Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering diketemukan
pada pria yang menapak usia lanjut. Istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia
sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan
sel-sel epitel kelenjar prostat. Hiperplasia prostat benigna ini dapat dialami oleh sekitar
70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia
di atas 80 tahun.
Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang
menjengkelkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari
pembesaran kelenjar prostat atau benign prostate enlargement (BPE) yang menyebabkan
terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet
obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat
disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO). Obstruksi ini lama kelamaan dapat
menimbulkan perubahan struk-tur buli-buli maupun ginjal sehingga menyebabkan
komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah.
Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS (lower
urinary tract symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun
iritasi (storage symptoms) yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia,
pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak puas
sehabis miksi, dan tahap selanjutnya terjadi retensi urine. Hubungan antara BPH dengan
LUTS sangat kompleks.
Tidak semua pasien BPH mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak
semua keluhan miksi disebabkan oleh BPH. Banyak sekali faktor yang diduga berperan
dalam proliferasi/pertumbuhan jinak kelenjar prostat, tetapi pada dasarnya BPH tumbuh
pada pria yang menginjak usia tua dan masih mempunyai testis yang masih berfungsi
normal menghasilkan testosteron. Di samping itu pengaruh hormon lain (estrogen,
prolaktin), diet tertentu, mikrotrauma, dan faktor-faktor lingkungan diduga berperan
dalam proliferasi sel-sel kelenjar prostat secara tidak langsung. Faktor-faktor tersebut
mampu mempengaruhi sel-sel prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang
selanjutnya protein inilah yang berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel-sel
kelenjar prostat. Fakor-faktor yang mampu meningkatkan sintesis protein growth factor
dikenal sebagai faktor ekstrinsik sedangkan protein growth factor dikenal sebagai factor
intrinsik yang menyebabkan hiperplasia kelenjar prostat.
Terapi yang akan diberikan pada pasien tergantung pada tingkat keluhan pasien,
komplikasi yang terjadi, sarana yang tersedia, dan pilihan pasien. Di berbagai daerah di
Indonesia kemampuan melakukan diagnosis dan modalitas terapi pasien BPH tidak sama
karena perbedaan fasilitas dan sumber daya manusia di tiap-tiap daerah.
Berdasarkan hal tersebut kelompok tertarik untuk membahas tentang penyakit
Hyperplasia Prostat Benigna dan dapat mengaplikasikan dalam memberikan asuhan
keperawatan kepada klien.
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Mahasiswa dapat memahami asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem
perkemihan yaitu Hyperplasia Prostat Benigna.
2. Tujuan khusus
Mahasiswa dapat menjelaskan :
a. Definisi penyakit Hyperplasia Prostat Benigna
b. Etiologi penyakit Hyperplasia Prostat Benigna
c. Faktor Predisposisi Hyperplasia Prostat Benigna
d. Patofisiologi penyakit Hyperplasia Prostat Benigna
e. Tanda dan gejala Hyperplasia Prostat Benigna
f. Pemeriksaan Penunjang penyakit Hyperplasia Prostat Benigna
g. Pathway penyakit Hyperplasia Prostat Benigna
h. Penatalaksanaan penyakit Hyperplasia Prostat Benigna
i. Komplikasi Penyakit Hyperplasia Prostat Benigna
j. Asuhan keperawatan yang harus diberikan pada klien dengan Hyperplasia
Prostat Benigna.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Definisi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Prostat adalah jaringan
fibromuskuler dan jaringan kelenjar yang terlihat persis di inferior dari kandung
kencing. Prostat normal beratnya + 20 gr, didalamnya berjalan uretra posterior + 2,5
cm. Pada bagian anterior difiksasi oleh ligamentum puboprostatikum dan sebelah
inferior oleh diafragma urogenitale. Pada prostat bagian posterior bermuara duktus
ejakulatoris yang berjalan miring dan berakhir pada verumontanum pada dasar uretra
prostatika tepat proksimal dari spingter uretra eksterna (Purnomo, 2003).
Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran progresif dari kelenjar
prostat yang dapat menyebabkan obstruksi dan ristriksi pada jalan urine (uretra).
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau disebut tumor prostat jinak adalah
pertumbuhan berlebihan yang tidak ganas. Pembesaran prostat jinak akibat sel-sel
prostat memperbanyak diri melebihi kondisi normal, biasanya laki-laki berusia di
atas 50 tahun.
Benigna Prostat Hiperplasia merupakan kondisi patologis dimana terjadi
pembesaran kelenjar prostat, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan
menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra (Smeltzer & Bare, 2002).
