Você está na página 1de 51

Apa yang Terjadi Kalau Bayi Tidak

Divaksin (Imunisasi)?
Mengapa imunisasi bayi penting dilakukan?

Bayi sangat rentan terhadap penyakit karena di dalam tubuhnya belum terbentuk sistem
kekebalan tubuh yang kuat. Dengan melakukan imunisasi pada bayi, berarti Anda melindungi
bayi Anda dari berbagai penyakit. Vaksin yang disuntikkan ke dalam tubuh anak Anda akan
membantu sistem kekebalan tubuh anak untuk membentuk antibodi, yang berfungsi untuk
melawan virus atau bakteri yang masuk ke tubuhnya. Ini dapat mencegah anak terkena
berbagai macam penyakit yang berbahaya.

Lebih jauh dari itu, imunisasi dapat menyelamatkan hidup anak Anda. Pada zaman dahulu,
banyak anak menderita sakit seperti polio, dan penyakit tersebut menyebabkan banyak anak
meninggal dunia. Dengan kemajuan ilmu dan teknologi, vaksin diciptakan untuk
memberantas penyakit tersebut dan hasilnya sekarang sudah sedikit anak-anak yang
menderita penyakit berbahaya.

Dampak yang ditimbulkan setelah imunisasi mungkin menyebabkan anak Anda menderita
demam, nyeri atau kemerahan di tempat suntikan, anak tidak ingin makan, dan lainnya.
Namun, hal ini normal terjadi dan tidak akan berlangsung lama, ini merupakan respon tubuh
terhadap zat baru yang masuk ke dalam tubuh. Rasa sakit yang ditimbulkan ini jauh lebih
baik ketimbang rasa sakit yang dirasakan anak jika tidak diberi imunisasi. Anak bisa
menderita penyakit yang lebih berbahaya, bahkan dapat menyebabkan kematian, jika ia tidak
mendapatkan imunisasi.

Daftar imunisasi bayi yang wajib

Di Indonesia, tiap bayi di bawah umur satu tahun harus mendapatkan imunisasi dasar
lengkap. Imunisasi ini berguna untuk mencegah bayi terkena penyakit polio, campak,
tuberkulosis (TBC), difteri, pertusis atau batuk rejan, tetanus, dan hepatitis B. Imunisasi dasar
lengkap ini terdiri dari 5 jenis vaksin yang akan diberikan sesuai umur bayi, dan pemberian
setiap vaksinnya bisa dilakukan lebih dari satu kali. Dengan mendapatkan vaksin sesuai
umurnya, tubuh bayi dirangsang untuk membuat sistem kekebalan tubuh yang lebih kuat
dengan membentuk antibodi sebagai perlawanan untuk menyerang penyakit berbahaya.

Berikut ini merupakan lima vaksin imunisasi dasar lengkap:

 Vaksin hepatitis B untuk mencegah penyakit hepatitis B dan kerusakan hati. Vaksin ini
diberikan 1 kali pada bayi baru lahir yang berusia kurang dari 7 hari. Saat bayi baru lahir,
biasanya bayi akan langsung diberikan vaksin ini.
 Vaksin BCG untuk mencegah penyakit tuberkulosis (TBC). Vaksin ini diberikan 1 kali pada
bayi yang berumur 1 bulan.
 Vaksin DPT-Hepatitis B untuk mencegah difteri, pertusis, tetanus, dan hepatitis B. Vaksin ini
diberikan 3 kali, yaitu pada saat bayi berumur 2 bulan, 3 bulan, dan 4 bulan.
 Vaksin polio untuk mencegah polio. Polio dapat menyebabkan kelumpuhan dan tungkai kaki
dan lengan. Vaksin ini diberikan 4 kali, yaitu pada saat bayi berumur 1 bulan, 2 bulan, 3
bulan, dan 4 bulan.
 Vaksin campak untuk mencegah campak. Campak dapat menyebabkan komplikasi radang
paru, radang otak, dan kebutaan. Vaksin campak diberikan 1 kali saat bayi berumur 9 bulan.

Bagaimana jika imunisasi bayi telat dilakukan?

Mungkin ibu sempat lupa untuk membawa anaknya ke posyandu, puskesmas, bidan, maupun
dokter anak untuk diberikan vaksin imunisasi. Atau mungkin anak sedang batuk, pilek,
demam, atau diare saat jadwal imunisasi sehingga Anda sebagai ibu tidak berani memberikan
imunisasi pada anak Anda. Sebenarnya anak masih dapat diberikan imunisasi walaupun ia
sedang sakit pilek, batuk, atau demam.

Jika imunisasi terlewat atau telat diberikan, sebaiknya segera bawa anak Anda untuk
imunisasi. Pemberian vaksin yang tidak sesuai jadwal tidak masalah, asalkan pemberian
kelima vaksin tersebut (imunisasi dasar lengkap) dilakukan pada saat anak masih berusia di
bawah 1 tahun. Segera mintakan imunisasi yang telat tersebut agar anak tidak berisiko
tertular penyakit yang berbahaya.

Bagaimana jika bayi tidak diimunisasi sama sekali?

Sebagian kecil dari Anda mungkin meragukan imunisasi. Beberapa cerita di luar sana
menyebutkan bahwa imunisasi justru menyebabkan anak sakit. Namun, imunisasi dijamin
aman dilakukan. Sejumlah ilmuwan terus bekerja untuk membuat vaksin lebih aman dari
waktu ke waktu. Sebelum mendapat lisensi dan diedarkan, vaksin pasti mengalami sejumlah
pengujian untuk menjamin keamanannya.

Jika anak tidak mendapatkan imunisasi sama sekali, anak akan berisiko terkena penyakit-
penyakit yang telah disebutkan di atas, parahnya lagi penyakit tersebut bisa menyebabkan
kematian pada anak. Sistem kekebalan tubuh pada anak yang tidak mendapat imunisasi tidak
sekuat anak yang diberi imunisasi, tubuh tidak mengenali virus penyakit yang masuk ke
tubuh sehingga tidak bisa melawannya, ini membuat anak rentan terhadap penyakit. Jika anak
yang tidak diimunisasi ini menderita sakit, ia juga dapat menularkannya ke orang sekitarnya
sehingga juga membahayakan orang lain.

Baca Juga:

Kenapa Anak Demam Setelah Imunisasi?


Namun, sebenarnya demam merupakan respon tubuh yang umum dialami anak setelah
mendapat imunisasi. Hal ini sangat wajar terjadi pada semua anak yang mendapat imunisasi.
Anda tidak perlu merasa khawatir karena bila demam dapat ditangani dengan baik, ia tidak
akan menjadi masalah.

Mengapa anak demam setelah imunisasi?

Imunisasi merupakan suatu cara untuk melindungi tubuh dari penyakit berbahaya sebelum
penyakit tersebut kontak dengan kita. Imunisasi memanfaatkan mekanisme pertahanan alami
dari tubuh, yaitu sistem imun atau sistem kekebalan tubuh, untuk membentuk pertahanan
spesifik dalam melawan infeksi virus.
Ketika anak diimunisasi, tubuh anak dimasukkan vaksin yang sudah jinak. Kemudian, tubuh
akan memproduksi sebuah respon imun dengan cara yang sama seperti ketika tubuh sedang
terkena penyakit, tetapi tanpa tubuh menunjukkan gejala penyakit tersebut. Dan ketika tubuh
terpapar penyakit yang sama di masa datang, sistem imun tersebut dapat merespon dengan
cepat untuk mencegah penyakit tersebut berkembang.

Saat membentuk respon imun setelah anak diimunisasi inilah tubuh memberikan respon,
seperti demam, gatal, dan nyeri pada bekas suntikan. Tubuh membentuk sistem kekebalan
tubuh baru gabungan dari vaksin imunisasi yang dimasukkan ke dalam tubuh, sehingga
menyebabkan suhu tubuh meningkat (demam).

Namun, tidak semua imunisasi memberikan respon demam, beberapa mungkin menyebabkan
demam, seperti imunisasi campak dan DPT (dipteri, pertusis, dan tetanus). Selain itu, tidak
semua anak juga mengalami respon demam ini, ada yang demam dan juga ada yang tidak,
tiap anak menunjukkan respon setelah imunisasi yang berbeda-beda.

Apa yang harus dilakukan jika anak demam setelah imunisasi?

Ya, demam merupakan respon tubuh yang normal setelah mendapat imunisasi. Biasanya suhu
tubuh anak akan naik di atas 37,5 C setelah mendapat imunisasi. Anda sebagai ibu hanya
perlu menanganinya dengan baik agar demam cepat turun.

Bagi anak yang masih menyusui, pemberian ASI yang lebih sering kepada anak dapat
meringankan demam anak Anda. Penelitian yang diterbitkan oleh Pediatrics menunjukkan
bahwa anak yang diberi ASI eksklusif lebih sedikit mengalami demam setelah imunisasi
daripada anak yang tidak menerima ASI eksklusif atau hanya menerima susu formula.

Alasan mengapa anak yang diberi ASI berkurang risikonya untuk mengalami demam setelah
mendapat imunisasi sebenarnya belum jelas, tetapi ASI mungkin mengandung senyawa anti
peradangan yang menurunkan risiko demam. Ini mungkin juga karena anak yang diberi ASI
memiliki kemungkinan yang lebih sedikit untuk kehilangan nafsu makan ketika mereka
sedang merasa kurang sehat karena menyusu dapat memberikan rasa nyaman pada anak saat
sakit. Selain itu, anak yang menyusu ASI juga mendapatkan asupan yang lebih daripada anak
yang diberikan susu formula sehingga anak lebih cepat pulih dari demamnya. Imunisasi juga
bekerja lebih baik pada anak yang mendapat ASI.

Anda juga dapat mengompres anak dengan air hangat sebagai upaya untuk menurunkan
demam. Kompresan ini bisa diletakkan di lengan atau paha di mana suntikan diberikan.
Pakaikan juga pakaian yang tipis kepada anak, tetapi pastikan anak tidak kedinginan. Biarkan
anak istirahat dan berikan ia minum yang banyak.

Kapan harus waspada?

Jika cara ini belum membantu meredakan demam anak Anda, Anda dapat memberikan
paracetamol atau ibuprofen pada dosis dan waktu yang tepat sesuai anjuran dokter. Sebaiknya
segera bawa anak ke dokter jika anak sudah menunjukkan gejala, seperti demam makin tinggi
lebih dari 40 derajat C, anak menangis lebih dari 3 jam pada satu waktu, menjadi lesu, kantuk
berlebihan, dan mengalami kejang karena demam sangat tinggi.
Bagaimanapun, imunisasi dapat melindungi kesehatan lebih dari satu anak. Imunisasi pada
satu anak dapat memperkecil kesempatan anak tersebut untuk menderita penyakit dan
menularkan penyakit kepada anak lainnya. Jika tingkat imunisasi tinggi di suatu daerah,
risiko penyebaran penyakit tertentu dapat menurun, sehingga mereka yang belum atau tidak
menerima imunisasi pun dapat terlindungi dari penyakit.

Apa Artinya Jika Muncul Bisul Setelah


Imunisasi BCG?
Oleh dr. Albert Novianto Data medis direview oleh dr. Tania Savitri.

 Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)


 Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
 Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru)
 Klik untuk berbagi via Google+(Membuka di jendela yang baru)
 Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
 Klik untuk berbagi di Line new(Membuka di jendela yang baru)

Sesuai dengan anjuran Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, imunisasi BCG untuk
mencegah tuberkulosis sebaiknya diberikan pada lengan atas sebelah kanan. Nah, biasanya
setelah mendapatkan vaksin ini, akan muncul benjolan seperti bisul di lengan yang habis
disuntik. Apakah bisul ini berbahaya atau normal? Kenapa ada anak yang tidak muncul bisul
setelah divaksin BCG? Simak jawabannya di bawah ini.

