Você está na página 1de 7

Mengelola Keberagaman

Dulu dalam sebuah pabrik atau kantor memiliki homogenitas dan sangat sering
memiliki lokalitas karyawan yang sama, yang mengetahui satu sama lain dari background
mereka. Namun saat ini sangatlah berbeda dan tidak dapat dijadikan acuan. Manager tidak
dapat berasumsi bahwa semua orang yang bekerja dengan mereka dapat diperlakukan secara
sama. Perkembangan semua perusahaan saat ini berbeda-beda, membentuk migrasi, perubahan
hukum dan internasionalisasi industri telah menstimulasi penduduk untuk melakukan
urbanisasi. Berikut ini adalah beberapa aspek pembeda dalam deversitas. Mencakup gender,
etnis, umur, bahasa, kemampuan fisik, orientasi sexsual. Ketidaksamaan membentuk
perbedaan fungsi tugas, perbedaan kelas kerja yang juga merupakan pembeda yang
memerlukan manajemen diversitas. Bisa jadi meskipun secara spesifik, setiap orang memiliki
personaliti berbeda dan membutuhkan gaya manajemen yang berdebda untuk mendapatkan
yang terbaik bagi mereka. Manajemen diversitas :
1. Bertujuan untuk menyakinkan semua staff dapat memaksimalkan potensi mereka dan
berkontribusi pada perusahaan.
2. Menghimpun gerakan dalam organisasi, budaya dan pertemuan bisnis yang objektif.
3. Fokus pada semua staff, utamanya manajer
4. Tidak hanya aksi positif atau afirmatif dan perusmusan visi.

Bagaimanapun juga suatu perbedaan apabila tidak di atur dengan baik akan
menimbulkan diskriminasi atau konflik. Seringkali orang fokus pada aspek negatif terhadap
perbedaan, meliputi tidak memahami bahasa yang dibicarakan orang lain, atau praktik agama
dalam kehidupan mereka, tanpa memandang aspek positif yang dimiliki untuk menyikapi
perbedaan sudut pandang.

Perbedaan itu merugikan, tapi ia dapat juga memiliki kelebihan. Uatamanya, dapat
merefleksikan dunia yang sesungguhnya lebih dari kelompok homogen. Perbedaan dalam
kelompok juga dapat menghasilkan prespektif yang lebih luas.

Kondola dan fullerton (1994) mengemukakan sebuah langkah yang baik untuk organisasi
dalam membentuk kebijakan dalam keberagaman :

