Você está na página 1de 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Asuhan keperawatan adalah perawatan yang diberikan oleh perawat. Jadi asuhan
keperawatan pada neonatus, bayi, dan balita adalah perawatan yang diberikan oleh perawat pada
bayi baru lahir, bayi, dan balita. Neonatus, bayi, dan balita dengan kelainan bawaan adalah suatu
penyimpangan yang dapat menyebabkan gangguan pada neonatus, bayi, dan balita apabila tidak
diberikan asuhan yang tepat dan benar. Ada beberapa kelainan bawaan diantaranya adalah
labiopalatoskisis, atresia esofagus, atersia rekti dan ani, obstruksi biliaris, omfalokel, hernia
diafragmatika, atresia duodeni, meningokel, ensefalokel, hidrosefalus, fimosis, dan hipospadia.
Salah satu kelainan bawaan yang akan di jelaskan lebih jauh disini adalah labiopalatoskisis, yaitu
kelainan bawaan (kongenital) yang terkait dengan sistem pencernaan.

Salah satu deformitas oro-fasial yang cukup sering dijumpai adalah celah bibir langit-langit,
kedua jenis deformitas ini dapat terjadi secara terpisah atau bersamaan. (Sianita,2011).
Labiopalatoschisis atau Cleft Lip and Palate (CLP) dalam bahasa Indonesia dikenal dengan bibir
sumbing atau celah bibir dan atau langitan merupakan kelainan yang sering terjadi pada congenital
deformity setelah clubfoot deformity. Celah bibir adalah suatu keadaan terbukanya bibir sedangkan
celah langitan adalah kelainan terbukanya langit-langit rongga mulut. Hal ini merupakan suatu
perkembangan bibir dan langitan yang tidak sempurna semasa janin terbentuk. Celah bibir dan
atau langitan mempengaruhi kira-kira 1 dari 750 angka kelahiran. Celah ini berhubungan dengan
banyak masalah termasuk estetik dan bentuk gigi yang abnormal juga dengan masalah wicara,
pendengaran, dan wajah. (Pujiastuti, 2008).

Insidens bibir sumbing dengan atau tanpa celah palatum adalah 1 dari 2.000 kelahiran di
Amerika Serikat. Insidens bibir sumbing dengan atau tanpa celah palatum bervariasi berdasarkan
etnis, dari 1.000 kelahiran didapatkan pada etnis Indian 3,6, etnis Asia 2,1, etnis kulit putih 1,0,
dan etnis kulit hitam 0,41. Sebaliknya, insidens celah palatum konstan pada semua etnis, yaitu 0,5
dari 1.000 kelahiran. Di Indonesia, kelainan ini cukup sering dijumpai, walaupun tidak banyak
data yang mendukung. Jumlah penderita bibir sumbing dan celah palatum yang tidak tertangani di
Indonesia mencapai 5.000-6.000 kasus pertahun, diperkirakan akan bertambah 6.000-7.000 kasus
per tahun. Namun karena berbagai kendala, jumlah penderita yang bisa dioperasi jauh dari ideal,
hanya sekitar 1.000-1.500 pasien per tahun yang mendapat kesempatan menjalani operasi. (Irawan,
2014)

Labiopalatoskisis ini dapat segera diperbaiki dengan pembedahan. Bila sumbing mencakup
pula palatum mole atau palatum durum, bayi akan mengalami kesukaran minum, walaupun bayi
dapat menghisap namun bahaya terdesak mengancam. Bayi dengan kelainan bawaan ini akan
mengalami gangguan pertumbuhan karena sering menderita infeksi saluran pernafasan akibat
aspirasi. Keadaan umum yang kurang baik juga akan menunda tindakan untuk meperbaiki kelainan
tersebut.

1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum

Agar mahasiswa/i dapat mengetahui dan memahami tentang konsep medik serta dapat
memberikan pelayanan keperawatan dengan baik dan benar melalui pendekatan proses
keperawatan pada klien dengan bibir sumbing

1.2.2. Tujuan Khusus


Mahasiswa mampu memahami:
a. menjelaskan pengertian, patofisiologi, pemeriksaan fisisk serta
Penatalaksanaan bibir sumbing
b. menyebutkan etiologi, manifestasi klinis dan komplikasi bibir sumbing
c. menyusun pengkajian dan merumuskan diagnosa keperawatan bibir sumbing

1.3. Manfaat
a. Menambah pemahaman mengenai bibir sumbing
b. Menambah sumber bacaan atau referensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan
keperawatan bagi pembaca.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut

Rongga mulut yang disebut juga rongga bukal, dibentuk secara anatomi oleh pipi, palatum
keras, palatum lunak, dan lidah. Pipi membentuk dinding bagian lateral masing-masing sisi dari
rongga mulut. Pada bagian eksternal dari pipi, pipi dilapisi oleh kulit. Sedangkan pada bagian
internalnya, pipi dilapisi oleh membran mukosa, yang terdiri dari epitel pipih berlapis yang tidak
terkeratinasi. Otot-otot businator (otot yang menyusun dinding pipi) dan jaringan ikat tersusun di
antara kulit dan membran mukosa dari pipi. Bagian anterior dari pipi berakhir pada bagian bibir
(Tortora et al., 2009).