Mengenal imunisasi BCG

BCG adalah imunisasi yang diberikan kepada bayi berusia minimal satu bulan. Imunisasi ini
memiliki kepanjangan Bacille Calmette-Guerin dan dibuat dari bakteri Mycobacterium bovis
atau M. bovis. Bakteri yang disuntikkan merupakan bakteri hidup yang dilemahkan. Karena
itu, Anda tidak perlu khawatir sebab vaksin ini sudah teruji klinis dan terbukti aman.
Sampai saat ini, imunisasi BCG masih menjadi salah satu pencegah yang efektif dalam
menangani terjadinya penyakit tuberculosis (TB atau TBC). Imunisasi ini bekerja dengan
cara membuat sistem kekebalan tubuh (imun) Anda lebih peka terhadap adanya bakteri
penyebab TB dalam tubuh. Dengan begitu, sistem imun bisa menyerang bakteri tersebut
sebelum menginfeksi.

Wajarkah kalau muncul bisul setelah imunisasi BCG?

Setelah diberikan, vaksin BCG akan memunculkan bekas berupa bisul atau luka bernanah.
Namun orangtua tidak perlu khawatir, karena ini adalah suatu respons alami sistem kekebalan
tubuh anak terhadap vaksin yang diberikan. Jadi untuk orangtua diharapkan nantinya jangan
kaget apabila bayi yang sudah diimunisasi akan mengalami luka atau bisul pada lengan kanan
atasnya.

Reaksi munculnya bisul atau scar bisa beraneka ragam, mulai dari dua hingga 12 minggu
setelah diimunisasi. Namun, umumnya memang antara empat sampai enam minggu.
Ukurannya pun beragam, mulai dari tujuh millimeter (mm).

Anak tidak perlu sampai dibawa ke dokter bila muncul bisul setelah imunisasi BCG.
Pasalnya, bisul bisa sembuh sendiri lama-lama. Namun, Anda memang perlu membawa si
kecil ke dokter apabila terjadi bengkak yang hebat, anak demam tinggi, atau muncul nanah
yang berlebihan dari bisul bekas suntikan. Hal-hal tersebut bisa menandakan infeksi setelah
imunisasi.

Bagaimana kalau tidak muncul bisul setelah imunisasi? Apakah


artinya imunisasi gagal?

Mungkin orangtua akan bertanya-tanya. Pertanyaan ini cukup sering ditanyakan, yaitu tidak
ada bekas bisul atau benjolan apa pun setelah divaksin BCG, apakah vaksinasi gagal?
Jawabannya adalah tidak. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), bisul atau benjolan
yang tidak muncul bukan berarti imunisasi pada anak tersebut gagal.

Ini bisa saja terjadi dan perlu diketahui dan diingat oleh orang tua bahwa pemberian
imunisasi ini bukan melihat ada atau tidaknya luka atau bisul, melainkan sudah disuntik atau
belum. Jadi vaksinasi ini tidak perlu diulang lagi. Mengapa begitu? Ini karena sistem
kekebalan tubuh setiap anak berbeda-beda. Bisul memang jadi respon yang umum, tapi tidak
bisa dijadikan tolak ukur keberhasilan imunisasi.

Baca Juga:

 Mengenal Gejala Tuberkulosis (TB) Pada Anak


 Mengapa Pengobatan Tuberkulosis Memakan Waktu Berbulan-bulan?
 Tenang, Imunisasi Tidak Akan Mengacaukan Sistem Imun Anak

Bagikan artikel ini:

 Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)


 Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
 Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru)
 Klik untuk berbagi via Google+(Membuka di jendela yang baru)
 Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
 Klik untuk berbagi di Line new(Membuka di jendela yang baru)

Direview tanggal: Desember 11, 2017 | Terakhir Diedit: Desember 11, 2017

Sumber
Artikel sejenis

4 Alasan Pria Enggan Pakai Kondom (Padahal Sebenarnya Salah)


Siapa yang Jatuh Cinta Duluan, Pria Atau Wanita? Ini Hasil Penelitiannya!
5 Gangguan Tidur yang Sering Dialami Lansia
Jika Tidak Segera Diobati, Batuk Rejan Tingkatkan Risiko Epilepsi Pada Anak

Kenapa Ada Anggapan Imunisasi


Menyebabkan Autisme? (Padahal Sudah
Terbukti Tidak Benar)
Bagaimana awalnya imunisasi dituduh jadi penyebab autisme?

Kontroversi imunisasi ini dimulai pada tahun 1998, dr. Andrew Wakefield beserta rekannya
melakukan penelitian dengan sampel sejumlah 8 anak yang mengalami gejala awal autisme
setelah menerima imunisasi MMR 1 bulan sebelumnya. Selain itu, pada delapan anak ini juga
ditemukan adanya gangguan pencernaan. Selanjutnya dilakukan endoskopi dan ditemukan
adanya pembesaran kelenjar getah bening saluran pencernaan. dr. Andrew kemudian
menganggap bahwa vaksin MMR menyebabkan peradangan pada usus, sehingga protein
yang seharusnya tidak berada di aliran darah bisa masuk dan mengalir sampai ke otak, di
mana protein ini menyebabkan gangguan perkembangan.

Teori lain menyatakan bahwa thimesoral, senyawa etilmerkuri yang terdapat pada vaksin,
merupakan zat toksin bagi sistem saraf manusia. Selain itu, disebutkan juga bahwa pemberian
vaksin yang bersamaan dapat melemahkan sistem imun tubuh yang berujung pada autisme
yang diderita anak.

Mitos yang salah namun memakan banyak korban

Berbagai teori tersebut menyebabkan orangtua berpikir dua kali saat akan memberikan
imunisasi bagi anak. Akibatnya, timbul penyakit endemik yang seharusnya bisa dicegah
dengan imunisasi, seperti campak di Inggris dan Wales pada tahun 2008. Contoh lainnya
adalah polio yang kembali mewabah di Sukabumi yang berjarak hanya beberapa jam dari
ibukota, padahal pada tahun 1995 lalu indonesia telah dinyatakan bebas polio.

Seandainya saja orangtua tahu lebih banyak mengenai imunisasi, kejadian seperti ini
mungkin bisa dicegah. Oleh karena itu, mari kita pelajari lebih lanjut mengenai imunisasi
agar tidak salah mengambil keputusan suatu hari nanti.

Vaksin MMR menyebabkan autisme, benarkah?

dr. Andrew mengatakan bahwa vaksin MMR menyebabkan peradangan usus yang berujung
pada autisme pada anak, padahal gejala autisme sendiri tidak didahului oleh adanya gangguan
di sistem pencernaan. Selain itu, virus yang terkandung dalam MMR (campak, gondok, dan
rubella) terbukti tidak menyebabkan peradangan usus, maupun kerusakan membran yang
melapisi sistem pencernaan. Protein yang menurut dr. Andrew mengalir dari aliran darah
sampai ke otak dan menyebabkan kerusakan sampai saat ini tidak terbukti adanya.

Senyawa Thimerosal menyebabkan autisme, benarkah?

Kandungan etilmerkuri yang terdapat dalam thimerosal diduga menyebabkan autisme.


Namun, argumen ini selanjutnya dipatahkan oleh perbedaan gejala yang dialami oleh anak
penderita autisme dan anak yang keracunan merkuri. Penelitian lainnya juga menyebutkan
bahwa kandungan merkuri dalam vaksin masih di bawah ambang batas dan tidak akan
menyebabkan keracunan.

Imunisasi yang dilakukan bersamaan menyebabkan autisme,


benarkah?

Setelah teori bahaya vaksin MMR dan thimerosal berhasil dipatahkan, grup anti-vaksin
mengusulkan teori baru bahwa pemberian vaksin yang bersamaan dapat melemahkan sistem
pertahanan tubuh, sehingga timbul interaksi sistem saraf yang menyebabkan autisme pada
anak yang memiliki risiko. Seiring berjalannya waktu, teori ini pun dipatahkan oleh beberapa
alasan, yaitu:

 Sistem pertahanan anak, bahkan anak yang baru berusia hitungan hari, tetap bisa
memberikan respon positif terhadap beberapa vaksin yang diberikan sekaligus.
 Autisme bukan penyakit yang disebabkan oleh gangguan sistem pertahanan tubuh. Tidak
ada penelitian yang membuktikan bahwa gangguan sistem pertahanan atau peradangan
sistem saraf bisa menyebabkan autisme.
Terbukti merupakan upaya penipuan

Pada tahun 2004, rekan-rekan dr. Andrew menyatakan untuk menarik kembali tulisan
tersebut, namun dr. Andrew tetap bersikukuh untuh mempertahankan penelitiannya.
Lucunya, dr. Andrew tidak berani saat diminta untuk mengulangi kembali penelitiannya agar
didapat hasil yang valid.

Adalah seorang jurnalis inggris, Brian Deer, yang membuka fakta-fakta pemalsuan dan
kesalahan dalam penelitian itu. Setelah penyelidikan selama 7 tahun, Brian menyimpulkan
bahwa dr. Andrew dan rekannya mengubah pernyataan dan rekam medis pasien agar sesuai
dengan hasil penelitiannya. Terungkap pula bahwa institusi yang menaungi dr. Andrew,
Royal Free Hospital and Medical School, mendukung tindakan dr. Andrew agar mendapatkan
keuntungan finansial dari hasil tuntutan kepada produsen vaksin yang berdasar atas keluhan
autisme pada anak yang menerima imunisasi MMR.

Saat ini, izin praktik dr. Andrew sudah dicabut, begitu pula kredensial akademik dan
klinisnya. The Lancet, majalah dimana peneltian ini diterbitkan, mencabut publikasi
penelitian ini pada tahun 2010, dan tahun berikutnya British Medical Journal menyatakan
bahwa penelitian ini merupakan penipuan yang disengaja dengan dampak yang besar
terhadap kesehatan masyarakat global.

Setelah membaca artikel ini, masih percaya imunisasi membuat anak jadi autis?

BACA JUGA:

Kenapa Anak Demam Setelah Imunisasi?


Namun, sebenarnya demam merupakan respon tubuh yang umum dialami anak setelah
mendapat imunisasi. Hal ini sangat wajar terjadi pada semua anak yang mendapat imunisasi.
Anda tidak perlu merasa khawatir karena bila demam dapat ditangani dengan baik, ia tidak
akan menjadi masalah.

Mengapa anak demam setelah imunisasi?

Imunisasi merupakan suatu cara untuk melindungi tubuh dari penyakit berbahaya sebelum
penyakit tersebut kontak dengan kita. Imunisasi memanfaatkan mekanisme pertahanan alami
dari tubuh, yaitu sistem imun atau sistem kekebalan tubuh, untuk membentuk pertahanan
spesifik dalam melawan infeksi virus.

Ketika anak diimunisasi, tubuh anak dimasukkan vaksin yang sudah jinak. Kemudian, tubuh
akan memproduksi sebuah respon imun dengan cara yang sama seperti ketika tubuh sedang
terkena penyakit, tetapi tanpa tubuh menunjukkan gejala penyakit tersebut. Dan ketika tubuh
terpapar penyakit yang sama di masa datang, sistem imun tersebut dapat merespon dengan
cepat untuk mencegah penyakit tersebut berkembang.

Saat membentuk respon imun setelah anak diimunisasi inilah tubuh memberikan respon,
seperti demam, gatal, dan nyeri pada bekas suntikan. Tubuh membentuk sistem kekebalan
tubuh baru gabungan dari vaksin imunisasi yang dimasukkan ke dalam tubuh, sehingga
menyebabkan suhu tubuh meningkat (demam).
Namun, tidak semua imunisasi memberikan respon demam, beberapa mungkin menyebabkan
demam, seperti imunisasi campak dan DPT (dipteri, pertusis, dan tetanus). Selain itu, tidak
semua anak juga mengalami respon demam ini, ada yang demam dan juga ada yang tidak,
tiap anak menunjukkan respon setelah imunisasi yang berbeda-beda.

Apa yang harus dilakukan jika anak demam setelah imunisasi?

Ya, demam merupakan respon tubuh yang normal setelah mendapat imunisasi. Biasanya suhu
tubuh anak akan naik di atas 37,5 C setelah mendapat imunisasi. Anda sebagai ibu hanya
perlu menanganinya dengan baik agar demam cepat turun.

Bagi anak yang masih menyusui, pemberian ASI yang lebih sering kepada anak dapat
meringankan demam anak Anda. Penelitian yang diterbitkan oleh Pediatrics menunjukkan
bahwa anak yang diberi ASI eksklusif lebih sedikit mengalami demam setelah imunisasi
daripada anak yang tidak menerima ASI eksklusif atau hanya menerima susu formula.