B. Etiologi
Menurut Purnomo (2003), hingga sekarang ini masih belum diketahui secara
pasti penyebab terjadinya BPH. Beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging
(menjadi tua). beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH adalah
:
a. Teori DHT
DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel
kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5-
reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah dibentuk
berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada
inti sel dan selanjutnya terjadi sintesa protein growth factor yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian, aktivitas enzim 5-reduktase
dan jumlah RA lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat
pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak
terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
b. Keseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan kadar
estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen testosteron semakin
meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam
terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan
sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan
jumlah RA, dan menurunkan jumlah kematian sel prostat. Hal itu membuat sel-
sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa
prostat menjadi lebih besar.
c. Interaksi stroma-epitel
Diferensiasi dari pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol
oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel-
sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estrandiol, sel-sel stroma
mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma
itu sendiri secara intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel
secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel
maupun sel stroma.
d. Berkurangnya kematian sel prostat (apoptosis)
Program apoptosis pada sel prostat merupakan mekanisme fisiologis untuk
mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Berkurangnya jumlah sel-sel
prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara
keseluruhan menjadi meningkat sehingga massa prostat bertambah. estrogen
diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostat, sedangkan faktor
pertumbuhan TGFß berperan dalam proses apoptosis.
e. Teori sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel
baru. Dalam kelenjar prostat dikenal stem sel yaitu sel yang mempunyai
kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung
pada keberadaan hormon androgen. Sehingga jika hingga hormon ini kadarnya
menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis.
Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai tidak tepatnya
aktivitas sel stem sehingga terjadinya produksi yang berlebihan sel stroma
maupun sel epitel.
C. Faktor Predisposisi
1. Volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan
kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang
mengandung diuretikum (alkohol, kopi), dan minum air dalam jumlah berlebihan.
2. Massa prostat tiba-tiba membesar yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau
mengalami infeksi prostat akut.
3. Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot
detrusor atau yang dapat mempersempit leher buli-buli, antara lain golongan
antikolinergik atau adrenergik alfa.
D. Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan
menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravaskuler. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat
guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan
anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula,
sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh klien
dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau lower urinary tract
symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus (Price, 1996).
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak
terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat
menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-
ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.
Obstruksi yang diakibatkan oleh BPH tidak hanya disebabkan oleh adanya
massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga disebabkan oleh tonus otot
polos yang ada pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-
buli. Otot polos itu dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus
pudendus (Price, 1996).
Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap epitel. Kalau
pada prostat normal rasio stroma dibanding dengan epitel adalah 2:1, pada BPH
rasionya meningkat menjadi 4:1. Hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan
tonus otot otot polos prostat dibanding dengan prostat normal. Dalam hal ini massa
prostat yang menyebabkan obstruksi komponen statik sedangkan tonus otot polos
yang merupakan komponen dinamik sebagai penyebab obstruksi prostat.
H. Penatalaksanaan
1) Terapi medikamentosa
a) Penghambat andrenergik a, misalnya prazosin, doxazosin, alfluzosin atau
a 1a (tamsulosin).
b) Penghambat enzim 5-a-reduktase, misalnya finasteride (Poscar)
c) Fitoterapi, misalnya eviprostat
2) Terapi bedah
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala
dan komplikasi. Indikasi terapi bedah yaitu :
a) Retensio urin berulang
b) Hematuria
c) Tanda penurunan fungsi ginjal
d) Infeksi saluran kencing berulang
e) Tanda-tanda obstruksi berat yaitu divertikel,hidroureter, dan
hidronefrosis.
f) Ada batu saluran kemih.
Ada beberapa jenis terapi bedah yang sering digunakan pada pasien
Hyperplasia Prostat Benigna, antara lain:
i. Prostatektomi
Ada berbagai macam prostatektomi yang dapat dilakukan yang
masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan antara lain :
Prostatektomi Supra pubis.
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi
abdomen. Yaitu suatu insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan
kelenjar prostat diangkat dari atas. Pendekatan ini dilakukan untuk
kelenjar dengan berbagai ukuran dan beberapa komplikasi dapat
terjadi seperti kehilangan darah lebih banyak dibanding metode yang
lain. Kerugian lainnya adalah insisi abdomen akan disertai bahaya
dari semua prosedur bedah abdomen mayor, seperti kontrol
perdarahan lebih sulit, urin dapat bocor disekitar tuba suprapubis,
serta pemulihan lebih lama dan tidak nyaman. Keuntungan yang lain
dari metode ini adalah secara teknis sederhana, memberika area
eksplorasi lebih luas, memungkinkan eksplorasi untuk nodus limfe
kankerosa, pengangkatan kelenjar pengobstruksi lebih komplit, serta
pengobatan lesi kandung kemih yang berkaitan.
