Você está na página 1de 7

UNDANG – UNDANG YANG MENGATUR AMDAL

AMDAL diatur dalam UU No 32 Tahun 2009, AMDAL mendapat porsi yang cukup
banyak dibandingkan instrumen lingkungan lainnya, dari 127 pasal yang ada, 23 pasal
diantaranya mengatur tentang AMDAL. Tetapi pengertian AMDAL pada UU No. 32 Tahun
2009 berbeda dengan UU No. 23 Tahun 1997, yaitu hilangnya “dampak besar”. Jika dalam
UU No. 23 Tahun 1997 disebutkan bahwa “AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar
dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup ......”,
pada UU No. 32 Tahun 2009 disebutkan bahwa “ AMDAL adalah kajian mengenai dampak
penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan .....”.
Dari ke 23 pasal tersebut, ada pasal-pasal penting yang sebelumnya tidak termuat
dalam UU No. 23 Tahun 1997 maupun PP No.27 Tahun 1999 dan memberikan implikasi
yang besar bagi para pelaku AMDAL, termasuk pejabat pemberi ijin. Hal-hal penting baru
yang terkait dengan AMDAL yang termuat dalam UU No. 32 Tahun 2009, antara lain:
a. AMDAL dan UKL/UPL merupakan salah satu instrumen pencegahan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
b. Penyusun dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun
dokumen AMDA
c. Komisi penilai AMDAL Pusat, Propinsi, maupun kab/kota wajib memiliki lisensi
AMDAL;
d. Amdal dan UKL/UPL merupakan persyaratan untuk penerbitan izin lingkungan
e. Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai
kewenangannya.
Selain ke - 5 hal tersebut di atas, ada pengaturan yang tegas yang diamanatkan
dalam UU No. 32 Tahu 2009, yaitu dikenakannya sanksi pidana dan perdata terkait
pelanggaran bidang AMDAL. Pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi-sanksi tersebut,
yaitu:
a. Sanksi terhadap orang yang melakukan usaha/kegiatan tanpa memiliki izin
lingkungan;
b. Sanksi terhadap orang yang menyusun dokumen AMDAL tanpa memiliki sertifikat
kompetensi;
c. Sanksi terhadap pejabat yang memberikan izin lingkungan yang tanpa dilengkapi
dengan dokumen AMDAl atau UKL-UPL.
Kaitan UU No. 32 Tahun 209 dengan Peraturan Menteri LH No. 11 Tahun 2008:
Sebelum disahkannya UU No. 32 Tahun 2009, KLH sudah menerbitkan peraturan
menteri yang mengatur tentang Persyaratan Kompetensi Penyusun Dokumen AMDAL
(Permen. LH No. 11 Tahun 2008). Pada Pasal 4 Permen. LH No. 11 Tahun 2008 disebutkan
bahwa persyaratan minimal untuk menyusun suatu dokumen AMDAL adalah 3 (tiga) orang
dengan kualifikasi 1 orang Ketua Tim dan 2 orang Anggota Tim yang kesemuanya sudah
memiliki sertifikat kompetensi. Sementara amanat dalam UU No. 32 Tahun 2009 yang
tertuang dalam Pasal 28 adalah ”Penyusun dokumen sebagaimana ... wajib memiliki sertifikat
penyusun dokumen AMDAL". Jika yang dimaksud "penyusun dokumen AMDAL" pada
undang-undang lingkungan yang baru adalah seluruh tim yang ada dalam suatu proses
penyusunan dokumen AMDAL, maka dengan demikian Permen. LH No. 11 Tahun 2008
Pasal 4 sudah tidak berlaku lagi. Implikasinya selanjutnya adalah masa berlakunya
persyaratan tersebut harus mundur sampai ada peraturan menteri yang secara rinci mengatur
tentang hal itu sesuai amanat dalam Pasal 28 Ayat (4) yang memberikan kewenangan kepada
KLH untuk membuat peraturan yang mengatur lebih rinci hal tersebut.