Gambar 1. Rongga Mulut

Secara anatomi, bibir dibagi menjadi dua bagian yaitu bibir bagian atas dan bibir bagian
bawah. Bibir bagian atas terbentang dari dasar dari hidung pada bagian superior sampai ke lipatan
nasolabial pada bagian lateral dan batas bebas dari sisi vermilion pada bagian inferior. Bibir bagian
bawah terbentang dari bagian atas sisi vermilion sampai ke bagian komisura pada bagian lateral
dan ke bagian mandibula pada bagian inferior (Jahan-Parwar et al., 2011).

Kedua bagian bibir tersebut, secara histologi, tersusun dari epidermis, jaringan subkutan,
serat otot orbikularis oris, dan membran mukosa yang tersusun dari bagian superfisial sampai ke
bagian paling dalam. Bagian vermilion merupakan bagian yang tersusun atas epitel pipih yang
tidak terkeratinasi. Epitelepitel pada bagian ini melapisi banyak pembuluh kapiler sehingga
memberikan warna yang khas pada bagian tersebut. Selain itu, gambaran histologi juga
menunjukkan terdapatnya banyak kelenjar liur minor. Folikel rambut dan kelejar sebasea juga
terdapat pada bagian kulit pada bibir, namun struktur tersebut tidak ditemukan pada bagian
vermilion (Tortorra et al., 2009; Jahan-Parwar et al., 2011).

Permukaan bibir bagian dalam dari bibir atas maupun bawah berlekatan dengan gusi pada
masing-masing bagian bibir oleh sebuah lipatan yang berada di bagian tengah dari membran
mukosa yang disebut frenulum labial. Saat melakukan proses mengunyah, kontraksi dari otot-otot
businator di pipi dan otototot orbukularis oris di bibir akan membantu untuk memosisikan agar
makanan berada di antara gigi bagian atas dan gigi bagian bawah. Otot-otot tersebut juga memiliki
fungsi untuk membantu proses berbicara.

Palatum merupakan sebuah dinding atau pembatas yang membatasi antara rongga mulut
dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi rongga mulut. Struktur palatum sangat
penting untuk dapat melakukan proses mengunyah dan bernafas pada saat yang sama. Palatum
secara anatomis dibagi menjadi dua bagian yaitu palatum durum (palatum keras) dan palatum mole
(palatum lunak). Palatum durum terletak di bagian anterior dari atap rongga mulut. Palatum durum
merupakan sekat yang terbentuk dari tulang yang memisahkan antara rongga mulut dan rongga
hidung. Palatum durum dibentuk oleh tulang maksila dan tulang palatin yang dilapisi oleh
membran mukosa. Bagian posterior dari atap rongga mulut dibentuk oleh palatum mole. Palatum
mole merupakan sekat berbentuk lengkungan yang membatasi antara bagian orofaring dan
nasofaring. Palatum mole terbentuk dari jaringan otot yang sama halnya dengan paltum durum,
juga dilapisi oleh membran mukosa (Marieb and Hoehn, 2010; Jahan Parwar et al., 2011).
2.2. Definisi Bibir Sumbing

Labio/palatoskisis adalah merupakan kongenital anomali yang berupa adanya kelainan


bentuk pada struktur wajah. Palatoskisis adalah adanya celah pada garis tengah palato yang
disebabkan oleh kegagalan penyatuan susunan palato pada masa kehamilan 7-12 minggu.

a. Labiopalatoskisis merupakan kongenital yang berupa adanya kelainan bentuk pada


struktur wajah (Ngastiah, 2005 : 167)
b. Bibir sumbing adalah malformasi yang disebabkan oleh gagalnya propsuesus nasal
median dan maksilaris untuk menyatu selama perkembangan embriotik. (Wong,
Donna L. 2003)
c. Palatoskisis adalah fisura garis tengah pada polatum yang terjadi karena kegagalan 2
sisi untuk menyatu karena perkembangan embriotik (Wong, Donna L. 2003)
d. Labio/palatoskisis merupakan suatu kelainan yang dapat terjadi pada daerah mulut,
palatoskisis (subbing palatum) dan labioskisis (sumbing tulang) untuk menyatu selama
perkembangan embrio (Hidayat, Aziz, 2005:21)
e. Merupakan penyakit congenital anomaly yang berupa adanya kelainan bentuk pada
struktur wajah. (Suriadi, S.Kp. 2001)

2.3. Klasifikasi Bibir Sumbing


Klasifikasi yang diusulkan oleh Veau dibagi dalam 4 golongan yaitu :
Golongan I : Celah pada langit-langit lunak (gambar 1).

