Você está na página 1de 5

Pada sekitar 1989 – 1990, terjadi gangguan keamanan yang cukup signifikan di Aceh khususnya

di Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Gangguan keamanan tersebut diduga dilakukan oleh
gerakan separatis yaitu anggota-anggota Aceh Merdeka. Ketika GPK tidak lagi bisa teratasi (1976-
1989) maka Pemerintah RI memutuskan untuk menetapkan daerah Aceh sebagai Daerah Operasi
Militer (DOM) tepatnya pada 1989. Sejak saat itu operasi militer dilakukan dengan sandi operasi
“Jaring Merah” digelar di Aceh dengan Komando Resort Militer 011/Liliwangsa dijadikan sebagai
Komando Operasi Pelaksana. Daerah Operasi terbagi dalam 3 sektor yaitu sektor A/Pidie, sektor
B/Aceh Utara dan sektor C/Aceh Timur. Di lingkungan daerah operasi dibentuk pula Satuan Tugas
Intelegen (Satgasus), Satgas Marinir untuk mengamankan daerah pantai, dan Satuan Taktis pada
lokasi-lokasi strategis guna mengisolasi posisi satuan Gerakan Pengacau Kemananan – Aceh
Merdeka (GPK– AM). Di Kabupaten Pidie, Pos Sattis tersebar di hampir seluruh kecamatan antara
lain Billie Aron, Jiem-Jiem, Tangse, Kota Bakti, Pintu Satu Tiro, Ulee Gle, Trienggading, Padang
Tiji, Lamlo, Pulo Kawa, Meunasah Beuracan. Penempatan sejumlah pos militer di sejumlah
Kecamatan itu berdasarkan pada pertimbangan tingkat ganguan keamanan, dan analisis strategi
militer. Letak Pos Sattis sengaja dipilih pada tempat-tempatyang strategis dengan menempati
Rumoh Geudong (rumah adat Aceh) sehingga memungkinkan aparat militer dengan mudahnya
mengawasi aktivitas dan mobilitas warga desa sehingga kehidupan dan kebebasan bergerak
masyarakat dapat dikontrol dan dibatasi secara ketat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
Pos Sattis adalah andalan Operasi militer di tingkat mikro. Ia adalah tolak ukur untuk menentukan
sukses atau tidaknya sebuah Operasi Militer di Aceh. Di tiap-tiap Pos Sattis ditempatkan sekitar 6
– 10 personil militer yang sebagian besar berasal dari Aparat dengan dibantu oleh beberapa orang
Tenaga Pembantu Operasi (TPO) militer atau cuak yang berasal dari masyarakat sipil. Setelah
DOM dicabut pada tanggal 7 Agustus 1998 baru diketahui bahwa aparat ternyata telah
mempergunakan Rumah Geudong tidak hanya sebagai Pos Sattis melainkan juga sebagai tempat
untuk melakukan tindakan di luar batas kemanusiaan seperti penyekapan, interogasi, penyiksaan,
pembunuhan/eksekusi sewenang- wenang dan pemerkosaan terhadap rakyat aceh yang dianggap
sebagai tersangka atau tertuduh Gerakan Pengacau Keamanan - Aceh Merdeka (GPK-AM).
Tindakan di luar batas kemanusiaan dialami oleh warga sipil dan tidak hanya laki-laki namun juga
perempuan dan anak-anak. Diperkirakan jumlahnya mencapai ribuan orang yang ditangkap
dengan sewenang-wenang tanpa prosedur hukum dan diantara mereka ada yang telah dibunuh
dalam eksekusi di depan umum, dan sejumlah perempuan mengalami tindak kekerasan dan/atau
pelecehan seksual oleh aparat militer. Banyak juga diantara mereka yang pada akhirnya kehilangan
tempat tinggal (mengungsi) karena rumahnya di bakar. Jadi, bisa diperkirakan berapa banyak
masyarakat Aceh yang menjadi korban penyiksaan atau pun ekskusi di tempat ini jika kembali
dihitung mulai 1990 sampai 1998. Pada umumnya korban yang berhasil selamat/dibebaskan
mengalami luka berat baik secara fisik maupun psikologis akibat adanya penyiksaan yang
dilakukan oleh aparat selama berada di Rumoh Geudong. Tindak penyiksaan yang dilakukan
aparat terhadap para korban umumnya dilakukan untuk memperoleh keterangan atau pengakuan
terkait keterlibatan yang bersangkutan atau keluarganya atau suaminya dalam GPK-AM.