Alasan mengapa anak yang diberi ASI berkurang risikonya untuk mengalami demam setelah
mendapat imunisasi sebenarnya belum jelas, tetapi ASI mungkin mengandung senyawa anti
peradangan yang menurunkan risiko demam. Ini mungkin juga karena anak yang diberi ASI
memiliki kemungkinan yang lebih sedikit untuk kehilangan nafsu makan ketika mereka
sedang merasa kurang sehat karena menyusu dapat memberikan rasa nyaman pada anak saat
sakit. Selain itu, anak yang menyusu ASI juga mendapatkan asupan yang lebih daripada anak
yang diberikan susu formula sehingga anak lebih cepat pulih dari demamnya. Imunisasi juga
bekerja lebih baik pada anak yang mendapat ASI.

Anda juga dapat mengompres anak dengan air hangat sebagai upaya untuk menurunkan
demam. Kompresan ini bisa diletakkan di lengan atau paha di mana suntikan diberikan.
Pakaikan juga pakaian yang tipis kepada anak, tetapi pastikan anak tidak kedinginan. Biarkan
anak istirahat dan berikan ia minum yang banyak.

Kapan harus waspada?

Jika cara ini belum membantu meredakan demam anak Anda, Anda dapat memberikan
paracetamol atau ibuprofen pada dosis dan waktu yang tepat sesuai anjuran dokter. Sebaiknya
segera bawa anak ke dokter jika anak sudah menunjukkan gejala, seperti demam makin tinggi
lebih dari 40 derajat C, anak menangis lebih dari 3 jam pada satu waktu, menjadi lesu, kantuk
berlebihan, dan mengalami kejang karena demam sangat tinggi.

Bagaimanapun, imunisasi dapat melindungi kesehatan lebih dari satu anak. Imunisasi pada
satu anak dapat memperkecil kesempatan anak tersebut untuk menderita penyakit dan
menularkan penyakit kepada anak lainnya. Jika tingkat imunisasi tinggi di suatu daerah,
risiko penyebaran penyakit tertentu dapat menurun, sehingga mereka yang belum atau tidak
menerima imunisasi pun dapat terlindungi dari penyakit

Apa itu difteri?


Definisi
Apa itu difteri?

Difteri adalah infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium. Gejalanya
berupa sakit tenggorokan, demam, dan terbentuknya lapisan di amandel dan tenggorokan.
Dalam kasus yang parah, infeksi bisa menyebar ke organ tubuh lain seperti jantung dan
sistem saraf. Beberapa pasien juga mengalami infeksi kulit. Bakteri penyebab penyakit ini
menghasilkan racun yang berbahaya jika menyebar ke bagian tubuh lain.

Seberapa umumkah difteri?

Difteri banyak ditemui di negara-negara berkembang seperti Indonesia, di mana angka


vaksinasi masih rendah. Kondisi ini dapat terjadi pada pasien dengan usia berapapun. Difteri
dapat ditangani dengan mengurangi faktor-faktor risiko. Diskusikan dengan dokter untuk
informasi lebih lanjut.

Tanda-tanda & gejala


Apa saja tanda-tanda dan gejala difteri?

Walau bakteri difteri dapat menyerang jaringan apa saja pada tubuh, tanda-tanda yang paling
menonjol adalah pada tenggorokan dan mulut. Tanda-tanda dan gejala umum dari difteri
adalah:

 Tenggorokan dilapisi selaput tebal berwarna abu-abu


 Radang tenggorokan dan serak
 Pembengkakan kelenjar pada leher
 Masalah pernapasan dan saat menelan
 Cairan pada hidung, ngiler
 Demam dan menggigil
 Batuk yang keras
 Perasaan tidak nyaman
 Perubahan pada penglihatan
 Bicara yang melantur
 Tanda-tanda shock, seperti kulit yang pucat dan dingin, berkeringat dan jantung berdebar
cepat.

Kemungkinan ada tanda-tanda dan gejala yang tidak disebutkan di atas. Bila Anda memiliki
kekhawatiran akan sebuah gejala tertentu, konsultasikanlah dengan dokter Anda.

Kapan saya harus periksa ke dokter?

Anda harus menghubungi dokter bila Anda atau anak Anda terkena kontak dengan seseorang
yang memiliki difteri. Apabila Anda tidak tahu apakah Anda atau anak Anda telah diberi
vaksin difteri atau belum, segera atur jadwal pertemuan dengan dokter.
Penyebab
Apa penyebab difteri?

Difteri disebabkan oleh Corynebacterium, yaitu bakteri yang menyebarkan penyakit melalui
partikel di udara, benda pribadi, serta peralatan rumah tangga yang terkontaminasi.

Jika Anda menghirup partikel udara dari batuk atau bersin orang yang terinfeksi, Anda dapat
terkena difteri. Cara ini sangat efektif untuk menyebarkan penyakit, terutama pada tempat
yang ramai.

Penyebab lainnya adalah kontak dengan benda-benda pribadi yang terkontaminasi. Anda
dapat terkena difteri dengan memegang tisu bekas orang yang terinfeksi, minum dari gelas
yang belum dicuci, atau kontak sejenisnya dengan benda-benda yang membawa bakteri. Pada
kasus yang langka, difteri menyebar pada peralatan rumah tangga yang digunakan bersama,
seperti handuk atau mainan.

Menyentuh luka yang terinfeksi juga dapat membuat Anda terekspos bakteri yang
menyebabkan difteri.

Faktor pemicu
Apa saja faktor yang meningkatkan risiko seseorang terkena difteri?

Ada banyak faktor yang meningkatkan risiko seseorang terkena difteri, yaitu:

 Lokasi yang Anda tinggali


 Tidak mendapat vaksinasi difteri terbaru
 Memiliki gangguan sistem imun, seperti AIDS
 Memiliki sistem imun lemah, misalnya anak-anak atau orang tua
 Tinggal di kondisi yang padat penduduk atau tidak higienis

Pengobatan

Informasi yang diberikan bukanlah pengganti nasihat medis. SELALU konsultasikan


pada dokter Anda.

Bagaimana dokter mendiagnosis difteri?

Untuk mendiagnosis penyakit, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik untuk memeriksa
adanya pembengkakan pada kelenjar limfa. Apabila dokter melihat lapisan abu-abu pada
tenggorokan dan amandel Anda, dokter dapat menduga Anda memiliki difteri. Dokter juga
dapat menanyakan sejarah medis serta gejala yang Anda alami.

Namun, metode paling aman untuk mendiagnosis difteri adalah dengan biopsi. Sampel
jaringan yang terpengaruh akan diambil dan kemudian dikirim ke laboratorium untuk
diperiksa, apakah Anda memiliki bakteri difteri atau tidak.
Bagaimana cara mengobati difteri?

Dokter akan segera menangani penyakit ini, karena difteri adalah kondisi yang sangat serius.
Pertama, dokter akan memberi suntikan antitoksin, untuk melawan racun yang dihasilkan
oleh bakteri. Jika alergi terhadap antitoksin, Anda perlu memberi tahu dokter agar dokter
dapat menyesuaikan pengobatan.

Pada pasien dengan alergi, biasanya dokter akan memberi dosis antitoksin yang rendah dan
meningkatkan kadar secara bertahap. Setelah itu, dokter akan memberikan antibiotik untuk
membantu mengatasi infeksi. Setelah diberikan obat-obatan tersebut, dokter dapat
merekomendasi dosis pendorong vaksin difteri setelah sehat, untuk membangun pertahanan
terhadap bakteri difteri.

Normal apabila dokter meminta pasien untuk tinggal di rumah sakit untuk mengawasi reaksi
terhadap pengobatan dan mencegah penyebaran penyakit. Jika Anda atau anak Anda
melakukan kontak dengan seseorang dengan penyakit difteri, Anda harus segera
mengunjungi dokter untuk melakukan tes dan kemungkinan perawatan.

Pengobatan di rumah
Apa saja yang harus dilakukan saat terkena difteri?

Berikut adalah yang perlu Anda lakukan saat terkena difteri:

 Banyak bed rest alias istirahat di tempat tidur. Batasi aktivitas fisik apabila jantung Anda
terpengaruh. Anda mungkin memerlukan istirahat di tempat tidur selama beberapa minggu
atau sampai Anda telah pulih total.
 Isolasi ketat. Anda sebaiknya menghindari penyebaran penyakit pada orang lain apabila
Anda terinfeksi.

Komplikasi
Apa saja komplikasi yang bisa terjadi akibat difteri?

Jika tidak diobati dengan tepat, difteri dapat mengakibatkan komplikasi yang berbahaya, dan
bahkan bisa berujung dengan kematian. Beberapa komplikasi tersebut adalah:

 Saluran napas yang tertutup


 Kerusakan otot jantung (miokarditis)
 Kerusakan saraf (polineuropati)
 Kehilangan kemampuan bergerak (lumpuh)
 Infeksi pary (gagal napas atau pneumonia)

Bagi beberapa orang, difteri bisa merenggut nyawa. Bahkan setelah diobati pun, 1 dari 10
penderita difteri biasanya meninggal dunia. Namun, jika tidak diobati, jumlah kematian bisa
meningkat menjadi 1:2. Oleh karena itu, lakukan tindak pencegahan dan segera periksakan ke
dokter saat gejala muncul.
Pencegahan
Bagaimana cara mencegah difteri?

Cara terbaik mencegah difteri adalah dengan vaksin. Di Indonesia, vaksin difteri biasanya
diberikan lewat imunisasi DPT (Difteri, Tetanus, Pertusis), sebanyak lima kali semenjak bayi
berusia 2 bulan.

Menurut infoimunisasi, anak harus mendapat vaksinasi DTP lima kali pada usia 2 bulan, 3
bulan, 4 bulan, 18 bulan, dan usia 4-6 tahun.

Untuk anak usia di atas 7 tahun diberikan vaksinasi Td atau Tdap. Vaksin Td/Tdap akan
melindungi terhadap tetanus, difteri, dan pertusis harus diulang setiap 10 tahun sekali. Ini
juga termasuk untuk orang dewasa.

Cara Mengenali Vaksin Palsu (dan Apa


yang Harus Dilakukan Jika Sudah
Telanjur)
Belakangan ini terungkap adanya kasus vaksin palsu yang terjadi di beberapa rumah sakit dan
bidan-bidan. Ini merupakan suatu tindakan kriminal yang sangat jahat. Anak yang tidak
bersalah menjadi korbannya. Para ibu membawa anaknya ke rumah sakit atau bidan untuk
mendapatkan vaksin dengan harapan agar anaknya terhindar dari penyakit, tetapi malah ada
oknum-oknum tertentu yang memanfaatkannya demi mendapatkan materi semata.

Kasus ini sekarang sudah ditindaklanjuti dan sudah diberikan penanganan khusus oleh
pemerintah. Bahkan Kementerian Kesehatan langsung membentuk satgas khusus yang
bertujuan untuk menanggulangi kasus ini. Satgas khusus ini terdiri dari Kementerian
Kesehatan, BPOM, Bareskrim Polri, dan IDAI.

Kasus ini tentu menambah kekhawatiran para ibu mengenai kesehatan anaknya. Bagaimana
tidak, pemberian vaksin yang bertujuan untuk mencegah anak dari berbagai penyakit menular
malah disalahgunakan. Untuk menanggulangi kasus ini, Kementerian Kesehatan sudah mulai
memberikan vaksinasi ulang kepada anak-anak yang kemarin menerima vaksin palsu. Bagi
Anda yang kemarin mengantar anaknya untuk mendapatkan vaksin, ayo coba diingat-ingat
vaksin apa yang diberikan, dan pastikan tempat yang memberikan vaksin kepada anak Anda
bukan menjadi salah satu tempat yang terkena kasus vaksin palsu.

Apa yang harus dilakukan jika anak mendapat vaksin palsu?