Kaitan dengan Peraturan Menteri No. 06 Tahun 2008:
Sama seperti Permen. LH No. 11 Tahun 2008, ada perbedaan pengaturan yang
diamanatkan dalam UU No. 32 Tahun 2009 dengan Permen. LH No. 06 Tahun 2008 tentang
Tata Laksana Lisensi Komisi Penilai AMDAL yang berlaku efektif pada tanggal 16 Juli 2009.
Dalam peraturan ini persyaratan lisensi komisi penilai diberikan kepada komisi penilai
AMDAL kabupaten atau kota dan yang menerbitkan lisensi tersebut adalah instansi
lingkungan hidup propinsi. Sementara dalam UU No. 32 Tahun 2009, komisi penilai
AMDAL yang harus dilisensi selain komisi penilai AMDAL kabupaten atau kota, tetapi juga
terhadap komisi penilai AMDAL pusat dan propinsi yang bukti lisensinya diberikan oleh
masing-masing pejabatnya (Menteri, gubernur, bupati dan walikota). Yang menjadi
pertanyaan adalah bagaimana bentuk pengawasan terhadap pemberian lisensi tersebut jika
masing-masing pejabat berhak mengeluarkan bukti lisensi terhadap komisi penilainya. Maka
dalam perubahan Permen No. 06 Tahun 2008, KLH harus mengetatkan persyaratan
penerbitan lisensi untuk komisi penilai masing-masing daerah termasuk untuk komisi penilai
penilai pusat.

Perundang-undangan dan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL)


pada Central Park Mediterania Garden Residences
1. Undang-undang Aturan Hukum Amdal
Peraturan menteri negara lingkungkungan hidup nomor 11 tahun 2006 tentang jenis
rencana usaha yang wajib dilengkapi dengan analisis dampak lingkungan hidup
Menteri negara lingkungan hidup.
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 3 ayat (2) peraturan pemerintah
nomor 27 tahun 1999 tentang analisis mengenai dampak lingkungan hidup telah di tetapkan
keputusan menteri negara lingkungan hidup nomor 17 tahun 2001 tentang jenis usaha dan
kegiatan yang wajib dilengkapi dengan analisis dampak lingkungan hidup.
a) UU Lingkungan Hidup
Pada 11 Maret 1982, diundangkan sebuah produk hukum mengenai pengelolaan
lingkungan, dengan nama Undang-Undang No 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, sering disingkat dengan UUPLH. Dengan hadirnya
UU Lingkungan ini, terbukalah lembaran baru bagi kebijaksanaan lingkungan hidup di
Indonesia, guna terciptanya pengendalian kondisi lingkungan yang memiliki harmoni yang
baik dengan dimensi-dimensi pembangunan.
UU No 4 Tahun 1982, mengandung ketentuan-ketentuan pokok sebagai dasar bagi
peraturan pelaksanaannya. Dengan demikian, UU ini berfungsi sebagai ketentuan payung
(umbrella provision) bagi peraturan perundangan lingkungan hidup lainnya, termasuk pula
menjadi dasar dan landasan bagi pembaruan hukum dan penyesuaian peraturan-peraturan
perundangan yang sudah lama (Danusaputro, 1982:25).
Kemudian, dengan banyaknya pekembangan mengenai konsep dan pemikiran
mengenai masalah lingkungan, dengan mengingat hasil-hasil yang dicapai masyarakat dunia
melalui KTT Rio tahun 1992, dirasakan UU No 4 Tahun 1982 sudah tidak banyak iagi
menjangkau perkembangan-perkembangan yang ada, sehingga perlu ditinjau dengan
membuat penggantinya. Untuk itulah lima tahun kemudian setelah berlangsungnya KTT Rio,
dibuat UUPLH yang baru sebagai pengganti UU No 4 Tahun 1982, yakni UU No 23 Tahun
1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup, diundangkan tanggal 19 September 1997
melalui Lembaran Negara No 68 Tahun 1997.
