perencanaan keputusan ekonomi serta pelaksanaannya secara terorganisir demi
mengarah kepada transformasi ekonomi yang diinginkan. Bertolak dari proses pembangunan
ekonomi yang demikian rumit, perekonomian Indonesia atau pembangunan ekonomi harus
bersifat selektif yakni mengombinasikan berbagai konsep dan teori yang relevan dari analisis
ilmu ekonomi tradisional dengan model-model baru dan pendekatan yang multidisipliner dan
tajam dari kajian-kajian sejarah dan pengalaman pembangunan kontemporer di negara-negara
lain. Dewasa ini perekonomian Indonesia merupakan satu disiplin ilmu yang terpisah penuh
dengan terobosan, penuh dengan berbagai penemuan data dan teori yang baru. Secara singkat
perekonomian Indonesia adalah ekonomi pembangunan khusus wilayah Indonesia yang
mempunyai cakupan lebih luas dari ilmu ekonomi tradisional dan ekonomi politik.
Disamping cakupan ilmu dalam perekonomian Indonesia juga harus diperhatikan cakupan
wilayah dan cakupan cakupan waktu (periode). Berbicara mengenai cakupan wilayah,
perekonomian Indonesia membatasi diri pada penerapan ekonomi pembangunan pada
wilayah bekas jajahan Belanda. Jadi wilayah penerapan ekonomi pembangunan di wilayah
Indonesia mencakup wilayah dari Sabang sampai Meraoke.