1. Melatih trainer dalam kesempatan yang sama


2. Mengenalkan hak dan manfaat yang sama bagi pekerja paruh waktu seperti pekerja full
time
3. Menerapkan flexibilitas dalam berpakaian atau dengan syarat tertentu.
4. Mempedulikan karyawan yang kurang mampu.
5. Manfaat-manfaat disediakan untuk pasangan pekerja.
6. Menyediakan sarana khusus bagi penyandang disabilitas.
7. Memberikan bantuan pada mereka yang membutuhkan.
8. Menyediakan sarana penitiapan anak
9. Mengizinkan staff untuk mengambil cuti
10. Mengeliminasi diskriminasi umur dari keputusan seleksi pegawai.
Mengelola Tim Yang Multikultur
Mewujudkan slogan bersama ‘satu tim, satu mimpi’ tidak selalu mudah dijalankan.
Banyak faktor yang memengaruhi soliditas tim Anda, mulai dari keragaman fungsi, perbedaan
pengalaman, lalu senioritas, hingga kepribadian anggota tim. Ada unsur lain yang juga bisa
berpengaruh terhadap kerekatan tim, yaitu latar budaya masing-masing anggota tim.
Bila ada kelompok budaya yang relatif dominan dalam sebuah tim, mungkin tidak akan
mudah bagi minoritas di dalamnya. Bila anggota tim ini tidak mampu mengatasi rintangan
komunikasi, tidak mudah baginya untuk dapat berpartisipasi dan, apa lagi, didengar suaranya.
Baik dalam hal mengail gagasan, beradu argumentasi, mengatasi perbedaan dan konflik,
hingga mengambil keputusan.
Sebagai manajer atau pemimpin tim, kita perlu mengingat satu hal: orang-orang
membawa serta latar budaya mereka kemanapun pergi, termasuk ke lingkungan kerja. Orang
Aceh, Batak, Jawa Tengah, Sunda, sampai Manado niscaya punya cara komunikasi yang tak
persis sama, walaupun sama-sama orang Indonesia. Bila perbedaan cara berkomunikasi ini
tidak disadari sejak awal oleh seluruh anggota tim, terbuka kemungkinan akan ada kerepotan.
Bila kita sudah punya sejumlah jam tertentu dalam bekerja di berbagai lingkungan, kita
sudah memiliki cukup pengalaman menangani isu keragaman. Nah, sekarang, ditambahkan
unsur budaya. Para ahli memberi saran: penting untuk menyadari adanya keragaman budaya,
antara lain ditunjukkan dengan cara kita berkomunikasi. Berbicara blak-blakan seperti orang
Surabaya mungkin tidak mudah diterima oleh anggota tim dari daerah tertentu.
Begitu menyadari ada keragaman, sebagai pemimpin tim kita perlu menyiapkan aturan
main yang disepakati bersama sejak awal. Umpamanya, bagaimana rapat diadakan dan apa
yang Anda harapkan—harapan ini menunjukkan bahwa Anda memegang kendali terhadap tim,
bahwa Anda mampu mengatasi keragaman.
Harapan Anda itu, misalnya datang kerja dan rapat tepat waktu, mempersiapkan laporan
untuk dibahas (bukan datang dengan kepala kosong). Dua hal ini harus dipenuhi oleh seluruh
anggota tim, tidak peduli apa latar belakang budayanya. Yang terbiasa bekerja lamban akan
dipaksa menyesuaikan diri dengan ritme yang Anda dorong untuk disepakati oleh tim.
Tak kalah penting, begitu pengalaman mengajarkan, bersikap kreatiflah dalam
menghadapi perbedaan dan konflik dalam tim. Sebagai pemimpin tim, Anda dapat mengasah
kepekaan dalam mengetahui seberapa besar perbedaan budaya di antara anggota tim. Caranya,
cermati seberapa terbuka suatu perdebatan dan ketidaksepakatan dalam tim tetap dipandang
positif. Mungkin ada yang menganggap agresif pernyataan ‘Saya tidak setuju dengan
pendapatmu’—langsung dan tanpa basa-basi. Individu lainnya barangkali lebih menyukai
ungkapan yang lebih halus dalam menyatakan ketidaksetujuan terhadap suatu gagasan.
Menghadapi keragaman budaya dalam satu tim membutuhkan keluwesan. Tak ada
patokan baku yang berlaku dalam setiap tim maupun setiap waktu. Pemimpin tim mesti peka
dalam membaca situasi dan menemukan cara-cara kreatif untuk membuat timnya solid dan
sekaligus dinamis. Ini tak ubahnya bermain layang-layang: terkadang mengendorkan benang,
lain kali menariknya lebih kencang.
Perbedaan Budaya
Keberagaman melihat suatu daya kerja sebagai komposisi dari heterogenitas individu-
individu dari latar belakang yang berbeda. Dimana perbedaan budaya berasumsi bahwa
kelompok itu homogen tapi ada perbedaan di setiap individunya. Cara mudah untuk berpikir
dalam hal perbedaan budaya adalah berdasarkan kerwarganegaraan namun diberi sifat khusus
dari banyak negara. Perbedaan budaya juga berlaku didalam negeri. Hofstede menganalisis