UUPLH baru atau UU No 23 Tahun 1997 memuat berbagai pengaturan sebagai
respons terhadap berbagai kebutuhan yang berkembang yang tidak mampu diatasi melalui
UU No 4 Tahun 1982. Demikian juga UU baru ini dimaksudkan untuk menyerap nilai-nilai
yang bersifat keterbukaan, paradigma pengawasan masyarakat asas pengelolaan dan
kekuasaan Negara berbasis kepentingan publik (bottom-up), akses publik terhadap manfaat
sumber daya alam, dan keadilan lingkungan (environmental justice).
UUPLH menjadi dasar bagi semua pengelolaan lingkungan. Dengan demikian
berbagai pengaturan mengenai pengelolaan lingkungan, mengacu kepada UUPLH.
Permasalahannya, bagaimana dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat teknis
yang telah ada UU-nya tersendiri. Misalnya di bidang pertanahan ada UUPA No. 5 Tahun
1960, di bidang air ada UU No. 7 Tahun 2004, di bidang penataan ruang ada UU No. 26
Tahun 2007, di bidang kehutanan, ada UU No. 41 Tahun 1999, dan lain-lain.
Semua peraturan perundang-undangan tersebut harus memiliki sinkronisasi dan
tidak tumpang tindih. Pada legislali nasional telah mencegah keadaan tumpang tindih
berdasarkan UU no. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Namun apabila masih tetap terjadi keadaan-keadaan seperti kesenjangan peraturan, tumpang
tindih, penafsiran ganda, dan lain-lain. Dapat diatasi dengan berpedoman kepada asas-asas:
1. Lex specialis derogat legi generalis, yakni mengutamakan undang undang khusus
2. Lex superiors derogat legi inferiors, dengan mengutamakan UU/ Peraturan yang
lebih tinggi;
3. Lex posteriori derogat legi priori, yakni menggunakan UU/Ketentuan yang lebih
baru dan mengenyampingkan UU/Ketentuan yang terdahulu.
UU No 23 Tabun 1997, memang belum berperan maksimal sebagai dasar menangani
masalah lingkungan dalam hubungannya dengan pembangunan. Demikian pula dengan
konsep-konsep yang dicapai dalam Deklarasi Rio, belum banyak yang diserap sebagai
instrumen hukum dan kebijakan menata lingkungan. Namun dari segi landasan hukum, UU
ini dapat dikatakan sudah cukup lebih baik dari UU sebelumnya.
Berbagai aspek penanganan lingkungan di Indonesia masih terus dilakukan.
Penanganannya terutama dengan pelaksanaan prinsip-prinsip UUPLH, di samping
mengimplementasikan perkembangan-perkembangan yang bersifat global, seperti hasil-hasil
KTT Rio 1992, KTT Johannesburg 2002, dan berbagai konvensi internasional mengenai
aspek lingkungan. Ratifikasi telah dilakukan atas berbagai konvensi internasional, baik yang
dihasilkan oleh KTT Rio maupun konvensi lain, sebagai langkah untuk memudahkan
pelaksanaan kebijakan lingkungan di Indonesia. Agenda 21 KTT Rio sudah
diimplementasikan dalam Agenda 21 Indonesia atau Agenda 21 Nasional sebagai sarana
inspirasi pada rencana pembangunan. Agenda 21 Nasional kemudian diimplementasi pada
Agenda 21 Propinsi dan Agenda 21 Kabupaten/Kota yang mencakup semua bidang untuk
dikerangkakan kepada perencanaan daerah masing-masing.
b) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2012 Tentang
Keterlibatan Masyarakat Dalam AMDAL dan Izin Lingkungan :
Satu lagi Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup yang diterbitkan pada tahun
2012, yaitu peraturan teknis terkait terbitnya PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan.Peraturan tersebut adalah Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
17 Tahun 2012 tentang Keterlibatan Masyarakat Dalam AMDAL dan Izin Lingkungan.
Peraturan ini mengatur tentang tata cara pelibatan masyarakat dalam proses AMDAL, dimulai
dari pengumuman rencana usaha dan/atau kegiatan yang saat ini hanya dilakukan 10
(sepuluh) hari, masyarakat mana saja yang dilibatkan dalam proses AMDAL, penunjukkan
wakil masyarakat yang terlibat dalam keanggotan Komisi Penilai AMDAL, dan pelaksanaan
konsultasi publik.Selain itu peraturan ini juga mengatur peran masyarakat dalam proses
penerbitan izin lingkungan, dimana dalam penerbitan izin lingkungan diatur adanya
pengumumam pada saat permohonan dan pesertujuan izin lingkungan.Dengan terbitnya
PermenLH Nomor 17 Tahun 2012 tentang Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses AMDAL
dan Izin Lingkungan, maka Keputusan Kepala Bapedal Nomor 08 Tahun 2000 tentang
Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses AMDAL dinayatakan
dicabut dan tidak berlaku.
c) P.P ( 2012 )
Pada 23 Februari 2012, ditetapkan dan diundangkan Peraturan Pemerintah
nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (PP 27/2012). PP ini diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48 dan Tambahan Lembaran
Negara Tahun 2012 Nomor 5285. PP 27/2012 disusun sebagai pelaksanaan ketentuan dalam
Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UU 32/2009), khususnya ketentuan dalam Pasal 33 dan Pasal 41. PP 27/2012 mengatur dua
instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu instrumen kajian
lingkungan hidup (dalam bentuk amdal dan UKL-UPL) serta instrumen Izin Lingkungan.
Penggabungan substansi tentang amdal dan izin lingkungan dalam PP ini dilakukan dengan
pertimbangan bahwa AMDAL/UKL-UPL dan izin lingkungan merupakan satu kesatuan.
Menteri Negara Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA menegaskan, “PP
ini pertanda bahwa implementasi UU 32/2009 akan semakin terlaksana dengan lebih baik.
Walaupun baru satu PP turunan UU 32/2009 yang dapat diterbitkan, namun PP ini sangat
berkekuatan (Powerful) untuk menjaga lingkungan hidup kita. PP ini meletakkan kelayakan
lingkungan sebagai dasar izin lingkungan sehingga enforceable dengan sanksi yang jelas dan
tegas”.
Dalam PP 27/2012 mengatur hubungan (interface) antara izin lingkungan dengan
proses pengawasan dan penegakan hukum. Pasal 71 dalam PP 27 Tahun 2012 memberikan
ruang yang jelas mengenai pengenaan sanksi atas pemegang izin lingkungan yang melanggar
kewajibannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53. Secara umum, dapat disimpulkan
bahwa sasaran dari terbitnya PP 27 Tahun 2012 ini adalah terlindungi dan terkelolanya
lingkungan hidup sedangkan sasaran mikro dari terbitnya peraturan ini adalah memberi dasar
hukum yang jelas atas penerapan instrument izin lingkungan dan memberikan beberapa
perbaikan atas penerapan instrument amdal dan UKL-UPL (kajian lingkungan hidup) di
Indonesia.
Kewajiban pemegang izin lingkungan juga adalah menaati persyaratan dan
kewajiban yang akan tercantum dalam izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
(Izin PPLH). Izin PPLH diterbitkan pada tahap operasional sedangkan Izin Lingkungan
adalah pada tahap perencanaan. IZIN PPLH antara lain adalah: izin pembuangan limbah cair,
izin pemanfaatan air limbah untuk aplikasi ke tanah, izin dalam pengelolaan limbah bahan
berbahaya dan beracun (limbah B3) dan izin pembuangan air limbah ke laut (Penjelasan
Pasal 48 ayat (2) PP 27/2012).