Menindaklanjuti adanya kasus vaksin palsu, Kementerian Kesehatan dengan cepat melakukan
vaksinasi ulang kepada anak yang dulu diberikan vaksin palsu. Vaksin yang diberikan pada
vaksinasi ulang ini ada dua jenis, yaitu vaksin pentavalen yang dapat mencegah lima jenis
penyakit (difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, dan haemophilus influenza tipe B) dan vaksin
oral polio untuk mencegah penyakit polio pada anak.
Pemberian kedua jenia vaksin ini didasarkan pada temuan bahwa jenis vaksin palsu yang
beredar adalah jenis pediacel dan tripacel. Pediacel merupakan kombinasi beberapa jenis
vaksin untuk mencegah penyakit difteri, pertusis, dan tetanus atau biasa disingkat dengan
DPT; polio; dan HiB (haemophilus influenza tipe B). Sedangkan tripacel mengandung vaksin
DPT. Kedua jenis vaksin ini merupakan vaksin impor.

Tidak masalah jika anak diberikan vaksin lagi, ini justru diperlukan. Dilansir dari BBC
Indonesia, dr. Dirga Sakti Rambe, seorang dokter bidang vaksinologi, menjelaskan bahwa
anak yang diduga mendapatkan vaksin palsu perlu divaksinasi ulang karena dikhawatikan ia
belum mendapatkan vaksin yang seharusnya ia dapatkan.

Selain itu, tidak masalah jika anak diberikan vaksin berkali-kali, tubuh anak mampu
menanganinya dengan baik. Anak memiliki kemampuan yang sangat besar dalam merespon
vaksin dengan aman sehingga terbentuk sistem kekebalan tubuh yang kuat.

Vaksin penting diberikan pada anak untuk mencegah berbagai penyakit menular. Vaksin
bekerja dengan cara memasukkan antigen bakteri atau virus tertentu yang sudah dilemahkan
atau dimatikan sehingga dapat merangsang sistem kekebalan tubuh mengenali antigen
tersebut dan kemudian membentuk antibodi untuk meningkatkan kekebalan tubuh anak.
Sehingga peluang anak untuk terkena penyakit menular yang dapat dicegah dengan vaksin
berkurang.

Bagaimana cara mendeteksi vaksin palsu?

Untuk ke depannya, tidak ada ada salahnya jika Anda sebagai ibu memperhatikan dulu vaksin
yang akan diberikan kepada anak. Vaksin yang harganya lebih murah mungkin patut
dicurigai. Setiap barang yang palsu pasti mempunyai celah perbedaan dengan yang asli, tidak
mungkin sama persis. Begitu juga dengan vaksin palsu, walaupun susah ditemukan
perbedaan dengan kasat mata, tetapi pasti dapat ditemukan perbedaannya.

Dikutip dari The Jakarta Post, Drajat Alamsyah, Kepala Sales Domestik PT Bio Farma
mengatakan bahwa vaksin palsu dapat dilihat dari kualitas kemasannya yang sudah tidak
bagus, kode produksi yang tertera dalam kemasan tercetak buram atau tidak jelas, dan
perbedaan warna pada karet penahan.

Dilansir dari Mother and Baby, dr. Dirga kembali menjelaskan tanda lain dari vaksin palsu
yaitu tanggal kedaluwarsa dan kode produksi pada kemasan berbeda dengan isi, cairan vaksin
palsu agak keruh berbeda dengan vaksin asli yang berwarna bening, dan memiliki penutup
yang cacat atau segel rusak.

Selain dengan cara visual seperti di atas, vaksin palsu pasti mempunyai kandungan yang tidak
sama dengan vaksin asli. Dengan melakukan uji laboratorium pasti ditemukan secara lebih
akurat bahwa vaksin palsu memiliki kandungan dan kadar yang tidak sama dengan yang
dimiliki oleh vaksin asli.

Baca Juga:
5 Fakta Penting Seputar Antitoksin Difteri,
Obat Baru untuk Mengatasi Difteri
Semua yang perlu Anda tahu seputar antitoksin difteri
1. Antitoksin difteri harus diberikan secepatnya

Untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien, antitoksin difteri harus diberikan sesegera
mungkin. Antitoksin ini bahkan sudah bisa diberikan pada pasien sebelum dilakukan
pemeriksaan laboratorium dan terbukti diagnosis penyakitnya.

Akan tetapi, antitoksin ini hanya diberikan pada pasien yang secara klinis menunjukkan
gejala-gejala difteri seperti yang telah disebutkan di atas serta setelah dilakukan uji
hipersensitivitas terhadap antitoksin ini.

Meski tidak perlu menunggu hasil laboratorium, bukan berarti Anda tidak perlu melakukan
pemeriksaan apa-apa. Anda tetap perlu melakukan biopsi (pengambilan sampel jaringan)
untuk diperiksa lebih lanjut di laboratorium. Ini berguna untuk memastikan Anda tidak
mengidap penyakit infeksi lainnya.

2. Bagaimana cara kerja antitoksin difteri?

Antitoksin bekerja dengan menetralisir toksin Corynebacterium diptheriae yang terlepas di


pembuluh darah (unbound) sehingga dapat mencegah komplikasi penyakit. Antitoksin ini
berasal dari serum kuda, maksudnya diracik dari plasma kuda yang kebal terhadap penyakit
ini.

3. Antitoksin difteri diberikan dalam bentuk apa?

Antitoksin ini biasanya diberikan dalam bentuk suntikan intramuskular (suntikan ke otot)
pada kasus difteri yang lebih ringan. Sedangkan pada kasus berat, antitoksin difteri biasanya
diberikan dalam cairan infus.

Dosis antitoksin difteri anak dan dewasa pada umumnya tidak berbeda. Dosis disesuaikan
dengan gejala klinis yang muncul.

 Penyakit tenggorokan yang terjadi selama dua hari diberikan 20.000 hingga 40.000 unit
 Penyakit nasofaring diberikan 40.000 sampai 60.000 unit
 Penyakit berat atau pasien dengan pembengkakan leher yang difus diberikan 80.000 sampai
100.000 unit
 Lesi kulit diberikan 20.000 hingga 100.000 unit

4. Antitoksin difteri bisa diberikan sebagai tindakan pencegahan

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat (setara
dengan Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit di Indonesia), ada beberapa kondisi di
mana antitoksin difteri dapat digunakan untuk pencegahan penyakit, bukan untuk mengobati.
Berikut adalah orang-orang yang mungkin membutuhkan antitoksin untuk pencegahan difteri.

 Orang-orang yang terpapar toksin difteri


 Orang dengan riwayat imunisasi difteri yang tidak jelas (lupa sudah pernah imunisasi Dt dan
Td atau belum)
 Tidak bisa dirawat di rumah sakit untuk dipantau perkembangan gejala klinisnya atau tidak
dapat dilakukan kultur jaringan untuk melihat bakteri difteri
 Orang yang memilki riwayat atau dicurigai tersuntik toksin difteri (misalnya pekerja di
laboratorium atau rumah sakit)

5. Efek samping antitoksin yang perlu diwaspadai

Sama seperti obat-obatan lainnya, antitoksin juga berisiko menyebabkan efek samping.
Maka, pemberian berulang tidak direkomendasikan karena dapat meningkatkan risiko
munculnya efek samping. Efek samping yang dapat muncul setelah penyuntikan antitoksin
difteri antara lain:

1. Alergi dan syok anafilaktik

Alergi terhadap antitoksin umumnya ditandai dengan kulit gatal, kemerahan, biduran dan
angioedema. Sedangkan pada kasus alergi yang parah, yaitu syok anafilaktik, gejalanya yaitu
sesak napas, penurunan tekanan darah, dan aritmia. Akan tetapi, kasus ini sangat jarang
terjadi.

2. Demam

Demam bisa muncul 20 menit sampai satu jam setelah penyuntikan antitoksin difteri.
Demam setelah penyuntikan ditandai dengan peningkatan suhu tubuh yang cepat disertai
dengan rasa menggigil dan sesak.

3. Serum sickness

Kondisi ini ditandai dengan gejala kemerahan kulit, biduran, demam, disertai dengan nyeri
sendi, pegal, dan pembesaran kelenjar limfa.

Gejala ini bisa muncul tujuh sampai sepuluh hari setelah pemberian serium antidifteri.
Pengobatan untuk serum sickness adalah dengan memberikan obat anthistamin, obat
antiradang non-steroid, dan obat kortikosteroid.

Apa Artinya Jika Muncul Bisul Setelah


Imunisasi BCG?
Mengenal imunisasi BCG

BCG adalah imunisasi yang diberikan kepada bayi berusia minimal satu bulan. Imunisasi ini
memiliki kepanjangan Bacille Calmette-Guerin dan dibuat dari bakteri Mycobacterium bovis
atau M. bovis. Bakteri yang disuntikkan merupakan bakteri hidup yang dilemahkan. Karena
itu, Anda tidak perlu khawatir sebab vaksin ini sudah teruji klinis dan terbukti aman.

Sampai saat ini, imunisasi BCG masih menjadi salah satu pencegah yang efektif dalam
menangani terjadinya penyakit tuberculosis (TB atau TBC). Imunisasi ini bekerja dengan
cara membuat sistem kekebalan tubuh (imun) Anda lebih peka terhadap adanya bakteri
penyebab TB dalam tubuh. Dengan begitu, sistem imun bisa menyerang bakteri tersebut
sebelum menginfeksi.

Wajarkah kalau muncul bisul setelah imunisasi BCG?

Setelah diberikan, vaksin BCG akan memunculkan bekas berupa bisul atau luka bernanah.
Namun orangtua tidak perlu khawatir, karena ini adalah suatu respons alami sistem kekebalan
tubuh anak terhadap vaksin yang diberikan. Jadi untuk orangtua diharapkan nantinya jangan
kaget apabila bayi yang sudah diimunisasi akan mengalami luka atau bisul pada lengan kanan
atasnya.

Reaksi munculnya bisul atau scar bisa beraneka ragam, mulai dari dua hingga 12 minggu
setelah diimunisasi. Namun, umumnya memang antara empat sampai enam minggu.
Ukurannya pun beragam, mulai dari tujuh millimeter (mm).

Anak tidak perlu sampai dibawa ke dokter bila muncul bisul setelah imunisasi BCG.
Pasalnya, bisul bisa sembuh sendiri lama-lama. Namun, Anda memang perlu membawa si
kecil ke dokter apabila terjadi bengkak yang hebat, anak demam tinggi, atau muncul nanah
yang berlebihan dari bisul bekas suntikan. Hal-hal tersebut bisa menandakan infeksi setelah
imunisasi.

Bagaimana kalau tidak muncul bisul setelah imunisasi? Apakah


artinya imunisasi gagal?

Mungkin orangtua akan bertanya-tanya. Pertanyaan ini cukup sering ditanyakan, yaitu tidak
ada bekas bisul atau benjolan apa pun setelah divaksin BCG, apakah vaksinasi gagal?
Jawabannya adalah tidak. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), bisul atau benjolan
yang tidak muncul bukan berarti imunisasi pada anak tersebut gagal.

Ini bisa saja terjadi dan perlu diketahui dan diingat oleh orang tua bahwa pemberian
imunisasi ini bukan melihat ada atau tidaknya luka atau bisul, melainkan sudah disuntik atau
belum. Jadi vaksinasi ini tidak perlu diulang lagi. Mengapa begitu? Ini karena sistem
kekebalan tubuh setiap anak berbeda-beda. Bisul memang jadi respon yang umum, tapi tidak
bisa dijadikan tolak ukur keberhasilan imunisasi.