B. Periodisasi dalam Perekonomian Indonesia

Masa Penjajahan Belanda


Periode ini dimulai sejak VOC mulai masuk Indonesia sampai diproklamasikannya
Republik Indonesia oleh Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Jadi periode yang dicakupnya
adalah 1602-1945. Perekonomian pada masa ini, dapat dibayangkan, tidak banyak berbeda
dengan perekonomian sebelumnya, perekonomian Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Bone,
Yogyakarta, Solo dan Kerajaan lainnya di nusantara ini. Juga tidak banyak berbeda dengan
perekonomian di Eropa Barat pada umumnya pada waktu itu, satu perekonomian yang
didominasi oleh sektor pertanian. Pada awal periode itu, revolusi industry di Inggris belum
terjadi. Demikian juga revolusi pertanian. Kemudian pada akhir periode ini, perkembangan
sektor industry dan pertanian di Eropa juga menjalar sampai ke jajahan Belanda di Timur
Jauh (Indonesia), berkembanglah sistem-sistem perkebunan, perbankan, industry dan sektor
ekonomi lainnya. Sedangkan sektor pertanian pada umumnya di Indonesia, terutama tanaman
pangan masih sangat tradisional.
Orientasi sektor perkebunan pada waktu itu adalah untuk dijual di pasar Eropa sebagai
bahan mentah untuk industry yang sedang berkembang pada waktu itu. Uang yang beredar
adalah uang negeri penjajah Belanda (golden) dengan bank sentralnya dipegang oleh bank
swasta Belanda, de Javashe Bank. Uang beredar yang praktis adalah uang kartal meskipun
ada juga sebagian kecil uang giral. Sistem perbankannnya lebih mengarah, yakni didirikan
bank umum khusus untuk perkebunan, khusus perdagangan besar, khusus untuk rakyat kecil
dan sebagainya. Secara singkat ekonomi secara keseluruhan sangat mirib dengan sistem
ekonomi yang dianut oleh negara-negara Eropa Barat, yakni sistem pasar dengan campur
tangan pemerintah yang sangat minimal.
Masa Orde Lama
Periode ini dimulai sejak proklamasi kemerdekaan (17 Agustus 1945) sampai dengan
jatuhnya Presiden Sukarno pada tahun 1965 (yang satu periode mencakup 20 tahun).
Perekonomian Indonesia pada waktu itu bisa dikatakan sebagai perang ekonomi. Situasi
politik dalam negeri waktu itu tidak kondusif untuk kemajuan perekonomian. Terjadi banyak
pertentangan politik, muncul banyak partai, satu kelompok menginginkan negara kesatuan
sedangkan kelompok lain menghendaki negara federasi, dan kelompok lainnya menginginkan
negara agama. Akibatnya banyak terjadi pemberontakan. Tidak hanya itu dalam kondisi yang
tidak stabil,pemerintah belanda justru melakukan usaha nasionalisasi terhadap perusahaan-
perusahaan swasta Belanda . Hal tersebut menyebabkan hubungan antara pemerintah dalam
negeri dan pemerintah Belanda semakin memburuk, yang kemudian diikuti oleh makin
intensifnya perjuangan merebut Papua Barat. Akhirnya tahun 1962 dikobarkanlah komando
Trikora-Tiga Tuntuan Rakyat.
Sementara keadaan politik dalam dan luar negeri yang sedang kacau, justru keadaan
perekonomian juga tidak mendapat cukup perhatian pemerintah. Dimulai dengan situasi
politik sekitar 1950, pada saat yang sama keadaan keuangan Indonesai makin memburuk,
inflasi sangat tinggi dan dilaksanakannya kebijakan moneter yang sangat drastis yaitu
sanering. Sanering adalah pengguntingan nilai uang rupiah, setengah lembar diganti dengan
uang baru dan dikembalikan kepada pemiliknya dan setengahnya lagi ditukar dengan
Obligasi Negara. Setelah diadakan sanering, keadaan perekonomian Indonesia bukannya
bertambah baik, harga-harga terus mengalami kenaikan seirama dengan keadaan poitik di
dalam dan luar negeri. Keadaan harga-harga umum selalu mengalami kenaikan, sehingga
Bung Karno pada waktu itu mengumumkan barang siapa mampu membuat konsep untuk
menurunkan harga akan diangkat sebagai Menteri Pasar. Pada akhir periode pimpinan Bung
Karno (1965) sekali lagi dilaksanakan kebijakan moneter yang sangat dratis, yakni menukar
uang lama menjadi uang baru dengan perbandingan Rp 1000 uang lama diganti dengan Rp 1
uang baru. Tindakan moneter yang drastic ini bukannya meredakan kenaikan harga, malahan
memicunya sampai –sampai pada tahun 1965 tercatat tingkat inflasi sebesar 650 persen.
Pertumbuhan ekonomi pada masa itu tidak lebih dari 2-3 persen per tahun, sebagaimana
banyak ahli memperkirakan.
Seirama dengan orientasi pemerintah ke blok sosialis, sistem perbankan disesuaikan
dengan sistem perbankan di Rusia, pemerintah Sukarno telah menyusun Pembangunan
Semesta Berencana Delapan Tahun. Rencana pembangunan ekonomi ini mencakup seluruh
wilayah Indonesia (semesta) yang mempunyai rentang waktu delapan tahun mulai 1960.
Namun rencana tersebut hanyalah bersifat daftar keinginan tanpa ada sumber pembiayaan
yang pasti sehingga tidak terlaksana.
Masa Orde Baru
Periode ini mulai ketika jatuhnya Orde Lama (masa pemerintahan Sukarno) pada
tahun 1965/1966 sampai jatuhnya pemerintahan Suharto pada tahun 1998. Tindakan pertama
yang diambil oleh pemerintah Orde Baru adalah untuk menstabilkan keadaan politik dan
ekonomi. Stabilisasi ekonomi dilaksanakan dengan kebijakan antara lain, sebagai berikut:
Untuk jangka pendek kebutuhan dalam negeri dipenuhi melalui impor sedangkan untuk
jangka panjang kebutuhan akan dipenuhi melalui pembangunan yang direncanakan setiap
lima tahun sekali.
Liberalisasi perdagangan Luar Negeri dengan memperkenalkan swasta untuk turut aktif
dalam perdagangan luar negeri dan liberalisasi sistem devisa. Sistem devisa diubah dari
sistem di mana devisa sepenuhnya dikuasai oleh negara (pada akhir masa pemerintahan
Sukarno), tidak ada mata uang asing di masyarakat, devisa hasil ekspor dan dari sumer lain
(pinjaman luar negeri) harus diserahkan kepada negara dan devisa untuk keperluan impor
harus dibeli dari negara, menjadi sistem di mana kepemilikan devisa bebas oleh masyarakat
dan kurs mata uang asing ditentukan oleh permintaan dan penawaran. Dengan kata lain
sistem devisa diubah dari Exchange Control menjadi Floating Control .
Guna mempersiapkan pembangunan ekonomi jangka panjang dan agar tidak terulang
pengalaman pada Pembangunan Semesta Berencana Delapan Tahun pada Orde Lama,
Pemerintah Orde Baru yakin bahwa kunci keberhasilan pembangunan adalah tersedianya
dana untuk membiayainya. Untuk hal tersebut Pemerintah Orde Baru melaksanakan, antara
lain, hal-hal sebagai berikut:
Di sektor keuangan, pembelanjaan APBN pada masa Orde Lama selalu memakai sistem
defisit. Ini berarti tidak ada tabungan negara, dan bahkan keuangan negara pada saat itu tidak
mempunyai kemampuan cukup untuk mebayar gaji pegawainya. Dalam keadaan demikian
dalam arena Pemerintahan Orde Baru tidak menghendaki anggran belanja defisit maka
