Você está na página 1de 11

Nama : Hasna Mujahidah

NIM : 04011381320025
Kelompok Tutorial 4

LEARNING ISSUE
CHD (Congenital Heart Defects)
A. Definisi
Menurut Prof. Dr. Ganesja M. Harimurti, Sp.JP (K), FASCC, dokter spesialis jantung
dan pembuluh darah di Rumah Sakit Harapan Kita, mengatakan bahwa Penyakit Jantung
Bawaan (PJB) adalah penyakit yang dibawa oleh anak sejak ia dilahirkan akibat proses
pembentukan jantung yang kurang sempurna. Proses pembentukan jantung ini terjadi pada
awal pembuahan (konsepsi). Pada waktu jantung mengalami proses pertumbuhan di dalam
kandungan, ada kemungkinan mengalami gangguan. Gangguan pertumbuhan jantung pada
janin ini terjadi pada usia tiga bulan pertama kehamilan karena jantung terbentuk
sempurna pada saat janin berusia 4 bulan. (Dhania, 2009)
B. Etiologi dan Faktor Resiko
Penyebab PJB belum diketahui dengan pasti. Sebagian besar kasus dipengaruhi banyak
faktor, terutama kombinasi faktor genetik dan lingkungan. Beberapa kasus PJB terkait
dengan abnormalitas kromosom, terutama trisomi 21, 13, dan 18 serta sindrom Turner.
(Bernstein, 2007)
Faktor resiko PJB dapat berupa ibu yang tidak mengkonsumsi vitamin B secara teratur
selama kehamilan awal mempunyai 3 kali risiko bayi dengan PJB. Merokok secara
signifikan sebagai faktor risiko bagi PJB 37,5 kali. Faktor risiko lain secara statistik tidak
berhubungan (Harimurti,1996).
C. Jenis-Jenis Penyakit Jantung Bawaan
Penyakit Jantung Bawaan dapat dibagi menjadi 2 klasifikasi besar, yaitu PJB sianotik
dan asianotik. (Bernstein, 2007)
Penyakit Jantung Bawaan Asianotik
Penyakit Jantung Bawaan Asianotik adalah kelainan struktur dan fungsi jantung yang
dibawa lahir yang tidak ditandai dengan sianosis; misalnya lubang di sekat jantung
sehingga terjadi pirau dari kiri ke kanan, kelainan salah satu katup jantung dan
penyempitan alur keluar ventrikel atau pembuluh darah besar tanpa adanya lubang di sekat
jantung. Masing-masing mempunyai spektrum presentasi klinis yang bervariasi dari ringan
sampai berat tergantung pada jenis dan beratnya kelainan serta tahanan vaskuler paru
(Roebiono,2003).
Menurut Soeroso dan Sastrosoebroto (1994), berdasarkan ada tidaknya pirau, kelompok
asianotik terbagi atas 2 kelompok, yaitu kelompok dengan pirau dari kiri ke kanan dan
kelompok tanpa pirau.
Kelompok dengan pirau kiri ke kanan adalah sebagai berikut:
1. Defek Septum Ventrikel
Defek Septum Ventrikel (DSV) adalah lesi kongenital pada jantung berupa lubang pada
septum yang memisahkan ventrikel sehingga terdapat hubungan antara antar rongga
ventrikel (Ramaswamy, et al. 2009). Defek ini dapat terletak dimanapun pada sekat
ventrikel, baik tunggal atau banyak, serta ukuran dan bentuk dapat bervariasi (Fyler,
1996).
Insidensi DSV terisolasi adalah sekitar 2 – 6 kasus per 1000 kelahiran hidup dan terjadi
lebih dari 20% dari seluruh kejadian PJB. Defek ini lebih sering terjadi pada wanita
daripada pria (Ramaswamy, et al. 2009).
Klasifikasi DSV dibagi berdasarkan letak defek yang terjadi, yaitu:
• Perimembranasea, merupakan lesi yang terletak tepat di bawah katup aorta. Defek
Septum Ventrikel tipe ini terjadi sekitar 80% dari seluruh kasus DSV (Rao, 2005).
• Muskular, merupakan jenis DSV dengan lesi yang terletak di otot-otot septum dan
terjadi sekitar 5 – 20% dari seluruh angka kejadian DSV (Ramaswamy, et al. 2009).