PP 27/2012 merupakan pengganti PP 27 Tahun 1999 Tentang Amdal dengan
penambahan berbagai pengaturan dan ketentuan perihal izin lingkungan. Ada dua prinsip
dalam upaya penyusunan PP Izin Lingkungan ini, yaitu lebih sederhana yang tidak
menciptakan proses birokrasi baru dan implementatif. Balthasar Kambuaya menambahkan,
“PP 27/2012 ini juga mengamanatkan proses penilaian amdal yang lebih cepat, yaitu 125 hari
dari 180 hari. Dengan begitu akan terjadi efisiensi sumber daya, baik waktu, biaya dan
tenaga, yang tentunya tanpa mengurangi kualitasnya.” Langkah maju ini adalah pengaturan
Bahwa total jangka waktu penilaian amdal sejak diterimanya dokumen amdal dalam
status telah lengkap secara administrasi adalah sekitar 125 hari kerja, tidak termasuk lama
waktu perbaikan dokumen. Jangka waktu 125 hari kerja tersebut adalah langkah maju karena
di PP 27 Tahun 1999, total jangka waktu penilaian amdal adalah sekitar 180 hari kerja.Salah
satu hal yang juga penting dalam PP ini adalah semakin besarnya ruang bagi keterlibatan
masyarakat khususnya masyarakat terkena dampak dalam hal penentuan keputusan mengenai
layak tidaknya rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut. Permohonan izin lingkungan dan
penerbitan izin lingkungan harus diumumkan 3 kali dalam tahap perencanaan (sebelumnya
dalam PP 27/1999hanya mewajibkan satu kali pengumuman saja yaitu pada tahap sebelum
menyusun kerangka acuan (KA) Andal). Dengan begitu, masyarakat akan mampu
berpartisipasi aktif dan memberikan saran atas setiap rencana usaha dan/atau kegiatan di
daerahnya.
Hal positif lainnya dalam PP 27 Tahun 2012 ini adalah dengan diberikannya
pengaturan yang tegas, bahwa PNS di instansi lingkungan hidup, dilarang menyusun amdal
maupun UKL-UPL. Ketentuan ini dirancang sebagai upaya untuk menjaga akuntabilitas
amdal maupun UKL-UPL sebagai kajian ilmiah yang harus bersih dari segala bentuk
intervensi kepentingan kelompok atau golongan. Pada akhir pernyataannya, Menteri Negara
Lingkungan Hidup mengatakan,”PP ini akan mengubah secara dramatis tatanan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup. Akan terjadi perubahan mindset dari seluruh pemangku
kepentingan.” Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan, Lebih
Cepat, Lebih Tegas dan Aspiratif melibatkan banyak pihak.

PERATURAN PEMERINTAH PELAKSANAAN PP IZIN LINGKUNGAN


No Pasal Bunyi Pasal
1 Pasal 6 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan dokumen Amdal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diatur dengan Peraturan Menteri.
2 Pasal 9 (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengikutsertaan
masyarakat dalam penyusunan Amdal diatur dengan Peraturan Menteri.
3 Pasal 10 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan
untuk mendirikan lembaga penyedia jasa penyusunan dokumen Amdal
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur dengan Peraturan Menteri.
4 Pasal 13 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengecualian untuk Usaha
dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dengan
Peraturan Menteri.
5 Pasal 16 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan UKL-
UPL diatur dengan Peraturan Menteri.
6 Pasal 26 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penilaian Kerangka
Acuan diatur dengan Peraturan Menteri.
7 Pasal 35 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penilaian Andal dan
RKL-RPL diatur dengan Peraturan Menteri.
8 Pasal 50 (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria perubahan Usaha
dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara
perubahan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup, perubahan
Rekomendasi UKL-UPL, dan penerbitan perubahan Izin Lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dengan
Peraturan Menteri.
9 Pasal 52 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan Izin
Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 sampai dengan Pasal 51
diatur dengan Peraturan Menteri.