dibentuklah IGGI (Inter Govermental Group on Indonesia)-organisasi negara-negara maju
yang memberi bantuan kepada Indonesia.
Tabungan swasta Asing (sumber pembiayaan luar negeri). Pada umumnya hal ini bisa dilihat
dari beda antara ekspor dan impor dan sumber daya lain, atau dengan kata lain situasi neraca
pembayaran.
Tabungan domestic swasta. Tabungan ini berasal dari masyarakat umum dan perusahaan,
yang jumlahnya pada waktu itu diperkirakan Rp 1 (satu rupiah) per orang per tahun, jumlah
yang kecil sekali dan tidak cukup untuk pembiayaan pembangunan. Untuk mengatasi hal ini
diundangkanlah UUPMDN (Undang-Undang Penananaman Modal Dalam Negeri).
Dengan persiapan-persiapan tersebut dan persiapan lainnya maka disusunlah
pembangunan ekonomi bertahap melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita),
yang pelaksanaanya dimulai pada tahun 1969. Pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru
ini memberikan peluang yang sangat luas kepada sektor swasta, terutama swasta asing. Hal
tersebut menimbulkan perdebatan yang hangat mengenai sistem dan arah pembangunan
supaya yang miskin juga ikut menikmati hasil-hasil pembangunan. Akibatnya muncullah
kebijakan yang dikenal dengan delapan jalur pemerataan pada Pelita III. Perubahan trilogo
pembangunan ini lebih bersifat teoritis dan tampak tidak jelas dalam praktek. Pada waktu itu
muncul rumor bahwa perekonomian Indonesia lebih liberal dari perekonomian negara-negara
liberal (maju) dan timbul wacana mengenai sistem ekonomi yang berlaku. Dari hal ini
timbullah istilah Sistem Ekonomi Pancasila.
Sementara masalah sistem ekonomi yang berlaku sedang ramai didiskusikan,
perekonomian masih terus mengalami kemerosotan yang mendorong terjadinya demonstrasi
mahasiswa (dan rakyat), yang tidak lagi percaya kepada Suharto sebagai presiden. Krisis
tersebut adalah krisis kenaikan harga dolar Amerika di Asia Tenggara, mulai Thailand,
Malaysia dan terhadap rupiah mecapai 15.000 per dolar. Kurs dolar ini mengakibatkan
kalangan usaha besar kalang kabut karena mempunyai banyak utang luar negeri. Akibatnya
perusahaan besar banyak yang menurunkan produksinya dan melakukan PHK terhadap
karyawan . Berbagai usaha telah dilakukan dalam menangani kondisi tersebut, antara lain,
menaikkan tingkat bunga deposito menjadi 5% per bulan, dan melepaskan sebagian cadangan
devisa. Ternyata kedua kebijakan ini tidak menyurutkan spekulasi dalam mata uang dolar,
kurs dolar tetap naik. Kebijakan moneter konvensioanl juga telah dilakukan, namun tetap saja
kurs dolar naik. Kebijakan moneter non konvensional juga telah dilaksanakan, seperti
menghimbau para para pejabat dan penduduk kaya agar bersedia menjual dolarnya. Ada
usulan untuk kesediaan melepaskan seluruh cadangan devisa dan mengganti sistem devisa
dari kurs mengambang terkendali menjadi kurs tetap. Namun usulan tersebut kandas di
tengah jalan. Sementara itu pemutusan hubungan kerja makin parah, perbankan makin
kelihatan bobroknya, sampai akhirnya pergolakan mahasiswa tidak terbendung lagi dan
Suharto jatuh pada tahun 1997.
Masa Transisi dan Reformasi
Periode yang diacakup oleh masa ini adalah setelah jatuhnya Pemerintahan Suharto
(1997) sampai sekarang, 1998-sekarang, satu periode yang mencakup kekuasaan Presiden
Habibie, Presiden Gus Dur, Presiden Megawati, dan Presiden SBY. Pemerintahan Suharto
mewarisi keadaan perekonomian yang hancur dari pemerintahan Sukarno, dan juga
mewariskan perekonomian yang tidak kalah hacurnya kepada pemerintahan selanjutnya.
Kalau Sukarno jatuh karena kehancuran ekonomi yang dibarengi dengan demonstrasi
mahasiswa, demikian juga halnya dengan Suharto. Pembenahan ekonomi diusulkan oleh IMF
(International Monetary Funds) dan diterima oleh pemerintah. Salah satu usulan IMF adalah
dengan didirikannya BBPN (Badan Penyehatan Perbankan Indonesia). Merosotnya nilai
rupiah dan hancurnya perbankan nasional merupakan kehancuran sektor moneter . Keadaan
perekonomian yang hancur ini seperti menyebabkan isi bahwa Indonesia telah dilanda krisis
ekonomi. Tindakan kebijakan untuk menanggulanginya pun tidak cukup hanya kebijakan
moneter, melainkan harus dibuatkan kebijakan yang lebih dari itu. Salah satu di antaranya
adalah dilancarkannya makan gratis di warung Tegal oleh Menteri Sosial, dan yang
lainnya menyarankan agar pegawai negeri yang memiliki dolar bersedia menyumbangkan
dolarnya kepada pemerintah .
Sementara kebijaksanaan memperbaiki kesehatan perbankan banyak sekali perhatian
dan keuangan pemerintah, sehingga pengusaha kecil dan menengah kurang mendapat
perhatian. Oleh karenanya perhatian pemerintah yang cenderung, untuk menyehatkan
pengusaha besar, padahal perusahaan kecil dan menengah dikatakan tahan banting pada
masa krisis ini dan kurang (tidak) mendapat perhatian pemerintah, maka muncullah wacana
bahwa Indonesia tidak hanya mengalami krisis moneter, krisis ekonomi, melainkan sudah
dilanda oleh krisis moral. Hal inilah yang menyebabkan diubahnya IGGI menjadi CGI
(Consultative Group on Indonesia), tidak lagi memberikan peran besar kepada World Bank
dan IMF. Semua hutang kepada IMF dibayar kembali, namun muncul hutang di dalam
negeri, yang juga tidak kalah besarnya. Tekanan agar perekonomian tidak terlalu bergantung
pada konsep dan bantuan luar negeri dan bahwasannya pengusaha kecil dan menengah tahan
banting (tidak sampai memPHK karyawan pada waktu krisis) dan agar pemerintah lebih
memperhatikan dan memberi bantuan kepada pengusaha kecil dan menengah, maka
munculah Sistem Ekonomi Kerakyatan.
C. Indikator Geografis, Sosial dan Ekonomi
Indikator geografis
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 51 Tahun 2007, IG didefinisikan sebagai suatu
tanda dari produk yang dikarenakan pengaruh lingkungan geografisnya, baik itu faktor alam,
faktor manusia, atau kombinasi dari keduanya, memberikan ciri dan kualitas khusus pada
produk tersebut. Sederhananya, IG adalah nama geografis dari produk yang hanya bisa
diproduksi pada suatu daerah geografis tertentu.
Contoh produk IG salah satunya adalah Kopi Arabika Gayo. Nama Gayo adalah
daerah geografis tempat kopi arabika tersebut diproduksi, dan karena pengaruh dari faktor
lingkungan geografis daerah tersebut, maka kopi arabika yang diproduksi memiliki kekhasan
yang tidak bisa ditiru oleh kopi arabika dari daerah lain.
Meskipun biji kopi arabika dibibitkan dan ditanam di daerah lain, misalnya di Jawa,
kualitas kopi arabika yang dihasilkan akan berbeda. Mengapa? Karena kondisi geogarafisnya
berbeda, mulai dari struktur tanah, kondisi curah hujan, temperatur, dan lain-lain berbeda
dengan kondisi geografis Dataran Tinggi Gayo.