Golongan II : Celah pada langit-langit lunak dan keras dibelakang foramen Insisivum
(gambar 2).

Golongan III : Celah pada langit-langit lunak dan keras mengenai tulang alveolar dan bibir
pada satu sisi (gambar 3).

Golongan IV : Celah pada langit-langit lunak dan keras mengenai tulang alveolar dan bibir
pada dua sisi (gambar 4).
Gambar 1. A. Celah pada langit-langit lunak saja. B. Celah pada langit-langit lunak dan
keras. C. Celah yang meliputi langit-langit dan lunak keras juga alveolar pada satu sisi. D. Celah
yang meliputi langit lunak dan keras juga alveolar dan bibir pada dua sisi. (Young & Greg. Cleft
lip and palate. 2011)

Sedangkan Klasifikasi dari American Cleft Association (1962) yaitu :


1. Celah langit-langit primer Celah bibir :
 Unilateral, median atau bilateral dengan derajat luas celah 1/3, 2/3 dan 3/3.
 Celah alveolar dengan segala variasinya.
2. Celah langit-langit sekunder
 Celah langit-langit lunak dengan variasinya.
 Celah langit-langit keras dengan variasinya.
Gambar 2. (A) Celah bibir unilateral tidak komplit, (B) Celah bibir unilateral (C) Celah bibir
bilateral dengan celah langit-langit dan tulang alveolar, (D) Celah langit-langit. (Stoll et al. BMC
Medical genetics. 2004, 154.)

2.4. Etiologi

Etiologi celah bibir adalah multifaktorial dan etiologi celah bibir belum dapat diketahui
secara pasti. Pembentukan bibir terjadi pada masa embrio minggu keenam sampai minggu
kesepuluh kehamilan. Penyebab kelainan ini dipengaruhi berbagai faktor, disamping faktor
genetik, bisa juga faktor non-genetik.

2.4.1. Faktor Genetik

Faktor herediter mempunyai dasar genetik untuk terjadinya celah bibir telah diketahui
tetapi belum dapat dipastikan sepenuhnya. Kruger (1957) mengatakan sejumlah kasus yang telah
dilaporkan dari seluruh dunia tendensi keturunan sebagai penyebab kelainan ini diketahui lebih
kurang 25-30%. Dasar genetik terjadinya celah bibir dikatakan sebagai gagalnya mesodermal
berproliferasi melintasi garis pertemuan, di mana bagian ini seharusnya bersatu dan biasa juga
karena atropi dari pada epithelium ataupun tidak adanya perubahan otot pada epithelium ataupun
tidak adanya perubahan otot pada daerah tersebut. Sebagai tanda adanya hipoplasia mesodermal.
Adanya gen yang dominan dan resesif juga merupakan penyebab terjadinya hal ini. Teori lain
mengatakan bahwa celah bibir terjadi karena :
 Dengan bertambahnya usia ibu hamil dapat menyebabkan ketidak kebalan embrio
terhadap terjadinya celah.

 Adanya abnormalitas dari kromosom menyebabkan terjadinya malformasi kongenital


yang ganda.

 Adanya tripel autosom sindrom termasuk celah mulut yang diikuti dengan anomali
kongenital yang lain