Penyiksaan dilakukan dengan cara-cara pemukulan dengan menggunakan kayu/senjata, disetrum,
ditelanjangi dll. Ternyata penyiksaan yang dilakukan oleh aparat tidak hanya mengakibatkan luka
berat namun juga menimbulkan kematian seperti yang dialami oleh John dan Mustakhir. Para
korban penyiksaan yang meninggal dunia hingga saat ini tidak diketahui makamnya ada di mana.
Selain melakukan kekerasan berupa penyiksaan, Aparat juga melakukan tindakan kekerasan
seksual dan/atau pelecehan seksual lainnya seperti pemerkosaan dan juga pemaksaan melakukan
hubungan seksual dengan sesama tahanan di depan khalayak umur. Indikasi adanya dugaan
penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, pembunuhan dan
kekerasan/pelecehan seksual oleh Aparat di Pos Sattis juga diperkuat oleh keterangan dan/atau
pengakuan saksi korban. Beberapa pihak seperti Komnas HAM (dipimpin oleh Baharuddin Lopa
pada Agustus 1998, yaitu sesaat setelah DOM dicabut), DPR RI, dan juga Pemda Pidie telah
melakukan investigasi atas peristiwa rumoh geudong. Pemda Pidie bahkan membentuk Tim
Pencari Fakta (TPF) dan menemukan data bahwa: 1. Di Kabupaten Pidie terjadi 3.504 kasus
korban operasi militer Jaring Merah. 2. Dari sejumlah tersebut tercatat jumlah orang hilang
sebanyak 168 kasus, meningal 378 kasus, perkosaan 14 kasus, cacat berat 193 kasus, cacat sedang
210 kasus, cacat ringan 359 kasus, janda 1.298 kasus, stress/trauma 178 kasus, rumah dibakar 223
kasus dan rumah dirusak 47 kasus. Sementara itu nilai harta benda masyarakat yang dirampas oleh
oknum aparat keamanan diperkirakan mencapai Rp. 4,2 Miliar lebih. Peristiwa Pembunuhan
Massal Simpang KKA di Aceh Utara Peristiwa Simpang KKA terjadi pada 3 Mei 1999 di
Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. Peristiwa ini diawali dengan isu bahwa pada 30
April 1999 ada anggota TNI Datasemen Rudal 001/Lilawangsa hilang, diduga bernama
Edityawarman ketika tengah menyusup ke acara ceramah agama pada peringatan 1 Muharram
yang diselenggarakan warga Cot Murong, Aceh Utara. Hilangnya anggota tersebut disikapi
anggota pasukan militer dari Detasemen Rudal dengan melakukan penyisiran ke rumah-rumah
warga dan ke tempat aktivitas warga pada 02 Mei 1999. Pada saat itu, warga juga sedang
melaksanakan kenduri untuk peringatan 1 Muharram. Saat pencarian, aparat melakukan kekerasan
yang mengakibatkan sekitar 20 (dua puluh) orang warga mengalami kekerasan; dipukul,ditendang
dan diancam, bahkan 3 (tiga) warga yang ditangkap oleh Yonif 113/Jaya Sakti karena dituduh
terlibat dengan hilangnya Edityawarman. Pasukan TNI masuk ke dusun Tepin mengambil
masyarakat dusun tersebut. Pada 3 Mei 1999, warga tidak terima dengan tindakan aparat akhirnya
menggelar aksi protes di kantor Koramil. Warga meminta Koramil untuk membebaskan warga
yang ditangkap oleh aparat. Tanpa dikomando setelah mendengar ada orang ditangkap, maka
semua ibu-ibu keluar ke jalan-jalan sehingga kerumunan massa semakin banyak di jalan-jalan
Lancang Barat dan sekitarnya. Pada saat itu ada warga yang menaruh drum minyak tanah dipinggir
jalan. Tiba-tiba masuk TNI dari Yonif 113/Jaya Sakti. Truk Reo (Ransom E. Olds Motor Car
Company) mereka menabrak drum yang ditaruh dijalan oleh massa, sehingga suasana semakin
