Você está na página 1de 10

 Siapakah Tuhan itu?

Perkataan ilah, yang diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Quran dipakai untuk menyatakan
berbagai obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS 45 (Al-
Jatsiiyah): 23, yaitu:

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
Tuhannya….?”

Dalam QS 28 (Al-Qashash):38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri:

“Dan Fir’aun berkata: Wahai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu
selain aku.”

Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung
arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda nyata
(Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam Al-Quran juga
dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna:ilaahaini), dan banyak
(jama’: aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti
dengan definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika Al-Quran sebagai berikut:

Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.

Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:

Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepada-Nya,
merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat
berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertawakal kepadanya untuk
kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di
saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya (M.Imaduddin, 1989:56)

Atas dasar definisi ini, Tuhan itu bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan manusia.
Yang pasti, manusia tidak mungkin ateis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan
logika Al-Quran, setiap manusia pasti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan
begitu, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka
ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.

Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “la ilaaha illa Allah”. Susunan kalimat tersebut
dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan
penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan
diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya
ada satu Tuhan, yaitu Allah.

 Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan

1. Pemikiran Barat

Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang
didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik
yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah
agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari
kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori
tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB
Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan Javens. Proses perkembangan pemikiran tentang
Tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai berikut:

 Dinamisme

Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang
berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan
pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh
positif dan ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda disebut
dengan nama yang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu), dan syakti
(India). Mana adalah kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan
pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun nama
tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya.

 Animisme

Masyarakat primitif pun mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda
yang dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai
sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap
sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang apabila
kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negatif
dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai
dengan saran dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.

 Politeisme

Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan, karena


terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain
kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan
bidangnya. Ada dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yangmembidangi
masalah air, ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.

 Henoteisme

Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh


karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin
mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat
menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut
dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain. Kepercayaan
satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan Tingkat Nasional).

 Monoteisme

Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam


monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional.
Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham, yaitu:
deisme, panteisme, dan teisme.

Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max


Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan
adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang
yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka
mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap
Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.

Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan


evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa
Barat mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk memahami
sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi,
tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada
penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat
primitif. Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan
masyarakat primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu
Tuhan (Zaglul Yusuf, 1993:26-27).

2. Pemikiran Umat Islam

Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau Ilmu
Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Secara garis besar, ada aliran yang bersifat liberal, tradisional, dan ada pula yang bersifat
di antara keduanya. Sebab timbulnya aliran tersebut adalah karena adanya perbedaan
metodologi dalam memahami Al-Quran dan Hadis dengan pendekatan kontekstual
sehingga lahir aliran yang bersifat tradisional. Sedang sebagian umat Islam yang lain
memahami dengan pendekatan antara kontektual dengan tektual sehingga lahir aliran
yang bersifat antara liberal dengan tradisional. Ketiga corak pemikiran ini telah mewarnai
sejarah pemikiran ilmu ketuhanan dalam Islam. Aliran tersebut yaitu:

a. Mu’tazilah yang merupakan kaum rasionalis di kalangan muslim, serta menekankan


pemakaian akal pikiran dalam memahami semua ajaran dan keimanan dalam Islam.
Orang islam yang berbuat dosa besar, tidak kafir dan tidak mukmin. Ia berada di antara
posisi mukmin dan kafir (manzilah bainal manzilatain).

Dalam menganalisis ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu logika Yunani, satu
sistem teologi untuk mempertahankan kedudukan keimanan. Hasil dari paham Mu’tazilah
yang bercorak rasional ialah muncul abad kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Namun kemajuan ilmu pengetahuan akhirnya menurun dengan kalahnya mereka dalam
perselisihan dengan kaum Islam ortodoks. Mu’tazilah lahir sebagai pecahan dari
kelompok Qadariah, sedang Qadariah adalah pecahan dari Khawarij.

b. Qodariah yang berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak


dan berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia akan kafir atau mukmin dan
hal itu yang menyebabkan manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
c. Jabariah yang merupakan pecahan dari Murji’ah berteori bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku manusia
ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan.