2.4.2 Faktor Non-Genetik

 Nutrisi yang kurang pada masa kehamilan merupakan satu hal penyabab terjadinya
celah. Melalui percobaan yang dilakukan pada binatang dengan memberikan
vitamin A secara berlebihan atau kurang. Yang hasilnya menimbulkan celah pada anak-
anak tikus yang baru lahir. Begitu juga dengan defisiensi vitamin riboflavin pada
tikus yang sedang dan hasilnya juga adanya celah dengan persentase yang tinggi, dan
pemberiam kortison pada kelinci yang sedang hamil akan menimbulkan efek yang sama.
 Menurut Siggers, dengan bertambahnya usia ibu waktu hamil, bertambah pula risiko
dari ketidaksempurnaan pembelahan meiosis yang akan menyebabkan bayi dengan
kelainan trisomi. Peningkatan risiko ini diduga sebagai akibat bertambahnya umur sel
telur yang dibuahi. Wanita dilahirkan dengan kira-kira 400.000 gamet dan tidak
memproduksi gamet-gamet baru selama hidupnya. Oleh karena itu, jika seorang
wanita berumur 35 tahun maka sel-sel telurnya juga berusia 35 tahun (Pai, 1987).
 Meskipun obat yang digunakan selama kehamilan terutama untuk mengobati penyakit
ibu, tetapi hampir selalu janin yang tumbuh akan menjadi penerima obat. Penggunaan
asetosal atau aspirin sebagai obat analgetik pada masa kehamilan trimeseter pertama
dapat menyebabkan terjadinya celah bibir. Beberapa obat yang sebaiknya tidak
dikonsumsi selama kehamilan adalah rifampisin, fenasetin, sulfonamid,
aminoglikosid, indometasin, asam flufetamat, ibuprofen, dan penisilamin.Beberapa
obat antihistamin yang digunakan sebagai anti emetik selama kehamilan dapat
menyebabkan terjadinya celah langit-langit. Obat-obat antineoplastik terbukti
menyebabkan cacat ini pada binatang. Walaupun pada manusia belum terbukti,
sebaiknya obat-obat ini tidak diberikan pada kehamilan.
 Beberapa ahli menyatakan bahwa penyakit sifilis dan virus rubella dapat menyebabkan
terjadinya celah bibir dan langit-langit, tetapi hanya sedikit kemungkinan dapat
menyebabkan celah.
 Strean dan Peer melaporkan bahwa trauma mental dan trauma fisik dapat menyebabkan
terjadinya celah. Stress yang timbul menyebabkan fungsi korteks adrenal terangsang
untuk mensekresi hidrokortison sehingga nantinya dapat mempengaruhi keadaan ibu
yang sedang mengandung dan dapat menimbulkan celah, dengan terjadinya stress yang
mengakibatkan celah yaitu : terangsangnya hipothalamus adrenocorticotropic hormone
(ACTH). Sehingga merangsang kelenjar adrenal bagian glukokortikoid mengeluarkan
hidrokortison, sehingga akan meningkat di dalam darah yang dapat menganggu
pertumbuhan.

2.5. Manifestasi Klinis

Masalah asupan makanan merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi dengan bibir
sumbing. Kesulitan dalam melakukan hisapan pada payudara ibu atau dot. Tekanan lembut pada
pipi bayi dapat meningkatkan kemampuan hisapan oral. Keadaan tambahan yang ditemukan
adalah reflek hisap dan menelan pada bayi dengan bibir sumbing tidak sebaik bayi normal, dan
bayi lebih banyak menghisap udara pada saat menyusu.

Bibir sumbing dapat berkisar dari sedikit takik pada bagian merah bibir atas hingga
pemisahan total bibir yang memanjang hingga kedalam hidung. Dapat dijumpai pada satu atau
kedua sisi bibir atas. Sumbing langit langit dapat dijumpai sebagai bagian dari deformitas bibir
sumbing atau sebagai kelainan garis tengah tersendiri yang melibatkan palatum sekunder.

Pada labio schisis :


a. Distorsi hidung, tampak sebagian atau kedua duanya
b. Adanya celah bibir

Pada palato schisis :

a. Tampak ada celah pada tekak atau uvula.


b. Palato lunak dan keras atau foramen incisivus.
c. Adanya rongga pada hidung.
d. Distorsi hidung.
e. Teraba ada celah atau terbukanya langit – langit pada waktu periksa.
f. Mengalami kerusakan dalam mengisap atau makan ( Sodikin, 2011)
2.6. WOC

Genetik Teratogen Infeksi Toksikosis Kehamilan

Kehamilan

Kegagalan perkembangan tulang


dan jaringan lunak pada trimester I

Prosesus maxilaris tumbuh ke 2 arah

Anterior Medial Sel mesekim


sebagai penginduksi

Penyatuan dengan pembentukan Diferensiasi sel epitel pada


prosesus fronto nasal (pada 2 titik prosesus palatal
bawah lubang hidung untuk Gagal
membentuk bibir atas) Menyatu
Gagal bergabung

Terdapat celah pada bibir


saja/lubang hidung, tulang Celah pada palato lunak
maxila, gigi dan keras, distorsi hidung

