Você está na página 1de 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini banyak dijumpai berbagai macam penyakit yang tidak diketahui sebabnya
dan tidak jarang hanya dapat dicegah atau diperlambat dengan menjalani terapi atau
mengkonsumsi obat-obatan, yang dalam artian belum ditemukan obatnya agar penderita
sembuh. Termasuk arthritis rematoid, penyakit ini banyak dijumpai pada anak-anak dan lebih
banyak anak perempuan yang diserang. Faktor lingkungan dan genetik sangat mempengaruhi
pertumbuhan penyakit ini.

Arthritis rematoid ini banyak dijumpai pada anak-anak usia antara 4 sampai 5 tahun.
Kebanyakan dari mereka adalah anak yang berjenis kelamin perempuan. Hal ini dikarenakan
pada anak perempuan mempunyai ketahanan yang lemah terhadap penyakit ini.

Penyakit ini dapat menjadikan penderitanya mengalami kecacatan. Arthritis rematoid


ini mempunyai banyak jenis, yang masing-masing mempunyai gejala yang hampir sama.
Penanganan pada macam-macam penyakit ini juga berbeda.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa itu arthritis rematoid junvenil?
1.2.2 Apa saja etiologi dan epidemiologi arthritis rematoid junvenil?
1.2.3 Apa saja macam-macam arthritis rematoid junvenil?
1.2.4 Apa patofisiologi dan patogenesis dari arthritis rematoid junvenil?
1.2.5 Bagaimana gambaran klinisnya?
1.2.6 Bagaimana pemeriksaannya?
1.2.7 Bagaimana diagnosis banding dan diagnosisnya?
1.2.8 Bagaimana penatalaksanaannya?
1.2.9 Apa saja komplikasinya?
1.2.10 Bagaimana prognosisnya?

1.3 Tujuan Masalah


1.3.1 Mengetahui definisi arthritis rematoid junvenil
1.3.2 Mengetahui etiologi dan epidemiologi arthritis rematoid junvenil

1
1.3.3 Mengetahui macam-macam arthritis rematoid junvenil
1.3.4 Mengetahui patofisiologi dan patogenesis dari arthritis rematoid junvenil
1.3.5 Mengetahui gambaran klinisnya
1.3.6 Mengetahui cara pemeriksaannya
1.3.7 Mengetahui diagnosis banding dan diagnosisnya
1.3.8 Mengetahui penatalaksanaannya
1.3.9 Mengetahui komplikasinya
1.3.10 Mengetahui prognosisnya

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Arthritis rheumatoid Juvenile (ARJ) merupakan penyakit arthritis kronis pada anak-
anak umur di bawah 16 tahun. Berdasarkan definisi, ARJ ditandai oleh menetapnya temuan
peradangan secara objektif di satu atau lebih sendi selama paling sedikit 6 minggu dengan
eksklusi kausa lain peradangan sendi pada anak usia 16 tahun atau kurang.

Ada beberapa terminologi untuk mengelompokkan arthritis ini. Istilah ARJ lebih
banyak dipakai di Amerika Serikat yaitu istilah yang digunakan untuk menyebut arthritis
pada anak usia dibawah 16 tahun yang tidak diketahui penyebabnya. Di AS lebih sering
digunakan istilah rematoid karena pada umumnya anak-anak tersebut mempunyai orang tua
atau keluarga yang menderita arthritis rematoid dengan faktor rematoid yang positif. Istilah
arthritis kronik juvenile lebih banyak digunakan di Inggris (Eropa). Adanya kerancuan dalam
hal penggunaan istilah ini, maka timbul kesepakatan pada pertemuan EULAR untuk
menggunakan istilah yang seragam. Istilah yang disepakati oleh EULAR adalah arthritis
idiopatik juvenile (ARJ) yang dibagi dalam 7 subtipe.

2.2 Etilogi dan Epidemiologi

a. Etiologi

Etiologi penyakit ini belum banyak diketahui, diduga terjadi karena respons yang
abnormal terhadap infeksi atau faktor lain yang ada di lingkungan. Peran imunogenetik
diduga sangat kuat mempengaruhi.

b. Epidemiologi

ARJ merupakan arthritis yang lebih sering dijumpai pada anak-anak, insidennya
dilaporkan hanya sekitar 1% pertahunnya. Dengan perjalanan penyakit ARJ bervariasi, 17%
berkembang menjadi arthritis kronik, 20% dengan gangguan mata. Dari hasil penelitian
dilaporkan bahwa pasien ARJ yang berlangsung lebih dari 7 tahun, 60% mengalami
kecacatan. Prevalensi ARJ dilaporkan sekitar 1-2/100.000/tahun dan Minnesota
35/100.000/tahun.

3
ARJ banyak menyerang anak-anak dengan tingkat umur terbanyak sekitar 4-5 tahun.
Perempuan lebih banyak dengan perbandingan 3:1. Faktor suku diduga kuat sangat terkait
pada ARJ. Suku Afrika dibanding suku Amerika dan Kaukasia lebih sering terkena di
Amerika. Di AS Schwartz melaporkan bahwa ARJ lebih sering menyerang anak-anak yang
lebih dewasa, khususnya pada kelompok Oligo-artikular, dengan RF positif.

2.3 Klasifikasi

Penyakit reumatik merupakan sekelompok penyakit yang sebelumnya dikenal sebagai


penyakit jaringan ikat. Menurut kriteria American Rheumatism Association (ARA) artritis
reumatoid juvenil (ARJ) merupakan penyakit reumatik yang termasuk ke dalam kelompok
penyakit jaringan ikat yang terdiri lagi dari beberapa penyakit.