10 Pasal 58 (2) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara lisensi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
11 Pasal 67 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan
evaluasi kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal
66 diatur dengan Peraturan Menteri.

2. AMDAL ( Analisis dampak mengenai lingkungan )


Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) pertama kali dicetuskan
berdasarkan atas ketentuan yang tercantum dalam pasal 16 Undang-undang No.4 tahun 1982
tentang Ketentuan-ketentuan pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan amanat
pasal 16 tersebut diundangkan pada tanggal 5 Juni 1986 suatu Peraturan Pemerintah No.29
tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).Peraturan pemerintah
(PP) No.29/ 1986 tersebut berlaku pada tanggal 5 Juni 1987 yaitu selang satu tahun setelah di
tetapkan.
Hal tersbut diperlukan karena masih perlu waktu untuk menyusun kriteria dampak
terhadap lingkungan sosial mengingat definisi lingkungan yang menganut paham holistik
yaitu tidak saja mengenai lingkungan fissik/kimia saja namun meliputi pula lingkungan
sosial.
Berdasarkan pengalaman penerapan PP No.29/1986 tersebut dalam deregulasi dan
untuk mencapai efisiensi maka PP No.29/1986 diganti dengan PP No.51/1993 yang di
undangkan pada tanggal 23 Oktober 1993. Perubahan tersebut mengandung suatu cara untuk
mempersingkat lamanya penyusunan AMDAL dengan mengintrodusir penetapan usaha dan/
atau kegiatan yang wajib AMDAL dengan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
dengan demikian tidak diperlukan lagi pembuatan Penyajian Informasi Lingkungan (PIL).
Perubahan tersebut mengandung pula keharusan pembuatan ANDAL , RKL, dan RPL di buat
sekaligus yang berarti waktu pembuatan dokumen dapat diperpendek. Dalam perubahan
tersebut di introdusir pula pembuatan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan
Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) bagi kegiatan yang tidak wajib AMDAL. Upaya
Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL) ditetapkan oleh
Menteri Sektoral yang berdasarkan format yang di tentukan oleh Menteri Negara Lingkungan
Hidup. Demikian pula wewenang menyusun AMDAL disederhanakan dan dihapuskannya
dewan kualifikasi dan ujian negara.
Dengan ditetapkannya Undang-undang No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPLH), maka PP No.51/1993 perlu diganti dengan PP No.27/1999
yang di undangkan pada tanggal 7 Mei 1999, yang efektif berlaku 18 bulan kemudian.
Perubahan besar yang terdapat dalam PP No.27 / 19999 adalah di hapuskannya semua
Komisi AMDAL Pusat dan diganti dengan satu Komisi Penilai Pusat yang ada di Bapedal.
Didaerah yaitu provinsi mempunyai Komisi Penilai Daerah. Apabila penilaian tersebut tidak
layak lingkungan maka instansi yang berwenang boleh menolak permohohan ijin yang di
ajukan oleh pemrakarsa. Suatu hal yang lebih di tekankan dalam PP No.27/1999 adalah
keterbukaan informasi dan masyarakat. Implementasi AMDAL sangat perlu di sosialisasikan
tidak hanya kepada masyarakat namu perlu juga pada para calon investor agar dapat
mengetahui perihal AMDAL di Indonesia. Karena semua tahu bahwa proses pembangunan di
gunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi, sosial dan budaya.
Keputusan tidak layak lingkungan harus diikuti oleh instansi yang berwenang
menerbitkan ijin usaha. Apabila pejabat yang berwenang menerbitkan ijin usaha tidak
mengikuti keputusan layak lingkungan, maka pejabat yang berwenang tersebut dapat menjadi
obyek gugatan tata usaha negara di PTUN. Sudah saatnya sistem hukum kita memberikan
ancaman sanksi tidak hanya kepada masyarakat umum , tetapi harus berlaku pula bagi pejabat
yang tidak melaksanakan perintah Undang-undang seperti sanksi disiplin ataupun sanksi
pidana.

Você também pode gostar