• Suprakristal, jenis lesi DSV ini terletak di bawah katup pulmonalis dan berhubungan
dengan jalur jalan keluar ventrikel kanan. Persentase kejadian jenis DSV jenis ini adalah 5
– 7% di negara-negara barat dan 25% di kawasan timur (Rao, 2005).
Gejala klinis DSV cukup bervariasi, mulai dari asimtomatis, gagal jantung berat,
ataupun gagal tumbuh. Semua ini sangat bergantung kepada besarnya defek serta derajat
piraunya sendiri, sedangkan lokasi defek sendiri tidak mempengaruhi derajat ringannya
manifestasi klinis yang akan terjadi (Soeroso and Sastrosoebroto,1994). Pada DSV kecil
dengan pirau kiri-ke-kanan dan tekanan arteri pulmonalis yang normal, pasien biasanya
tidak menunjukkan gejala dan kelainan ditemukan ketika pemeriksaan fisik. Pada defek
berukuran besar dengan peningkatan aliran darah paru dan hipertensi pulmonalis, pasien
dapat mengalami dispnea, kesulitan makan, gangguan pertumbuhan, infeksi paru berulang,
dan gagal jantung pada awal masa bayi (Bernstein, 2007).
2. Defek Septum Atrium
Defek Septum Atrium (DSA) adalah anomali jantung kongenital yang ditandai dengan
defek pada septum atrium akibat gagal fusi antara ostium sekundum, ostium primum, dan
bantalan endokardial. Defek Septum Atrium dapat terjadi di bagian manapun dari septum
atrium, tergantung dari struktur septum atrium yang gagal berkembang secara normal
(Bernstein, 2007).
Insidensi DSA adalah 1 per 1000 kelahiran hidup dan terhitung 7% dari seluruh
kejadian PJB. Prevalensi DSA pada wanita lebih tinggi daripada pria dengan perbandingan
2:1. (Carr and King, 2008).
Klasifikasi DSA dibagi menurut letak defek pada septum atrium, yaitu:
• Ostium Primum, merupakan hasil dari kegagalan fusi ostium primum dengan bantalan
endokardial dan meninggalkan defek di dasar septum. Kejadian DSA Ostium Primum
pada wanita sama dengan pria dan terhitung sekitar 20% dari seluruh kasus PJB
(Bernstein, 2007).
• Ostium Sekundum, merupakan tipe lesi DSA terbanyak (70%) dan jumlah kasus pada
wanita 2 kali lebih banyak daripada pria (Vick and Bezold, 2008).
• Sinus Venosus, merupakan salah satu jenis DSA yang ditandai dengan malposisi
masuknya vena kava superior atau inferior ke atrium kanan. Insidensi defek ini
diperkirakan 10% dari seluruh kasus DSA (Vick and Bezold, 2008).
Defek yang terjadi dapat berbagai jenis, mulai dari yang berukuran kecil sampai sangat
besar dan menyebabkan pirau dari atrium kiri ke atrium kanan dengan beban volume lebih
banyak di atrium dan ventrikel kanan. Gejala pada anak dan neonatus umumnya
asimtomatis, namun bila pirau cukup besar maka pasien dapat mengalami sesak nafas dan
sering mengalami infeksi paru. Gagal jantung sangat jarang ditemukan (Soeroso and
Sastrosoebroto, 1994). Pada anak dengan pirau kiri-ke-kanan berukuran besar biasanya
mengeluhkan cepat lelah dan dispnea. Gagal tumbuh jarang didapati (Emmanouilides, et
al. 1998).
3. Defek Septum Atrioventrikularis
Defek Septum Atrioventrikularis (DSAV) ditandai dengan penyatuan DSA dan DSV
disertai abnormalitas katup atrioventrikular (Bernstein, 2007).
Defek Septum Atrioventrikularis terhitung 4 – 5% dari seluruh kasus PJB. Predileksi
defek ini antara pria dan wanita sama banyaknya (Emmanouilides, et al. 1998).
Gejala dapat timbul pada minggu pertama dan gagal jantung pada bulan-bulan pertama
kelahiran (Soeroso dan Sastrosoebroto, 1994). Riwayat intoleransi olahraga, cepat lelah,
dan Pneumonia berulang dapat ditemukan, terutama pada bayi dengan pirau kiri-ke-kanan
dan mitral insufisiensi mitral yang berat (Bernstein, 2007).