Prostatektomi Perineal.
Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam
perineum. Cara ini lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat
berguna untuk biopsi terbuka. Keuntungan yang lain memberikan
pendekatan anatomis langsung, drainage oleh bantuan gravitasi,
efektif untuk terapi kanker radikal, hemostatik di bawah penglihatan
langsung,angka mortalitas rendah, insiden syok lebih rendah, serta
ideal bagi pasien dengan prostat yang besar, resiko bedah buruk bagi
pasien sangat tua dan ringkih. Pada pasca operasi luka bedah mudah
terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dengan rektal. Lebih
jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal dapat mungkin
terjadi dari cara ini. Kerugian lain adalah kemungkinan kerusakan
pada rectum dan spingter eksternal serta bidang operatif terbatas.
Prostatektomi retropubik.
Adalah suatu teknik yang lebih umum dibanding pendekatan
suprapubik dimana insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar
prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa tanpa
memasuki kandung kemih. Prosedur ini cocok untuk kelenjar besar
yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun darah yang keluar dapat
dikontrol dengan baik dan letak bedah labih mudah untuk dilihat,
infeksi dapat cepat terjadi dalam ruang retropubis. Kelemahan lainnya
adalah tidak dapat mengobati penyakit kandung kemih yang berkaitan
serta insiden hemorargi akibat pleksus venosa prostat meningkat juga
osteitis pubis. Keuntungan yang lain adalah periode pemulihan lebih
singkat serta kerusakan spingter kandung kemih lebih sedikit.
ii. Insisi Prostat Transuretral ( TUIP ).
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan
instrumen melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan
kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan
mengurangi kontriksi uretral. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat
berukuran kecil ( 30 gram/kurang ) dan efektif dalam mengobati banyak
kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan di klinik rawat jalan dan mempunyai
angka komplikasi lebih rendah di banding cara lainnya.
iii. TURP ( TransUretral Reseksi Prostat )
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat
uretra menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan
endoskop dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang
dilengkapi dengan alat pemotong dan counter yang disambungkan dengan
arus listrik. Tindakan ini memerlukan pembiusan umum maupun spinal
dan merupakan tindakan invasive yang masih dianggap aman dan tingkat
morbiditas minimal.
TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak
mempunyai efek merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini
dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram,
kemudian dilakukan reseksi. Cairan irigasi digunakan secara terus-
menerus dengan cairan isotonis selama prosedur. Setelah dilakukan
reseksi, penyembuhan terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi uretra
pars prostatika (Suddarth, Brunner, 2002).
Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no.
24 yang dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan
gumpalan darah dari kandung kemih. Irigasi kanding kemih yang konstan
dilakukan setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan darah lagi. Kemudian
kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan jernih. Kateter dingkat setelah 3-5
hari setelah operasi dan pasien harus sudah dapat berkemih dengan lancar.
TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah gejala-
gejala dari sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan
pasien cukup sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi TURP jangka
pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremia atau retensio oleh karena
bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang adalah striktura
uretra, ejakulasi retrograd (50-90%), impotensi (4-40%). Karena
pembedahan tidak mengobati penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini
akan timbul kembali 8-10 tahun kemudian.
I. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah perdarahan, pembentukan bekuan,
obstruksi kateter serta disfungsi seksual tergantung dari jenis pembedahan.
Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi meskipun aktifitas seksual
dapat dilakukan kembali setelah 6-8 minggu karena fossa prostatik sudah sembuh.
Komplikasi yang lain yaitu perubahan anatomis pada uretra posterior menyebabkan
ejakulasi retrogard yaitu setelah ejakulasi cairan seminal mengalir kedalam kandung
kemih dan diekskresikan bersama urin. Selain itu vasektomi mungkin dilakukan untuk
mencegah penyebaran infeksi dari uretra prostatik melalui vas deference dan ke dalam
epidedemis.
Setelah prostatektomi total ( biasanya untuk kanker ) hampir selalu terjadi
impotensi. Bagi pasien yang tak mau kehilangan aktifitas seksualnya, implant prostetik penis
mungkin digunakan untuk membuat penis menjadi kaku guna keperluan hubungan seksual
J. Asuhan keperawatan
1) Pengkajian
a. Identitas (nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, no. rm, diagnosa
medis)
b. Pola kesehatan fungsional
1. Sirkulasi
- Peningkatan tekanan darah (efek lebih lanjut pada gejala).
- Perawat mengumpulkan informasi lebih lanjut tentang riwayat
keluarga pasien mengenai kanker dan penyakit jantung serta ginjal,
termasuk hipertensi.
