Você está na página 1de 13

MAKALAH

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK


INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG AKSES INFORMASI
KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN

Disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester dalam mata kuliah Kebijakan Pajak
yang dibimbing oleh I Gede Arianta, SH., SE., M.AK., BKP., CA., ACPA., Ak.

Disusun Oleh :
Niyyo Candra Putri (155030401111023)

PROGRAM STUDI PERPAJAKAN


JURUSAN ADMINISTRASI BISNIS
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam melaksanakan pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang bertujuan untuk menyejahterakan dan memakmurkan seluruh rakyat
Indonesia secara merata dan berkeadilan, sesuai dengan amanat Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dibutuhkan
pendanaan yang bersumber dari penerimaan negara terutama yang berasal dari
pajak.
Pendapatan negara bersumber dari penerimaan pajak. Namun, hingga saat ini
penerimaan pajak masih mengalami kendala baik yang berasal dari faktor internal
maupun dari faktor eksternal. Dalam mengatasi kendala dari faktor internal, saat ini
Pemerintah telah dan sedang melakukan reformasi perpajakan pada Direktorat
Jenderal Pajak dengan tujuan antara lain untuk memperbaiki organisasi, proses
kerja, pengelolaan data dan informasi dari perbankan, serta sumber daya manusia.
Sedangkan dari faktor eksternal, selain terjadinya pelemahan ekonomi dan
perdagangan global, juga masih banyak ditemukannya Wajib Pajak yang melakukan
penghindaran pajak ke luar Indonesia. Dengan adanya pusat-pusat pelarian
pajak/perlindungan dari pengenaan pajak (tax haven), dan belum adanya mekanisme
serta aturan yang mengharuskan pertukaran informasi antar negara dan yurisdiksi,
semakin mempersulit upaya pengumpulan pajak di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana dasar pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017
Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan?
2. Bagaimana dampak dari Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017 Tentang
Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan?
3. Bagaimana upaya wajib pajak untuk menghadapi Peraturan Pemerintah Nomor 1
tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
1. Untuk memahami dasar pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun
2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan.
2. Untuk memahami dampak dari Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017
Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan.
3. Untuk memahami upaya wajib pajak untuk menghadapi Peraturan Pemerintah
Nomor 1 tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan
Perpajakan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Dasar Pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017 Tentang


Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan
Pengawasan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya secara self-
assessment merupakan hal yang esensial untuk meningkatkan penerimaan pajak.
Pengawasan tersebut dapat dilaksanakan dengan optimal sepanjang telah tersedianya
akses yang luas bagi otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi
keuangan bagi kepentingan perpajakan dalam pembentukan basis data perpajakan
yang lebih kuat dan akurat.
Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, perbankan,
perbankan syariah, dan pasar modal, serta peraturan perundang-undangan lainnya
yang berlaku saat ini telah membatasi akses otoritas perpajakan untuk menerima dan
memperoleh informasi keuangan, baik dari sisi prosedur maupun persyaratan.
Kondisi keterbatasan akses tersebut dimanfaatkan Wajib Pajak untuk tidak patuh
melaporkan penghasilan dan harta sesungguhnya. Hal ini dapat menghambat
terwujudnya keberlanjutan efektivitas kebijakan pengampunan pajak dan penguatan
basis data perpajakan, serta Indonesia berpotensi menjadi negara tujuan penempatan
dana ilegal.
Saat ini Indonesia telah mengikatkan diri pada perjanjian internasional di bidang
perpajakan dengan banyak negara/yurisdiksi, yang di dalamnya juga mengatur
mengenai pertukaran informasi termasuk pertukaran informasi keuangan secara
otomatis sesuai dengan standar internasional yang disepakati. Salah satu persyaratan
yang harus dipenuhi oleh Indonesia untuk mengimplementasikan pertukaran
informasi keuangan secara otomatis adalah membentuk aturan domestik yang
mengatur mengenai kewenangan otoritas perpajakan untuk mengakses informasi
keuangan, kewajiban bagi lembaga jasa keuangan untuk melaporkan informasi
keuangan secara otomatis kepada otoritas perpajakan, melakukan prosedur
identifikasi rekening keuangan untuk kepentingan pelaporan dimaksud, serta adanya
penerapan sanksi bagi ketidakpatuhan atas kewajiban-kewajiban tersebut.
Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes
(Global Forum) yang hingga saat ini telah beranggotakan 139 negara atau yurisdiksi
termasuk Indonesia, telah menguji transparansi dan pertukaran informasi yang
efektif masing-masing negara anggota dan telah memberikan peringkat kepada 113
negara atau yurisdiksi, termasuk untuk Indonesia. Berdasarkan penilaian yang
bersifat secara keseluruhan tersebut, Indonesia telah ditempatkan dalam peringkat
“Patuh Sebagian” (Partially-Compliant), karena tidak adanya kewenangan
Direktorat Jenderal Pajak selaku otoritas perpajakan di Indonesia untuk memperoleh
dan menyediakan informasi keuangan (power to obtain and provide financial
information). Hal tersebut disebabkan adanya pembatasan akses informasi keuangan
untuk kepentingan perpajakan dalam undang-undang di bidang perpajakan,
perbankan, perbankan syariah, dan pasar modal, serta peraturan perundang-
undangan lainnya.
Penempatan Indonesia sebagai negara dengan peringkat “Patuh Sebagian”
(Partially-Compliant) dimaksud mengakibatkan Indonesia dianggap tidak
transparan dan kurang efektif dalam pertukaran informasi keuangan oleh seluruh
negara atau yurisdiksi mitra pertukaran informasi dan sejumlah lembaga
internasional.
Pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, selain dilakukan
dengan cara permintaan, dapat juga dilakukan dengan cara otomatis (Automatic
Exchange of Financial Account Information/AEOI). Saat ini terdapat 100 negara
atau yurisdiksi termasuk Indonesia, telah menyatakan komitmennya untuk
mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis berdasarkan
Common Reporting Standard (CRS), yang disusun oleh Organisation for Economic
Cooperation and Development (OECD) dan G20. Komitmen Indonesia tersebut
diwujudkan dengan ditandatanganinya Persetujuan Multilateral Antar-Pejabat yang
Berwenang (Multilateral Competent Authority Agreement) atas AEOI pada tanggal
3 Juni 2015 dan Indonesia menyetujui untuk mulai melakukan pertukaran informasi
keuangan secara otomatis pada bulan September 2018.
Terkait dengan pelaksanaan pertukaran informasi keuangan secara otomatis
(AEOI), Global Forum telah memberikan peringkat kepada Indonesia sebagai
negara yang berisiko gagal (at risk) untuk memenuhi komitmen AEOI karena belum
tersedianya perangkat hukum primer berupa peraturan perundang-undangan
setingkat undang-undang untuk melaksanakan AEOI di Indonesia. Apabila sampai
dengan batas waktu tanggal 30 Juni 2017 Indonesia belum membentuk perangkat
hukum primer dimaksud, Indonesia akan dipublikasikan sebagai negara yang gagal
memenuhi komitmen (fail to meet its commitment) untuk pelaksanaan AEOI.
Dalam hal Indonesia dipublikasikan sebagai negara yang gagal dalam
mewujudkan komitmen pada standar AEOI, Indonesia akan dimasukkan dalam
daftar negara tidak kooperatif (Non-Cooperative Jurisdictions). Hal tersebut akan
mengakibatkan kerugian yang signifikan bagi Indonesia, antara lain menurunnya
kredibilitas Indonesia sebagai anggota G20, menurunnya kepercayaan investor, dan
berpotensi terganggunya stabilitas ekonomi nasional, serta dapat menjadikan
Indonesia sebagai negara tujuan penempatan dana ilegal.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, terdapat kebutuhan
yang sangat mendesak untuk segera memberikan akses yang luas bagi otoritas
perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan
perpajakan dengan membentuk perangkat hukum primer berupa peraturan
perundang-undangan setingkat undang-undang.