4. Duktus Arteriosus Persisten
Seperti namanya, Duktus Arteriosus Persisten (DAP) disebabkan oleh duktus arteriosus
yang tetap terbuka setelah bayi lahir (Soeroso and Sastrosoebroto, 1994). Jika duktus tetap
terbuka setelah penurunan resistensi vaskular paru, maka darah aorta dapat bercampur ke
darah arteri pulmonalis. (Bernstein, 2007)
Kelainan ini merupakan 7% dari seluruh PJB dan sering dijumpai pada bayi prematur
(Soeroso and Sastrosoebroto, 1994).
Gejala klinis yang muncul tergantung ukuran duktus. Duktus berukuran kecil tidak
menyebabkan gejala dan biasanya diketahui jika terdapat suara murmur saat dilakukan
pemeriksaan fisik. Pada pasien dengan DAP berukuran besar, pasien akan mengalami
gejala gagal jantung. Gangguan pertumbuhan fisik dapat menjadi gejala utama pada bayi
yang menderita DAP besar (Bernstein, 2007).
Kelompok tanpa pirau meliputi:
1. Stenosis Pulmonalis (SP)
Obstruksi aliran keluar ventrikel kanan, baik dalam tubuh ventrikel kanan, pada katup
pulmonalis, atau dalam arteri pulmonalis, diuraikan sebagai Stenosis Pulmonalis (SP).
Stenosis Pulmonalis terjadi sekitar 7.1 – 8.1 per 100.000 kelahiran hidup. Defek ini
cenderung terjadi pada wanita (Fyler, 1996).
Gejala klinis umumnya asimtomatis meskipun stenosis cukup besar. Anak bisa saja
tampak sehat, tumbuh kembang normal dengan wajah moon face, dapat berolahraga
seperti normal, dan tidak terdapat infeksi saluran nafas yang berulang (Soeroso and
Sastrosoebroto, 1994). Walaupun demikian, pasien yang awalnya tidak menunjukkan
gejala dalam perkembangan penyakitnya dapat timbul gejala yang bervariasi dari dispnea
ringan saat olahraga sampai gejala gagal jantung, tergantung keparahan obstruksi dan
tingkat kompensasi myokardium. Obstruksi sedang-berat dapat menyebabkan peningkatan
aliran darah paru selama berolahraga sehingga terjadi kelelahan yang diinduksi olahraga,
sinkop, atau nyeri dada (Keane and St. John Sutton, 2008).
2. Stenosis Aorta
Stenosis Aorta (SA) merupakan penyempitan aorta yang dapat terjadi pada tingkat
subvalvular, valvular, atau supravalvular. Kelainan mungkin tidak terdiagnosis pada masa
anak-anak karena katup berfungsi normal, hanya saja akan ditemukan bising sistolik yang
lunak di daerah aorta dan baru diketahui pada masa dewasa sehingga terkadang sulit
dibedakan apakah stenosis aorta tersebut merupakan penyakit jantung bawaan atau didapat
(Soeroso and Sastrosoebroto, 1994).
Insidensi SA pada anak mendekati 5% dari seluruh kejadian PJB (Bernstein, 2007).
Defek ini lebih sering terjadi pada pria (Emmanouilides, et al. 1998).
Gejala klinis asimtomatis, namun pada gejala yang cukup berat dapat ditemukan nyeri
substernal, sesak nafas, pusing, atau sinkop pada saat bekerja atau olahraga (Soeroso and
Sastrosoebroto, 1994). Bayi dengan SA terisolasi dapat disertai denga gagal jantung
kronik pada beberapa bulan awal kehidupan dan menunjukkan tanda dan gejala klasik
gagal jantung, berupa dispnea, kesulitan makan, dan berat badan tidak bertambah
(Emmanouilides, et al. 1998).
3. Koarktasio Aorta
Koarktasio Aorta (KoA) adalah suatu obstruksi pada aorta desendens yang terletak
hampir selalu pada insersinya duktus arteriosus. (Fyler, 1996)
Prevalensi KoA di Amerika Serikat adalah sebesar 6 – 8% dari seluruh kasus PJB dan
prevalensinya di Asia (<2%) lebih rendah daripada di Eropa dan negara Amerika Utara.
