Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Ilustrasi(KOMPAS/DIDIE SW)
“We need more space” adalah argumentasi manajemen HAI. Menurut mereka,
platform digital dalam bentuk website, adalah pilihan yang paling pas untuk
memberikan ruang yang luas dan lebih bebas kepada tim HAI dan pembaca.
Jika mau melihat sedikit ke belakang, geliat yang dialami oleh HAI ini
sebenarnya pernah dialami oleh media-media yang lain.
Sebut saja Jakarta Globe. Koran berbahasa Inggris ini sudah lebih awal
memutuskan untuk fokus menggarap website.
Dinamika yang mirip juga dialami oleh Tempo. Meskipun belum memutuskan
untuk menghentikan versi cetak, media ini membuka hati untuk lebih
memberikan perhatian kepada berbagai bentuk jurnalisme digital. Website
adalah salah satu perhatian mereka.
Di satu sisi, sejumlah media melihat migrasi ini secara optimistis. Namun,
tidak sedikit juga yang ragu.
Website vs platform
Seperti kata banyak orang, dalam timbunan ketidakpastian, selalu ada satu hal
yang pasti, yaitu perubahan.
Belum semua media online membuka mata bahwa tantangan utama bukan
hanya mencari jumlah pembaca sebanyak-banyaknya, melainkan adalah
“mengenali” pembaca. Pada saat yang sama, media online juga perlu memutar
otak untuk mencegah pembaca dan pengiklan berpaling ke berbagai aplikasi
yang diproduksi oleh pihak lain.
Singkat kata, kompetitor media online bukan hanya media online yang lain.
Kompetitor yang tidak kalah menakutkan adalah perusahaan aplikasi berbasis
internet atau sering disebut platform.
Dengan begitu, sangatlah masuk akal jika sebagian besar iklan di internet
mengucur ke platform, bukan portal berita.
Jika memang platform adalah “lapak” berita masa depan, maka tak berlebihan
jika media online mulai meninggalkan website dan membuat platform sendiri.
Membangun platform sendiri sepertinya bukan lagi ilusi bagi media online.
Beberapa media online di sejumlah negara mulai memikirkannya secara
serius.
Southern Metropolis Daily adalah salah satu contoh. Media ini adalah bagian
dari Southern Media Group, sebuah korporasi media di Guangzhou, China.
Selain memiliki portal berita, kelompok media ini juga membangun sebuah
platform bernama Bingdu.
Publik yang mengunduh Bindgu melalui gawai akan bisa menikmati berita
yang dikemas dan disunting oleh tim redaksi khusus. Berita-berita yang
disuguhkan berasal dari berita yang diproduksi oleh berbagai media yang
berada di bawah naungan Southern Media Group.
Seperti aplikasi yang lain, Bingdu juga mewajibkan pengguna untuk
mendaftarkan diri (login) untuk bisa menggunakan berbagai fitur yang tersedia.
Metode login ini akan memudahkan tim Bingdu untuk menyusun alogaritma
khusus sehingga bisa mendeteksi jenis-jenis berita yang diminati oleh setiap
pengguna.
Dalam hal ini, Bingdu tidak meminta pembaca untuk mencari konten yang
mereka inginkan, namun pembaca akan “dimanjakan” dengan berbagai menu
yang kemungkinan besar mereka minati.
Melalui fitur ini, Bingdu akan memberikan poin kepada pengguna yang
membaca atau menyebarkan berita dari aplikasi tersebut. Poin yang mereka
terima bisa dikonversi menjadi uang atau hadiah lain.
Bingdu bisa dibilang cukup sukses. Menjelang akhir 2016, aplikasi ini telah
diunduh oleh 80 juta pengguna.
Dari China, kita “terbang” ke ruang redaksi Axel Springer yang sangat
kondang di Eropa. Media ini berpusat di Berlin, Jerman.
Berbeda dengan Bingdu yang mengemas berita dari media yang berasal dari
satu kelompok usaha, Upday berhasil mengajak sejumlah media yang berasal
dari kelompok usaha terpisah untuk bergabung.
The Economist, The Daily Telegraph, Le Figaro, BILD, dan Spiegel adalah
media kelas kakap yang tercatat bergabung ke dalam aplikasi ini.
Selain itu, katanya, aplikasi ini juga menawarkan alogaritma yang dinamis
yang menggabungkan interaktivitas pengguna dan data ilmiah.