Ada 2 klasifikasi yaitu klasifikasi yang dipakai AS dan klasifikasi menurut EULAR,
Klasifikasi yang dipakai di AS ditetapkan tahun 1973 dan telah direvisi tahun 1977,
sedangkan kriteria baru oleh EULAR ditetapkan tahun 1995. Menurut kriteria ARJ yang
dipakai di AS, arthritis ini dibagi dalam 3 subtipe berdasarkan gejala penyakit yang
berlangsung minimal terjadi selama 6 bulan.

a. Sistemik: ditandai dengan demam tinggi yang mendadak disertai bercak


kemerahan dan manifestasi ekstraartikular lainnya.

.b. Pausiartikular ditandai dengan arthritis yang mengenai ≤ 4.

c. Poliartikular ditandai dengan nyeri sendi ≥ 5.

2.4 Patofisiologi dan Patogenesis

ARJ merupakan penyakit autoimun multisystem, yang terdiri dari beberapa kelompok
penyakit dengan perbedaan klinis dan derajat penyakit. Sampai sekarang patogenesisinya
belum banyak diketahui. ARJ merupakan penyakit arthritis kronis heterogen yang umumnya
menyerang perempuan ditandai dengan arthritis kronik yaitu ditemukannya tanda keradangan
pada sinovium. Tanda adanya respon imun yaitu ditemukannya autoantibody tersebut, antara
lain antibody ANA, factor rematoid dan antibody heat shock protein. Peran HLA juga sangat
besar dalam pathogenesis ARJ.

Secara histopatologi sinovium ARJ didapatkan sebukan sel radang kronik yang
didominasi oleh sel mononuklir, hipertrofi vilus, peningkatan jumlah fibroblast, dan

4
makrofag. Mediator inflamasi juga ditemukan pada sinovium. Mediator-mediator tersebut
antara lain: IL-2, IL-6, TNF-α, GM- CSF. Jelaslah bahwa sangat besar peran sel T untuk
menimbulakan keradangan di sinovium. Bagaimana sel T menjadi autoreaktif yang masih
menjadi pertanyaan. Dari berbagai laporan penelitian pencetus sel autoreaktif tak lepas dari
peran HLA.

Sitokin juga memegang peranan penting dalam proses pathogenesis ARJ. Berdasarkan
sitokin yang dikeluarkan, ada 2 tipe sel T. Sel T tipe 1 lebih banyak melepaskan sitokin IL-2,
IFN-γ dan TNF-β, sedangkan pad tipe dua sitokin yang dilepaskan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10,
dan IL-13. Secara klinis sitokin ini mempengaruhi keseimbangan respon selular dan humoral.
Pada arthritis rematoid yang dewasa diketahui bahwa sel T tipe 1 yang lebih dominan,
ternyata demikian juga yang ditemukan pada ARJ, kecuali pada pausiartikular, sel T tipe 2
yang dominan.

Kemokin diduga juga ikut berperan dalam pathogenesis ARJ. Kemokin merupakan
factor penentu migrasi subtype sel T. Beberapa reseptor kemokin bertanggungjawab terhadap
klonasi sel T, yaitu reseptor CCR3, CCR4, CCR8 yang bertanggung jawab proliferasi sel T
tipe 2, CXCR3 dan CCR5 biasanya dominan pada ekspresi sel T tipe 1, sedangkan CXCR4
dan CCR2 bertanggung jawab terhadap kedua tipe sel T. Adanya perbedaan ekspresi inilah
yang menimbulkan perbedaan pathogenesis. Dari penelitian Thompson dkk, melaporkan
bahwa pada ARJ CCR4 sel T memegang peranan pathogenesis ARJ dan yang menentukan
subtipenya.

Dilaporkan bahwa aktivasi komplemen yang membentuk terminal attack complex


yang terbanyak dijumpai pada sinovium pasien ARJ, kulit dan limpa. Aktivasi komplemen
pada ARJ dapat melalui 2 jalur baik klasik maupun alternative. Dari beberapa laporan pada
ARJ aktivasi komplemen terbanyak melalui jalur alternative.

Infeksi virus dan bakteri sebagai factor lingkungan yang berperanan dalam
pathogenesis ARJ. Infeksi dikatakan dapat sebagai bahan pencetus terjadinya autoreaksi sel
T. Hal ini ditunjukkan pada penelitian tentang peran HSP 60 dalam pengontrolan aktivasi sel
T yang menimbulkan arthritis.

5
2.5 Gambaran Klinis

Adalah gejala klinis utama yang terlihat secara obyektif. Ditandai dengan salah satu
dari gejala pembengkakan atau efusi sendi, atau paling sedikit 2 dari 3 gejala peradangan
yaitu gerakan yang terbatas, nyeri jika digerakkan dan panas. Nyeri atau sakit biasanya tidak
begitu menonjol. Pada anak kecil, yang lebih jelas adalah kekakuan sendi pada pergerakan,
terutama pada pagi (morning stiffness).