2.2 Dampak dari Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017 Tentang Akses
Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan
Sejumlah dampak berpotensi muncul akibat kebijakan dari pemberlakuan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang
Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.Melalui aturan ini,
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan memiliki keleluasaan untuk
mengakses informasi keuangan nasabah yang merupakan wajib pajak.
Dampak pertama adalah konsekuensi bagi persaingan bisnis perbankan.Dengan
kondisi mudahnya akses informasi perbankan ke dunia internasional secara global,
maka situasi tersebut dapat digunakan untuk sistem kompetitif terbuka. Dampak
kedua, peraturan tersebut berkaitan dengan manajemen perbankan secara siber.
Karena itu harus dibekali dengan batasan yang kuat agar tidak berujung
penyalahgunaan oleh pihak-pihak tertentu.Pemberlakukan perppu juga diharapkan
didukung aspek kemajuan teknologi.
Ketiga, prinsip manajemen terbuka tersebut membuat aktivitas perbankan
terbuka dan transparan. Sehingga siapa pun tidak bisa menyembunyikannya.
Dampak negatifnya adalah membuat masyarakat enggan untuk menabung di bank.
Sebenarnya, jauh sebelum perppu ini ada, Ditjen Pajak sudah memiliki
kewenangan untuk mengakses informasi keuangan untuk kepentingan
perpajakan.Hanya saja, Ditjen Pajak harus meminta izin kepada Bank Indonesia.
Bukan perkara gampang mendapatkan izin dari BI. Prosesnya kerap membutuhkan
waktu yang tidak sebentar. Akibatnya, pemeriksaan pajak bisa menjadi
molor.Namun setelah adanya Perppu Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan
Perpajakan, Ditjen Pajak tidak perlu lagi susah payah. Ditjen Pajak bisa langsung
meminta data kepada bank.
Bila ditinjau dari kepentingan luar negeri, terbitnya perppu ini dalam rangka
mendukung komitmen yang telah dibuat oleh Indonesia bersama dengan negara-
negara G20 untuk mendukung pelaksanaan pertukaran informasi keuangan secara
otomatis (Automatic Exchange of Information / AEOI).
Bila ditinjau dari sudut pandang kepentingan domestik, dengan berlakunya
Perppu Nomor 1 Tahun 2017 berikut aturan pelaksaannya diharapkan akan
menambah luasnya basis data perpajakan yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal
Pajak (Ditjen Pajak). Mengingat Indonesia menganut sistem perpajakan berdasarkan
self assessment, basis data yang kuat adalah kunci untuk meningkatkan penerimaan
pajak sekaligus tax ratio.