budaya dari beberapa bangsa dan mengelompokkannya ke dalam beberapa dimensi. Berikut
ini adalah enam dimensi budaya yang dibangun oleh Hofstede dan beberapa peneliti lain:
1. Power Distance, terkait kepada solusi-solusi yang berbeda terhadap masalah dasar
dari ketidaksetaraan manusia;
2. Uncertainty Avoidance, terkait dengan tingkat dari stres dalam lingkungan sosial
menghadapi masa depan yang tidak diketahui;
3. Individualism versus Collectivism, terkait dengan integrasi dari individu ke dalam
kelompok-kelompok utama;
4. Masculinity versus Feminimity, terkait dengan pembagian dari peran emosi antara
wanita dan laki-laki
5. Long Term versus Short Term Orientation, terkait kepada pilihan dari fokus untuk
usaha manusia: masa depan, saat ini, atau masa lalu
6. Indulgence versus Restraint, terkait kepada gratifikasi dibandingkan kendali dari
kebutuhan dasar manusia untuk menikmati hidup
Berikut akan saya uraikan masing-masing dimensi tersebut di atas:
A. Power Distance
Power Distance atau jarak kekuasaan adalah sejauh mana anggota dari suatu organisasi
atau lembaga yang berada dalam posisi yang kurang kuat menerima dan berharap kekuasaan
didistribusikan secara tidak merata. Dimensi budaya yang mendukung jarak kekuasaan rendah
(Small Power Distance) mengharapkan dan menerima hubungan kekuasaan secara lebih
konsultatif atau demokratis. Orang berhubungan satu sama lain terlepas dari posisi formalitas
mereka. Bawahan mersaa lebih nyaman serta menuntut hak untuk berkontribusi dalam
pengambilan keputusan.
Di negara-negara dengan jarak kekuasaan tinggi (large power distance)cenderung
menggunakan hubungan kekuasaan yang lebih otokratis dan paternalistik. Bawahan mengakui
kekuatan orang lain hanya berdasarkan dimana mereka berada dalam struktur formal atau
posisi hirarki tertentu. Dengan demikian, indeks jarak kekuasaan didefinisikan oleh Hofstede
(2001) bukan mencerminkan perbedaan obyektif dalam distribusi daya, melainkan cara orang
memandang perbedaan-perbedaan kekuasaan.
B. Uncertainty Avoidance
Uncertainty Avoidance adalah bentuk toleransi masyarakat untuk ketidakpastian dan
ambiguitas. Hal ini menggambarkan sejauh mana anggota organisasi atau lembaga berusaha
untuk mengatasi perasaan cemas dan mengurangi ketidakpastian yang mereka hadapi.
Pemahaman ini menjelaskan bahwa uncertainty avoidance bukan berarti penghindaran risiko.
Orang-orang yang memiliki dimensi budaya penghindaran ketidakpastian tinggi (high
uncertainty avoidance) cenderung lebih emosional. Mereka mencoba untuk meminimalkan
terjadinya keadaan yang tidak diketahui atau tidak biasa. Saat terjadi perubahan mereka
menjalaninya dengan hati-hati, langkah demi langkah dengan perencanaan dan menerapkan
hukum serta peraturan yang berlaku.
Sebaliknya, dimensi budaya penghindaran ketidakpastian rendah (low uncertainty
avoidance) menerima dan merasa nyaman dalam situasi yang tidak terstruktur atau lingkungan
yang kerap kali mengalami perubahan. Mereka mencoba untuk memiliki beberapa aturan
dalam aktifitas mereka. Orang-orang dalam dimensi budaya ini cenderung lebih pragmatis,
mereka jauh lebih toleran terhadap perubahan.
C. Individualism Vs Collectivism
Ciri organisasi atau lembaga Individualism dengan Collectivism, adalah sejauh mana
individu diintegrasikan ke dalam organisasi atau lembaga tersebut.
Dalam masyarakat yang individualistik (individualism), tekanan atau stres diletakkan
dalam permasalahan pribadi, serta menuntut hak-hak individu. Orang-orang diharapkan untuk
membela diri sendiri dan keluarga mereka. Selain itu juga mereka diharapkan untuk memilih
afiliasi sendiri.
Sebaliknya dalam masyarakat kolektifis (collectivism), individu bertindak terutama
sebagai anggota kelompok seumur hidup. Daya kohesifitas yang tinggi tercipta di dalam
kelompok mereka (kelompok di sini tidak mengacu kepada politik atau negara). Orang-orang
memiliki keluarga besar, yang dijadikan sebagai perlindungan bagi dirinya sehingga
loyalitasnya tidak diragukan.
D. Masculinitiy Vs Feminimity
Masculinity berkaitan dengan nilai perbedaan gender dalam masyarakat, atau distribusi
peran emosional antara gender yang berbeda. Nilai-nilai dimensi maskulin (masculinity)
terkandung nilai daya saing, ketegasan, materialistik, ambisi dan kekuasaan. Dimensi feminin