Baca Juga:

Feb
21
Makalah Penyakit Difteri
(Corynebacterium diphtheriae)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang
menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan
faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat,
melalui udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk
dan bersin penderita.
Difteri adalah suatu penyakit bakteria akut terutama menyerang tonsil, faring, laring,
hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau
vagina. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium diphteria. Penyakit ini muncul
terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis dan pada
umumnya menyerang anak-anak usia 1-10 tahun.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus
difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama
dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak – anak
muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah.
Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang
kesehatan kita.
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC, Diphteri, Pertusis,
Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu penyebab kematian anak di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan1,7 juta kematian pada anak
atau 5% pada balita di Indonesia adalah akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu penyakit
menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Sebelum era vaksinasi, racun yang
dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat
menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri
digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan
drastis.
Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif rendah. Lingkungan
buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai
jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan
sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak
mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran
pernafasan ini.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang Pencegahan Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Makassar, jumlah penderita Difteri pada tahun 2010
sebanyak 3 orang penderita yang tersebar di tiga kecamatan dan tiga kelurahan dan tidak
ditemukan adanya kematian akibat Difteri. Di tahun 2011 mengalami penurunan kasus
dimana terdapat 2 kasus difteri yang tersebar di dua kecamatan dan tidak ditemukan adanya
kematian dan mengalami peningkatan kasus di tahun 2012 sebanyak 7 kasus diantaranya
terdapat 1 kematian.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bakteri apa yang menyebabkan penyakit dipteri?
2. Bagaimana tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri?
3. Berapa lama masa inkubasi penyakit dipteri?
4. Bagaimana cara pencegahan dan pengobatan penyakit dipteri?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah :
1. Mengetahui penyebab penyakit Dipteri
2. Mengetahui tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri
3. Mengetahui masa inkubasi penyakit difteri
4. Mengetahui cara pencegahan dan pengobatan penyakit difteri.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring, laring,
hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau
vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh
bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan
daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteri
faring otonsiler diikuti dengan kelenjar limfa yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus
yang berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema dileher dengan
pembentukan membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung tersumbat dan
terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi ) merupakan kasus terbanyak.
Toksin dapat menyebabkan kegagalan jantung kongestif yang progresif, timbul satu minggu
setelah gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam-macam dan tidak dapat
dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo
(Kadun, 2006)

2.2 Penyebab
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheria .Berbentuk batang gram
positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive,
tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Toxin difteri ini, karena mempunayi
efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type variants dari Corynebacterium
diphtheria ini yaitu : type mitis, typeintermedius dan type gravis.
Corynebacterium diphtheriae merupakan makhluk anaerobik fakultatif dan gram
positif, ditandai dengan tidak berkapsul, tidak berspora, dan tak bergerak. Corynebacterium
diphtheriae terdiri dari 3 biovar, yaitu gravis, mitis, dan intermedius. Di alam, bakteri ini
terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau
orang normal yang membawa bakteri. Bakteri yang berada dalam tubuh akan mengeluarkan
toksin yang aktivitasnya menimbulkan penyakit difteri. Bakteri ini biasanya menyerang
saluran pernafasan, terutama terutama laring, amandel dan tenggorokan. Penyakit ini sering
kali diderita oleh bayi dan anak-anak. Perawatan bagi penyakit ini adalah dengan pemberian
antitoksin difteri untuk menetralkan racun difteri, serta eritromisin atau penisilin untuk
membunuh bakteri difteri. Sedangkan untuk pencegahan bisa dilakukan dengan vaksinasi
dengan vaksin DPT.
Corynebacterium diphtheria dapat diklasifikasikan dengan cara bacteriophage lysis
menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7
termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang
virulen. Corynebacterium diphtheria ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas
dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa (Depkes,2007).
Morfologi Corynebacterium diphtheria
 Gram (+) batang, panjang/pendek, besar/kecil, polymorph, tidak berspora, tidak
berkapsul, tidak bergerak, bergranula yang terletak di salah satu atau kedua ujung badan
bacteri.
 Pada pewarnaan menurut Neisser, tubuh bacteri berwarna kuning atau coklat muda
sedangkan granulanya berwarna biru violet ( meta chromatis ).
 Preparat yang dibuat langsung dari specimen yang baru diambil dari pasien, letanya
bakteri seperti huruf – huruf L, V, W, atau tangan yang jarinya terbuka atau sering di
kenal sebagian Susunan sejajar / paralel / palisade / sudut tajam huruf V, L, Y / tulisan
cina
Corynebacteria berdiameter 0,5-1 μm dan panjangnya beberapa mikrometer, tidak
berspora, tidak bergerak, termasuk Gram positif, dan tidak tahan asam. C. diphtheriae
bersifat anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal diperoleh pada suasana aerob.
Pembiakan kuman dapat dilakukan dengan perbenihan Pai, perbenihan serum Loeffler atau
perbenihan agar darah. Pada perbenihan-perbenihan ini, strain mitis bersifat hemolitik,
sedangkan gravis dan intermedius tidak. Dibanding dengan kuman lain yang tidak berspora,
C. diphtheriae lebih tahan terhadap pengaruh cahaya, pengeringan dan pembekuan. Namun,
kuman ini mudah dimatikan oleh desinfektan. Ciri khas bakteri ini adalah pembengkakan
tidak teratur pada salah satu ujungnya, yang menghasilkan bentuk seperti ”gada”. Di dalam
batang tersebut (sering di dekat ujung) secara tidak beraturan tersebar granula-granula yang
dapat diwarnai dengan jelas dengan zat warna anilin (granula metakromatik) yang
menyebabkan batang tersebut berbentuk seperti tasbih. Tiap korinebakteria pada sediaan
yang diwarnai cenderung terletak paralel atau membentuk sudut lancip satu sama lain.
Percabangan jarang ditemukan dalam biakan.
Ada tiga tipe C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat
keparahan penyakit mereka yang disebabkan pada manusia yaitu

Feb
21
Makalah Penyakit Difteri
(Corynebacterium diphtheriae)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang
menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan
faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat,
melalui udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk
dan bersin penderita.
Difteri adalah suatu penyakit bakteria akut terutama menyerang tonsil, faring, laring,
hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau
vagina. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium diphteria. Penyakit ini muncul
terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis dan pada
umumnya menyerang anak-anak usia 1-10 tahun.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus
difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama
dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak – anak
muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah.
Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang
kesehatan kita.
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC, Diphteri, Pertusis,
Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu penyebab kematian anak di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan1,7 juta kematian pada anak
atau 5% pada balita di Indonesia adalah akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu penyakit
menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Sebelum era vaksinasi, racun yang
dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat
menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri
digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan
drastis.
Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif rendah. Lingkungan
buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai
jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan
sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak
mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran
pernafasan ini.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang Pencegahan Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Makassar, jumlah penderita Difteri pada tahun 2010
sebanyak 3 orang penderita yang tersebar di tiga kecamatan dan tiga kelurahan dan tidak
ditemukan adanya kematian akibat Difteri. Di tahun 2011 mengalami penurunan kasus
dimana terdapat 2 kasus difteri yang tersebar di dua kecamatan dan tidak ditemukan adanya
kematian dan mengalami peningkatan kasus di tahun 2012 sebanyak 7 kasus diantaranya
terdapat 1 kematian.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bakteri apa yang menyebabkan penyakit dipteri?
2. Bagaimana tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri?
3. Berapa lama masa inkubasi penyakit dipteri?
4. Bagaimana cara pencegahan dan pengobatan penyakit dipteri?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah :
1. Mengetahui penyebab penyakit Dipteri
2. Mengetahui tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri
3. Mengetahui masa inkubasi penyakit difteri
4. Mengetahui cara pencegahan dan pengobatan penyakit difteri.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring, laring,
hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau
vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh
bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan
daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteri
faring otonsiler diikuti dengan kelenjar limfa yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus
yang berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema dileher dengan
pembentukan membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung tersumbat dan
terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi ) merupakan kasus terbanyak.
Toksin dapat menyebabkan kegagalan jantung kongestif yang progresif, timbul satu minggu
setelah gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam-macam dan tidak dapat
dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo
(Kadun, 2006)

2.2 Penyebab
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheria .Berbentuk batang gram
positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive,
tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Toxin difteri ini, karena mempunayi
efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type variants dari Corynebacterium
diphtheria ini yaitu : type mitis, typeintermedius dan type gravis.
Corynebacterium diphtheriae merupakan makhluk anaerobik fakultatif dan gram
positif, ditandai dengan tidak berkapsul, tidak berspora, dan tak bergerak. Corynebacterium
diphtheriae terdiri dari 3 biovar, yaitu gravis, mitis, dan intermedius. Di alam, bakteri ini
terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau
orang normal yang membawa bakteri. Bakteri yang berada dalam tubuh akan mengeluarkan
toksin yang aktivitasnya menimbulkan penyakit difteri. Bakteri ini biasanya menyerang
saluran pernafasan, terutama terutama laring, amandel dan tenggorokan. Penyakit ini sering
kali diderita oleh bayi dan anak-anak. Perawatan bagi penyakit ini adalah dengan pemberian
antitoksin difteri untuk menetralkan racun difteri, serta eritromisin atau penisilin untuk
membunuh bakteri difteri. Sedangkan untuk pencegahan bisa dilakukan dengan vaksinasi
dengan vaksin DPT.
Corynebacterium diphtheria dapat diklasifikasikan dengan cara bacteriophage lysis
menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7
termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang
virulen. Corynebacterium diphtheria ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas
dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa (Depkes,2007).

Morfologi Corynebacterium diphtheria


 Gram (+) batang, panjang/pendek, besar/kecil, polymorph, tidak berspora, tidak
berkapsul, tidak bergerak, bergranula yang terletak di salah satu atau kedua ujung badan
bacteri.
 Pada pewarnaan menurut Neisser, tubuh bacteri berwarna kuning atau coklat muda
sedangkan granulanya berwarna biru violet ( meta chromatis ).
 Preparat yang dibuat langsung dari specimen yang baru diambil dari pasien, letanya
bakteri seperti huruf – huruf L, V, W, atau tangan yang jarinya terbuka atau sering di
kenal sebagian Susunan sejajar / paralel / palisade / sudut tajam huruf V, L, Y / tulisan
cina
Corynebacteria berdiameter 0,5-1 μm dan panjangnya beberapa mikrometer, tidak
berspora, tidak bergerak, termasuk Gram positif, dan tidak tahan asam. C. diphtheriae
bersifat anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal diperoleh pada suasana aerob.
Pembiakan kuman dapat dilakukan dengan perbenihan Pai, perbenihan serum Loeffler atau
perbenihan agar darah. Pada perbenihan-perbenihan ini, strain mitis bersifat hemolitik,
sedangkan gravis dan intermedius tidak. Dibanding dengan kuman lain yang tidak berspora,
C. diphtheriae lebih tahan terhadap pengaruh cahaya, pengeringan dan pembekuan. Namun,
kuman ini mudah dimatikan oleh desinfektan. Ciri khas bakteri ini adalah pembengkakan
tidak teratur pada salah satu ujungnya, yang menghasilkan bentuk seperti ”gada”. Di dalam
batang tersebut (sering di dekat ujung) secara tidak beraturan tersebar granula-granula yang
dapat diwarnai dengan jelas dengan zat warna anilin (granula metakromatik) yang
menyebabkan batang tersebut berbentuk seperti tasbih. Tiap korinebakteria pada sediaan
yang diwarnai cenderung terletak paralel atau membentuk sudut lancip satu sama lain.
Percabangan jarang ditemukan dalam biakan.
Ada tiga tipe C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat
keparahan penyakit mereka yang disebabkan pada manusia yaitu
a. Gravis : agak kasar, rata,berwarna abu-abu sampai hitam, ukurannya juga paling
besar. bentuk pemukul dan bentuk halter, granula metakromatik sedikit, pada area
sel terwarnai dalam perbedaan corak biru. karakteristik koloni pada Mcleod’s
chocolate. Pada kaldu membentuk selaput pada permukaan.
b. Mitis : koloni licin, cembung dan hitam. Bentuk batang pleomorfik dengan
sejumlahgranula metakromatik, batasan sel tersusun huruf V dan W, mirip seperti
karakter tulisan kuno. Penyakit : ringan, karakteristik koloni pada Mcleod’s
chocolate. Pada kaldu : tumbuh merata.
c. Intermedius : koloni berukuran kecil dan dan licin dengan pusat berwarna hitam.
batang pendek, terwarnai dengan selang-seling pita biru terang & gelap, tidak
adanya granula metakromatik. Penyakit : pertengahan pada kaldu akan membentuk
endapan.

Ketiga tipe diatas sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat biokimia
sepertikemampuan metabolisme nutrisi tertentu. Perbedaan virulensi dari tiga tipe dapat
dikaitkandengan kemampuan relatif mereka untuk memproduksi toksin difteri (baik kualitas
dan kuantitas), dan tingkat pertumbuhan masing-masing. Strain gravis memiliki w
Waktu generasi (in vitro) dari 60 menit; strain intermedius memiliki waktu generasi dari
sekitar 100 menit,dan mitis memiliki waktu generasi dari sekitar 180 menit.. Dalam
tenggorokan (in vivo),tingkat pertumbuhan yang lebih cepat memungkinkan organisme untuk
menguras pasokan besi lokal lebih cepat dalam menyerang jaringan.