Nampaknya Upday memetik keuntungan. Setahun sejak diluncurkan, seperti
dilaporkan oleh Nieman Lab, aplikasi ini telah melebarakan jangkauannya ke
16 negara lain di Eropa.
Platform kolaborasi
Schibsted Media Group adalah jaringan media yang tersebar di Norwegia dan
Swedia. Awalnya, jaringan media ini menggunakan sistem manajemen konten
yang terpisah. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, mereka mengabaikan
ego sektoral dan melebur untuk menggarap platform tunggal.
Tujuan mereka hanya satu, yaitu membuat platform mutakhir yang cocok
untuk model jurnalisme masa depan.
Hal yang membuat ikhtiar ini semakin ambisius adalah platform tersebut
dirancang untuk menggabungkan aktivitas para jurnalis dan pembaca berita
sekaligus.
Keenam modul itu adalah: pertama, Discover. Ini adalah modul agregasi berita.
Melalui modul ini, jurnalis akan menemukan berbagai konten berita dalam
kecepatan tinggi dan dalam jumlah yang sangat banyak.
Selain berisi berita, modul ini juga berisi sejumlah unggahan di berbagai
platform media sosial. Bagi jurnalis, fitur ini sangat berguna untuk
pendalaman berita.
Modul kedua adalah Create. Melalui fitur ini, jurnalis akan mengemas
berbagai format berita. Melalui antarmuka yang sederhana, jurnalis bisa
menulis, mengunggah foto, menambahkan infografis dan sebagainya.
Modul yang keempat adalah Curate. Fitur ini dibuat untuk keperluan
pengguna. Publik yang terdaftar di dalam platform ini bisa mengatur konten
yang sangat personal, atau sesuai dengan minat dan keinginan setiap
pengguna.
Fitur selanjutnya adalah Engage. Melalui fitur ini, setiap jurnalis akan
mendapatkan informasi tentang performa artikel atau produk yang dihasilkan.
Setiap jurnalis akan mendapatkan laporan jumlah pembaca yang menyukai,
membagikan, atau sekedar membaca berita yang telah dibuat.
Schibsted Media Group meyakini bahwa seorang jurnalis modern tidak hanya
bertugas mengemas berita, namun juga menjaganya tetap dibaca dan disukai.
Fitur atau modul yang terakhir adalah Stream yang memungkinkan tim redaksi
mengunggah berbagai bentuk jurnalisme visual.
Sebuah tren
Bisa saja Bingdu, Upday, dan enam modul yang diusung oleh Schibsted
Media Group adalah tindakan irasional. Namun, pada kenyataannya, sebagian
besar pimpinan media di berbagai belahan dunia menganggapnya sebagai
sebuah tren yang perlu diikuti.
Para pimpinan media itu diminta untuk memberikan pandangan dan strategi
pengembangan media yang mereka pimpin.
Sebagian besar pimpinan media digital sepakat bahwa “perang” antara media
dan platform akan semakin gencar. Oleh karena itu, sebagian besar pimpinan
media digital itu (73 persen) ingin bersaing dengan platform.
Hanya 21 persen dari pimpinan media yang tetap bertahan dengan website
mereka, sementara sisanya (6 persen) masih akan bergantung pada platform
dari pihak lain.
Pilihan untuk membuat platform adalah solusi bagi media online untuk lebih
meningkatkan interaktivitas dengan publik. Bahkan interaktivitas ini bisa
sampai ke level personal.
Supaya lebih mudah, mari kita membandingkan website dan
platform. Ibaratnya, website adalah sebuah taman. Semua orang bisa datang
dan pergi, namun pengelola taman tidak pernah mengenal pengunjng
satu-persatu.
Meskipun disediakan buku tamu, belum tentu orang akan mengisinya. Kondisi
ini membuat pengelola taman hanya akan mengandalkan intuisi dan data yang
terbatas untuk membuat taman tersebut tetap disukai oleh pendatang.
Sementara itu, platform mirip sebuah hotel. Mereka yang bisa menginap
adalah mereka yang sudah datang, mendaftar, dan membayar. Bahkan,
pengunjung hotel akan mendapatkan layanan yang interaktif dan personal,
sejak di depan customer service hingga berbagai fitur mutakhir di dalam
kamar.
ADVERTISING
EditorAmir Sodikin
Tag:
jurnalisme