(feminimity) menempatkan nilai yang lebih terhadap hubungan dan kualitas hidup. Dalam
dimensi maskulin, perbedaan antara peran gender nampak lebih dramatis dan kurang fleksibel
dibandingkan dengan dimensi feminin yang melihat pria dan wanita memiliki nilai yang sama,
menekankan kesederhanaan serta kepedulian.
Penggunaan terminologi feminin dan maskulin yang mengacu terhadap
perbedaan gender yang jelas tersirat melahirkan kontroversial. Sehingga beberapa peneliti
yang menggunakan perspektif Hofstede (2011) mengganti terminologi tersebut, misalnya
“Kuantitas Hidup” dengan “Kualitas Hidup”.
E. Long Term Vs Short Term Orientation
Dimensi ini dikembangkan oleh Hostede bersama Michael Harris Bond di Hongkong
(Hofstede, 2001). Dimensi ini sangat dipengaruhi oleh ajaran Confucian. Dimensi ini akan
membingungkan orang yang hidup di wilayah Barat, karena merasa hal ini tidak diperlukan.
Empat elemen ajaran yang mempengaruhi terbentuknya dimeni ini adalah:
1. Stabilitas sosial berdasarkan atas ketidaksetaraan hubungan antara orang. Sebagai
contoh junior memberikan penghormatan dan kepatuhan kepada senior, dan senior
memberikan perlindungan kepada junior.
2. Keluarga adalah bentuk dasar dari seluruh organisasi sosial. Budaya Cina memiliki
keyakinan bahwa kehilangan martabat keluarga sama saja kehilangan satu mata,
hidung, dan mulut. Menunjukkan penghormatan kepada orang disebut “memberi
wajah” dalam budaya mereka.
3. Perilaku berbudi luhur kepada orang lain mengandung makna tidak memperlakukan
orang lain seperti dirimu tidak ingin diperlakukan seperti itu oleh orang lain.
4. Berbuat baik adalah salah satu tugas hidup dengan cara menambah pengetahuan,
keterampilan, bekerja keras, tidak boros, sabar, dan memelihara.
Dimensi ini diistilahkan kemudian sebagai “Konghucu Dinamisme” (Hofstede, 2011).
Masyarakat yang berorientasi jangka panjang (long term orientation) lebih mementingkan
masa depan. Mereka mendorong nilai-nilai pragmatis berorientasi pada penghargaan, termasuk
ketekunan, tabungan dan kapasitas adaptasi.
Masyarakat yang memiliki dimensi orientasi hubungan jangka pendek (short term orientation),
nilai dipromosikan terkait dengan masa lalu dan sekarang, termasuk kestabilan, menghormati
tradisi, menjaga selalu penampilan di muka umum, dan memenuhi kewajiban-kewajiban
sosial.
F. Indulgence Vs Restraint
Michael Minkov seorang ahli bahasa dan sosiolog dari Bulgaria pada tahun 2007,
bersama dengan Geert Hofstede dan Geert Jan Hofstede (2010) mengajukan tiga dimensi
budaya yang baru yaitu Exclusionism versus Universalism, Indulgence versus
Restraint, Monumentalism versus Flexumility. Kemudian Hofstede melihat korelasi yang kuat
antara Exclusionism versus Universalism dengan dimensi Collectivism/Individualism;
dan Monumentalism versus Flexumility juga berkorelasi kuat dengan Short Term/Long Term
Orientation. Sehingga dimensi baru yang ditetapkan oleh Hofstede sebagai dimensi budaya
terbaru adalah dimensi Indulgence versus Restraint.
Kesenangan (indulgence) mengarah kepada lingkungan sosial yang mengijinkan
gratifikasi sebagai nafsu manusiawi yang alamiah terkait dengan menikmati hidup.
Pengekangan (restraint) mengarah kepada lingkungan sosial yang mengontrol gratifikasi dari
kebutuhan dan peraturan-peraturan dengan cara norma sosial yang tegas.
Selain itu, Hofstede mengemukakan empat model pembeda :
 Kelompok negara yang terletak di Asia, diamana tinggi power distance, individualisme
rendah, masculinity menengah dan rendah uncertainty avoidance. Dan dimana model
organisasi seperti sebuah keluarga dan kunci kepemimpinan ada pada sosok ayah.
 Kelompok German dengan power distance rendah, individualisme sedang, masculinity
tinggi dan uncertainty avoidance tinggi. Dimana ada sebuah keinginan untuk mencari
peran dan prosedur yang mengesampingkan pelatihan personal dan menjalankannya
seperti mesin.
 Kelompok Latin dan bagian utara bertipe tinggi power distance, low individualism,
masculinity sedang dan uncertainty avoidance tinggi, power relationship dan proses kerja
di definisikan dan di hasilkan seperti sebuah piramida manusia.
 Kelompok negara Anglo, low power distance, high individualism , high masculinity dan
low uncertainty avoideance mengarahkan pada sebuah analogi pasar dengan
keberlanjutan hubungan antar anggota.