d. Asy’ariyah dan Maturidiyah yang pendapatnya berada di antara Qadariah dan


Jabariah

Semua aliran itu mewarnai kehidupan pemikiran ketuhanan dalam kalangan umat islam
periode masa lalu. Pada prinsipnya aliran-aliran tersebut di atas tidak bertentangan
dengan ajaran dasar Islam. Oleh karena itu umat Islam yang memilih aliran mana saja
diantara aliran-aliran tersebut sebagai teologi mana yang dianutnya, tidak menyebabkan
ia keluar dari islam. Menghadapi situasi dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang
ini, umat Islam perlu mengadakan koreksi ilmu berlandaskan al-Quran dan Sunnah Rasul,
tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu. Di antara aliran tersebut yang
nampaknya lebih dapat menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan meningkatkan
etos kerja adalah aliran Mu’tazilah dan Qadariah.

 Pembuktian Wujud Tuhan

1. Metode Pembuktian Ilmiah

Tantangan zaman modern terhadap agama terletak dalam masalah metode pembuktian.
Metode ini mengenal hakikat melalui percobaan dan pengamatan, sedang akidah agama
berhubungan dengan alam di luar indera, yang tidak mungkin dilakukan percobaan
(agama didasarkan pada analogi dan induksi). Hal inilah yang menyebabkan menurut
metode ini agama batal, sebab agama tidak mempunyai landasan ilmiah.

Sebenarnya sebagian ilmu modern juga batal, sebab juga tidak mempunyai landasan
ilmiah. Metode baru tidak mengingkari wujud sesuatu, walaupun belum diuji secara
empiris. Di samping itu metode ini juga tidak menolak analogi antara sesuatu yang tidak
terlihat dengan sesuatu yang telah diamati secara empiris. Hal ini disebut dengan “analogi
ilmiah” dan dianggap sama dengan percobaan empiris.

Suatu percobaan dipandang sebagai kenyataan ilmiah, tidak hanya karena percobaan itu
dapat diamati secara langsung. Demikian pula suatu analogi tidak dapat dianggap salah,
hanya karena dia analogi. Kemungkinan benar dan salah dari keduanya berada pada
tingkat yang sama.

Percobaan dan pengamatan bukanlah metode sains yang pasti, karena ilmu pengetahuan
tidak terbatas pada persoalan yang dapat diamati dengan hanya penelitian secara empiris
saja. Teori yang disimpulkan dari pengamatan merupakan hal-hal yang tidak punya jalan
untuk mengobservasi. Orang yang mempelajari ilmu pengetahuan modern berpendapat
bahwa kebanyakan pandangan pengetahuan modern, hanya merupakan interpretasi
terhadap pengamatan dan pandangan tersebut belum dicoba secara empiris. Oleh karena
itu banyak sarjana percaya padanya hakikat yang tidak dapat diindera secara langsung.
Sarjana mana pun tidak mampu melangkah lebih jauh tanpa berpegang pada kata-kata
seperti: “Gaya” (force), “Energy”, “alam” (nature), dan “hukum alam”. Padahal tidak ada
seorang sarjana pun yang mengenal apa itu: “Gaya, energi, alam, dan hukum alam”.
Sarjana tersebut tidak mampu memberikan penjelasan terhadap kata-kata tersebut secara
sempurna, sama seperti ahli teologi yang tidak mampu memberikan penjelasan tentang
sifat Tuhan. Keduanya percaya sesuai dengan bidangnya pada sebab-sebab yang tidak
diketahui.

Dengan demikian tidak berarti bahwa agama adalah “iman kepada yang ghaib” dan ilmu
pengetahuan adalah percaya kepada “pengamatan ilmiah”. Sebab, baik agama maupun
ilmu pengetahuan kedua-duanya berlandaskan pada keimanan pada yang ghaib. Hanya
saja ruang lingkup agama yang sebenarnya adalah ruang lingkup “penentuan hakikat”
terakhir dan asli, sedang ruang lingkup ilmu pengetahuan terbatas pada pembahasan ciri-
ciri luar saja. Kalau ilmu pengtahuan memasuki bidang penentuan hakikat, yang
sebenarnya adalah bidang agama, berarti ilmu pengetahuan telah menempuh jalan iman
kepada yang ghaib. Oleh sebab itu harus ditempuh bidang lain.