Indikator Sosial
adalah HDI (Human Development Index) dan PQLI (Physical Quality Life Index) atau indeks
mutu hidup.
a. Indikator Sosial sebagai alternatif indicator pembangunan
GNP per kapita sebagai ukuran tingkat kesejahteraan mempunyai banyak kelemahan.
Kelemahan umum yang sering dikemukakan adalah tingkat memasukkan produksi yang tidak
melalui pasar seperti dalam perekonomian subsisten, jasa ibu rumah tangga, transaksi barang
bekas, kerusakan lingkungan, dan masalah distribusi pendapatan. Akibatnya bermunculan
upaya untuk memperbaiki maupun menciptakan indicator lain sebagai pelengkap ataupun
alternatif dari indicator kemakmuran yang tradisional.
Daftar indicator kunci pembangunan sosial-ekonomi versi UNRISD
· Harapan hidup
· Persentase penduduk di daerah sebanyak 20.000 atau lebih
· Konsumsi protein hewani per kapita per hari
· Kombinasi tingkat pendidikan dasar dan menengah
· Rasio pendidikan luar sekolah
· Rata-rata jumlah orang per kamar
· Sirkulasi surat kabar per 1000 penduduk
· Persentase penduduk usia kerja dengan listrik, gas, air, dsb
· Produksi pertanian per pekerja pria di sector pertanian
· Persentase tenaga kerja pria dewasa di pertanian
· Konsumsi listrik, kw per kapita
· Konsumsi baja, kg per kapita
· Konsumsi energi, ekuivalen kg batubara per kapita
· Persentase sector manufaktur dalam GDP
· Perdagangan luar negeri per kapita
· Persentase penerima gaji dan upah terhadap angkatan kerja.
b. Indeks Mutu Hidup (PQLI)
Untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat, Morris D. Morris memperkenalkan
Physical Quality Life Index (PQLI), yang lazim diterjemahkan sebagai indeks Mutu Hidup
(IMH). PQLI merupakan indeks komposit (gabungan) dari 3 indikator yaitu :
· Harapan hidup pada usia satu tahun
· Angka kematian
· Tingkat melek huruf.
Untuk masing-masing indicator, kinerja ekonomi suatu Negara dinayatakan dalam skala 1
hingga 100, di mana 1 merupakan kinerja terjelek, sedang 100 adalah kinerj terbaik.