Klasifikasi
Gambar Bakteri Corynebacterium diphtheria

Klasifikasi
Kerajaan : Bacteria
Filum : Actinobacteria
Ordo : Actinomycetales
Famili : Corynebacteriaceae
Genus : Corynebacterium
Spesies : C. diphtheria

2.3 Cara Penularan


Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun
sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi
atau kontak dengan carier . Caranya melalui pernafasan atau droplet infection.
Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4minggu
sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan.
Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas. Ciri khasdari
penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksiradang lokal ,
dimana pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel
epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran putih keabu-abuan (psedomembran).
Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman
difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala dan
miyocarditis. Penderita yang paling berat didapatkan pada difteri fauncial dan faringeal
(Depkes,2007).

Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:


a. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala
hanya nyeri menelan.
b. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring
(dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
c. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejalakomplikasi
seperti miokarditis (radang otot jantung) paralisis (kelemahan anggota gerak) dan
nefritis (radang ginjal).
Disamping itu, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien:
a. Difteri hidung (nasal diphtheria) bila penderita menderita pilek dengan ingus yang
bercampur darah. Prevalesi Difteri ini 2 % dari total kasus difteri. Bila tidak diobati
akan berlangsung mingguan dan merupakan sumber utama penularan.
b. Difteri faring (pharingeal diphtheriae)dan tonsil dengan gejala radang akut
tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat,tampak
lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga
akan tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor didaerah rongga mulut
sampai dengan dinding belakang mulut (faring).
c. Difteri laring (l a r y n g o trachealdiphtheriae ) dengan gejala tidak
bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius,
sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini
merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal
nafas.

d. Difteri kutaneus (Cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala berupa luka
mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membrane diatasnya.
Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi
cenderung tidak terasa apa apa.

Gambaran Klinis
Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk tujuan klinis, akan
lebih mudah untuk mengklasifikasikan difteri menjadi beberapa manifestasi, tergantung pada
tempat penyakit.
1. Anterior nasal difteri : Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung
mukopurulen (berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin darah menjadi kebiruan.
Penyakit ini cukup ringan karena penyerapan sistemik toksin di lokasi ini, dan dapat
diakhiri dengan cepat oleh antitoksin dan terapi antibiotik.
2. Pharyngeal dan difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah infeksi faring dan
tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, dan demam yang
tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika toksin diserap. Komplikasi jika pucat,
denyut nadi cepat, pingsan, koma, dan mungkin mati dalam jangka waktu 6 sampai 10
hari. Pasien dengan penyakit yang parah dapat ditandai terjadinya edema pada daerah
submandibular dan leher anterior bersama dengan limfadenopati.
3. Difteri laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala
termasuk demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas, koma, dan kematian.
4. Difteri kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat terlihat
oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas. Situs lain
keterlibatan termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah vulvo-vagina, serta
kanal auditori eksternal.

Kebanyakan komplikasi difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh pengaruh


toksin terkait dengan perluasan penyakit lokal. Komplikasi yang paling sering adalah
miokarditis difteri dan neuritis. Miokarditis berupa irama jantung yang tidak normal dan
dapat menyebabkan gagal jantung. Jika miokarditis terjadi pada bagian awal, sering berakibat
fatal. Neuritis paling sering mempengaruhi saraf motorik. Kelumpuhan dari jaringan lunak,
otot mata, tungkai, dan kelumpuhan diafragma dapat terjadi pada minggu ketiga atau setelah
minggu kelima penyakit.
Komplikasi lain termasuk otitis media dan insufisiensi pernafasan karena obstruksi
jalan napas, terutama pada bayi. Tingkat fatalitas kasus keseluruhan untuk difteri adalah 5% -
10%, dengan tingkat kematian lebih tinggi (hingga 20%). Namun, tingkat fatalitas kasus
untuk difteri telah berubah sangat sedikit selama 50 tahun terakhir.

2.4 Patofisiologi
1. Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan menempel di mukosa
saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital dan biasanya
bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan
meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan
pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun
makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri
melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa
menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Masa inkubasi penyakit difteri dapat berlangsung antara 2-5 hari. Sedangkan masa
penularan beragam, dengan penderita bisa menularkan antara dua minggu atau kurang bahkan
kadangkala dapat lebih dari empat minggu sejak masa inkubasi. Sedangkan stadium karier
kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan.
2. Tahap Penyakit Dini
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita
mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin.Antara minggu
ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai,
sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai.Kerusakan pada otot jantung
(miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggupertama sampai minggu keenam, bersifat
ringan, tampak sebagai kelainan ringanpada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat,
bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf
berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat
kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
3. Tahap Penyakit lanjut
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaputyang
terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian
tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika
membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir dibawahnya akan berdarah. Membran
inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat
saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.

Corynebacterium diphtheriae adalah organisme yang minimal melakukan invasive,


secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi berkembang lokal pada membrana mukosa
atau pada jaringan yang rusak dan menghasilkan exotoxin yang paten, yang tersebar
keseluruh tubuh melalui aliran darah dan sistem limpatik. Dengan sejumlah kecil toxin, yaitu
0,06 ug, biasanya telah bisa menimbulkan kematian pada guinea pig.
Pada saat bakteri berkembang biak, toxin merusak jaringan lokal, yang menyebabkan
timbulnya kematian dan kerusakan jaringan, lekosit masuk kedaerah tersebut bersamaan
dengan penumpukan fibrin dan elemen darah yang lain, disertai dengan jaringan yang rusak
membentuk membrane. Akibat dari kerusakan jaringan, oedem dan pembengkakan pada
daerah sekitar membran sering terjadi, dan ini bertanggung jawab terhadap terjadinya
penyumbatan jalan nafas pada tracheo-bronchial atau laryngeal difteri.
Warna dari membran difteri dapat bervariasi, mulai dari putih, kuning, atau abu-abu,
dan ini sering meragukan dengan "simple tonsillar exudate". Karena membran terdiri dari
jaringan yang mati, atau sel yang rusak, dasar dari membran rapuh, dan mudah berdarah bila
membran yang lengket diangkat.
Kematian umumnya disebabkan oleh kekuatan dari exotoxin. Exotoxin
ditransportasikan melalui aliran darah ke jaringan lain, dimana dia menggunakan efeknya
pada metabolisme seluler. Toxin terlihat terikat pada membran sel melalui porsi toxin yang
disebut "B" fragment, dan membantu dalam transportasi porsi toxin lainnya,"A" fragment
kedalam cytoplasma. Dalam beberapa jam saja setelah terexpose dengan toxin difteri, sintesa
protein berhenti dan sel segera mati.
Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan saraf. Pada miokardium,
toxin menyebabkan pembengkakan dan kerusakan mitochondria, dengan fatty degeneration,
oedem dan interstitial fibrosis. Setelah terjadi kerusakan jaringan miokardium, peradangan
setempat akan terjadi, diikuti dengan perivascular dibalut dengan lekosit.
Kerusakan oleh toxin pada myelin sheath dari saraf perifer terjadi pada keduanya, yaitu
sensory dan saraf motorik. Begitupun saraf motorik lebih sering terlibat dan lebih berat.

2.5 Epidemiologi
1. Person (Orang)
Difteri dapat menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering menyerang anak-anak
yang belum diimunisasi. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun.
Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian
bayi dan anak-anak muda.
Data menunjukkan bahwa setiap tahunnya di dunia ini terdapat 1,5 juta kematian bayi
berusia 1 minggu dan 1,4 juta bayi lahir akibat tidak mendapatkan imunisasi. Tanpa
imunisasi, kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit campak, 2 dari
100 kelahiran anak akan meninggal karena batuk rejan. 1 dari 100 kelahiran anak akan
meninggal karena penyakit tetanus. Dan dari setiap 200.000 anak, 1 akan menderita penyakit
polio.
2. Place (Tempat)
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah.
Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang
kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit. Sejak
diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai jarang
dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem
kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan
vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
3. Time (Waktu)
Penyakit difteri dapat menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa mengenal waktu.
Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh dan tubuh kita tidak mempunyai system
kekebalan tubuh maka pada saat itu kuman akan berkembang biak dan berpotensi untuk
terjangkit penyakit difteri.

2.6 Diagnosis
Pada penyakit difteri ini diagnosis dini sangat penting. Keterlambatan
pemberianantitoksin sangat mempengaruhi prognosa. Diagnosa harus
ditegakakkan berdasarkan gejala klinik.
Test yang digunakan untuk mendeteksi penyakit Difteri boleh meliputi:
a. Gram Noda kultur kerongkongan atau selaput untuk mengidentifikasi
Corynebacterium diphtheriae.
b. Untuk melihat ada tidaknya myocarditis (peradangan dinding otot jantung) dapat di
lakuka dengan Electrocardiogram (ECG).

Pengambilan smear dari membran dan bahan dibawah membran, tetapi hasilnya kurang
dapat dipercaya. Pemeriksaan darah dan urine, tetapi tidak spesifik. Pemeriksaan Shick Test
bisa dilakukan untuk menentukan status imunitas penderita.

Gejala Penyakit
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
1. P a n a s l e b i h d a r i 3 8 ° C
2. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil
3. Sakit waktu menelan
4. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan
kelenjar leher.

Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari
tanpa gejala sampai suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor
primer adalah imunitas penderita terhadap toksin diphtheria, virulensi serta toksinogenesitas
(kemampuan membentuk toksin) Corynebacterium diphtheriae, dan lokasi penyakit secara
anatomis. Faktor-faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit-
penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya. Masa tunas 2-6 hari.
Penderita pada umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan
sistemik. Demam jarang melebihi 38,9o C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada
lokasi penyakit diphtheria.
a. Diphtheria Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala
sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian
mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan
tampak membran putih pada daerah septum nasi.
b. Diphtheria Tonsil-Faring
Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 hari timbul
membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding
faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke distal ke laring dan trachea.
c. Diphtheria Laring
Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala
obstruksi saluran nafas atas.
d. Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga
Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya.
Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva
berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga
berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau

Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit
waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada
tonsil tampak membran putih kebau-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya,
sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk
pemeriksaan laboratorium.
Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak
tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakankelenjar
getah bening di leher sering terjadi (Ditjen P2PL Depkes,2003).

2.5 Patogenesis
Di alam, Corynebacterium diphtheria terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-
luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa bakteri. Bakteri
disebarkan melalui droplet atau kontak dengan individu yang peka. Bakteri kemudian tumbuh
pada selaput mukosa atau kulit yang lecet, dan bakteri mulai menghasilkan toksin.
Pembentukan toksin ini secara in vitro terutama bergantung pada kadar besi. Pembentukan
toksin optimal pada kadar besi 0,14 μg/ml perbenihan tetapi benar-benar tertekan pada 0,5
μg/ml. Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotik,
kadar asam amino, pH, dan tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen yang cocok.
Toksin difteri adalah polipeptoda tidak tahan panas (BM 62.000) yang dapat
mematikan pada dosis 0,1 μg/kg. Bila ikatan disulfidea dipecah, olekul dapat terbagi menjadi
2 fragmen, yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen B tidak mempunyai aktivitas
tersendiri, tetapi diperlukan untuk pemindahan fragmen A ke dalam sel. Fragmen A
menghambat pemanjangan rantai polipeptida (jika ada NAD) dengan menghentikan aktivitas
faktor pemanjangan EF-2. Faktor ini diperlukan untuk translokasi polipeptidil-RNA transfer
dari akseptor ke tempat donor pada ribosom eukariotik. Fragmen toksin A menghentikan
aktivitas EF-2 dengan mengkatalisis reaksi yang menhasilkan nikotinamid bebas ditambah
suatu kompleks adenosin di fosfat-ribosa-EF-2 yang tidak aktif. Diduga bahwa efek nekrotik
dan neurotoksik toksin difteria disebabkan oleh penghentian sintesis
protein yang mendadak.
Patogenisitas Corynebacterium diphtheriae mencakup dua fenomena yang berbeda,
yaitu :
1. Invasi jaringan lokal dari tenggorokan, yang membutuhkan kolonisasi dan proliferasi
bakteri berikutnya. Sedikit yang diketahui tentang mekanisme kepatuhan terhadap difteri
C. diphtheriae tapi bakteri menghasilkan beberapa jenis pili. Toksin difteri juga mungkin
terlibat dalam kolonisasi tenggorokan.
2. Toxigenesis: produksi toksin bakteri. Toksin difteri menyebabkan kematian sel eukariotik
dan jaringan oleh inhibisi sintesis protein dalam sel. Meskipun toksin bertanggung jawab
atas gejala-gejala penyakit mematikan, virulensi dari C. diphtheriae tidak dapat dikaitkan
dengan toxigenesis saja, sejak fase invasif mendahului toxigenesis, sudah mulai tampak
perbedaan. Namun, belum dipastikan bahwa toksin difteri memainkan peran penting
dalam proses penjajahan karena efek jangka pendek di lokasi kolonisasi.