Para sarjana masih menganggap bahwa hipotesis yang menafsirkan pengamatan tidak
kurang nilainya dari hakikat yang diamati. Mereka tidak dapat mengatakan: Kenyataan
yang diamati adalah satu-satunya “ilmu” dan semua hal yang berada di luar kenyataan
bukan ilmu, sebab tidak dapat diamati. Sebenarnya apa yang disebut dengan iman kepada
yang ghaib oleh orang mukmin, adalah iman kepada hakikat yang tidak dapat diamati.
Hal ini tidak berarti satu kepercayaan buta, tetapi justru merupakan interpretasi yang
terbaik terhadap kenyataan yang tidak dapat diamati oleh para sarjana.

2. Keberadaan Alam Membuktikan Adanya Tuhan

Adanya alam serta organisasinya yang menakjubkan dan rahasianya yang pelik, tidak
boleh tidak memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah
menciptakannya, suatu “Akal” yang tidak ada batasnya. Setiap manusia normal percaya
bahwa dirinya “ada” dan percaya pula bahwa alam ini “ada”. Dengan dasar itu dan
dengan kepercayaan inilah dijalani setiap bentuk kegiatan ilmiah dan kehidupan.

Jika percaya tentang eksistensi alam, maka secara logika harus percaya tentang adanya
Pencipta Alam. Pernyataan yang mengatakan: <<Percaya adanya makhluk, tetapi
menolak adanya Khaliq>> adalah suatu pernyataan yang tidak benar. Belum pernah
diketahui adanya sesuatu yang berasal dari tidak ada tanpa diciptakan. Segala sesuatu
bagaimanapun ukurannya, pasti ada penyebabnya. Oleh karena itu bagaimana akan
percaya bahwa alam semesta yang demikian luasnya, ada dengan sendirinya tanpa
pencipta?

3. Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Fisika

Sampai abad ke-19 pendapat yang mengatakan bahwa alam menciptakan dirinya sendiri
(alam bersifat azali) masih banyak pengikutnya. Tetapi setelah ditemukan “hukum kedua
termodinamika” (Second law of Thermodynamics), pernyataan ini telah kehilangan
landasan berpijak.

Hukum tersebut yang dikenal dengan hukum keterbatasan energi atau teori pembatasan
perubahan energi panas membuktikan bahwa adanya alam tidak mungkin bersifat azali.
Hukum tersebut menerangkan bahwa energi panas selalu berpindah dari keadaan panas
beralih menjadi tidak panas. Sedang kebalikannya tidak mungkin, yakni energi panas
tidak mungkin berubah dari keadaan yang tidak panas menjadi panas. Perubahan energi
panas dikendalikan oleh keseimbangan antara “energi yang ada” dengan “energi yang
tidak ada”.

Bertitik tolak dari kenyataan bahwa proses kerja kimia dan fisika di alam terus
berlangsung, serta kehidupan tetap berjalan. Hal itu membuktikan secara pasti bahwa
alam bukan bersifat azali. Seandainya alam ini azali, maka sejak dulu alam sudah
kehilangan energinya, sesuai dengan hukum tersebut dan tidak akan ada lagi kehidupan di
alam ini. Oleh karena itu pasti ada yang menciptakan alam yaitu Tuhan.

4. Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Astronomi

Benda alam yang paling dekat dengan bumi adalah bulan, yang jaraknya dari bumi sekitar
240.000 mil, yang bergerak mengelilingi bumi dan menyelesaikan setiap edarannya
selama dua puluh sembilan hari sekali. Demikian pula bumi yang terletak 93.000.000.000
mil dari matahari berputar pada porosnya dengan kecepatan seribu mil per jam dan
menempuh garis edarnya sepanjang 190.000.000 mil setiap setahun sekali. Di samping
bumi terdapat gugus sembilan planet tata surya, termasuk bumi, yang mengelilingi
matahari dengan kecepatan luar biasa.