memanas. Massa semakin marah dan menuju simpang KKA dari berbagai arah. Sehingga di
simpang KKA semakin dipenuhi oleh massa. Pada 03 Mei 1999, tepat pukul 09.00 WIB, empat
truk pasukan TNI memasuki desa Lancang Barat, Kec. Dewantara. Ditempat tersebut kemudian
datang aparat Yonif 113/Jaya Sakti yang bersenjata lengkap dan berbaris di sisi kanan jalan. Pukul
12.30, salah satu aparat yang sebelumnya dikepung warga melarikan diri ke arah belakang reo
sambil membawa HT dan menembak keudara sebanyak dua kali. Ketika warga mencoba mengejar
aparat tersebut, tiba-tiba dari arah sebelah kiri (Markas Detasemen Rudal 001/Lilawangsa) datang
reo berisikan puluhan aparat bersenjata menembak ke arah masyarakat. Sebagian dari mereka
turun dari truk dan berjalan ke arah kerumunan massa sambil menembak secara acak dan sebagian
masih tetap menembak dari atas truk. Korban-korban yang terkena tembakan berdasarkan data
yang ada, sekurang-kurangnya terdapat sebanyak 21 orang yang meninggal dunia sebagai akibat
dari peristiwa tersebut. Peristiwa Pembunuhan Bumi Flora Aceh Timur PT. Bumi Flora adalah
perusahaan perkebunan di Dusun Pelita, Desa Alur Rambut, Kecamatan Banda Alam (sebelumnya
Kecamatan Idi Rayeuk), Kabupaten Aceh Timur. Kamis, 9 Agustus 2001 adalah hari libur bagi
karyawan PT. Bumi Flora. Namun sekitar pukul 07.30 Wib, datanglah sekelompok orang yang
tidak dikenal dan memakai pakaian loreng serta membawa senjata api masuk ke lokasi
perkebunan. Kemudian kelompok ini mendatangi rumah-rumah para karyawan dan
memerintahkan pada setiap warga laki-laki untuk ber kumpul. Setelah itu para laki-laki dibariskan
dalam beberapa barisan dan masing-masing diminta membuka baju serta berjongkok dengan
tangan di atas paha. Setelah itu salah seorang dari kelompok tersebut bertanya kepada Mandor
Kepala Afdeling IV yang bernama Samsul mengenai berapa jumlah Kepala Keluarga yang ada di
AfdelingIV dan kemudian dijawab oleh bahwa di AfdelingIV ada 42 KK. Tanpa mengajukan
pertanyaan lebih lanjut, orang tersebut menembak Samsul. Tidak lama kemudian terdengar
rentetan tembakan yang mengarah kepada barisan warga laki-laki. Pada saat itu juga terjadi
penembakan lainnya terhadap warga laki-laki yang masih berada di luar barisan/sekitar lokasi
kejadian. Para perempuan yang sebelumnya diperintahkan masuk ke dalam rumah, kemudian
dikumpulkan di dekat para korban yang tergeletak. Sepeninggal rombongan berseragam loreng
tersebut, warga perempuan Afdeling IV PT.Bumi Flora mencari suami mereka masing-masing
yang sebagian besar sudah menjadi mayat. Saksi sempat menghitung dan membolak-balik mayat
dan menemukan bahwa ternyata di antara para korban ada yang masih hidup sebanyak 7 (tujuh)
orang dan 2 (dua) orang lainnya tidak dikenal oleh saksi. Bantuan baru datang ke lokasi kejadian
6 jam setelah kejadian, yaitu sekitar 14.00 Wib, dan langsung mengevakuasi para korban dengan
menggunakan 2 (dua) unit mobil ambulance ditambah dengan mobil PT.Bumi Flora sejenis truk
yang biasanya digunakan untuk mengangkat kelapa sawit. Pada peristiwa tersebut telah
menyebabkan korban jiwa sebanyak 31 (tiga puluh satu) orang, korban hilang sebanyak 1 (satu)