c. Human Development Index (HDI)


Seperti halnya PQLI, HDI mencoba merangking semua Negara dalam skala 0 (sebagai
tingkatan pembangunan manusia yang terendah) hingga 1 (Pembangunan manusia yang
tertinggi) berdasarkan atas 3 tujuan atau produk pembangunan , yaitu :
· Usia panjang yang diukur dengan tingkat harapan hidup
· Pengetahuan yang diukur dengan rata-rata tertimbang dari jumlah orang dewasa yang
dapat membaca (Diberi bobot dua pertiga) dan rata-rata tahun sekolah (diberi bobot
sepertiga)
· Penghasilan yang dikur dengan pendapatanper kapita riil yang telah disesuaikan, yaitu
disesuaikan menurut daya beli mata uang masing-masing Negara dan asumsi menurunnya
utilitas marginal penghasilan dengan cepat.
Kisaran antara nilai minimum dan maksimum untuk indicator yang tercakup sebagai
komponen HDI adalah (UNSFIRS, 2000) :
· Harapan hidup kelahiran : 25 – 85 (Standar UNDP)
· Tingkat melek huruf : 0 – 100 (Standar UNDP)
· Rata-rata lama sekolah : 0 – 15 (Standar UNDP)
· Konsumsi per kapita yang disesuaikan : 300.000 – 732.720
Indikator Ekonomi
adalah GNP (GNI) per kapita laju pertumbuhan ekonomi, GDP per kapita dengan purchasing
power parity.
Bank dunia (2003) mengklasifikasikan Negara berdasarkan tingkatan GNI per kapitanya
sebagai berikut :
a. Negara berpenghasilan rendah (Low-income economies) adalah kelompok Negara-negara
dengan GNI per kapita kurang atau sama dengan US$ 745 pada tahun 2001.
b. Negara berpenghasilan menengah (Middle-income economies) adalah kelompok Negara-
negara dengan GNI per kapita lebih dari US$ 745 namun kurang dari US$ 8.626 pada tahun
2001. dalam kelompok Negara berpenghasilan menengah dibagi menjadi :
· Negara berpenghasilan menengah papan bawah (Lowe-middle-income economies)
dengan GNI per kapita antara US$ 746 hingga US$ 2.975.
· Negara berpenghasilan menengah papan atas (Upper-income economies)
dengan GNI per kapita antara US$ 2.976 hingga US$ 9.205
c. Negara berpenghasilan tinggi (High-income economies) adalah kelompok Negara-negara
dengan GNI per kapita US$ 9.206 atau lebih pada tahun 2001
d. Dunia (world) meliputi semua Negara di dunia, termasuk Negara-negara yang datanya
langka dan dengan penduduk lebih dari 30.000 jiwa.

