Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
AKAL
Akal adalah lawan dari jahl (kebodohan atau kejahilan). Keduanya berlawanan
dalam segala tahapnya : ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya. Meski
kejahilan mempunyai semacam eksistensi subyektif dan refleksif, tapi ia tidak
memberi efek-efek obyektif dan aktual. Seperti halnya eksistensi warna dalam
cahaya. Pada hakikatnya, warna tidak memiliki eksistensi obyektif di alam
cahaya.
Kekurangan adalah ketiadaan sesuatu dan ketiadaan sesuatu itu tak lain
adalah noneksistensi, ‘adam atau nothingness.
Kembali pada pokok persoalan kita di atas. Kejahilan itu tiada secara obyektif
karena sifatnya yang kurang tersebut. Jadi orang bodoh adalah orang yang
kurang pengetahuannya atau belum memiliki pengetahuan.
Walhasil, secara umum, semua maujud atau yang ada itu baik. Setidaknya, ia
baik untuk dirinya sendiri tanpa dikait-kaitkan dengan\kepada selainnya (an
sich). Pengaitan dan penghubungan satu dengan yang lain ialah asal-usul ke-
burukan atau kejelekan di alam ini. Dengan demikian, ke- burukan dan
kejelekan itu bersifat -bahkan berwujud- secara relatif.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, 9 (sembilan) jika kita lihat sebagai dirinya
sendiri, maka tampaklah ia sebagai sesuatu yang sempurna dan baik. Namun,
bila kita lihat dia secara komparatif dengan yang di atasnya, maka tampaklah ia
sebagai sesuatu yang kurang, buruk, dan tiada. Namun, bila kita hubungkan 9
(sembilan) dengan angka 8 (delapan), maka akan tampak jelas bagi kita semua
bahwa 9 (sembilan) sangat sempurna. Apalagi bila kita mengaitkannya dengan
7,6,5,4, dan seterusnya, maka kesempurnaannya semakin tampak dengan
nyata. Perlu dicatat, bahwa kesempurnaan angka itu selalu bersifat kuantitatif.
Untuk itulah, kita memberinya nama angka.
Marilah kita perhatikan contoh berikut ini. Andaikan ada nyamuk malaria
menggigit lengan Anda. Dokter yang Anda temui setelah kejadian itu
menyarankan Anda untuk membersihkan sarang-sarang nyamuk yang ada di
rumah Anda. Anda dianjurkan oleh si dokter untuk membasmi semua nyamuk
yang ada di rumah Anda.
"Nyamuk itu jelek, buruk, bencana, dan lainnya bagi manusia," tutur sang
dokter kepada Anda. Namun, bila ke-jadian itu kita pandang dari kacamata
filosof, maka kita tidak akan menemukan kejelekan dan keburukan sedikitpun di
da-lamnya. Jika Anda bertanya mengapa ? Maka si filosof itu
akan menjawab demikian, "Bukankah nyamuk itu adalah ciptaan yang, antara
lain, perannya di alam ini sebagai obyek makanan atau subyek pemakan ?
Kalau kita melihatnya dari sisinya sebagai subyek pemakan, maka ia telah
menyempurna-kan tugasnya dengan baik dan sempurna."
"Lengan Anda sebagai organ yang dapat digigit nyamuk pun sempurna. Karena
ia bukan besi atau aluminium atau yang semisalnya. Ketidaksempurnaan dan
kejelekan, dengan makna konvensional, pulasan dan semunya, tampak saat
kita menghubungkan yang satu kepada yang lainnya." Inilah kira-kira
tanggapan si filosof tentang kejadian tersebut.
3
Karena seluruh eksistensi itu sempurna dan baik, maka pengetahuan sebagai
salah satu kualitas eksistensial dan ontologis juga sempurna dan baik.
Allamah Majlisi dalam kitab Mir’at al-‘Uqul menyatakan bahwa ’aql (akal) secara
bahasa berarti pengikatan dan pemahaman terhadap sesuatu. Secara istilah,
akal digunakan untuk menunjukkan salah satu definisi berikut ini:
6. Dalam bahasa filsafat, akal merujuk kepada substansi azali yang tidak
bersentuhan dengan alam material, baik secara esensial (dzaty) maupun
aktual (fi’ly).
Dalam mensyarahi hadis yang sama, Mulla Shadra dengan tegas memaknai
‘aql di sini sebagai kepribadian Nabi Muhammad Saww. - dalam seluruh
martabat wujud beliau. Karena menurutnya, semua sifat yang diberikan Allah
kepada akal itu identik dengan sifat-sifat Nabi Muhammad Saww. yakni:
4
1. Dalam hadis ini digambarkan bahwa Allah mengajak akal "berbicara". Dan
ini sama halnya dengan Allah mengajak Nabi berbicara dalam perjalanan
Mikraj beliau.
2. Hadis ini menegaskan ketaatan akal kepada Allah. Ketaatan Nabi kepada
Allah itu bersifat aksiomatis.
3. Dalam hadis di atas Allah menandaskan kecintaan-Nya yang luar biasa
kepada akal. Dalil-dalil rasional dan riwa`iy (riwayat) menegaskan bahwa
Nabi adalah makhluk yang paling dicintai Allah.