orang, dan korban luka sebanyak 5 (lima) orang, serta 2 (dua) orang selamat tanpa menderita luka-
luka. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa dan Kuburan Massal di Kecamatan Timang
Gajah Kabupaten Bener Meriah. Pada akhir tahun 2001, tepatnya antara bulan Agustus sampai
dengan Desember terjadi penghilangan orang secara paksa di Kecamatan Timang Gajah (sekarang
Timang Gajah dan Gajah Putih). Beberapa orang warga hilang dari desanya, yaitu Desa Reronga
dan Desa Sumberejo Kecamatan Timang Gajah (sekarang Gajah Putih), Desa Bumi Ayu (sekarang
Desa Bandar Lampahan), Desa Rembune, Desa Damaran, dan Desa Fajar Baru Kecamatan Timang
Gajah Kabupaten Aceh Tengah (sekarang Kabupaten Bener Meriah). Sampai saat ini keberadaan
warga yang ditangkap tidak diketahui. Sudah 11 (sebelas) tahun setelah peristiwa penghilangan
orang secara paksa, tersiar kabar mengenai telah ditemukannya beberapa kuburan tidak dikenal di
kebun milik warga, di Desa Bumi Ayu. Penggalian berlangsung pada 16 Juli 2012. Ada 3 titik
yang digali saat itu, titik kedua sudah jelas korban dan keluarganya dari pakaian pakaian yang
dikenakan dan geligi korban. Titik pertama dan ketiga saat itu ikut digali juga, tapi dihentikan oleh
pihak Koramil karena belum ada surat izinnya. Aparat keamanan sering melakukan razia di
kampung-kampung di wilayah Kecamatan Bakongan, termasuk di Desa Jambo Keupok tersebut.
Paska DOM yaitu pada malam 16 Mei 2013, sekitar 22.00 WIB warga mendengar suara letusan
senjata api aparat TNI di lapangan bola kaki Bakongan. Kemudian pada 17 Mei 2003 pukul 05.30
– 07.00 WIB penduduk Jambo Keupok, Kec. Bakongan, Aceh Selatan dikejutkan dengan
kedatangan 3 truk reo tentara (warna hijau) yang memasuki rumah Abdullah Hadad. Di antara
tentara tersebut terdapat seorang cuak (informan sipil bagi tentara) yang memakai seragam militer,
sebo, dan me megang parang. Selanjutnya para lelaki dikumpulkan di luar rumah, para perempuan
ditempatkan di dalam rumah warga dan di kelas SDN Jambo Keupok. Sementara itu warga dan 10
laki-laki lainnya diperintahkan berdiri berjejer didepan rumah yang jaraknya 15 meter 13 dari
tempat anak laki-laki dikumpulkan. Kemudian satu-satu para perempuan dikeluarkan dan
dipindahkan ke SDN Jambo Keupok. Ke-12 orang laki-laki yang berada di depan rumah warga
diperintahkan mengangkat tangan dan +15 tentara mengeluarkan tembakan acak ke arah para
lelaki yang berbaris ini, ada yang terkena kakinya atau tangannya atau punggungnya. Setelah
tentara meninggalkan desa, warga Desa JamboKeupok baru berani mendatangi rumah warga yang
sudah habis terbakar dan menemukan mayat-mayat yang terbakar. Dalam peristiwa 17 Mei 2003
di Jambo Keupok menyebakan: 1. Korban jiwa atas 16 orang laki-laki (12 dibakar hidup-hidup
dan 4 orang mati ditembak) 2. Penyiksaan yang dilakukan terhadap 16 orang yang kemudian mati
(ditendang, dipukul dengan popor senjata), 1 orang korban perempuan yang dipukul dan ditembak
hingga pingsan, dan 1 orang korban perempuan yang dipukul di bagian belakang kepala. 3. Rumah
yang hancur dibakar sebanyak 4 rumah beserta isinya. Peristiwa ini terkait dengan DOM Aceh 1

1
http://dokumentasi.elsam.or.id/mobile/reports/view/301?c=69&p=4

Você também pode gostar