Matahari tidak berhenti pada suatu tempat tertentu, tetapi ia beredar bersama-sama
dengan planet-planet dan asteroid mengelilingi garis edarnya dengan kecepatan 600.000
mil per jam. Di samping itu masih ada ribuan sistem selain “sistem tata surya” kita dan
setiap sistem mempunyai kumpulan atau galaxy sendiri-sendiri. Galaxy-galaxy tersebut
juga beredar pada garis edarnya. Galaxy dimana terletak sistem matahari kita, beredar
pada sumbunya dan menyelesaikan edarannya sekali dalam 200.000.000 tahun cahaya.

Logika manusia dengan memperhatikan sistem yang luar biasa dan organisasi yang teliti,
akan berkesimpulan bahwa mustahil semuanya ini terjadi dengan sendirinya, bahkan akan
menyimpulkan bahwa di balik semuanya itu ada kekuatan maha besar yang membuat dan
mengendalikan sistem yang luar biasa tersebut, kekuatan maha besar tersebut adalah
Tuhan.

Metode pembuktian adanya Tuhan melalui pemahaman dan penghayatan keserasian alam
tersebut oleh Ibnu Rusyd diberi istilah “dalil ikhtira”. Di samping itu Ibnu Rusyd juga
menggunakan metode lain yaitu “dalil inayah”. Dalil ‘inayah adalah metode pembuktian
adanya Tuhan melalui pemahaman dan penghayatan manfaat alam bagi kehidupan
manusia (Zakiah Daradjat, 1996:78-80).

Pengertian Iman

Kebanyakan orang menyatakan bahwa kata iman berasal dari kata kerja amina-yu’manu-
amanan yang berarti percaya. Oleh karena itu, iman yang berarti percaya menunjuk sikap
batin yang terletak dalam hati. Akibatnya, orang yang percaya kepada Allah dan
selainnya seperti yang ada dalam rukun iman, walaupun dalam sikap kesehariannya tidak
mencerminkan ketaatan dan kepatuhan (taqwa) kepada yang telah dipercayainya, masih
disebut orang yang beriman. Hal itu disebabkan karena adanya keyakinan mereka bahwa
yang tahu tentang urusan hati manusia adalah Allah dan dengan membaca dua kalimah
syahadat telah menjadi Islam.
Dalam surah al-Baqarah ayat 165 dikatakan bahwa orang yang beriman adalah orang
yang amat sangat cinta kepada Allah (asyaddu hubban lillah). Oleh karena itu beriman
kepada Allah berarti amat sangat rindu terhadap ajaran Allah, yaitu Al-Quran menurut
Sunnah Rasul. Hal itu karena apa yang dikehendaki Allah, menjadi kehendak orang yang
beriman, sehingga dapat menimbulkan tekad untuk mengorbankan segalanya dan kalau
perlu mempertaruhkan nyawa.

Dalam hadits diriwayatkan Ibnu Majah Atthabrani, iman didefinisikan dengan keyakinan
dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan amal perbuatan (Al-
Immaanu ‘aqdun bil qalbi waigraarun billisaani wa’amalun bil arkaan). Dengan demikian,
iman merupakan kesatuan atau keselarasan antara hati, ucapan, dan laku perbuatan, serta
dapat juga dikatakan sebagai pandangan dan sikap hidup atau gaya hidup.

Istilah iman dalam al-Qur’an selalu dirangkaikan dengan kata lain yang memberikan
corak dan warna tentang sesuatu yang diimani, seperti dalam surat an-Nisa’:51 yang
dikaitkan dengan jibti (kebatinan/idealisme) dan thaghut (realita/naturalisme). Sedangkan
dalam surat al-Ankabut: 52 dikaitkan dengan kata bathil, yaitu walladziina aamanuu bil
baathili. Bhatil berarti tidak benar menurut Allah. Dalam surat lain iman dirangkaikan
dengan kata kaafir atau dengan kata Allah. Sementara dalam al-Baqarah: 4, iman
dirangkaikan dengan kata ajaran yang diturunkan Allah (yu’minuuna bimaa unzila ilaika
wamaa unzila min qablika).