Hambatan Komunikasi Verbal


Labioskisis Palatoskisis
Resiko Aspirasi
Pembedahan

Ketidakmampuan Nyeri Kerusakan


menghisap Integritas Kulit

Ketidakefektifan
pemberian ASI
2.7. Komplikasi
1. Kesulitan makan ; Merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita
labioschisis. Adanya labioskisis memberikan kesulitan pada bayi untuk melakukan
hisapan pada payudara ibu atau dot. Tekanan lembut pada pipi bayi dengan labiosksisis
mungkin dapat meningkatkan kemampuan hisapan oral. Keadaan tambahan yang
ditemukan adalah reflex hisap dan reflek menelan pada bayi dengan labioschisis tidak
sebaik bayi normal, dan bayi dapat menghisap lebih banyak udara pada saat menyusu.
Bayi yang hanya menderita labioschisis atau dengan celah kecil pada palatum biasanya
dapat menyusui, namun pada bayi dengan labioplatoskisis biasanya membutuhkan
penggunaan dot khusus untuk mengatasi masalah pemberian makan/ asupan makanan.
2. Gangguan dental ; Anak yang lahir dengan labioschisis mungkin mempunyai masalah
tertentu yang berhubungan dengan kehilangan, malformasi, dan malposisi dari gigi
geligi pada area dari celah bibir yang terbentuk. Gigi tidak akan tumbuh secara normal,
dan umumnya diperlukan perawatan khusus untuk mengatasi hal ini.
3. Gangguan bicara ; Pada bayi dengan labio-palatoschisis biasanya juga memiliki
abnormalitas pada perkembangan otot-otot yang mengurus palatum mole. Saat palatum
mole tidak dapat menutup ruang/ rongga nasal pada saat bicara, maka didapatkan suara
dengan kualitas nada yang lebih tinggi (hypernasal quality of 6 speech). Meskipun telah
dilakukan reparasi palatum, kemampuan otot-otot tersebut diatas untuk menutup ruang
atau rongga nasal pada saat bicara mungkin tidak dapat kembali sepenuhnya normal.
Penderita celah palatum memiliki kesulitan bicara, sebagian karena palatum lunak
cenderung pendek dan kurang dapat bergerak sehingga selama berbicara udara keluar
dari hidung. Anak mungkin mempunyai kesulitan untuk menproduksi suara atau kata
"p, b, d, t, h, k, g, s, sh, dan ch".
4. Infeksi telinga ; Anak dengan labio-palatoskisis lebih mudah untuk menderita infeksi
telinga karena terdapatnya abnormalitas perkembangan dari otot-otot yang mengontrol
pembukaan dan penutupan tuba eustachius.
5. Aspirasi
6. Distress pernafasan
7. Pertumbuhan dan perkembangan terhambat
8. Gangguan psikologis ; Bibir sumbing menyebabkan timbulnya rasa kurang percaya diri
pada penderita dan keluarga yang bisa menyebabkan stress dan terbatasnya hubungan
sosial dengan orang lain.

2.8. Penatalaksanaan
2.8.1. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaaan bibir sumbing adalah tindakan bedah efektif yang melibatkan beberapa
disiplin ilmu untuk penanganan selanjutnya.

Penatalaksanaan labiopalatoskisis adalah dengan tindakan pembedahan. Tindakan operasi


pertama kali dikerjakan untuk menutup celah bibir palatum berdasarkan kriteria “ rule of ten “,
yaitu:

 Umur lebih dari 10 minggu ( 3 bulan )


 Berat lebih dari 10 pond ( 5 kg )
 Hb lebih 10 g / dl
 Leukosit lebih dari 10.000 / ul

Adanya kemajuan teknik bedah, orbodantis, dokter anak, dokter THT, serta hasil akhir
tindakan koreksi kosmetik dan fungsional menjadi lebih baik. Tergantung dari berat ringan yang
ada, maka tindakan bedah maupun ortidentik dilakukan secara bertahap.