Rasio kejadian defek ini pada pria dan wanita adalah 2:1 (Rao and Seib, 2009).
Gejala yang tampak pada masa neonatus umumnya merupakan jenis koarktasio yang
berat. Gejala dapat hilang timbul mendadak. Tanda klasik KoA adalah nadi brakhialis
yang teraba normal atau meningkat, nadi femoralis serta dorsalis pedis teraba kecil atau
tidak teraba sama sekali dan harus ditekankan pemeriksaan tekanan darah pada keempat
ekstremitas (Soeroso and Sastrosoebroto, 1994). Pasien dapat menunjukkan gejala di
beberapa minggu awal kehidupan berupa kesulitan makan, takipnea, dan letargia. Gejala
dapat memburuk menjadi gagal jantung dan syok (Rao and Seib, 2009).
Penyakit Jantung Bawaan Sianotik
Sesuai dengan namanya, manifestasi klinis yang selalu terdapat pada penyakit jantung
sianotik adalah sianosis. Sianosis adalah kebiruan pada mukosa yang disebabkan oleh
terdapatnya lebih dari 5 gr/dl hemoglobin tereduksi dalam sirkulasi.
Dibandingkan dengan pasien PJB non sianotik, jumlah pasien PJB sianotik lebih
sedikit. Walaupun jumlahnya lebih sedikit, PJB sianotik menyebabkan morbiditas dan
mortalitas yang lebih tinggi daripada PJB non sianotik. (Prasodo, 1994)
1. Tetralogi Fallot
Tetralogi Fallot (TF) merupakan kombinasi 4 komponen, yaitu Defek Septum Ventrikel
(DSV), over-riding aorta, Stenosis Pulmonal (SP), serta hipertrofi ventrikel kanan.
Komponen paling penting untuk menentukan derajat beratnya penyakit adalah SP yang
bersifat progresif (Prasodo, 1994).
Tetralogi Fallot merupakan PJB jenis sianotik dengan angka kejadian terbanyak dengan
insidensi 1 – 3 kasus per 1000 kelahiran hidup (Ramaswamy and Pflieger, 2008).
Manifestasi klinis TF mencerminkan derajat hipoksia. Pada waktu baru lahir biasanya
bayi belum sianotik; bayi tampak biru setelah tumbuh. Jari tabuh pada sebagian besar
pasien sudah mulai tampak setelah berumur 6 bulan. Salah satu manifestasi yang penting
pada TF dalah terjadinya seranga sianotik (cyanotic spells, hypoxic spells, paroxysmal
hyperpnea) yang ditandai oleh timbulnya sesak nafas mendadak, nafas cepat dan dalam,
sianosis bertambah, lemas, bahkan dapat pula disertai kejang atau sinkop (Prasodo, 1994).
Pertumbuhan dan perkembangan dapat terhambat pada pasien TF yang berat dan tidak
terobat, terutama jika saturasi oksigen kurang dari 70%. (Bernstein, 2007)
2. Transposisi Arteri Besar
Transposisi Arteri Besar (TAB) ditandai dengan aorta yang secara morfologi muncul
dari ventrikel kanan dan arteri pulmonalis muncul dari ventrikel kiri. Pada 60% pasien,
aorta berada di bagian anterior kanan dari arteri pulmonalis walaupun di beberapa kasus
aorta dapat berada di bagian anterior kiri dari arteri pulmonalis.
Insidensi TAB yang tercatat adalah 20 – 30 per 10.000 kelahiran hidup. Defek ini lebih
dominan terjadi pada pria dengan persentase 60 – 70% dari seluruh kasus. (Charpie and
Maher, 2009).
Gejala klinis dapat berupa sianosis, penurunan toleransi olahraga, dan gangguan
pertumbuhan fisik, mirip dengan gejala pada TF; walaupun begitu, jantung tampak
membesar (Bernstein, 2007). Sianosis biasanya terjadi segera setelah lahir dan dapat
memburuk secara progresif. Gejala gagal jantung kongestif mulai tampak dalam 2 – 6
minggu (Emmanouilides, et al. 1998).
