Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
KAJIAN KEBIJAKAN
3
berfokus pada keluarga, dan berorientasi pada komunitas yang sesuai dengan
latar belakang budaya, menyediakan pelayanan holistik yang
mengintegrasikan faktor biologis, psikologis, sosial, budaya, dan spiritual
dengan membina hubungan dokter-pasien yang erat dan setara, menyediakan
pelayanan komprehensif meliputi promosi kesehatan, pencegahan penyakit,
pengobatan, rehabilitasi dan pelayanan paliatif, yang berkeianjutan pada
semua kelompok usia dan penyakit serta memberikan pelayanan sesuai etik
dan bertanggung jawab secara profesional berbasis bukti ilmiah. Masalah
dasar yang dapat muncul adalah banyak calon dokter yang ada, sehingga
memungkinkan terdapat kerugian ataupun kesulitan dan menambah masa
studi pendidikan dokter yang mahal serta dapat merebut tupoksi program dari
kesehatan masyarakat.
1. Macam
Masalah kebijakan (policy problem) adalah nilai kebutuhan, atau
kesempatan yang belum terpenuhi, yang dapat dididentifikasi, untuk
kemudian diprediksi atau dicapai melalui tindakan publik. Adapun
masalah dalam upaya penyelenggaraan program Dokter Layanan Primer di
Indonesia adalah aturan PP mengenai Pendidikan Kedokteran yang
menyelenggarakan program Dokter Layanan Primer yang kemudian
memunculkan adanya perbedaan pendidikan antara Pendidikan Dokter
Spesialis dan Pendidikan Dokter Layanan Primer. Lebih lanjut pula
dibahas kebijakan mengenai program Dokter Layanan Primer.
2. Nilai
Setiap kebijakan mengandung nilai tertentu dan juga bertujuan untuk
menciptakan norma baru dalam organisasi. Nilai yang ada di masyarakat
atau anggota organisasi berbeda dengan nilai yang ada di pemerintah. Oleh
karena itu perlu partisipasi dan komunikasi yang intens pada saat
merumuskan kebijakan.
a. Nilai Kompetisi: Upaya penyelenggaraan program Dokter Layanan
Primer sebagaimana yang tercantum dalam pasal ini bahwa Program
DLP hanya dapat diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran yang
4
memiliki program studi kedokteran dengan peringkat akreditasi
tertinggi.
b. Nilai ekonomis dalam upaya penyelenggaraan program Dokter Layanan
Primer sebagaimana yang tercantum dalam pasal ini dilakukan untuk
melayani semua orang yang perlu layanan kesehatan tanpa batas usia,
jenis penyakit, ras, dan tingkatan sosial. DLP biasanya adalah dokter
yang pertama dihubungi oleh pasien, karena faktor-faktor kemudahan
komunikasi, lokasi yang dapat diakses, keakraban, biaya, persyaratan
perawatan.
c. Nilai manfaat: pemerintah menjamin upaya pendidikan kedokteran
yang berkualitas sebagaimana yang tercantum dalam pasal ini berpihak
pada masyarakat/calon dokter dan upaya tersebut dalam rangka untuk
melindungi dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
3. Karakteristik
Kriteria kebijakan dalam pasal 20 adalah kompetisi dengan
menekankan pada aspek penyelenggaraan Fakultas dengan akreditasi
tertinggi baik itu fakultas kedokteran negeri maupun swasta. Ketentuan
mengenai penyelenggaraan program Dokter Layanan Primer ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Tipe pendekatan yang digunakan dalam pasal ini adalah pendekatan
prediktif, dengan diberlakukannya kebijakan ini diharapkan
penyelenggaraan program Dokter Layanan Primer di fakultas kedokteran
meningkatkan kualitas dan kompetensi dokter dalam meningkatkan
kualitas masyarakat yang sehat agar terbentuk sumber daya manusia yang
berkualitas.