Kata iman yang tidak dirangkaikan dengan kata lain dalam al-Qur’an, mengandung arti
positif. Dengan demikian, kata iman yang tidak dikaitkan dengan kata Allah atau dengan
ajarannya, dikatakan sebagai iman haq. Sedangkan yang dikaitkan dengan selainnya,
disebut iman bathil.

Wujud Iman

Akidah Islam dalam al-Qur’an disebut iman. Iman bukan hanya berarti percaya,
melainkan keyakinan yang mendorong seorang muslim untuk berbuat. Oleh karena itu
lapangan iman sangat luas, bahkan mencakup segala sesuatu yang dilakukan seorang
muslim yang disebut amal saleh.

Seseorang dinyatakan iman bukan hanya percaya terhadap sesuatu, melainkan


kepercayaan itu mendorongnya untuk mengucapkan dan melakukan sesuatu sesuai
dengan keyakinan. Karena itu iman bukan hanya dipercayai atau diucapkan, melainkan
menyatu secara utuh dalam diri seseorang yang dibuktikan dalam perbuatannya.

Akidah Islam adalah bagian yang paling pokok dalam agama Islam. Ia merupakan
keyakinan yang menjadi dasar dari segala sesuatu tindakan atau amal. Seseorang
dipandang sebagai muslim atau bukan muslim tergantung pada akidahnya. Apabila ia
berakidah Islam, maka segala sesuatu yang dilakukannya akan bernilai sebagai amaliah
seorang muslim atau amal saleh. Apabila tidak beraqidah, maka segala amalnya tidak
memiliki arti apa-apa, kendatipun perbuatan yang dilakukan bernilai dalam pendengaran
manusia.

Akidah Islam atau iman mengikat seorang muslim, sehingga ia terikat dengan segala
aturan hukum yang datang dari Islam. Oleh karena itu menjadi seorang muslim berarti
meyakini dan melaksanakan segala sesuatu yang diatur dalam ajaran Islam. Seluruh
hidupnya didasarkan pada ajaran Islam.

Proses Terbentuknya Iman

Spermatozoa dan ovum yang diproduksi dan dipertemukan atas dasar ketentuan yang
digariskan ajaran Allah, merupakan benih yang baik. Allah menginginkan agar makanan
yang dimakan berasal dari rezeki yang halalanthayyiban. Pandangan dan sikap hidup
seorang ibu yang sedang hamil mempengaruhi psikis yang dikandungnya. Ibu yang
mengandung tidak lepas dari pengaruh suami, maka secara tidak langsung pandangan dan
sikap hidup suami juga berpengaruh secara psikologis terhadap bayi yang sedang
dikandung. Oleh karena jika seseorang menginginkan anaknya kelak menjadi mukmin
yang muttaqin, maka isteri hendaknya berpandangan dan bersikap sesuai dengan yang
dikehendaki Allah.

Benih iman yang dibawa sejak dalam kandungan memerlukan pemupukan yang
berkesinambungan. Benih yang unggul apabila tidak disertai pemeliharaan yang intensif,
besar kemungkinan menjadi punah. Demikian pula halnya dengan benih iman. Berbagai
pengaruh terhadap seseorang akan mengarahkan iman/kepribadian seseorang, baik yang
datang dari lingkungan keluarga, masyarakat, pendidikan, maupun lingkungan termasuk
benda-benda mati seperti cuaca, tanah, air, dan lingkungan flora serta fauna.

Pengaruh pendidikan keluarga secara langsung maupun tidak langsung, baik yang
disengaja maupun tidak disengaja amat berpengaruh terhadap iman seseorang. Tingkah
laku orang tua dalam rumah tangga senantiasa merupakan contoh dan teladan bagi anak-
anak. Tingkah laku yang baik maupun yang buruk akan ditiru anak-anaknya. Jangan
diharapkan anak berperilaku baik, apabila orang tuanya selalu melakukan perbuatan yang
tercela. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda, “Setiap anak, lahir membawa fitrah. Orang
tuanya yang berperan menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.