Biasanya penutupan celah bibir melalui pembedahan dilakukan bila bayi tersebut telah
berumur 1-2 bulan. Setelah memperlihatkan penambahan berat badan yang memuaskan dan bebas
dari infeksi induk, saluran nafas atau sistemis. Perbedaan asal ini dapat diperbaiki kembali pada
usia 4-5 tahun. Pada kebanyakan kasus, pembedahan pada hidung hendaknya ditunda hingga
mencapi usia pubertas. Karena celah-celah pada langit-langit mempunyai ukuran, bentuk dan
derajat cerat yang cukup besar, maka pada saat pembedahan, perbaikan harus disesuaikan bagi
masing-masing penderita. Waktu optimal untuk melakukan pembedahan langitlangit bervariasi
dari 6 bulan – 5 tahun. Jika perbaikan pembedahan tertunda hingga berumur 3 tahun, maka sebuah
balon bicara dapat dilekatkan pada bagian belakang geligi maksila sehingga kontraksi otot-otot
faring dan velfaring dapat menyebabkan jaringan-jaringan bersentuhan dengan balon tadi untuk
menghasilkan penutup nasoporing.
2.8.2. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Perawatan Pra-Operasi:
1) Fasilitas penyesuaian yang positif dari orangtua terhadap bayi.
 Bantu orangtua dalam mengatasi reaksi berduka
 Dorong orangtua untuk mengekspresikan perasaannya.
 Diskusikan tentang pembedahan
 Berikan informasi yang membangkitkan harapan dan perasaan yang positif
terhadap bayi.
 Tunjukkan sikap penerimaan terhadap bayi.
2) Berikan dan kuatkan informasi pada orangtua tentang prognosis dan pengobatan
bayi.
 Tahap-tahap intervensi bedah
 Teknik pemberian makan
 Penyebab devitasi
3) Tingkatkan dan pertahankan asupan dan nutrisi yang adekuat.
 Fasilitasi menyusui dengan ASI atau susu formula dengan botol atau dot
yang cocok. Monitor atau mengobservasi kemampuanmenelan dan
menghisap.
 Tempatkan bayi pada posisi yang tegak dan arahkan aliran susu ke dinding
mulut.
 Arahkan cairan ke sebalah dalam gusi di dekat lidah.
 Sendawakan bayi dengan sering selama pemberian makan
 Kaji respon bayi terhadap pemberian susu.
 Akhiri pemberian susu dengan air.
4) Tingkatkan dan pertahankan kepatenan jalan nafas
 Pantau status pernafasan
 Posisikan bayi miring kekanan dengan sedikit ditinggikan
 Letakkan selalu alat penghisap di dekat bayi
b. Perawatan Pasca-Operasi
1) Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi yang adequate
 Berikan makan cair selama 3 minggu mempergunakan alat penetes atau
sendok.
 Lanjutkan dengan makanan formula sesuai toleransi.
 Lanjutkan dengan diet lunak
 Sendawakan bayi selama pemberian makanan.
2) Tingkatkan penyembuhan dan pertahankan integritas daerah insisi anak.
 Bersihkan garis sutura dengan hati-hati
 Oleskan salep antibiotik pada garis sutura (Keiloskisis)
 Bilas mulut dengan air sebelum dan sesudah pemberian makan.
 Hindari memasukkan obyek ke dalam mulut anak sesudah pemberian makan
untuk mencegah terjadinya aspirasi. Pantau tanda-tanda infeksi pada tempat
operasi dan secara sistemik.
 Pantau tingkat nyeri pada bayi dan perlunya obat pereda nyeri.
 Perhatikan pendarahan, cdema, drainage.
 Monitor keutuhan jaringan kulit
 Perhatikan posisi jahitan, hindari jangan kontak dengan alat-alat
 tidak steril, missal alat tensi
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. Pengkajian (pre op)


3.1.1. Anamnesa
a. Identitas Klien
b. Keluhan Utama
Pada klien dengan CLP terdapat abnomali bentuk bibir / adanya celah pada bibir,
kesulitan dalam menghisap atau makan dan berat badan yang tetap.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Bayi mengalami kesulitan saat menghisap ASI, untuk anak yang sudah aktif berbicara
dapat menyebabkan kesulitan dalam berbicara, seringkali memiliki suara hidung
saat berbicara, kadang juga memiliki gangguan dalam pendengaran.
d. Riwayat Kesehatan Lalu
Konsumsi minuman beralkohol atau merokok saat masa kehamilandapat
mempengaruhinya terjadinya bibir sumbing.
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah anggota keluarga yang menderita kelainan seperti yangdiderita anak tersebut,
biasanya terdapat salah satu anggotakeluarga yang juga menderita CLP.
f. Riwayat Nutrisi
Nutrisi tidak adekuat karena susu yang diminum keluar lewat hidung atau masuk ke
dalam saluran pernapasan
g. Riwayat Imunisasi
Imunisasi apa saja yang sudah didapatkan misalnya BCG, POLIOI,II, III; DPT I, II, III;
dan campak.
h. Riwayat Psikososial
Kaji psikososial yang dirasakan keluarga dalam merawat anaknyayang mengalami CLP.
3.1.2. Pemeriksaan Fisik Khusus Pada Klien dengan CLP
a. Hidung
1) Inspeksi : kecacatan pada saat lahir untuk mengidentifikasi karakteristik
sumbing, kesukaran dalam menghisap ataumakan.
2) Inspeksi pada labia skisis : tampak sebagian atau keduanya,adanya celah pada bibir.
3) Inspeksi pada palato skisis: tampak ada celah pada kedua tekak(uvula), palate lunak
dan keras, adanya rongga pada hidung,distorsia hidung
4) Palpasi dengan menggunakan jari : teraba celah atau terbukanya langit-langit saat
diperiksa dengan jari.
b. Mulut
1) Terdapat celah pada bibir, palatum, atau keduanya.
2) Periksa gigi dan gusi apakah ada pergerakan atau pembengkakan
3) Gags reflex potisif
4) Perhatikan ovula apakah simetris kiri dan kanan
5) Rooting reflex potisif
6) Sucking reflex lemah