Equal Opportunities Sebagai Dasar Manajemen Keberagaman


Equal Employment Opportunity (EEO) atau Kesetaraan Kesempatan Kerja merupakan
konsep yang menunjukan bahwa setiap orang harus mendapat perlakuan yang sama pada
semua tindakan berhubungan dengan pekerjaan. Hal ini mencakup segala kebijakan yang
bertujuan untuk menghapuskan segala tindakan diskriminasi di dunia kerja. Bentuk
diskriminasi yang dimaksud terbagi menjadi dua, yaitu diskriminasi langsung dan disriminasi
tidak langsung.
Diskriminasi langsung adalah perlakuan yang tidak adil akibat karakteristik gender
ataupun karakteristik lain yang diduga sebagai penyebab perlakuan tersebut. Contohnya,
seseorang ditolak untuk mengikuti wawancara karena ia adalah seorang perempuan.
Sedangkan diskriminasi tidak langsung adalah ketidakadilan karena mengutamakan kriteria
tertentu walaupun bukan suatu persyaratan pekerjaan. Contohnya, pemberian tunjangan hari
raya khusus kepada pegawai yang beragama Islam, sedangkan yang non muslim tidak
mendapat tunjangan tersebut.
Adapun ruang lingkup EEO meliputi: Perlakuan yang adil; merupakan instrument atau
alat yang digunakan oleh para pekerja ataupun pencari kerja untuk mendapatkan keadilan di
ruang lingkup pekerjaan. Berdasarkan prestasi; EEO dapat menempatkan pekerja sesuai
dengan persyaratan dan keahlian yang dimiliki. Instrument efisiensi; dengan adanya EEO maka
diharapkan efisiensi dan efektivitas dapat tercapai sehingga dapat menguntungkan organisasi
dan tenagakerja (lebih produktif).
Pelaksanaan EEO memberikaan manfaat terhadap para pekerja/ pencari kerja di
antaranya adalah sebagai berikut:
1. Bebas dalam memilih pekerjaan
Para pencari kerjaakan lebih bebas dalam memilih pekerjaan yang sesuai dengan bakat
dan kemampuan yang dimiliki.
2. Keamanan dan kenyamanan bekerja
Pada umumnya harapan setiap pekerja dalam pekerjaannya adalah kenyamanan kerja
pada sepanjang karirnya. Hal ini senada dengan teori kebutuhan yang dikemukakan
oleh Abraham Maslow (dalam Bangun, 2012) bahwa keamanan merupakan kebutuhan
setiap manusia.
3. Memperpanjang karir
4. Peningkatan umpan balik dari organisasi
Semakin besar hasil yang dicapai oleh organisasi, maka semakin besar pula bagian dari
capaian (seperti keuntungan materil) yang di dapatkan oleh pekerja.
5. Meningkatnya semangat kerja
Salah satu factor dalam meningkatkan kinerja adalah adanya kesempatan dan perlakuan
yang sama terhadap pekerja.
6. Kepuasan kerja
Dengan adanya EEO, maka tenaga kerja akan semakin puas dengan pekerjaan
yang digeluti.
Selain pekerja, manfaat EEO juga di dapatkan oleh organisasi diantaranya adalah:
1. Penurunan tingkat absensi
Tenaga kerjaakan merasa semakin dihargai sebab diperlakukan secara adil dan
disamping itu rasa persaudaraan akan semakin erat sehingga para pekerja akan semakin
bertanggung jawab atas pekerjaannya.
2. Menurunnya turnover karyawan
Tenaga kerja akan semakin merasa nyaman dan enggan meninggalkan organisasninya.
3. Tersedianya alternatif pemilihan tenaga kerja yang lebih baik
Organisasi memberikan kesempatan kerja yang lebih luas sehingga mampu
mendapatkan pilihan calon tenaga kerja yang lebih banyak dan beragam.
4. Meningkatkan produktivitas
Dengan adanya penerapan program EEO, hasil kerja tenaga kerja akan semakin baik
sehingga berdampak positif terhadap kemajuan organisasi.
5. Meningkatkan hubungan dengan masyarakat
Organisasi akan lebih dikenal di masyarakat sebab telah memperlakukan pekerja secara
baik dan adil.

Prinsip EEO yang utama yaitu “a fair chance for everyone at work”, dimana setiap
orang harus memiliki akses yang equal, dan dalam pekerjaan setiap orang harus memiliki
kesempatan yang equal untuk memperoleh training dan promosi serta kondisi kerja
yang fair. EEO tidak mengasumsikan bahwa setiap orang memiliki kemampuan yang sama,
kualifikasi yang sama dan pengalaman yang sama tetapi bertujuan memberikan setiap orang
kesempatan yang sama (equal chance) untuk menggunakan dan mengeluarkan seluruh bakat
dan kemampuannya.

Você também pode gostar