Subtipe ARJ bergantung pada gejala sistemik penyakit dan jumlah sendi yang terkena
pada 6 bulan pertama perjalanan penyakit. Anak dikatakan mengidap ARJ awitan – sistemik
apabila awitan penyakit disertai oleh demam tinggi yang melonjak-lonjak (sedikitnya 40oC)
sampai selama 2 minggu dan (biasanya) oleh ruam yang cepat menghilang pada puncak
demam tanpa dipengaruhi jumlah sendi yang terkena selama 6 bulan pertama. Pada ARJ
pausiartikular, mengenai kurang dari 5 sendi pada 6 bulan pertama, penyakit poliartikular
melibatkan lima atau lebih sendi. Masing- masing subtype penyakit, walaupun hanya bersifat
deskriptif, memperlihatkan perjalanan penyakit, penyulit, dan prognosis yang berlainan.
Berikut gambaran klinis pada macam-macam arthritis rematoid junvikal:

a. ARJ Sistemik (Penyakit Still)


Penyakit ini merupakan kelompok ARJ yang sangat serius dibanding dengan
kelompok lainnya, lebih sering dijumpai pada kelompok umur dibawah 4 tahun.
Penyakit ini hanya terjadi pada 10% dari semua anak dengan ARJ; tetapi pasien
biasanya menderita sakit berat sehingga dirujuk ke pusat perawatan tersier. Subtype
ini mengenai kedua jenis kelamin sama banyak dan pada semua kelompok usia; pada
orang dewasa penyakit ini disebut sebagai “penyakit Still awitan-dewasa”.Sementara
sebagian anak memang memperlihatkan bukti objektif adanya arthritis pada saat
awitan, pasien umumnya datang dengan demam tinggi yang melonjak-lonjak disertai
ruam-ruam yang cepat menghilang.
Pada umumnya anak-anak ini dirujuk setelah menderita demam yang tidak
diketahui sebabnya selama beberapa minggu. Demam timbul setiap hari atau dua kali
sehari, sering melonjak hingga 40 sampai 41oC pada sore hari; suhu sering menurun
cepat sampai subnormal pada jam lain. Lonjakan demam sering disertai oleh ruam
macular berwarna salem yang cepat menghilang, terutama timbul dibadan dan sebelah
dalam paha. Tiap-tiap macula tidak kembali muncul di tempat yang sama pada

6
lonjakan demam berikutnya. Ruam sering memperlihatkan fenomena koebner , yaitu
kemampuan memicu timbulnya lesi dengan menggososk kulit secara lembut.
Anak-anak ini sering kehilangan nafsu makan. Apabila anak cukup besar,
mereka sering mengeluh artralgia dan atau mialgia yang parah (Rudolf) Gejala
lainnya berupa kelelahan, iritatif, nyeri otot dan hepatosplenomegali. Beberapa
pasien didapatkan serositis atau perikarditis. Pada ¾ kasus ditemukan limpadenopati
yang secara patologi anatomi hanya didapatkan gambaran hiperplasi. Artritis mungkin
dapat terus berlangsung beberapa minggu atau bulan, sehingga diagnosis sangat sulit.
Sendi yang sering terkena adalah lutut dan pergelangan kaki. Temporomandibula dan
jari-jari tangan dapat terkena tetapi jarang. Gambaran laboratoriknya menunjukkan
leukositosis dengan jumlah leukosit diatas 20.000nm3, anemia non hemolitik yang
berat. LED yang meningkat, tes ANA negatif dan kadar feritin yang tinggi. Jumlah
trombosit meningkat, seringkali tipe ini dengan komplikasi KID. Gejala ini biasanya
membaik setelah satu tahun, sedangkan 50% pasien jatuh ke kronik arthritis dan 25%
dengan gambaran erosi pada sendinya, komplikasi lainnya yaitu karditis, hepatitis,
anemia, infeksi dan sepsis. Diagnosis bandingnya leukemia atau sepsis.
Demam tinggi mungkin berlangsung berbulan-bulan sebelum muncul temuan
sendi yang obyektif. Pada sebagian anak gejala sistemik akan berkurang secara
perlahan sementara mereka terus mengalami penyakit sendi poliartikular. Yang lain
mengalami serangan demam, ruam, dan keluhan sendi secara intermitten sepanjang
masa kanak-kanak dan bahkan sampai masa dewasa, tetapi diantara serangan mereka
mungkin terdapat massa normal.
Informasi lain yang perlu diperhatikan pada arthritis tipe ini adalah,
pemeriksaan darah dilakukan beberapa minggu dan bulan awal penyakit untuk
menilai perkembangan anak. Pada beberapa anak gejala sistemik dari penyakit dan
demam, dapat terlihat jelas setelah beberapa minggu hingga bulan diawal penyakit,
meskipun gejala-gejala arthritis yang terkait sendi dapat dirasakan untuk waktu yang
lebih lama. Onset ARJ sistemik dapat hilang dalam setahun pada beberapa anak yang
terdiagnosis. Kekambuhan dapat terjadi tanpa peringatan sebelumnya, atau setelah
infeksi virus (contoh, cacar). Kebanyakan anak dengan ARJ tipe sistemik dapat
diobati dengan obat-obatan dalam sebulan hingga setahun, untuk mengontrol
perkembangan dari keduanya baik arthritis maupun gejala-gejala sistemik seperti
demam, ruam, anemia, dll. Uveitis atau peradangan mata, jarang terjadi pada ARJ tipe
sistemik, sehingga mata mereka hanya perlu di periksa setahun sekali.

7
b. Oligoartritis / Pausi-artikuler

Bentuk penyakit yang paling sering terjadi pada ARJ, Diartikan “sedikit
sendi”, pauciarticular mengenai 4 sendi atau kurang. Sekitar 50% persen dari anak-
anak dengan ARJ tergolong dalam tipe ini. , lebih sering mengenai satu sisi sendi
dibandingkan kedua sisi sendi pada saat yang bersamaan, tetapi sering pada dua, tiga,
sampai 4 sendi dalam 6 bulan berikutnya. Sering ditemukan mengenai sendi besar,
paling banyak mengenai lutut, pergelangan kaki, siku. Jarang terjadi pada sendi-sendi
kecil, jemari tangan, sendi ibu jari. Sebanyak 40 – 70% mempunyai tes ANA positif,
lebih sering pada anak perempuan dengan umur 1-3 tahun. Dan sering dengan
komplikasi uveitis kronik., unilateral atau bilateral. Dari beberapa kasus merupakan
kelompok arthritis psoriatic atau ankilosing spondilitis. Sendi yang sering terserang
adalah lutut, pergelangan kaki, siku dan jari-jari tangan.Pada laki-laki lebih sering
terkait spondilitis ankilosing dengan HLA B27 positif.