4. Aktor
Dalam upaya penyelenggaraan program Dokter Layanan Primer,
mereka yang merupakan penentu kebijakan di tingkat pusat dan daerah;
pemangku kepentingan baik ditingkat pusat dan daerah; instansi
pendidikan sebagai pemberi pelayanan pendidikan kedokteran, masyarakat
sebagai pengguna layanan adalah aktor atau advokat yang termasuk dalam
5
kebijakan ini. Oleh karena itu, kerjasama baik dari pemerintah, tenaga
kesehatan dan masyarakat mengenai masalah kesehatan tersebut harus
ditanamkan dan menjadi tanggung jawab bersama untuk mencapai manfaat
dari kebijakan tersebut.
5. Isu Publik
Dalam PP juga mengatur mengenai penyelenggaraan program
Dokter Layanan Primer untuk dilakukan oleh Fakultas Kedokteran dengan
akreditasi tertinggi dan berkoordinasi dengan organisasi profesi tetapi hal
ini dapat membuat calon dokter ataupun dokter umum harus menempuh
pendidikan Dokter Layanan Primer lagi dan DLP tersebut belum mendapat
STR dari IDI.
1.2 Tujuan yang Ingin Dicapai (Tertulis dan Tersirat)
Tujuan yang ingin dicapai oleh pasal 20 adalah terselenggaranya
program Dokter Layanan Primer sesuai dengan peraturan menteri yang
ditetapkan kemudian, dengan memperhatikan fungsi dan penyelenggara
program DLP dalam pemberian pendidikan akadmik dan profesi bagi calon
dokter.
Tujuan yang ingin dicapai pada pasal 21 adalah pemenuhan ataupun
terpenuhinya fungsi dari DLP yaitu untuk pelayanan primer yang berpusat
pada individu, berfokus pada keluarga, dan berorientasi pada komunitas yang
sesuai dengan latar belakang budaya, menyediakan pelayanan holistik yang
mengintegrasikan faktor biologis, psikologis, sosial, budaya, dan spiritual
dengan membina hubungan dokter-pasien yang erat dan setara, menyediakan
pelayanan komprehensif meliputi promosi kesehatan, pencegahan penyakit,
pengobatan, rehabilitasi dan pelayanan paliatif, yang berkelanjutan pada
semua kelompok usia dan penyakit serta memberikan pelayanan sesuai etik
dan bertanggung jawab secara profesional berbasis bukti ilmiah.
1.3 Substansi Kebijakan (Isi Utama)
Substansi kebijakan pasal 20 ialah penyelenggara program Dokter
Layanan Primer di fakultas kedokteran yang harus memenuhi persyaratan
kategori akreditasi tertinggi sebagaimana diatur oleh peraturan menteri.
6
Substansi kebijakan pasal 10 adalah penjabaran mengenai fungsi apa
saja yang harus dimiliki oleh Dokter Layanan Primer, dalam hal ini pelayanan
primer yang berpusat pada individu, berfokus pada keluarga, dan berorientasi
pada komunitas yang sesuai dengan latar belakang budaya; menyediakan
pelayanan holistik yang mengintegrasikan faktor biologis, psikologis, sosial,
budaya, dan spiritual dengan membina hubungan dokter-pasien yang erat dan
setara; menyediakan pelayanan komprehensif meliputi promosi kesehatan,
pencegahan penyakit, pengobatan, rehabilitasi dan pelayanan paliatif, yang
berkeianjutan pada semua kelompok usia dan penyakit serta memberikan
pelayanan sesuai etik dan bertanggung jawab secara profesional berbasis
bukti ilmiah.
1.4 Ciri Kebijakan
Pada pasal 20 PP No 52 Tahun 2017, ciri yang terlihat adalah pasal ini
bersifat mendukung, memperjelas, dan menguatkan kebijakan pada pasal
sebelumnya, yakni pasal 2. Pasal ini juga berupaya untuk mewadahi
kepentingan publik, khususnya Fakultas Kedokteran dalam pemenuhan
kebutuhan akan penambahan program Dokter Layanan Primer.
Pasal 21 bersifat mendukung dan menegaskan pasal-pasal sebelumnya
yang mengatur tujuan pendidikan kedokteran, yakni menghasilkan Dokter
dan Dokter Gigi yang berbudi luhur, bermartabat, bermutu, berkompeten,
berbudaya menolong, beretika, berdedikasi tinggi, profesional, berorientasi
pada keselamatan pasien, bertanggung jawab, bermoral, humanistis, sesuai
dengan kebutuhan masyarakat, mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial,
dan berjiwa sosial tinggi; memenuhi kebutuhan Dokter dan Dokter Gigi di
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia secara berkeadilan; dan
meningkatkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kedokteran dan kedokteran gigi.