2.3 Upaya wajib pajak untuk menghadapi Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun
2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena sejatinya tidak ada kewenangan
yang diberikan tanpa batas. Demikian dengan yang dimiliki Ditjen Pajak pasca
terbitnya Perppu Nomor 1 Tahun 2017 berikut Peraturan Menteri Keuangan Nomor
73/PMK.03/2017.
Akses informasi keuangan ini hanya untuk kepentingan perpajakan, tidak untuk
kepentingan lain. Pasal 2 Perppu Nomor 1 Tahun 2017 maupun Pasal 2 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2017 secara jelas membatasi kewenangan
Ditjen Pajak yaitu hanya dapat mengakses informasi keuangan untuk kepentingan
perpajakan dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor
perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau
entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan sesuai standar pertukaran
informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.
Sekali lagi dicatat, hanya untuk keperluan perpajakan bukan untuk keperluan
lainnya.
Pemerintah / Ditjen Pajak akan melindungi keamanan dan kerahasiaan data
nasabah sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dan perjanjian
internasional. Perihal keamanan dan kerahasiaan data nasabah dijamin, sebagaimana
tertuang dalam Pasal 30 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor
73/PMK.03/2017.
Hanya penjabat Ditjen Pajak tertentu yang mendapatkan akses dan terdapat
sanksi pidana bagi yang membocorkan. Pasal 30 ayat (3) dan (4) Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 73/PMK.03/2017, melarang setiap pejabat, baik petugas pajak
maupun pihak yang melakukan tugas di bidang perpajakan, dan tenaga ahli yang
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, untuk membocorkan,
menyebarluaskan, dan / atau memberitahukan informasi keuangan dan/atau
informasi dan/atau bukti atau keterangan berkaitan dengan informasi keuangan
wajib pajak kepada pihak yang tidak berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan. Apabila nekat melanggar keamanan dan
kerahasiaan data nasabah sanksi yang akan diterapkan pun tidak main-main, yaitu
dipidana sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 41 Undang-Undang Undang-Undang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Tidak semua data nasabah wajib dilaporkan secara otomatis kepada Ditjen Pajak
karena akan ditetapkan batasan. Pada mulanya berdasarkan Pasal 19 ayat (4)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017, Pemerintah menetapkan
batasan saldo atau nilai rekening keuangan orang pribadi yang harus dilaporkan oleh
LJK kepada Ditjen Pajak yaitu rekening keuangan yang dimiliki orang pribadi,
saldo atau nilai dari satu Rekening Keuangan atau lebih dengan jumlah paling
sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing yang
nilainya setara. Seiring berjalannya waktu dan memperhatikan respon masyarakat
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 disempurnakan dan terbitlah
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2017 yang menaikan batasan
rekening keuangan yang dimiliki orang pribadi yang harus dilaporkan kepada Ditjen
Pajak yaitu dengan saldo atau nilai dari satu Rekening Keuangan atau lebih dengan
jumlah paling sedikit menjadi Rp1.000.000.000,00 (satu milyar). Satu hal lagi, yang
harus dilaporkan oleh adalah saldo atau nilai rekening keuangan per 31 Desember
pada tahun kalender pelaporan dan bukan mutasi pada tiap rekening tersebut.
Sepanjang dana nasabah beserta penghasilan yang menjadi sumber atas dana
nasabah tersebut telah dilaporkan ke dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan
tentunya tidak akan ada masalah dalam hal perpajakan. UU Pajak Penghasilan telah
mendefinisikan penghasilan dalam arti luas yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam
bentuk apa pun. Hal tersebut sejalan dengan pendekatan penghasilan secara
ekonomi dimana penghasilan akan bertransformasi atau berubah bentuk dan selalu
equal dengan pengeluaran yang dikeluarkan atas konsumsi dan tabungan / investasi
(Y = C + I/S). Dengan demikian, semestinya jika seluruh penghasilan (yang
kemudian sebagiannya menjadi sumber dana dari tabungan wajib pajak) berikut
saldo tabungan tersebut telah dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan,
masa tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan karena itu berarti seluruh Pajak
Penghasilan telah dibayar.
Masyarakat telah diberi kesempatan untuk mengikuti Amnesti Pajak, sehingga
dana nasabah seharusnya sudah tidak terdapat permasalahan perpajakan lagi. Pada
saat mulai berlakunya UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak
mulai dari Pemerintah, DPR, KADIN, berbagai macam asosiasi, perkumpulan, bank
dan berbagai pihak telah mensosialisasikan dan menyampaikan baik secara langsunh
maupun melalui beragam media massa bahwa salah satu alasan mengapa Amnesti
Pajak dilakukan mulai pertengahan tahun 2016 hingga Maret 2017 karena Indonesia