Dikelompokkan dua yaitu persisiten dan eksten, persisiten ditandai dengan


arthritis yang tidak bertambah meskipun telah lebih 6 bulan. Sedangkan kelompok
eksten artritisnya semakin meluas setelah 6 bulan. Angka mortalitasnya rendah
dengan komplikasi yang tersering kerusakan artikuler maupun periartikuler dan
uveitis kronis.(ipd) Sejumlah kecil anak yang menderita penyakit ini (8%) akan
mengalami bentuk poliartikular dengan prognosis serupa ARJ poliartikular.Namun
sebagian lagi menunjukkan kinerja yang baik dalam kaitanyya dengan fungsi sendi.

Dibagi juiga menjadi dua tipe , tipe pertama mengenai anak perempuan
dengan umur dibawah 7 tahun. Beberapa anak dengan tipe ini juga disertai
peradangan mata (iridocyclitis kronis atau uveitis kronis). Anak-anak ini harus di tes
ANA (antinuclear antibody). Dari sini dapat diketahui, apakah anak tersebut memiliki
resiko tinggi terkena uveitis. Hasil positif ANA mengindikasikan resiko tinggi terkena
peradangan mata. Yang perlu diperhatikan, mata dalam kondisi tenang, artinya
kerusakan mungkin tidak nampak pada anak.

Tipe kedua dari pauciarticular biasa mengenai anak lelaki diatas 8 tahun.
Sendi-sendi yang sering terkena pada tipe ini adalah: sendi sakroiliaka, lutut,
pergelangan kaki, tendon. Anak-anak yang terdiagnosis dengan pauciarticular ARJ
dan memiliki hasil positif ANA dan usianya dibawah 7 tahun, memiliki resiko besar

8
untuk terkena uveitis kronis.Mata mereka harus diperiksa setiap 3 bulan,untuk
beberapa tahun.

b. Poliartritis
Insidennya sekitar 30-40% dari ARJ, 75% menyerang perempuan, gambaran
artritisnya mirip arthritis rematoid dewasa, lebih banyak menyerang perempuan umur
12-16 tahun, biasanya disertai gejala sistemik yang ringan, RF bisa positif maupun
negatif. Pasien seronegatif cenderung berusia lebih muda dan lebih responsif terhadap
pemberian terapi NSAID konvensional. Anak dengan ARJ poliartikular mungkin
memperlihatkan beberapa gambaran sistemik, tetapi lebih ringan daripada yang
tampak pada penyakit awitan sistemik.
Gejala lainnya lemah, demam, penurunan berat badan, dan anemia, uveitis
sangat jarang pada kelompok ini, artritisnya bersifat simetris, baik pada sendi kecil
maupun besar, tetapi dapat pula diawali dengan arthritis yang hanya pada beberapa
sendidan baru beberapa bulan kemudian menjadi poliartritis, sendi servikal C1-2
seringkali terkena dan seringkali menimbulkan subluksasi. Pada kelompok RF positif
biasanya pada usia yang lebih muda ditandai dengan erosi sendi yang hebat, dengan
manifestasi ekstraartikuler jarang., 25% didapatkan tes ANA positif,pada RF negative
hanya terdapat 5%.

2.6 Cara Pemeriksaan

Pemeriksaan yang dianjurkan adalah:

a. pemeriksaan darah lengkap,


b. urin lengkap,
c. faal hati,
d. faal ginjal,
e. tes ANA, dan
f. faktor rematoid.

Pada ARJ, didapatkan kadar CRP meningkat khususnya pada kelompok arthritis
sistemik. Selain peningkatan CRP terdapat pula peningkatan LED, C3, C4, amiloid serum,
feritin, kadar trombosit, dan leukosit, Protein-protein ini selain disintesis hati, juga disintesis
makrofag dan sel endotel pada daerah inflamasi. Pemeriksaan laboratorium dipakai sebagai
penunjang diagosis. Bila diketemukan Anti Nuclear Antibody (ANA), Faktor Reumatoid

9
(RF) dan peningkatan C3 dan C4 maka diagnosis ARJ menjadi lebih sempurna.Biasanya
ditemukan anemia ringan, Hb antara 7-10 g/dl disertai lekositosis yang didominasi
netrofil.Trombositopenia terdapat pada tipe poliartritis dan sistemik, seringkali dipakai
sebagai petanda reaktifasi penyakit.Peningkatan LED dan CRP, gammaglobulin dipakai
sebagai tanda penyakit yang aktif.

Beberapa peneliti mengemukakan peningkatan IgM dan IgG sebagai petunjuk


aktifitas penyakit. Pengkatan IgM merupakan karakteristik tersendiri dari ARJ, sedangkan
peningkatan IgE lebih sering pada anak yang lebih besar dan tidak dihubungkan dengan
aktifitas penyakit. Berbeda dengan pada dewasa C3 dan C4 dijumpai lebi tinggi.Faktor
Reumatoid lebih sering pada dewasa dibanding pada anak. Bila positif , sering kali pada ARJ
poliartritis, anak yang lebih besar, nodul subkutan, erosi tulang atau keadaan umum yang
buruk.