Pendekatan yang multidisipliner, dengan kerangka pemikiran yang
lebih mendalam baik dari sisi substansi maupun dari sisi cakupan pengaturan
kebijakan baik itu pasal 20 maupun pasal 21 yang lebih merespon tuntutan
7
pelayanan kesehatan untuk menjawab perkembangan dunia kesehatan di masa
depan.
8
BAB II
9
pemborosan. Dengan berlakunya kebijakan ini maka Dokter Layanan
Primer dapat leluasa mengambil lingkup kerja atau wilayah kerja dari
kesmas maupun kedokteran umum lainnya karena ranah pelayanan yang
luas dan berada pada tingkat primer.
2.2 Resistensi
1. Bentuk
Resistensi terhadap kebijakan program Dokter Layanan Primer ditunjukan
dengan:
1) Argumentatif: berupa pernyataan yang berlawanan dengan kebijakan
yang diterapkan dengan pelaksana kewenangan.
2) Afeksi: berupa ketidak setujuan terhadap peraturan yang ada, sehingga
ada keinginan untuk merestrukturisasi kebijakan.
3) Penyimpangan: ditunjukkan dengan adanya segilintir orang yang
berencana untuk menghapuskan kebijakan tersebut.
2. Aktor
Penentu kebijakan di tingkat pusat dan daerah, pemangku kepentingan
baik di tingkat pusat dan daerah serta instansi pendidikan.
3. Sumber
Lobi politik, debat, dialog, negosiasi, petisi/resolusi, dan mobilisasi.
4. Intensitas
Per 31 Desember 2015, dokter yang mendapat STR dari Konsil
Kedokteran Indonesia adalah 109.597. Terbanyak dari Jawa Barat (15,51
persen); DKI Jakarta (15,28 persen); Jawa Timur (12,25 persen). Daerah
dengan jumlah dokter paling sedikit adalah Sulawesi Barat (0,11 persen);
Maluku Utara (0,18 persen); dan Kalimantan Utara (0,19 persen).
Secara umum, tahun 2015, jumlah dokter Indonesia sudah memenuhi
rasio, yaitu 40,5 dokter per 100 ribu. Tetapi, jika dilihat per provinsi,
hanya 12 provinsi yang mencapai rasio dan 22 provinsi lainnya lebih
rendah dari target Kemenkes. Bayangkan, di Sulawesi Barat saja pada
2013, seorang dokter harus melayani 11.400 orang.
10
2.3 Masalah Baru yang Timbul
Pendidikan DLP harus diselenggarakan di Fakultas Kedokteran (FK)
yang berakreditasi A. Boleh akeditasi B, tetapi tetap bekerja sama dengan FK
berakreditasi A. Dari 75 fakultas kedokteran yang ada saat ini, hanya 17
fakultas yang berakreditasi A (22,67 persen). Dengan beban berat FK
menerima mahasiswa S1 rata-rata sebanyak 100-200 orang dan peserta
pendidikan dokter spesialis per bidang ilmu, rata-rata 10-20 orang (terdapat
34 bidang spesialis saat ini), beban yang ditanggung akan bertambah.
Apalagi, jika diharuskan menerima dokter pendidikan DLP (jumlah pengajar,
sarana, prasarana, dan dana).
Istilah ‘setara spesialis’ masih menjadi pertanyaan karena berbagai
undang-undang dan peraturan menteri belum mengenal istilah setara spesialis.
Dalam UU No 29 Tahun 2004 tentang praktik Kedokteran hanya dikenal
istilah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis.
Pertanyaannya adalah kedudukan ‘setara spesialis’ ini dalam Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Apakah dalam deskripsi KKNI,
DLP berarti terletak di level 8? Jika tidak, implikasinya akan berdampak
pada golongan dan pangkat serta penggajian.
Sampai saat ini, belum ada standar kompetensi dan standar pendidikan
bagi DLP. Bagaimana kita akan mencapai tujuan pembelajaran jika standar
kompetensi DLP saja belum ada. Bagaimana perbedaan kompetensi DLP
dengan dokter umum dan dokter keluarga? Semua itu masih belum jelas.