Namun pada umumnya, Negara sedang berkembang (NSB)memiliki karakteristik yang


relative sama yaitu :
a. Tingkat kehidupan rendah dengan ciri penghasilan rendah, ketimpangan distribusi
pendapatan tinggi, rendahnya tingkat kesehatan dan pendidikan.
b. Tingkat produktivitasnya rendah
c. Pertumbuhan penduduk dan beban ketergantungannya tinggi
d. Tingkat pengangguran dan setengah mengganggunya tinggi dan cenderung meningkat.
e. Ketergantungan terhadap produksi pertanian dan ekspor produk primer demikian
signifikan.
f. Dominan, tergantung, dan rentan dalam hubungan internasional
(http://perekonomian%20indo/Sejarah%20Perekonomian%20Indonesia%20%20%20Online
%20Buku.htm. Di akses pada tanggal 06-02-2017. Pada jam 14.04)

1. Ibukota : Jakarta
2. Luas Wilayah : 2.042.034 Km2
3. Jumlah Penduduk : 240.559.900 (tahun 2008)
4. Pertumbuhan penduduk per tahun : 1,49 persen (tahun 1990-2000)
5. GNI per capital : US$570 (data tahun 200)
6. GNP per capital (PPP) : US$2.840 (data tahun 200)
7. Pertumbuhan PDB : 6,3 % (tahun 2007)
8. Sumbangan sektor pertanian /GDP : 13,8 % (data tahun 2007)
9. Sumbangan Ekspor bagi GDP : 40,7 % (data 1999)
10. Indeks Pembangunan Manusia : 0.677 menengah (yahun 1999)
11. Utang Dalam Negeri : 65,0 triliun Rp(1,5 GDP, 2008)
12. Utang Luar Negeri : 29,1 triliun Rp(o,7 % GDP, 2008)
13. Subsidi (energy + non) :208 triliun Rp (49 % GDP, 2008)
14. Tingkat pengangguran terbuka : 9,1 % (tahun 2007)
15. % penduduk miskin (US1/hari) : 16,6 % (tahun 2007)
16. DSR (Debt Service Ratio) :19,2 % (tahun 2007)
17. Cadangan Devisa : 5,7 bulan impor dan pembayarn uutang
Luar Negeri
Djamin, Zulkarnain. 1993. Perekonomian indonesia edisi dua. Jakarta. lembaga penerbitan
fe-ui.

Dumairy.1996. Perekonomian indonesia. Jakarta. Erlangga.

Linblad, J. Thomas. 1999. Sejarah ekonomi modern indonesia. Yogyakarta : LP3ES

Arndt, Heinz W (penyunting), 1994: pmbangunan dan pemerataan indonesia dimasa orde
baru. Jakarta. LP3ES.

Sjarir, 1995. Analisis ekonomi indonesia. jakarta. gramedia pustaka.

http://perekonomian%20indo/Sejarah%20Perekonomian%20Indonesia%20%20%20Online%
20Buku.htm. Di akses pada tanggal 11-09-2013. Pada jam 09.30.

Você também pode gostar