Faktor Reumathoid adalah kompleks IgM-anti IgG pada dewasa dan mudah dideteksi,
sedangkan pada ARJ lebih sering IgG-anti IgG yang lebih sukar dideteksi laboratorium. Anti-
Nuclear Antibody (ANA) lebih sering dijumpai pada ARJ. Kekerapannya lebih tinggi pada
penderita wanita muda dengan oligoartritis dengan komplikasi uveitis. Pemeriksaan
imunogenetik menunjukkan bahwa HLA B27 lebih sering pada tipe oligoartritis yang
kemudian menjadi spondilitis ankilosa. HLA B5 B8 dan BW35 lebih sering ditemukan di
Australia.

a. Pemeriksaan Radiologi

Tidak semua sendi kelompok ARJ menunjukkan gambaran erosi, biasanya hanya
didapatkan pembengkakan pada jaringan lunak, sedangkan erosi sendi hanya didapatkan pada
kelompok poliartikular.

Pemeriksaan pencitraan ARJ dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh kerusakan


yang terjadi pada keadaan klinis tertentu. Kelainan radiologik yang terlihat pada sendi
biasanya adalah pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang sendi,
osteoporosis, dan kelainan yang agak jarang seperti formasi tulang baru periostal. Pada
tingkat lebih lanjut (biasanya lebih dari 2 tahun) dapat terlihat erosi tulang persendian dan
penyempitan daerah tulang rawan. Angkilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi
karpal dan tarsal. Gambaran nekrosis aseptik jarang dijumpai pada ARJ walaupun dengan
pengobatan steroid dosis tinggi jangka panjang.

10
Gambaran agak khas pada tipe oligoartritis dapat terlihat berupa erosi tulang pada fase
lanjut, pengecilan diameter tulang panjang, serta atrofi jaringan lunak regional sekunder.
Kauffman dan Lovell mengajukan beberapa gambaran radiologik yang menurut mereka khas
untuk ARJ sistemik, yaitu a) tulang panjang yang memendek, melengkung, dan melebar, b)
metafisis mengembang, dan c) fragmentasi iregular epifisis pada masa awal sakit yang
kemudian secara bertahap bergabung ke dalam metafisis. Pemeriksaan foto Rontgen tidak
sensitif untuk mendeteksi penyakit tulang atau manifestasi jaringan lunak pada fase awal.
Selain dengan foto Rontgen biasa kelainan tulang dan sendi ARJ dapat pula dideteksi lebih
dini melalui skintigrafi dengan technetium 99m. Pemeriksaan radionuklida ini sensitif namun
kurang spesifik. Skintigrafi menunjukkan keadaan hemodinamik dan aktivitas metabolik di
tulang dan sendi saat pemeriksaan dilakukan, sehingga dapat menunjukkan inflamasi sendi
secara dini. Ultrasonografi merupakan sarana paling baik untuk mengetahui keadaan cairan
intra-artrikular, terutama pada sendi-sendi yang susah dilakukan pemeriksaan cairan secara
klinis, seperti pinggul dan bahu.

Ultrasonografi juga dapat menilai efusi atau sinovitis dengan menilai penebalan
membran sinovial dari sendi yang meradang, bursa dan pembungkus tendon. Pemeriksaan
MRI yang dipadu dengan gadolinium juga dapat membedakan inflamasi sinovium dengan
cairan sinovial. Sarana MRI dapat digunakan untuk menilai aspek inflamasi dan destruktif
dari penyakit artritis. Berlawanan dengan foto Rontgen, pemeriksaan MRI dapat digunakan
untuk mendeteksi inflamasi jaringan lunak dan perubahan tulang pada fase awal, selain itu
dapat menilai progresifitas penyakit.

Pemeriksaan MRI dan/atau ultrasonografi dapat digunakan dalam evaluasi suspek


penyakit inflamasi sendi untuk menentukan ada atau tidaknya sinovitis, tenosinovitis,
entesitis atau erosi tulang. Ultrasonografi dapat digunakan sebagai pedoman untuk punksi
sendi, bursa dan pembungkus tendon. Pada pemeriksaan radiologis biasanya terlihat adanya
pembengkaan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang sendi, osteoporosis. Kelainan
yang lebih jarang adalah pembentukan tulang baru periostal. Pada stadium lanjut, biasanya
setelah 2 tahun, dapat terlihat adanya erosi tulang persendian dan penyempitan daerah tulang
rawan. Ankilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan tarsal. Pada tipe
oligoartritis dapat ditemukan gambaran yang lebih khas yaitu erosi, pengecilan diameter
tulang panjang dan atropi jaringan lunak regional sekunder. Hal ini terutama terdapat pada
fase lanjut. Pada tipe sistemik Kauffman dan Lovel menemukan gambaran radiologis yang

11
khas yaitu ditemukannya fragmentasi tidak teratur epifisis pada fase awal yang kemudian
secara bertahap bergabung ke dalam metafisis.

2.7 Diagnosis Banding dan Diagnosis

a. Diagnosis Banding

Diagnosis banding pada penyakit ARJ, diantaranya adalah:

(1) infeksi bakteri, virus, tuberkulosis,

(2) Post infeksi streptokokus,

(3) Trauma,

(4) Kelainan hematologi: Leukimia, hemophilia,

(5) Penyakit Kolagen,

(6) Demam rematik, yang membedakannnya dari ARJ ialah, pada demam rematik
didapat kan gejala chorea, interval PR memanjang pada pemeriksaan EKG dan tes
ASTO positif.

b. Diagnosis

Seperti telah dijelaskan maka diagnosis JRA dibuat semata-mata secara klinis.
Walaupun beberapa pemeriksaan imunologik tertentu dapat menyokong harus tetap
diingat bahwa tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk diagnosis
ARJ.