3. Atresia Pulmoner dengan Septum Ventrikel Utuh
Pada Atresia Pulmoner dengan Septum Ventrikel Utuh (APSVU), daun katup
pulmonalis berfusi secara lengkap sehingga membentuk membran dan tidak terdapat jalan
keluar (outflow) ventrikel kanan. Tidak terdapat aliran darah di ventrikel kanan karena
tidak adanya hubungan antarventrikel (Bernstein, 2007).
Defek ini terjadi 7.1 – 8.1 per 100.000 kelahiran hidup dengan persentase 0.7 – 3.1%
dari seluruh kasus PJB di Amerika Serikat. (Charpie , 2009)
Sianosis telah jelas tampak dalam hari-hari pertama pascalahir. Bayi sesak dengan
gejala gagal jantung. Pada pemeriksaan fisik, tidak terdengar bising, atau terdengar bising
pansistolik insufisiensi trikuspid, atau terdengar bising duktus arteriosus (Prasodo, 1994).
4. Ventrikel Kanan dengan Jalan Keluar Ganda
Ventrikel Kanan dengan Jalan Keluar Ganda (VKAJKG), yang dalam kepustakaan
barat disebut Double Outlet Right Ventricle (DORV), adalah kelainan jantung yang
ditandai dengan malposisi arteri-arteri besar, septum outlet, atau keduanya, yang
menyebabkan kedua arteri besar muncul dari ventrikel kanan (Hoffman, 2009).
Defek ini terjadi 1 – 1.5% dari seluruh kejadian PJB (Prasodo, 1994).
Presentasi klinis VKAJKG sangat bervariasi, bergantung kepada kelainan
hemodinamiknya; defek ini dapat mirip DSV, TAB, atau TF. Oleh karena itu, diagnosis
tidak mungkin ditegakkan atas dasar gambaran klinis saja (Prasodo, 1994). Jika defek ini
disertai dengan SP, terjadi penurunan aliran darah paru sehingga terjadi sianosis yang
cukup berat seperti gejala TF. Pasien VKAJKG tanpa SP memiliki gejala yang sama
dengan DSV, yaitu peningkatan aliran darah paru sehingga terjadi takipnea dan
kardiomegali (Emmanouilides, et al. 1998).
5. Atresia Trikuspid
Istilah Atresia Trikuspid (AT) menggambarkan agenesis katup trikuspid kongenital dan
merupakan jenis PJB sianotik terbanyak setelah TF dan TAB (Rao, 2009). Pada defek ini,
tidak terdapat aliran dari atrium kanan menuju ventrikel kanan sehingga seluruh aliran
balik vena sistemik masuk ke bagian kiri jantung melalui foramen ovale atau jika terdapat
defek pada septum atrium (Bernstein, 2007).
Insidensi AT diperkirakan 1 per 10.000 kelahiran hidup dengan estimasi prevalensi AT
dari seluruh kasus PJB adalah 2.9% dari autopsi dan 1.4% dari penegakkan diagnosis
setelah dilakukan pemeriksaan berulang. (Rao, 2009).
Sianosis biasanya muncul segera setelah lahir, dengan penyebaran yang dipengaruhi
oleh tingkat keterbatasan aliran darah pulmonal (Bernstein, 2007). Apabila aliran darah
paru berkurang maka pasien akan tampak sianotik; semakin sedikit darah ke paru maka
semakin jelas sianosis yang terjadi (Prasodo, 1994).
D. Penatalaksanaan
Dewasa ini telah terjadi peningkatan dan kemajuan teknologi, baik dalam diagnosis,
teknik pembedahan, serta perbaikan perawatan yang menyebabkan terjadi peningkatan
harapan hidup pada pasien dengan PJB pascabedah jika dibandingkan tidak dilakukan
pembedahan sehingga tidak jarang teknik pembedahan sering dilakukan sebagai suaru
penatalaksanaan pada pasien PJB. Pada pasien-pasien PJB, dapat terjadi berbagai kelainan,
baik pada otot jantung, paru, atau keduanya, yang apabila tidak dikoreksi kelainan yang
terjadi dapat bersifat ireversibel. Oleh karena itu, sebaiknya pasien PJB diperiksa secara
menyeluruh dan dilakukan penatalaksanaan berupa pembedahan atau operasi pascabedah
pada saat yang tepat.
Terdapat 2 unsur utama yang diharapkan dalam tindakan pembedahan pada kasus PJB,
yaitu tindakan bedah dengan risiko mortalitas yang rendah serta peningkatan harapan
hidup layaknya orang normal lainnya.