Bagaimana cara mengetahui bahwa DLP yang diluluskan sudah
kompeten, jika uji kompetensi yang seyogianya mengacu pada standar
kompetensi, ternyata masih belum disepakati. Apakah dosen yang mendidik
peserta program DLP sudah terkualifikasi? Sampai saat ini, belum diketahui
kurikulum pendidikan program DLP yang akan diterapkan. Satu hal lagi yang
dibutuhkan adalah standar kompetensi DLP, yang disahkan oleh Konsil
Kedokteran Indonesia (UU Praktik Kedokteran no 29 – 2004).
Selanjutnya, lulusan program DLP harus menjalani uji kompetensi,
yang diselenggarakan oleh Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran
11
Indonesia (AIPKI) bekerja sama dengan IDI/Kolegium Dokter Indonesia. Jika
IDI dan Kolegium Dokter Indonesia tidak mengakui pendidikan DLP, ada
konsekuensi tidak dapat diterbitkannya sertifikat kompetensi oleh IDI. DLP
pun tidak memenuhi syarat untuk mengajukan surat tanda registrasi ke KKI.
DLP akan bekerja dan mengabdikan di fasilitas layanan primer. Saat ini
dokter yang bekerja di puskesmas adalah dokter yang secara reguler harus
mendapatkan Surat Tanda Registrasi setiap lima tahun. Mereka telah teruji
keandalannya dalam bekerja di puskesmas. Jika DLP juga akan melakukan
pelayanan di puskesmas, hal ini akan berpotensi memicu terjadinya konflik
dengan dokter umum, terutama dalam pembagian kewenangan.
12
BAB III
PREDIKSI
13
dapat dilihat adanya: Peraturan Perundangan, Surat Keputusan, Edaran,
Instruksi, himbauan dan dukungan termasuk sarana dan tenaga; adanya
anggaran dari APBD atau sumber lain; adanya jadwal koordinasi dan
pemantauan kegiatan; kemampuan pengambilan keputusan dalam
menjelaskan setiap kegiatan; serta terbentuknya dan berfungsinya forum
dokter layanan primer.
14
BAB IV
4.1 Kesimpulan
Pasal 22 dan 21 Peraturan Pemerintah Nomor 52 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan
Kedokteran yang mengatur penyelenggara program Dokter Layanan Primer,
dimana dalam penyelenggaraan dokter layanan primer hanya boleh
diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran yang terakreditasi A dan Fakultas
Kedokteran akreditas B tetapi harus bekerja sama dengan FK akreditas A,
sehingga ini akan menambah beban tanggungan bagi FK akreditas tinggi,
dimana saat ini ada 75 fakultas kedokteran yang bekerjasama dengan FK
akreditas A dengan jumlah FK 17 fakultas yang berakreditasi A (22,67
persen), selain itu penggunaan kata dokter layanan primer mengandung arti
setara dengan dokter spesialis, sehingga hal tersebut masih menjadi
pertanyaan karena belum ada undang-undang yang pasti tentang makna setara
spesialis. Prediksi keberhasilan merupakan upaya untuk menentukan berhasil
atau tidaknya kebijakan tersebut diterapkan, dalam menentukan keberhasilan
penerapan kebijakan Dokter Layanan Primer dapat dilihat dengan adanya
Peraturan Perundangan, Surat Keputusan, Edaran, Instruksi, himbauan dan
dukungan termasuk sarana dan tenaga dalam penerapan kebijakan ini. Ada
pihak yang resistensi terhadap kedua pasal tersebut misalnya ada pihak yang
tidak setuju dengan kebijakan ini sehingga mereka berencana untuk
menghapuskan kebijakan tersebut.
4.2 Rekomendasi
Rekomendasi untuk penggunaan arti Dokter Layanan Primer yang
memiliki makna setara dengan dokter spesialis yaitu harus ada undang-
undang yang mengatur jelas maksud dari setara dengan dokter spesialis
sehingga terdapat kesamaan persepsi yang jelas dan tidak ada kesalahan
dalam pengartian Dokter Layanan Prima.
15