Diagnosis terutama berdasarkan klinis. Penyakit ini paling sering terjadi pada
umur 1-3 tahun. Nyeri ekstremitas seringkali menjadi keluhan utama pada awal
penyakit. Gejala klinis yang menyokong kecurigaan kearah ARJ yaitu kekakuan sendi
pada pagi hari, ruam rematoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis kronik,
spondilitis servikal, nodul rematoid, tenosinovitis.9

Kriteria diagnosis artritis reumatoid juvenil menurut AMERICAN


COLLEGE OF RHEUMATOLOGY (ACR):

1. Usia penderita kurang dari 16 tahun,

12
2. Artritis pada satu sendi atau lebih (ditandai pembengkakan/efusi sendi atau
terdapat 2/lebih gejala : kekakuan sendi, nyeri/sakit pada pergerakan, suhu
daerah sendi naik),
3. Lama sakit lebih dari 6 minggu,
4. Tipe awitan penyakit dalam masa 6 bulan terdiri dari :
a. Poliartritis (5 sendi ata lebih),
b. Oligoartritis (4 sendi atau lebih),
c. Penyakit sistemik dengan artritis atau demam intermiten,
d. Penyakit artritis juvenil lain dapat disingkirkan, walaupun tidak ada
yang patognomonik namun gejala klinis yang menyokong kecurigaan
ke arah ARJ yaitu kaku sendi pada pagi hari, ruam reumatoid, demam
intermiten, perikarditis, uveitis kronik, spondilitis servikal, nodul
reumatoid, tenosinovitis.

2.8 Penatalaksanaan

Pengobatan utama adalah suportif. Tujuan utama adalah mengendalikan gejala klinis,
mencegah deformitas, meningkatkan kualitas hidup. Garis besar pengobatan Meliputi :

a. Program dasar yaitu pemberian : Asam asetil salisilat; Keseimbangan aktifitas dan
istirahat; Fisioterapi dan latihan; Pendidikan keluarga dan penderita; Keterlibatan
sekolah dan lingkungan;
b. Obat anti-inflamasi non steroid yang lain, yaitu Tolmetindan Naproksen;
c. Obat steroid intra-artikuler;
d. Perawatan Rumah Sakit dan
e. Pembedahan profilaksis dan rekonstruksi.

Dasar pengobatan ARJ adalah suportif, bukan kuratif. Tujuan pengobatan adalah
mengontrol nyeri, menjaga kekuatan dan fungsi otot serta rentang gerakan (range of motion),
mengatasi komplikasi sistemik, memfasilitasi perkembangan dan pertumbuhan yang normal.
Karena itu pengobatan dilakukan secara terpadu untuk mengontrol manifestasi klinis dan
mencegah deformitas dengan melibatkan dokter anak, ahli fisioterapi, latihan kerja, pekerja
sosial, dan bila perlu konsultasi pada ahli bedah dan psikiatri.

Tujuan pengobatan ARJ ini tidak hanya sekedar mengatasi nyeri. Banyak hal yang
harus diperhatikan selain mengatasi rasa nyeri, yaitu mencegah erosi lebih lanjut, mengurangi

13
kerusakan sendi yang permanen, dan mencegah kecacatan sendi permanen. Modalitas terapi
yang digunakan adalah farmakologi maupun non farmakologi. Selain obat-obatan, nutrisi
juga tak kalah penting. Beberapa terapi yang dapat diberikan:

a. Mengontrol Nyeri

Pengelolaan nyeri pada anak tidak mudah, masalahnya sangat kompleks, karena pada
umumnya anak-anak belum dapat mengutarakan nyeri. Obat anti inflamasi non steroid
(OAINS) Obat anti-inflamasi nonsteroid digunakan pada sebagian besar anak dalam terapi
inisial. Obat golongan ini mempunyai efek antipiretik, analgesik dan antiinflamasi serta aman
untuk penggunaan jangka panjang pada anak. Obat ini menghambat sintesis prostaglandin.
Sebagian besar anak dengan tipe oligoartritis dan sedikit poliartritis mempunyai respons baik
terhadap pengobatan AINS tanpa memerlukan tambahan obat lini kedua.9Efek samping yang
sering dijumpai antara lain anoreksi, nyeri perut, gangguan fungsi hati, ginjal dan
gastrointestinal. Adanya peningkatan SGOT dan SGPT maka dianjurkan evaluasi hati
dilakukan secara teratur setiap 3-6 bulan sekali. Macam OAINS yang sering digunakan:

1. Penggunaan aspirin sebagai pilihan obat telah digantikan dengan AINS karena
adanya peningkatan toksisitas gaster dan hepatotoksisitas yang ditandai dengan
transaminasemia. Dengan adanya AINS yang menghambat siklus siklooksigenase
(COX), khususnya COX-2 maka penggunaan AINS lebih dipilih daripada aspirin
karena tidak menyebabkan agregasi trombosit, sehingga dapat digunakan pada
pasien yang mempunyai masalah perdarahan. Namun demikian, aspirin masih
mampu menekan demam dan aspek inflamasi lainnya dan terbukti aman dalam
penggunaan jangka panjang. Dosis yang biasa dipakai adalah 75-90 mg/kgBB/hari
dalam 3 atau 4 kali pemberian, diberikan bersama dengan makanan untuk
mencegah iritasi lambung. Dosis tinggi biasanya untuk anak yang beratnya kurang
dari 25 kg sedangkan untuk anak yang lebih besar diberikan dosis lebih rendah.
Aspirin diberikan terus sampai 1 atau 2 tahun setelah gejala klinis menghilang.
Aspirin 75-90 mg/Kg/hari. Dosis yang diberikan dapat lebih tinggi pada anak
yang lebih dewasa.
2. Tolmetin 25 mg/Kg/hari dibagi dalam 4 dosis,
3. Naproksen 15 mg/Kg/ hari dibagi dalam 2 dosis, bersama makanan. Dapat timbul
efek samping berupa ketidaknyamanan epigastrik dan pseudoporfiria kutaneus