Di alam, Corynebacterium diphtheriae terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-


luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa bakteri. Bakteri
disebarkan melalui droplet atau kontak dengan individu yang peka. Bakteri kemudian tumbuh
pada selaput mukosa atau kulit yang lecet, dan bakteri mulai menghasilkan toksin.
Pembentukan toksin ini secara in vitro terutama bergantung pada kadar besi. Pembentukan
toksin optimal pada kadar besi 0,14 μg/ml perbenihan tetapi benar-benar tertekan pada 0,5
μg/ml. Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotik,
kadar asam amino, pH, dan tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen yang cocok.
Toksin difteri adalah polipeptoda tidak tahan panas (BM 62.000) yang dapat mematikan pada
dosis 0,1 μg/kg. Bila ikatan disulfida dipecah, molekul dapat terbagi menjadi 2 fragmen,
yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen B tidak mempunyai aktivitas tersendiri, tetapi
diperlukan untuk pemindahan fragmen A ke dalam sel. Fragmen A menghambat
pemanjangan rantai polipeptida (jika ada NAD) dengan menghentikan aktivitas faktor
pemanjangan EF-2. Faktor ini diperlukan untuk translokasi polipeptidil-RNA transfer dari
akseptor ke tempat donor pada ribosom eukariotik. Fragmen toksin A menghentikan aktivitas
EF-2 dengan mengkatalisis reaksi yang menhasilkan nikotinamid bebas ditambah suatu
kompleks adenosin difosfat-ribosa-EF-2 yang tidak aktif. Diduga bahwa efek nekrotik dan
neurotoksik toksin difteria disebabkan oleh penghentian sintesis protein yang
mendadakBiasanya bakteri berkembang biak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir
mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung,
hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan
menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan
pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun
makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri
melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa
menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh,terutama jantung dan saraf.
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita
mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu
ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai,
sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung
(miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat
ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat,
bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf
berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat
kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
Toksin difteria diabsorbsi ke dalam selaput mukosa dan menyebabkan destruksi epitel
dan respons peradangan superfisial. Epitel yang mengalami nekrosis tertanam dalam eksudat
fibrin dan sel-sel darah merah dan putih, sehingga terbentuk ”pseudomembran” yang
berwarna kelabu –yang sering melapisi tonsil, faring, atau laring. Setiap usaha untuk
membuang pseudomembran akan merusak kapiler dan mengakibatkan pendarahan. Kelenjar
getah bening regional pada leher membesar, dan dapat terjadi edema yang nyata di seluruh
leher.
Corynebacterium diphtheria dalam selaput terus menghasilkan toksin secara aktif.
Toksin ini diabsorbsi dan menakibatkan kerusakan di tempat yang jauh, khususnya
degenerasi parenkim, infiltrasi lemak, dan nekrosis otot jantung, hati, ginjal, dan adrenal,
kadang-kadang diikuti oleh pendarahan hebat. Toksin juga mengakibatkan kerusakan syaraf
yang sering mengakibatkan paralisis palatum molle, otot-otot mata, atau ekstremitas.
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang
terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian
tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika
membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran
inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat
saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.
Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan.
Tak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan
dilaboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini
dilakukan pemeriksaan dengan EKG (Ditjen P2PL Depkes, 2003).

2.6 Komplikasi
Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah toksin, waktu
antara timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin.
Komplikasi difteri terdiri dari :
1. Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus
2. Infeksi Lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau oedema jalannafas
3. Infeksi Sistemik karena efek eksotoksin.
Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut menjadi
gagal jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf penyebab gerakan tak
terkoordinasi. Kerusakan saraf bahkan bisa berakibat kelumpuhan, dan kerusakan ginjal.
2.7 Pencegahan dan Pengobatan
1. Pencegahan
a. Isolasi Penderita
Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan
sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi Corynebacterium diphtheriae.
b. Imunisasi
Pencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT (difteria, pertusis, dan
tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada anak-anak usia sekolah
dasar.
c. Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria
Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif (mungkin penderita karier
pernah mendapat imunisasi), maka harus diiakukan hapusan tenggorok. Jika ternyata
ditemukan Corynebacterium diphtheriae, penderita harus diobati dan bila perlu
dilakukan tonsilektomi.
2. Pengobatan
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi
C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit
difteria.
a. Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2
kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu.
Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet
yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
b. Pengobatan Khusus
1. Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari
1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini
bisa meningkat sampai 30%. Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau
uji mata terlebih dahulu.
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk
membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Pengobatan untuk difteria
digunakan eritromisin , Penisilin, kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin prokain.
3. Kortikosteroid
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala.
c. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik.
Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan,
iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan
trakeostomi.
d. Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan
berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap
hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak
yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.
e. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick
negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat
diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40
mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan
tonsilektomi/adenoidektomi.

USAHA PD3I DIFTERI


Upaya pencegahan Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) yang salah
satunya adalah Difteri. Tujuan Umum dari upaya PD3I difteri yaitu untuk menurunkan angka
kesakitan, kecacatan dan kematian akibat penyakit difteri yang dapat dicegah dengan
Imunisasi (PD3I).
Strategi-strategi yang dilakukan dalam upaya PD3I difteri yaitu antara lain :
1. Memberikan akses (pelayanan) kepada masyarakat dan swasta
2. Membangun kemitraan dan jejaring kerja
3. Menjamin ketersediaaan dan kecukupan vaksin, peralatan rantai vaksin dan alat suntik
4. Menerapkan sistem pemantauan wilayah setempat (PWS) untuk menentukan prioritas
kegiatan serta tindakan perbaikan
5. Pelayanan imunisasi dilaksanakan oleh tenaga profesional/terlatih
6. Pelaksanaan sesuai dengan standard
7. Memanfaatkan perkembangan methoda dan tekhnologi yang lebih efektif berkualitas dan
efisien
8. Meningkatkan advokasi, fasilitasi dan pembinaan

Seiring dengan ditetapkannya KLB Difteri di berbagai daerah, maka pemerintah


melakukan serangkaian kegiatan penanggulangan. Salah satu konsentrasi kegiatan difokuskan
pada imunisasi tambahan dan imunisasi dalam penanggulangan KLB. Terjadinya suatu KLB
Difteri dapat mengindikasikan bahwa Imunisasi yang telah diperoleh pada waktu bayi belum
cukup untuk melindungi terhadap penyakit PD3I (Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi) sampai usia anak sekolah. Hal ini disebabkan karena sejak anak mulai memasuki
usia sekolah dasar terjadi penurunan terhadap tingkat kekebalan yang diperoleh saat
imunisasi ketika bayi. Sehingga perlu diberikan imunisasi tambahan untuk menangani KLB
Difteri yaitu dengan program BLF (Backlog Fighting) dan ORI (Outbreak Response
Imunization).
1. BLF (Back Log Fighting)
BLF (Penyulaman) adalah upaya aktif melengkapi imunisasi dasar pada anak yang berumur 1
– 3 tahun. Sasaran prioritas adalah desa/kelurahan yang selama 2 tahun berturut turut tidak
mencapai desa UCI (Universal Child Immunization). BLF tergolong dalam imunisasi
tambahan diamana definisinya adalah kegiatan imunisasi yang dilakukan atas dasar
ditemukannya masalah dari hasil pemantauan atau evaluasi. Kegiatan ini sifatnya tidak rutin,
membutuhkan biaya khusus dan kegiatannya dilaksanakan pada suatu periode tertentu.
2. ORI (Outbreak Response Imunization)
ORI adalah Imunisasi yang dilakukan dalam penanganan KLB. Dilaksanakan pada daerah
yang terdapat kasus penyakit PD3I, dalam hal ini adalah Difteri. Sasarannya adalah anak usia
12 bulan s/d 15 tahun, melakukan ORI terbatas di wilayah sekitar KLB, sesaat setalah KLB
terjadi.