Bedah jantung merupakan bagian integral dalam pelayanan kardiologi anak. Kemajuan
bedah jantung berlangsung sangat pesat dalam 2 dasawarsa terakhir. Perkembangan teknologi
dalam mendeteksi kelainan jantung pada bayi baru lahir memudahkan dalam aspek
pembedahan jantung itu sendiri. Kemajuan teknologi dalam mendeteksi adanya kelainan
jantung pada anak telah bergeser hingga ke arah neonatus (Rahmad and Rachmat, 1994).

Sumber:
Windarini, Pelangi. 2011. Penyakit Jantung Bawaan. Diakses di
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21472 tanggal 3 Februari 2015
ANALISIS MASALAH
1. Bagaimana penyebab dan mekanisme dari :
a. infeksi saluran nafas
Jawab:
Penyebab:
Infeksi saluran napas berdasarkan wilayah infeksinya terbagi menjadi infeksi saluran
napas atas dan infeksi saluran napas bawah. Infeksi saluran napas atas meliputi rhinitis,
sinusitis, faringitis, laringitis, epiglotitis, tonsilitis, otitis. Sedangkan infeksi saluran napas
bawah meliputi infeksi pada bronkhus, alveoli seperti bronkhitis, bronkhiolitis,
pneumonia. Infeksi saluran napas atas bila tidak diatasi dengan baik dapat berkembang
menyebabkan infeksi saluran nafas bawah. Infeksi saluran nafas atas yang paling banyak
terjadi serta perlunya penanganan dengan baik karena dampak komplikasinya yang
membahayakan adalah otitis, sinusitis, dan faringitis.
Pada ASD, yang sering terjadi adalah infeksi saluran nafas atas. Berikut adalah etiologi
nya:
Infeksi saluran pernafasan dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus. Kebanyakan
infeksi saluran nafas disebabkan oleh virus, virus yang paling banyak menyerang adalah
virus Rhino. Sekitar 15% dari faringitis akut disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang paling
banyak menyerang adalah Streptococcus, sehingga dikenal sebagai "Strep Throat". Pada
kondisi tertentu jamur pun dapat menyebabkan infeksi saluran nafas.
Mekanisme:
Infeksi saluran nafas terjadi dapat karena masuknya virus kedalam saluran pernafasan atas,
kemudia virus bereplika (membelah) pada sel epitel kolumner bersilia (hidung, sinus,
faring) menyebabkan radang pada tempat tersebut. Peradangan itu merangsang pelepasan
mediator histamin dalam sekresi hidung sehingga permeabilitas vaskuler naik dan
akibatnya terjadi edema pada mukosa dan hidung menjadi tersumbat akibat akumulasi
mukus, dari kejadian itu menimbulkan masalah inefektif bersihan jalan nafas.
Perubahan yang terjadi adalah edema pada mukosa, infiltrat sel mononuler yang
menyertai, kemudian fungsional silia mengakibatkan pembersihan mukus terganggu. Pada
infeksi berat sampai sedang epitel mengelupas, ada produksi mukus yang banyak sekali,
mula-mula encer, kemudian mengental dan biasanya purulen. Dapat juga ada keterlibatan
anatomis saluran nafas atas, masuk oklusi dan kelainan rongga sinus.
b. nafas pendek setelah aktivitas
Jawab:
Nafas pendek setelah beraktifitas hal itu disebabkan adanya defek pada septum atrium
membuat adanya shunt dari atrium kiri ke atrium kanan sehingga membuat volume over
load pada jantung kanan yang akhirnya berujung pada overflow pada paru hal ini yang
menyebabkan terdapatnya transudat di dalam paru yang mengakibatkan sesak atau short of
breath. Pada dasarnya sesak juga sudah terasa walau tanpa ada kegiatan, tapi karena sesak
ini suatu gejala yang bisa dibilang subjektif(tergantung masing-masing orang) maka saat
tidak ada kegiatan terasa seperti biasa-biasa saja, saat si anak mulai beraktivitas, sesak ini
mulai terlihat pada anak.

2. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal :


a. precordial bulging dan hyperactive precordium
Jawab:
precordial bulging dan hiperactive precordium, diperiksa dengan cara inspeksi dan palpasi.