14
yang ditandai dengan erupi bulosa pada wajah, tangan dan meninggalkan jaringan
parut.
4. Ibuprofen 35 mg/Kg/ hari dibagi 4 dosis,
5. Diklofenak 2-3 mg/Kg/hari terbagi dalam 2 dosis.

b. DMARD (Disease Modifying Antirheumatic Drugs)

Digunakan untuk menekan inflamasi dan erosi lebih lanjut: (1) Hidroksiklorokuin: 4-6
mg/Kg/hari, maksimal 300 mg/hari. Mermpunyai imunomodilator dan menghambat enzim
kolagenase. Efek samping yang sering dilaporkan adalah toksik pada retina sehingga
dianjurkan evaluasi retina setiap 6 bulan. Efek samping lainnya urtikaria, iritasi saluran cerna,
dan supresi sum-sum tulang. Angka kesembuhan berkisar antara 15 – 75%, (2) Preparat emas
oral maupun intramuscular dosis 5mg/minggu. Dosis dapat ditingkatkan 0,75 –
1mg/Kg/minggu. Efek sampingnya adalah supresi sum-sum tulang dan ginjal, (3) Obat-obat
sitotoksik: Sulfasalazin dilaporkan efektif untuk mengontrol ARJ. Dosis yang dianjurkan
50mg/Kg/hari sampai. Tidak dianjurkan untuk anak yang sensitive sulfasalazin, Metotreksat
(MTX): Dosis 10 mg/m2luas permukaan tubuh/ minggu. MTX aman digunakan jangka
panjang. Saat ini MTX lebih banyak dipilih oleh rematologis oleh karena efek sampingnya
lebih ringan dan respon yang sangat tinggi. Efek samping MTX yang tersering yaitu oral
ulcer, gangguan gastrointestinal, supresi sumsum tulang, gangguan fungsi hati. Dilaporkan
kejadiannya sangat tinggi, hal ini dapat dikurangi dengan cara mengurangi konsumsi alcohol
dan mengurangi obat-obatan hepatotoksik. (4) Glukokortikoid, baik untuk mengontrol gejala
sistemik arthritis, perikarditis, dan demam. Dosis yang dipakai 0,5-2mg/kg/hari. Dosis tinggi
hanya digunakan pada kasus-kasus yang berat. Injeksi intra- artikular bermanfaat untuk
arthritis yang tidak terlalu banyak menyerang sendi. Pada kasus dengan uveitis anterior
biasanya diberikan topikal. Bila berat dapat diberikan peroral dengan dosis 30 mg/Kg/hari
selama 3 hari berturut-turut, pada kasus tertentu membutuhkan imunosupresan, efek samping
kortikosteroid, infeksi varisela.

c. Biologic Response Modifier

Pendekatan terapi terbaru menggunakan etanercept sebagai agen biologik yang


berfungsi sebagai penghambat Tumor Necrosis Factor(TNF), sehingga akan menghambat
pengeluaran sitokin yang berperan dalam proses inflamasi. Etanercept akan terikat pada
komponen Fc imunoglobulin dan efektif dalam mengontrol poliartritis yang tidak
memberikan respon dengan terapi konvensional ataupun imunosupresan. Sebelum diberikan

15
terapi, data dasar laboratorium (darah perifer, LED, CRP, urinalisis) harus diambil dan uji
tuberkulin kulit dengan PPD (purified protein derivative) menunjukkan hasil negatif. Dosis
yang digunakan untuk anak usia 4-17 tahun yaitu 0,4 mg/kgBB subkutan 2 kali dalam
seminggu, minimal dengan jangka waktu terpisah 72-96 jam (maksimum 25 mg/dosis). Obat
sebelumnya, baik AINS atau metotreksat tetap dilanjutkan. Sedangkan untuk usia 17 tahun
keatas diberikan dengan dosis dewasa, yaitu diberikan bersamaan dengan metotreksat dalam
infus intravena 3 mg/kgBB pada minggu 0, 2, 6 dan setelah itu setiap 8 minggu untuk
pemeliharaan. Pilihan lain adalah pemberian dosis tunggal etanercept setiap minggu untuk
dosis 25 mg atau kurang pada pasien baru atau usia 4-17 tahun. Apabila dosis mingguan
melebihi 25 mg, maka digunakan dua lokasi suntikan subkutan. Obat ini tidak boleh
digunakan pada anak dengan infeksi atau riwayat infeksi rekuren.

Penggunaan imunoglobulin intravena (IVIG) dalam mengatasi onset poliartritis dan


sistemik belum menunjukkan hasil klinis yang konsisten. Pada sebuah studi, penggunaan
IVIG pada onset sistemik tidak memberi banyak manfaat dibanding plasebo, sedangkan pada
poliartritis, dapat diberikan dalam dosis 1,5-2 mg/kgBB, 2x/bulan dalam 2 bulan pertama
kemudian 1x/bulan untuk 6 bulan selanjutnya (dosis maksimum 100 gr). Beberapa studi juga
melaporkan siklosporin untuk mengatasi artritis kronik dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari,
dibagi dalam 2 dosis, terpisah dalam 12 jam.

d. Fisioterapi

Banyak manfaat yang dapat diberikan oleh fisioterapi, antara lain: mengontrol nyeri,
dengan cara pemasangan bidai, terapi panas dingin, hidroterapi dan TENS. Selain dapat
membantu mengurangi nyeri, fisioterapi berguna bagi anak-anak untuk melakukan
peregangan otot yang dapat berguna memperbaiki fungsi sendi. Peregangan pasif sangat
diperlukan, tetapi harus dikerjakan dengan pengawasan. Latihan aktif, dengan atau tanpa
beban sangat membantu menambah massa otot. Fisioterapi juga berguna mempertahankan
fungsi gerak sendi serta mempertahankan pertumbuhan normal.