3.1.3. Pemeriksaan Fisik Per-Sistem


a. B1 (Breath) :
Kaji kesimetrisan dada, apakah ada penggunaan otot bantu nafas.
b. B2 (Blood) :
Ukur tekanan darah, adakah perubahan frekuensi jantung
c. B3 (Brain):
Biasanya anak agak rewel, gelisah, menangis
d. B4 (Bladder):
Tidak ada masalah
e. B5 (Bowel):
Anak terjadi kesulitan dalam menyusu, biasanya anak tidakmenyusu. Sering terjadi
refluk dan berat badan menurun.
f. B6 (Bone):
Tidak ada masalah.
3.2. Pengkajian Post Op
a. Keluhan utama
b. Riwayat penyakit sekarang : kondisi setelah operasi apakah bayi tidak bisa menghisap,
bayi mengalami ketidak nyamanan
c. Pemeriksaan fisik :
a. Pada hidung apakah ada jahitan, apakah ada pernafasan cuping hidung. Inspeksi kondisi
jahitan pada mulut/palatum/bibir, masih ada celah atau tidak?, periksa adanya
perdarahan, bengkak.

3.3. Diagnosa Keperawatan :


a. Pre Operasi :
1) Ketidakefektifan pemberian ASI b.d rekfleks hisap bayi buruk
2) Ketidak seimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake tidak adekuat
3) Risiko aspirasi berhubungan dengan gangguan menelan
4) Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan kesulitan berbicara
5) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan benda asing dalam jalan
napas
b. Post Operasi :
1) Nyeri berhubungan dengan inisiasi pembedahan
2) Resiko infeksi berhubungan dengan insisi pasca pembedahan
3.4. Intervensi Keperawatan
3.4.1. Intervensi Keperawatan Pre-Operasi :

No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi


1 Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan a. Kaji kemampuan bayi
pemberian ASI b.d keperawatan, pemberian ASI untuk menghisap secara
rekfleks hisap bayi pada bayi efektif dengan efektif
buruk kriteria hasil : b. Pantau keterampilan ibu
dalam menempelkan bayi
- Keberlangsungan
ke puting
pemberian ASI untuk
menyediakan nutrisi bagi c. Fasilitasi proses bantuan
interaktif untuk membantu
bayi
No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
- Diskontinuitas progresif mempertahankan
pemberian ASI keberhasilan proses
- Pengetahuan pemberian pemberian ASI
ASI : tingkat pemahaman d. Sediakan informasi tentang
yang ditunjukkan laktasi dan teknik
mengenai laktasi dan memompa ASI, cara
pemberian akan bayi mengumpulkan dan
melalui pemberian ASI menyimpan ASI
e. Sediakan informasi tentang
keuntungan dan kerugian
pemberian ASI
2 Risiko aspirasi Setelah dilakukan tindakan a. Jelaskan pada ibu tekhnik
berhubungan dengan keperawatan, bayi/anak menyusui yang benar.
gangguan menelan terhindar dari aspirasi, dengan b. Tempatkan anak pada
kriteria hasil : posisi semi fowler
- Bayi menunjukkan c. Sendawakan bayi setelah
setiap pemberian makan
peningkatan
- kemampuan menelan, d. Pantau status pernapasan
selama pemberian makan
bertoleransi terhadap
dan tanda-tanda aspirasi
asupan oral tanpa
selama pemberian makan.
aspirasi
3 Hambatan komunikasi Setelah dilakukan tindakan a. Dorong pasien untuk
verbal berhubungan keperawatan, pasien tidak berkomunkasi secara
dengan kesulitan mengalami hambatan perlahan dan untuk
berbicara komunikasi verbal, dengan mengulangi permintaan
kriteria hasil : b. Dengarkan penuh
perhatian
- Mampu
c. Anjurkan ekspresi diri
mengkomunikasikan
dengan cara lain dalam
kebutuhan dengan
menyampaikan informasi
lingkungan
(bahasa isyarat)
- Komunikasi ekspresi :
ekspresi pesan verbal d. Kolaborasi dengan terapi
wicara
atau pun non verbal
bermakna
4 Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan a. Kaji pernafasan anak
bersihan jalan nafas keperawatan jalan nafas b. Pertahankan bayi atau anak
berhubungan dengan efektif dengan kriteria hasil: dalam posisi tegak selama
benda asing dalam jalan - Bayi atau anak tetap pemberian makan.
napas c. Hentikan pemberian makan
bebas dari komplikasi
jika anak batuk-batuk
pernapasan yang ditandai
d. Sendawakan bayi atau anak
oleh mempertahankan
pernapasan lancar, serta setelah pemberian makan
frekuensi teratur
No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
e. Lakukan suction jika
diperlukan