bersama-sama negara yang tergabung dalam G20 segera memasuki era keterbukaan
informasi keuangan di tahun 2018. Bahkan Presiden Jokowi tidak segan-segan turun
langsung memberikan sosialisasi Amnesti Pajak. Jika kemudian wajib pajak
merespon dan segera mengikuti Amnesti Pajak dengan melaporkan seluruh harta
yang dimilikinya termasuk saldo atau nilai rekening dan membayar uang tebusan,
tentu tidak ada lagi permasalahan perpajakan.
Bagi wajib pajak yang belum melaporkan SPT Tahunan dapat segera
menyampaikan SPT Tahunan yang mencantumkan saldo rekening yang dimiliki.
Pun demikian jika wajib pajak tidak ikut Amnesti Pajak dan belum melaporkan
saldo rekening dengan benar dalam SPT Tahunan masih dapat melakukan
pembetulan. UU KUP mengatur bahwa sepanjang belum dilakukan tindakan
pemeriksaan, wajib pajak dengan kemauan sendiri dapat melaporkan dan
membetulkan SPT Tahunan sesuai dengan tahun diperoleh saldo rekening tersebut.
Jika setelah melaporkan saldo rekening dalam SPT Tahunan terdapat
ketidaksesuaian dengan penghasilan yang telah dilaporkan yang mengakibatkan
terdapat pajak yang masih harus dibayar tentu pajak tersebut harus dibayar ditambah
sanksi administrasi 2% perbulan.
Apabila Wajib pajak tidak melaporkan kewajiban perpajakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan tidak ingin terkena sanksi maka wajib pajak
dapat melakukan perencanaan dengan melakukan perpindahan dana wajib pajak dari
bank ke asset nonkeuangan seperti properti dan emas.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2017 tentang akses informasi untuk keperluan perpajakan, memang hanya
lembaga keuangan yang diwajibkan untuk melaporkan data nasabah secara otomatis
kepada Ditjen Pajak. Di sisi lain, lembaga nonkeuangan tidak memiliki kewajiban
serupa. Data kepemilikan properti, emas, dan aset nonkeuangan lainnya hanya bisa
dibuka dengan seizin otoritas terkait.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan,
perbankan, perbankan syariah, dan pasar modal, serta peraturan perundang-
undangan lainnya yang berlaku saat ini telah membatasi akses otoritas
perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan, baik dari sisi
prosedur maupun persyaratan. Kondisi keterbatasan akses tersebut dimanfaatkan
Wajib Pajak untuk tidak patuh melaporkan penghasilan dan harta sesungguhnya.
Hal ini dapat menghambat terwujudnya keberlanjutan efektivitas kebijakan
pengampunan pajak dan penguatan basis data perpajakan, serta Indonesia
berpotensi menjadi negara tujuan penempatan dana ilegal. Maka dari itu
diperlukan akses yang luas bagi otoritas perpajakan untuk menerima dan
memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan dengan
membentuk perangkat hukum primer berupa peraturan perundang-undangan
setingkat undang-undang.
Bila ditinjau dari kepentingan luar negeri, terbitnya perppu ini dalam
rangka mendukung komitmen yang telah dibuat oleh Indonesia bersama dengan
negara-negara G20 untuk mendukung pelaksanaan pertukaran informasi
keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Information / AEOI).
Bila ditinjau dari sudut pandang kepentingan domestik, dengan
berlakunya Perppu Nomor 1 Tahun 2017 berikut aturan pelaksaannya
diharapkan akan menambah luasnya basis data perpajakan yang dimiliki oleh
Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak). Mengingat Indonesia menganut sistem
perpajakan berdasarkan self assessment, basis data yang kuat adalah kunci untuk
meningkatkan penerimaan pajak sekaligus tax ratio.
Apabila Wajib pajak tidak melaporkan kewajiban perpajakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dan tidak ingin terkena sanksi maka
wajib pajak dapat melakukan perencanaan dengan melakukan perpindahan dana
wajib pajak dari bank ke asset nonkeuangan seperti properti dan emas.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2017 tentang akses informasi untuk keperluan perpajakan, memang
hanya lembaga keuangan yang diwajibkan untuk melaporkan data nasabah
secara otomatis kepada Ditjen Pajak. Di sisi lain, lembaga nonkeuangan tidak
memiliki kewajiban serupa. Data kepemilikan properti, emas, dan aset
nonkeuangan lainnya hanya bisa dibuka dengan seizin otoritas terkait.

3.2 Saran
Sepanjang dana wajib pajak beserta penghasilan yang menjadi sumber
atas dana tersebut telah dilaporkan ke dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan
tentunya tidak akan ada masalah dalam hal perpajakan. Tetapi apabila dana
tersebut belum dilaporkan ke dalam SPT dan tidak ingin terkena sanksi maka
wajib pajak dapat melakukan perencanaan dengan melakukan perpindahan dana
wajib pajak dari bank ke asset nonkeuangan seperti properti dan emas.
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk
Kepentingan Perpajakan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2017.
Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tetntang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
http://www.pajak.go.id/

Você também pode gostar