e. Pengelolaan nutrisi

Anak-anak dengan inflamasi kronis mempunyai resiko untuk terjadi malnutrisi oleh
karena menahan sakit yang menyebabkan nafsu makan menurun. Dengan demikian jumlah
kalori yang didapat berkurang. Selain faktor tersebut, efek samping obat-obatan juga
mempengaruhi penurunan nafsu makan . Obat-obatan yang dapat menurunkan nafsu makan

16
antara lain OAINS, klorokuin. Penyebab lain penurunan nafsu makan adalah adanya
keradangan pada temporo mandibula. Penanganan diet pada anak sangatlah kompleks.
Vitamin, zat besi, dan kalsium sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan anak, dan sebaiknya
ditambahkan pada diet. Oleh karena pemakaian steroid jangka panjang, maka diperlukan
vitamin D 400IU dan kalsium 400mg sedangkan kalsium 800mg digunakan pada anak lebih
dari 10 tahun.

2.9 Komplikasi

Komplikasi ARJ terpenting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan akibat


penutupan epifisis dini seperti yang sering terjadi pada mandibula, metakarpal, dan
metatarsal. Kelainan tulang dan sendi lain dapat pula terjadi seperti angkilosis, luksasi, atau
fraktur. Komplikasi ini biasanya berhubungan dengan berat dan lamanya sakit, tetapi dapat
pula akibat efek pengobatan steroid. Adanya nyeri abdomen yang berhubungan dengan ulkus
atau gastritis, hepatotoksik atau nefrotoksik menandakan perlunya pemeriksaan laboratorium
rutin. Kadang dapat juga terjadi vaskulitis atau ensefalitis pada ARJ. Amiloidosis sekunder
jarang terjadi, tetapi dapat memberikan akibat lanjut yang berat sampai gagal ginjal.

Selain komplikasi di atas, artritis tipe onset sistemik mempunyai komplikasi berupa
anemia hemolitik dan perikarditis. Oligoartritis mempunyai komplikasi uveitis yang sering
asimtomatik. Komplikasi lainnya yang cukup penting adalah masalah psikologi anak akibat
penyakit ini, seperti depresi, ansietas dan masalah di sekolah.

Komplikasi yang lain adalah vaskulitis, ensefalitis. Amiloidosis sekunder dapat terjadi
walaupun jarang dan dapat fatal karena gagal ginjal. Uveitis merupakan penyakit peradangan
pada mata,merupakan keadaan serius dari ocular yang secara spesifik mengenai satu atau
lebih dari tiga bagian yang membentuk uvea. Iris, badan siliar, choroid,. Keadaan ini
diperkirakan 10-15% menjadi penyebab dari kebutaan di Negara berkembang. Dapat
mengenai kedua mata, dapat berhubungan dengan ifeksi atau penyakit sisitemik, uveitis
adalah penyakit yang bisa ditangani, meskipun apabila kejadiannya meninggalkan sisa, atau
episode pengulangan dari peradangan, ini dapat mengenai jaringan dan kebutaan.

17
2.10 Prognosis

Perjalanan penyakit ARJ berkembang dengan variasi yang sangat banyak tergantung
umur saat onset penyakit serta tipe dari ARJ pada tipe sistremik arthritis dengan demam
tinggi, membutuhkan steroid dosis tinggi, dan trombositosis menunjukkan prognosis yang
jelek, hanya 25% tipe poliartikular remisi dalam 5 tahun dan 2/3 pasien ARJ mengalami erosi
sendi. Beberapa faktor merupakan indikator prognosis buruk:

a. tipe sistemik yang aktif pada 6 bulan pertama,


b. Poliartritis,
c. Perempuan,
d. Faktor rheumatoid positif,
e. Kaku sendi yang persisten,
f. Tenosinovitis,
g. Nodul Subkutan,
h. Tes ANA +,
i. Artritis pada jari tangan dan kaki pada awal penyakit,
j. erosi yang progresif,
k. Pausiartikuler tipe eksten.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Abraham, Rudolph. 2006. Buku Ajar Ilmu Pediatri Rudolph.Jakarta: EGC


2. Arthritis Foundation, 2007. Pauciarticular JRA, available at:
http://ww2.arthritis.org/conditions/diseasecenter/pauciarticularJRA.asp
3. Arthritis Foundation, 2007. Polyarticular JRA, available at:
http://ww2.arthritis.org/conditions/diseasecenter/polyarticularJRA.asp
4. Arthritis Foundation, 2007. Systemic JRA, available at:
http://ww2.arthritis.org/conditions/diseasecenter/systemiconsetJRA.asp

5. Baratawijaya, Karnen. 2005. Imunologi Dasar. Jakarta: Gaya Baru


6. Criteria for the classification arthritis rheumatoid, 2009, available at:
www. American College of Rheumatology.com
7. Sudoyo, Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Pusat
penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
8. Tim Perumus Format Standar Pelayanan Medik IDAI. 2003. Standar Pelayanan Medik
Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI
9. Judarwanto, Widodo. 2008. Artritis Pada Anak, available at:
www. children’s IMMUNOLOGY CLINIC. Com
10. Juvenile arthritis, 2007, available at:
www. American Academy of Orthopaedics Surgeons.com
11. Juvenile Idiophatic Arthritis, 2009. Available at:
http://jama.ama-assn.org/cgi/reprint/294/13/1722.pdf

19

Você também pode gostar