2. Eliminasi
- Penurunan kekuatan kateter berkemih.
- Ketidakmampuan pengosongan kandung kemih.
- Nokturian, disuria, retensi urin, hematuria.
- Duduk dalam mengosongkan kandung kemih.
- Kekambuhan UTL riwayat batu (urinary stage I).
- Konstepasi (penonjolan prostat ke rectum).
3. Nutrisi Metabolik
- Penurunan berat badan (kehilangan BB secara mendadak).
- Pasien tampak pucat atau tidak.
- Anoreksia, nausea, vomiting.
4. Rasa Nyaman
- Pasien melaporkan masalah-masalah yang berkaitan seperti nyeri
pinggang, nyeri punggung, dan rasa tidak nyaman abdomen atau
suprapubis.
- Apabila pasien melaporkan ketidaknyamanan diatas, kemungkinan
penyebabnya adalah infeksi, retensi, dan kemungkinan kolik renalis.
- Rasa nyaman: demam
5. Seksualitas
- Perhatikan pada efek dari kondisinya/kemampuan seksual.
- Takut beser kencing selama kegiatan intim.
- Penurunan kontraksi ejakulasi.
- Pembesaran prostat.
6. Pengetahuan/pendidikan
- Perawat mengkaji bagaimana hyperplasia prostatic benigna telah
mempengaruhi gaya hidup pasien selama beberapa bulan yang lalu.
- Apakah pasien cukup aktif untuk usianya.
- Apa bentuk masalah urinari pasien (uraikan dalam kata-kata pasien).
- Riwayat adanya kanker dalam keluarga, hipertensi, penyakit gula.
- Penggunaan obat antihipertensi atau antidepressan,
antibiotika/antibacterial untuk saluran kencing, obat alergi
c. Pemeriksaan Fisik
1) Kesadaran umum
2) TTV
3) Head to toe
a) Kepala : mukosa mulut
b) Leher : -
c) Dada : -
d) Abdomen : inspeksi udem atau lekukan konveks abdomen bagian
bawah, palpasi tegang abdomen, turgor, nyeri daerah pinggul, distensi
kandung kemih, perkusi kandung kemih tumpul, auskultasi bunyi
bruit di arteri ginjal (bunyi yang dihasilkan dari perputaran aliran
darah yang melalui arteri yang sempit).
e) Genitalia : kaji adanya rabas, peradangan, dan luka pada meatus
urinearius eksterna.
f) Ekstremitas : kaji adanya udem
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ganggunan eliminasi urin b.d. obstruksi anatomik
b. Retensi urin b.d. tekanan uretra yang tinggi
c. Nyeri akut b.d. agen cedera fisik
d. Gangguan pola tidur b.d kondisi terjaga maladaptive
I. Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa
No Tujuan Intervensi
Keperawatan
1. Ganggunan Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor pengeluaran 1.
eliminasi urine keperawatan selama 3x24 jam, urine, frekuensi,
b.d. obstruksi klien menunjukkan eliminasi konsistensi, bau, volume,
anatomik. urine yang adekuat dengan warna
indikator: 2. Monitor tanda dan gejala 2.
Indikator Target ISK contoh rasa panas
Pola eliminasi urin 5 seperti terbakar saat
normal kencing, rasa terdesak saat
Jumlah urin adekuat 4
Keseimbangan 4 kencing, nyeri menetap
Johnson, M., Maas, M., & Moorhead S. (2005). Nursing Intervention Classificatian (NIC).
Second Ed. New York : Mosby.
Furqan. (2003). Evaluasi Biakan Urin Pada Penderita BPH Setelah Pemasangan Kateter
Menetap: Pertama Kali dan Berulang. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.
Hinchliff, S. (1999). Kamus Keperawatan. Jakarta : EGC.
Johnson, M., Maas, M., & Moorhead S. (2005). Nursing Outcomes Classification (NOC).
New
York: Mosby.
McCloskey, J. & Gloria M. B. (2000). Nursing Outcome Classificatian (NOC). Second Ed.
New
York : Mosby.
McSloskey, JC., Bulechek, GM. (2000). Nursing Intervention Classification (NIC). New
York:
Mosby.
NANDA. (2011). Nursing Diagnoses; Definitions & Classification. Philadelphia: Nanda
International.
Price, Sylvia A and Willson, Lorraine M. (1996). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
penyakit, Edisi empat. Jakarta: EGC.
Purnomo, B.P. (2003). Dasar-Dasar Urologi. Jakarta : Sagung Seto.
Smeltzer & Bare. (2002). Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 2 Jakarta, EGC.
Suddarth, Brunner. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Edisi VIII. Jakarta:
EGC.