3.4.2. Intervensi keperawatan post operasi

No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi


1 Nyeri berhubungan Setelah dilakukan tindakan a. Kaji bayi atau anak untuk
dengan inisiasi keperawatan nyeri berkurang mengetahui iritabilitas
pembedahan dengan kriteria hasil : dan kegelisahan setiap 2
jam setelah pembedahan.
- Bayi atau anak dapat
b. Berikan posisi/rasa
mempertahankan tingkat
nyaman pada bayi
kenyamanan yang
c. Beri obat analgesik,
ditandai oleh tangisan
sesuai program.
dan iritabilitas yang
d. Lakukan aktivitas
berkurang
pengalihan, misalnya,
permainan, kartu,
videotapes, dan membaca
buku untuk anak yang
lebih besar.
2 Kerusakan integritas Setelah diberikan asuhan a. Bersihkan garis sutura
jaringan kulit keperawatan diharapkan dengan menggunakan
berhubungan dengan integritas kulit baik dengan larutan salin dan aplikator
prosedur bedah kriteria hasil : berujung kapas basah.
- Oleskan salep
- Bayi atau anak tidak
antibiotik sesuai
menderita kerusakan
program untuk
pada integritas kulit yang
ditandai oleh insisi tetap melembabkan mulut
dan mencegah
utuh, jahitan tidak
pemisahan sutura.
meregang
- Pantau tanda dan
gejala infeksi.
b. Beri sedikit air setelah
pemberian makan untuk
membersihkan mulut dari
setiap sisa susu, yang
dapat menyebabkan
pertumbuhan bakteri.
c. Pasang restrain lengan,
sesuai program.
d. Setelah pembedahan
celah bibir, posisikan bayi
atau anak dengan baik,
No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
berbaring miring atau
telentang- jangan
posisikan telungkup-
pertahankan kepala
tempat tidur ditinggikan.
BAB IV

PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Labio Palato skisis merupakan suatu kelainan yang dapat terjadi pada daerah mulut, palato
skisis (sumbing palatum) dan labio skisis (sumbing tulang) untuk menyatu selama perkembangan
embrio. Kelainan ini belum dapat diketahui secara pasti penyebabnya, kemungkinan disebabkan
oleh faktor genetik dan nongenetik seperti defisiensi nutrisi, konsumsi obat-obatan, rokok, dan
alkohol saat masa kehamilan. Labipalatoskisis ini dapat dicegah dengan mengkonsumsi asam folat,
vitamin A dan vitamin B6 saat hamil. Penatalaksanaan pada kondisi ini dapat dilakukan dengan
proses pembedahan dan diikuti dengan memberikan speech therapy. Diagnosa keperawatan pada
klien dengan labiopalatoskisis adalah ketidakefektifan pemberian ASI, ketidak seimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh, risiko aspirasi, hambatan komunikasi verbal, dan ketidakefektifan
bersihan jalan nafas. Sedangkan untuk diagnosa keperawatan setelah operasi yaitu nyeri, dan risiko
infeksi.

1.2 Saran
Sebagai mahasiswa keperawatan diharapkan terus mempelajari asuhan keperawatan pada
pasien dengan CLP secara komprehensif.
Daftar Pustaka

Behrman & Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak (edisi 15 , vol 2). Jakarta : EGC
Donna, L. Wong. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Edisi 4. EGC : Jakarta.
Hidayat, Aziz Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika
Irawan, Hendry. 2014. Teknik Operasi Labiopalatoskiziz. CDK-215/vol.41 no. 4. Kalimantan
Selatan.
Pujiastuti, Nurul.2008. Perawatan Celah Bibir dan Langitan Pada Anak Usia 4 Tahun. Indonesian
Journal of Dentistry 2008:15 (3) : 232-238. Jakarta
Sianita, Pricillia Priska. 2011. Kelainan Bibir Serta Langit-Langit dan Permasalahannya dalam
kaitan dengan Interaksi dan Perilaku. Jurnal Ilmiah dan Teknologi Kedokteran Gigi FKG
UPDM. JITEKGI 2011,8(2): 42-46. Jakarta

Você também pode gostar