Mengingat Penyakit Difteri ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur
lebih dingin di negara subtropis dan terutama menyerang anak-anak berumur di bawah 15
tahun yang belum diimunisasi. Maka tindakan preventif untuk mencegah penyakit melalui
pemberian kekebalan tubuh (Imunisasi) harus dilaksanakan secara terus menerus,
menyeluruh, dan dilaksanakan sesuai standar sehingga mampu memberikan perlindungan
kesehatan dan memutus mata rantai penularan.
Setiap orang dapat terinfeksi oleh difteri, tetapi kerentanan terhadap infeksi tergantung
dari pernah tidaknya ia terinfeksi oleh difteri dan juga pada kekebalannya. Bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang kebal akan mendapat kekebalan pasif, tetapi taka akan lebih dari 6
bulan dan pada umur 1 tahun kekebalannya habis sama sekali. Seseorang yang sembuh dari
penyakit difteri tidak selalu mempunyai kekebalan abadi. Paling baik adalah kekebalan yang
didapat secara aktif dengan imunisasi.
Pencegahan infeksi bakteri ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan diri dan
tidak melakukan kontak langsung dengan pasien terinfeksi. Selain itu, imunisasi aktif juga
perlu dilakukan. Imunisasi pertama dilakukan pada bayi berusia 2-3 bulan dengan pemberian
2 dosis APT (Alum Precipitated Toxoid) dikombinasikan dengan toksoid tetanus dan vaksin
pertusis. Dosis kedua diberikan pada saat anak akan bersekolah. Imunisasi pasif dilakukan
dengan menggunakan antitoksin berkekuatan 1000-3000 unit pada orang tidak kebal yang
sering berhubungan dengan kuman yang virulen, namun penggunaannya harus dibatasai pada
keadaan yang memang sangat gawat. Tingkat kekebalan seseorang terhadap penyakit difteri
juga dapat diketahui dengan melakukan reaksi Schick.
Berdasarkan penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan status imunisasi DPTdan
DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46.403 kali lebih besar dari pada anak yang
status imunisasi DPT dan DT lengkap. Keberadaan sumber penularan beresiko penularan
difteri 20.821 kali lebih besar daripada tidak ada sumber penularan. Anak dengan ibu yang
bepengetahuan rendah tentang imunisasi dan difteri beresiko difteri pada anak-anak mereka
sebanyak 9.826 kali dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan tinggi tentang
imunisasi dan difteri. Status imunisasi DPT dan DT anak adalah faktor yang paling dominan
dalam mempengaruhi terjadinya difteri (Kartono, 2008).
Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus
dan pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan
selang penyuntikan satu-dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan memberikan kekebalan
aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam waktu bersamaan. Efek samping
yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri dan bengkak pada permukaan kulit, cara
mengatasinya cukup diberikan obat penurun panas. Berdasarkan program dari Departemen
Kesehatan RI imunisasi perlu diulang pada saat usia sekolah dasar yaitu bersamaan dengan
tetanus yaitu DT sebanyak 1 kali. Sayangnya kekebalan hanya diiperoleh selama 10 tahun
setelah imunisasi, sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap
10 tahun sekali.
Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan system kekebalan
mereka atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin difteria dengan
jadwal yang sama.
Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada masyarakat
terutama kepada orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan
kepada bayi dan anak-anak. Dan perlu juga untuk menjaga kebersihan badan, pakaian dan
lingkungan. Penyakit menular seperti difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk
dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itulah, selain menjaga kebersihan diri, kita juga
harus menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Disamping itu juga perlu diperhatikan
makanan yang kita konsumsi harus bersih. Jika kita harus membeli makanan di luar, pilihlah
warung yang bersih. Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat dengan baik
untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber penularan bagi yang lain.
Pengobatan difteri difokuskan untuk menetralkan toksin (racun) difteri dan untuk membunuh
kuman Corynebacterium diphtheriae penyebab difteri. Setelah terserang difteri satu kali,
biasanya penderita tidak akan terserang lagi seumur hidup.
Perawatan bagi penyakit ini termasuk antitoksin difteri, yang melemahkan toksin dan
antibiotik. Eritromisin dan penisilin membantu menghilangkan bakteri difteri dan
menghentikan pengeluaran toksin. Selama sakit, penderita harus tiduran di tempat tidur.
Umumnya difteri dapat dicegah melalui vaksinasi dengan vaksin DPT (vaksin Difteri,
Pertusis, dan Tetanus) sejak bayi berumur 3 bulan. Untuk pemberian kekebalan dasar perlu
diberi 3 kali berturut-turut dengan jarak 1 – 1,5 bulan, lalu 2 tahun kemudian diulang
kembali. Umumnya diberi Penisilin atau antibiotik lain seperti Tetrasiklin atau Eritromisin
yang bermaksud untuk mencegah infeksi sekunder (Streptococcus) dan pengobatan bagi
carrier penyakit ini. Pengobatan dengan eritromisin secara oral atau melalui suntikan (40 mg /
kg / hari, maksimum, 2 gram / hari) selama 14 hari, atau penisilin prokain G harian,
intramuskular (300.000 U / hari untuk orang dengan berat 10 kg atau kurang dan 600.000 U /
sehari bagi mereka yang berat lebih dari 10 kg) selama 14 hari.
Melihat bahayanya, penyakit ini maka bila ada anak yang sakit dan ditemukan gejala
diatas maka harus segera dibawa ke dokter atau rumah sakit untuk segera mendapatkan
penanganan. Pasien biasanya akan masuk rumah sakit untuk di opname dan diisolasi dari
orang lain guna mencegah penularan. Di rumah sakit akan dilakukan pengawasan yang ketat
terhadap fungsi fungsi vital penderit auntuk mencegah terjadinya komplikasi. Mengenai obat,
penderita umumnya akan diberikan antibiotika, steroid, dan ADS (Anti Diphteria Serum).
Perawatan umum penyakit difteri yaitu dengan melakukan isolasi, bed rest : 2-3
minggu, makanan yang harus dikonsumsi adalah makanan lunak, mudah dicerna, protein dan
kalori cukup, kebersihan jalan nafas, pengisapan lendir.
Dengan pengobatan yang cepat dan tepat maka komplikasi yang berat dapat dihindari,
namun keadaan bisa makin buruk bila pasien dengan usia yang lebih muda, perjalanan
penyakit yang lama, gizi kurang dan pemberian anti toksin yang terlambat.
Walaupun sangat berbahaya dan sulit diobati, penyakit ini sebenarnya bias dicegah
dengan cara menghindari kontak dengan pasien difteri yang hasil lab-nya masih positif dan
imunisasi.
Pengobatan khusus penyakit difteri bertujuan untuk menetralisir toksin dan membunuh
basil dengan antibiotika (Penicilin procain, Eritromisin, Ertromysin, Amoksisilin,
Rifampicin, Klindamisin, Tetrasiklin).
Pengobatan penderita difteria ini yaitu dengan pemberian Anti Difteria Serum (ADS)
20.000 unit intra muskuler bila membrannya hanya terbatas tonsil saja, tetapi jika
membrannya sudah meluas diberikan ADS 80.000-100.000 unit. Sebelum pemberian serum
dilakukan sensitif test.
Antibiotik pilihan adalah penicilin 50.000 unit/kgBB/hari diberikan samapi 3 hari
setelah panas turun. Antibiotik alternatif lainnya adalah erythromicyn 30-40mg/KgBB/hari
selama 14 hari.
Penanggulangan melalui pemberian imunisasi DPT (Dipteri Pertusis Tetanus) dimana
vakisin DPT adalah vaksin yang terdiri dari toxoid difteri dan tetanus yang dimurnikan serta
bakteri pertusis yang telah diinaktifkan. Imunisasi DPT diberikan untuk pemberian kekebalan
secara simultan terhadap difteri, pertusis dan tetanus, diberikan pertama pada bayi umur 2
bulan, dosis selanjutnya diberikan dengan interval paling cepat 4 (empat) minggun (1 bulan ).
DPT pada bayi diberikan tiga kali yaitu DPT1, DPT2 dan DPT 3. Imunisasi lainnya yaitu DT
(Dipteri Pertusis ) merupakan imunisasi ulangan yang biasanya diberikan pada anak Sekolah
Dasar kelas 1 (Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas, 2005).
Seorang karier (hasil biakan positif, tetapi tidak menunjukkan gejala) dapat menularkan
difteri, karena itu diberikan antibiotik dan dilakukan pembiakanulang pada apus
tenggorokannya. Kekebalan hanya diperoleh selama 10 tahun setelah mendapatkan imunisasi,
karena itu orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster setiap 10 tahun.
Pengobatan difteri harus segera dilakukan untuk mencegah penyebaran sekaligus
komplikasi yang serius, terutama pada penderita anak-anak. Diperkirakan hampir satu dari
lima penderita difteri balita dan berusia di atas 40 tahun yang meninggal dunia diakibatkan
oleh komplikasi.
Jika tidak diobati dengan cepat dan tepat, toksin dari bakteri difteri dapat memicu
beberapa komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa. Beberapa di antaranya meliputi:
a. Masalah pernapasan. Sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi bakteri difteri
akan membentuk membran abu-abu yang dapat menghambat pernapasan. Partikel-
partikel membran juga dapat luruh dan masuk ke paru-paru. Hal ini berpotensi
memicu inflamasi pada paru-paru sehingga fungsinya akan menurun secara drastis
dan menyebabkan gagal napas.
b. Kerusakan jantung. Selain paru-paru, toksin difteri berpotensi masuk ke jantung
dan menyebabkan inflamasi otot jantung atau miokarditis. Komplikasi ini dapat
menyebabkan masalah, seperti detak jantung yang tidak teratur, gagal jantung dan
kematian mendadak.
c. Kerusakan saraf. Toksin dapat menyebabkan penderita mengalami masalah sulit
menelan, masalah saluran kemih, paralisis atau kelumpuhan pada diafragma, serta
pembengkakan saraf tangan dan kaki. Masalah saluran kemih dapat menjadi indikasi
awal dari kelumpuhan saraf yang akan memengaruhi diagfragma. Paralisis ini akan
membuat pasien tidak bisa bernapas sehingga membutuhkan alat bantu pernapasan
atau respirator. Paralisis diagfragma dapat terjadi secara tiba-tiba pada awal muncul
gejala atau berminggu-minggu setelah infeksi sembuh. Karena itu, penderita difteri
anak-anak yang mengalami komplikasi apa pun umumnya dianjurkan untuk tetap di
rumah sakit hingga 1,5 bulan.
d. Difteri hipertoksik. Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat parah. Selain
gejala yang sama dengan difteri biasa, difteri hipertoksik akan memicu pendarahan
yang parah dan gagal ginjal. Sebagian besar komplikasi ini disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium diphtheriae.

2.8 Determinan
Beberapa kemungkinan faktor yang menyebabkan kejadian Difteria diantaranya :
1. Cakupan imunisasi, a r t i n ya dimana ada b a yi yang kurang
b a h k a n tidak mendapatkan imunisasi DPT secara lengkap. Berdasarkan penelitian
Basuki Kartono bahwa anak dengan statusimunisasi DPT dan DT yang tidak lengkap
beresiko menderita difteri46.403 kali lebih besar dari pada anak yang status imunisasi
DPT danDT lengkap.
2. K u a l i t a s v a k s i n , a r t i n ya p a d a s a a t p r o s e s p e m b e r i a n v a k s i n a s i
k u r a n g menjaga Coldcain secara sempurna sehingga mempengaruhi kualitas vaksin.
3. Faktor Lingkungan, a r t i n ya lingkungan ya n g buruk dengan
s a n i t a s i yang rendah dapat menunjang terjadinya penyakit Difteri.Letak rumah yang
berdekatan sangat mudah sekali menyebarkan penyakit difteria bila ada sumber
penularan.
4. Rendahnya tingkat pengetahuan ibu, dimana pengetahuan
a k a n pentingnya imunisasi sangat rendah dan kurang bisa mengenali secaradini
gejala-gejala penyakit difteria.
5. A k s e s p e l a ya n a n k e s e h a t a n ya n g r e n d a h , d i m a n a h a l i n i d a p a t
d i l i h a t dari rendahnya cakupan imunisasi di beberapa daerah tertentu. Misalnya di
Kabupaten Sidoarjo, berdasarkan data yang ada ada empatdesa yang belum tercapai
program imunisasinya, yakni Sekardangan,Porong, Tanggulangin dan Kedungsolo
Jabon.
BAB III
PENUTUP

3.1 Keimpulan
1. Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae,
oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya.
2. Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu: Infeksi
ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat.
3. Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi : Difteri hidung, difteri faring, difteri
laring dan difteri kutaneus dan vaginal.
4. Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
a. Panas lebih dari 38 °C
b. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsilc .
c. Sakit waktu menelan
d. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan
karena pembengkakan kelenjar leher
5. Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun
sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa
inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan dan difteri kulit yang
mencemari tanah sekitarnya.
6. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu
sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan.
7. Pencegahan penyakit difteri ini dilakukan dengan pe mberian imunisasi
DPT 1, DPT2 dan DPT 3 pada bayi mulai umur 2 bulan dan dilanjutkan dengan
imunisasi DPT berikutnya dengan jarak waktu 4 paling sedikit 4 minggu (1 bulan ).
Kemudian diulang lagi pada saat usia sekolah dasar yaitu kelas 1 dengan imunisasi
DT. Selain itu juga dilakukan dengan cara menjaga kebersihan lingkungan sehingga
terhindar dari kuman difteri ini.
8. Pengobatan pada difteri terbagi menjadi dua yaitu Perawatan umum yaitu
dengan isolasi , bed rest 2-3 hari, intake makan : makanan lunak, mudah dicerna,
protein dan kalori cukup, dan pengobatan khusus yang bertujuan menentralisir toksin
dan membunuh basil dengan antibiotika ( Penicilin procain, Eritromisin, Ertromysin,
Amoksisilin, Rifampicin,Klindamisin, Tetrasiklin).
9. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya KLB difteri adalah :
 Cakupan imunisasi
 Kualitas vaksin
 Lingkungan
 Rendahnya tingkat pengetahuan ibu dan keluarga
 Akses pelayanan kesehatan yang rendah

DAFTAR PUSTAKA

Ditjen P2PL, Depkes RI, Revisi Buku Pedoman Penyelidikan


dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (Pedoman Epidemiologi Penyakit) ,2007,
Jakarta.

Ditjen P2PL, Depkes RI, Panduan Praktis Surveilens Epidemiologi Penyakit,


2003, Jakarta,

Ditjen P2PL, Depkes RI, Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas,


2005,Jakarta
Kadun I Nyoman, 2006, Manual Pemberantasan Penyakit Menular,
CV. Infomedika, Jakarta

Kartono, 2008, Lingkungan Rumah dan Kejadian Difteri di


Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Garut, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional
Vol.2 No.5 Profil,2004,

Profil Kesehatan ,http://www.Bank Data/Depkes.go.id/

Profil Kesehatan Kota Makassar Tahun 2012.

Anonim, 2003, The Complete Genome Sequence and Analysis of Corynebacterium


diphtheria NCTC 13129, www.google.com, diakses tanggal 7 Mei 2008.

Anonim, 2007, Difteri. www.balita-anda.indoglobal.com/pdf. diakses tanggal 5 Januari 2008.

Anonim, 2007. Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi. www.


dinkes.denpasarkota.go.id diakses tanggal 7 Mei 2008.

Você também pode gostar