Pada dasarnya, proses pembentukan iman juga demikian. Diawali dengan proses
perkenalan, kemudian meningkat menjadi senang atau benci. Mengenal ajaran Allah
adalah langkah awal dalam mencapai iman kepada Allah. Jika seseorang tidak mengenal
ajaran Allah, maka orang tersebut tidak mungkin beriman kepada Allah.

Seseorang yang menghendaki anaknya menjadi mukmin kepada Allah, maka ajaran Allah
harus diperkenalkan sedini mungkin sesuai dengan kemampuan anak itu dari tingkat
verbal sampai tingkat pemahaman. Bagaimana seorang anak menjadi mukmin, jika
kepada mereka tidak diperkenalkan al-Qur’an.

Di samping proses pengenalan, proses pembiasaan juga perlu diperhatikan, karena tanpa
pembiasaan, seseorang bisa saja semula benci berubah menjadi senang. Seorang anak
harus dibiasakan untuk melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi hal-hal
yang dilarang-Nya, agar kelak setelah dewasa menjadi senang dan terampil dalam
melaksanakan ajaran-ajaran Allah.

Berbuat sesuatu secara fisik adalah satu bentuk tingkah laku yang mudah dilihat dan
diukur. Tetapi tingkah laku tidak terdiri atas perbuatan yang tampak saja. Di dalamnya
tercakup juga sikap-sikap mental yang tidak selalu mudah ditanggapi kecuali secara fisik
langsung (misalnya, melalui ucapan atau perbuatan yang diduga dapat menggambarkan
sikap mental tersebut), bahkan secara tidak langsung itu adakalanya cukup sulit menarik
kesimpulan yang teliti. Di dalam tulisan ini dipergunakan istilah tingkah laku dalam arti
luas dan dikaitkan dengan nilai-nilai hidup, yakni seperangkat nilai yang diterima oleh
manusia sebagai nilai yang penting dalam kehidupan, yaitu iman. Yang dituju adalah
tingkah laku yang merupakan perwujudan nilai-nilai hidup tertentu, yang disebut tingkah
laku terpola.

Tanda-tanda Orang Beriman

Al-Qur’an menjelaskan tanda-tanda orang yang beriman sebagai berikut:

1. Jika disebut nama Allah, maka hatinya bergetar dan berusaha agar ilmu Allah
tidak lepas dari syaraf memorinya, serta jika dibacakan ayat al-Qur’an, maka
bergejolak hatinya untuk segera melaksanakannya (al-Anfal: 2). Dia akan
memahami ayat yang tidak dia pahami.
2. Senantiasa tawakal, yaitu bekerja keras berdasarkan kerangka ilmu Allah, diiringi
dengan doa, yaitu harapan untuk tetap hidup dengan ajaran Allah menurut Sunnah
Rasul (Ali Imran: 120, al-Maidah: 12, al-Anfal: 2, at-Taubah: 52, Ibrahim: 11,
Mujadalah: 10, dan at-Taghabun:13).
3. Tertib dalam melaksanakan shalat dan selalu menjaga pelaksanaannya (al-Anfal: 3
dan al-Mu’minun: 2, 7). Bagaimanapun sibuknya, kalau sudah masuk waktu
shalat, dia segera shalat untuk membina kualitas imannya.
4. Menafkahkan rezki yang diterimanya (al-Anfal: 3 dan al-Mukminun:4). Hal ini
dilakukan sebagai suatu kesadaran bahwa harta yang dinafkahkan di jalan Allah
merupakan upaya pemerataan ekonomi, agar tidak terjadi ketimpangan antara
yang kaya dengan yang miskin.
5. Menghindari perkataan yang tidak bermanfaat dan menjaga kehormatan (al-
Mukminun: 3,5). Perkataan yang bermanfaat atau yang baik adalah yang
berstandar ilmu Allah, yaitu al-Qur’an menurut Sunnah Rasulullah.
6. Memelihara amanah dan menepati janji (al-Mukminun: 6). Seorang mu’min tidak
akan berkhianat dan dia akan selalu memegang amanah dan menepati janji.
7. Berjihad di jalan Allah dan suka menolong (al-Anfal:74). Berjihad di jalan Allah
adalah bersungguh-sungguh dalam menegakkan ajaran Allah, baik dengan harta
benda yang dimiliki maupun dengan nyawa.
8. Tidak meninggalkan pertemuan sebelum meminta izin (an-Nur: 62). Sikap seperti
itu merupakan salah satu sikap hidup seorang mukmin, orang yang berpandangan
dengan ajaran Allah menurut Sunnah Rasul.