Terjadi karena pericardium berusaha keras mengaluarkan darah residu pada ventrikel
kanan. Terlihat pada permukaan tubuh penonjolan, dan terasa getaran saat di palpasi.
mekanisme abnormal
Precordial bulging (hipertrofi ventrike kanan)
Pada pemeriksaan fisik, dalam kasus ini akan terlihat bahwa dada pasien menjadi cembung
pada bagian ventrikel kanan.
ASD besar > overload pada bagian kanan jantung > kompensasi jantung > precordial
bulging
hyperactive precordium
ASD besar > overload pada bagian kanan jantung > jantung berusaha mengurangi
oveloadnya > jantung berkontraksi lebih cepat > hyperactive precordial.

3. Patofisiologi ?
Jawab:
Darah artenal dari atrium kiri dapat masuk ke atrium kanan melalui defek sekat ini. Aliran
ini tidak deras karena perbedaan tekanan pada atrium kiri dan kanan tidak begitu besar
(tekanan pada atrium kiri 6 mmHg sedang pada atrium kanan 5 mmHg).
Adanya aliran darah menyebabkan penambahan beban pada ventrikel kanan, arteri
pulmonalis, kapiler paru-paru dan atrium kiri. Bila shunt besar, maka volume darahyang
melalui arteri pulmonalis dapat 3-5 kali dari darah yang melalui aorta.
Dengan bertambahnya volume aliran darah pada ventrikel kanan dan arteri pulmonalis.
Maka tekanan pada alat–alat tersebut naik., dengan adanya kenaikan tekanan, maka
tahanan katup arteri pulmonalis naik, sehingga adanya perbedaan tekanan sekitar 15 -25
mmHg. Akibat adanya perbedaan tekanan ini, timbul suatu bising sistolik ( jadi bising
sistolik pada ASD merupakan bising dari stenosis relative katup pulmonal ).
Juga pad valvula trikuspidalis ada perbedaan tekanan, sehingga disini juga terjadistenosis
relative katup trikuspidalis sehingga terdengar bising diastolic.
Karena adanya penambahan beban yang terus menerus pada arteri pulmonalis, maka lama
kelamaan akan terjadi kenaikan tahanan pada arteri pulmunalis dan akibatnya akan terjadi
kenaikan tekanan ventrikel kanan yang permanen. Tapi kejadian ini pada ASD terjadinya
sangat lambat ASD I sebagian sama dengan ASD II. Hanya bila ada defek pada katup
mitral atau katup trikuspidal, sehingga darah dari ventrikel kiri atau ventrikel kanan
mengalir kembali ke atrium kiri dan atrium kanan pada waktu systole. Keadaan ini tidak
pernah terjadi pada ASD II

4. Gejala klinis ?
Jawab:
Sebagian besar penderita ASD tidak menampakkan gejala (asimptomatik) pada masa
kecilnya, kecuali pada ASD besar yang dapat menyebabkan kondisi gagal jantung di tahun
pertama kehidupan pada sekitar 5% penderita. Kejadian gagal jantung meningkat pada
dekade ke-4 dan ke-5, dengan disertai adanya gangguan aktivitas listrik jantung (aritmia).
Gejala yang muncul pada masa bayi dan kanak-kanak adalah adanya infeksi saluran nafas
bagian bawah berulang, yang ditandai dengan keluhan batuk dan panas hilang timbul
(tanpa pilek). Selain itu gejala gagal jantung (pada ASD besar) dapat berupa sesak napas,
kesulitan menyusu, gagal tumbuh kembang pada bayi atau cepat capai saat aktivitas fisik
pada anak yang lebih besar. Selanjutnya dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang seperti elektro-kardiografi (EKG), rontgent dada dan echo-cardiografi,
diagnosis ASD dapat ditegakkan.
Gejalanya bisa berupa:
1. Sering mengalami infeksi saluran pernafasan
2. Dispneu (kesulitan dalam bernafas)
3. Sesak nafas ketika melakukan aktivitas
4. jantung berdebar-debar (palpitasi)
5. Pada kelainan yang sifatnya ringan sampai sedang, mungkin sama sekali tidak
ditemukan gejala atau gejalanya baru timbul pada usia pertengahan
6. Aritmia

Você também pode gostar