Akidah Islam sebagai keyakinan membentuk perilaku bahkan mempengaruhi kehidupan


seorang muslim. Abu A’la Maudadi menyebutkan tanda orang beriman sebagai berikut:

1. Menjauhkan diri dari pandangan yang sempit dan picik.


2. Mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri dan tahu harga diri
3. Mempunyai sifat rendah hati dan khidmat
4. Senantiasa jujur dan adil
5. Tidak bersifat murung dan putus asa dalam menghadapi setiap persoalan dan
situasi
6. Mempunyai pendirian teguh, kesabaran, ketabahan, dan optimisme.
7. Mempunyai sifat ksatria, semangat dan berani, tidak gentar menghadapi resiko,
bahkan tidak takut kepada maut.
8. Mempunyai sikap hidup damai dan ridha.
9. Patuh, taat, dan disiplin menjalankan peraturan Ilahi.

 Korelasi Keimanan dan Ketakwaan

Keimanan pada keesaan Allah yang dikenal dengan istilah tauhid dibagi menjadi dua,
yaitu tauhid teoritis dan tauhid praktis. Tauhid teoritis adalah tauhid yang membahas
tentang keesaan Zat, keesaan Sifat, dan keesaaan Perbuatan Tuhan. Pembahasan keesaan
Zat, Sifat, dan Perbuatan Tuhan berkaitan dengan kepercayaan, pengetahuan, persepsi,
dan pemikiran atau konsep tentang Tuhan. Konsekuensi logis tauhid teoritis adalah
pengakuan yang ikhlas bahwa Allah adalah satu-satunya Wujud Mutlak, yang menjadi
sumber semua wujud.

Adapun tauhid praktis yang disebut juga tauhid ibadah, berhubungan dengan amal ibadah
manusia. Tauhid praktis merupakan terapan dari tauhid teoritis. Kalimat Laa ilaaha
illallah (Tidak ada Tuhan selain Allah) lebih menekankan pengertian tauhid praktis
(tauhid ibadah). Tauhid ibadah adalah ketaatan hanya kepada Allah. Dengan kata lain,
tidak ada yang disembah selain Allah, atau yang berhak disembah hanyalah Allah semata
dan menjadikan-Nya tempat tumpuan hati dan tujuan segala gerak dan langkah.

Selama ini pemahaman tentang tauhid hanyalah dalam pengertian beriman kepada Allah,
Tuhan Yang Maha Esa. Mempercayai saja keesaan Zat, Sifat, dan Perbuatan Tuhan, tanpa
mengucapkan dengan lisan serta tanpa mengamalkan dengan perbuatan, tidak dapat
dikatakan seorang yang sudah bertauhid secara sempurna. Dalam pandangan Islam, yang
dimaksud dengan tauhid yang sempurna adalah tauhid yang tercermin dalam ibadah dan
dalam perbuatan praktis kehidupan manusia sehari-hari. Dengan kata lain, harus ada
kesatuan dan keharmonisan tauhid teoritis dan tauhid praktis dalam diri dan dalam
kehidupan sehari-hari secara murni dan konsekuen.

Dalam menegakkan tauhid, seseorang harus menyatukan iman dan amal, konsep dan
pelaksanaan, fikiran dan perbuatan, serta teks dan konteks. Dengan demikian bertauhid
adalah mengesakan Tuhan dalam pengertian yakin dan percaya kepada Allah melalui
pikiran, membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan
perbuatan. Oleh karena itu seseorang baru dinyatakan beriman dan bertakwa, apabila
sudah mengucapkan kalimat tauhid dalam syahadat asyhadu allaa ilaaha illa Alah, (Aku
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah), kemudian diikuti dengan mengamalkan
semua perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya.

Você também pode gostar