4. Keimanan terhadap wujud Nabi atau kepada kenabian beliau ialah syarat
mutlak kesempurnaan tauhid. Dan kesempurnaan tauhid adalah anugerah
agung dan luas yang tidak Allah berikan kecuali kepada para kekasih-Nya.
5. Dan sifat terakhir yang tercantum di dalam hadis ini adalah bahwa kepada
akal-lah Allah menyuruh, melarang, menyiksa, dan memberi pahala. Allah
berfirman, "(Ingatlah) ketika Allah mengambil janji para nabi (yaitu), sungguh
apa yang Aku datangkan kepada kalian berupa kitab dan hikmah.
Kemudian, datanglah kepada kalian utusan yang membenarkan apa yang
ada pada kalian dan berkata, ‘Hendaklah kalian beriman kepadanya dan
menolongnya.’ Allah berkata, ‘Adakah kalian akui dan ambil janji-Ku itu!’
Mereka menjawab, ‘Kami mengakuinya.’ Berkata Allah, ‘Bersaksilah!
Sesungguhnya Aku beserta kalian akan menjadi saksi.’" (QS Ali’ Imran,
3:81). Jelas bahwa kepada Nabi Muhammad Saww. Allah memberi perintah
dan larangan dan karena beliau pulalah Allah menurunkan pahala dan siksa.
[ Mulla shadra, Syarh ushul al kafi, kitab al aql wa al jahl, hadith pertama ]
Dari sudut yang berbeda, dapat kita katakan bahwa akal adalah manifestasi
dan petunjuk internal dari keberadaan Nabi. Muhammad adalah inti wujud
segenap nabi dan senjata pamungkas kerasulan. Bagaimanapun juga,
manifestasi mesti mencerminkan obyek dasarnya. Dengan demikian, semua
ucapan, amalan, dan penegasan Nabi Muhammad Saww. pasti bersifat
rasional. Lebih jauh, Nabi Muhammad Saww. adalah kriteria rasionalitas dan
irasionalitas segala sesuatu.
Dan Alquran yang merupakan tajally yang paling sempurna dari haqiqah
muhammadiyyah (hakikat ke-Muhammad-an) dapat pula memainkan peran
yang sama. Inilah metode penggabungan sisi intelektual, rasional, dan teoretis
manusia atau masyarakat dengan sisi individual, sosial, dan praktisnya dalam
pandangan-dunia Islam. Pandangan-dunia Islam menggunakan metode ini
untuk membangun infrastruktur (rasio), struktur (masyarakat), dan suprastruktur
(pemerintahan) sosial kemasyarakatan.
Muhaqqiq al-Lahiji menulis demikian, "Akal dan ruh, sirr dan khafy, jiwa rasional
dan kalbu adalah hakikat yang sama. Namun, karena dzuhur (manifestasi) yang
terjadi pada berbagai gradasi eksistensialnya, maka mereka memiliki hukum
dan sifat yang berbeda-beda sesaui dengan tingkat eksistensialnya. Oleh
sebab itu para ulama memberikan pada masing-masingnya nama yang
berbeda-beda" [ Muhaqiq Lahiji, Syarh Gulsyan e-raz, hal 4 ]
5
Ada banyak kemungkinan makna iqbal (kemenghadapan) dan idbar
(keberpalingan). Boleh jadi, makna menghadap dan berpalingnya akal itu
bersifat hakiki dan bukan majasi. Karena banyaknya manusia yang dengan
akalnya menjadi taat kepada Allah (iqbal) dan ada pula yang tidak.
Kemungkinan ini, tentunya bertentangan dengan teori Mulla Shadra yang kami
paparkan di atas. Sebab Nabi Muhammad Saww. mustahil tidak taat kepada
Allah.
Mungkin juga makna dari menghadap dan perginya akal itu bersifat takwiny
(kreatif atau berkaitan dengan penciptaannya). Sehingga jika akal dalam
keadaan menghadap, maka ia dapat melakukan penyempurnaan, pendekatan-
diri kepada Allah, dan transendensi. Sebaliknya, kalau ia dalam keadaan
berpaling, maka ia mengalami keme-rosotan dan kehancuran maknawi. Teori ini
tidak sesuai dengan pendapat Mulla Shadra dan Allamah Thabathaba`i di atas.
Kedua kemungkinan makna ini diajukan oleh Allamah Majlisi dalam kitabnya
yang sama.
Kemungkinan lain adalah bahwa makna keduanya mengacu kepada istilah para
sufi mengenai qabdh (penyem-pitan dan penggenggaman) dan basth
(pelapangan dan pe-longgaran [dari ikatan atau genggaman]). Menurut
Qusyairi, kedua keadaan tersebut adalah maqam-maqam yang dilalui oleh para
penempuh jalan spiritual.
"Keduanya akan tampak setelah seorang hamba melewati keadaan takut dan
harap. Keadaan sempit bagi para sufi atau arif itu sama dengan keadaan takut
bagi murid. Keadaan lapang bagi arif itu sama dengan keadaan harap bagi
seorang murid," ungkap Qusyairi. [ Syaikh Qusyairi, Rasail Qusyaiyriyyah, hal
14 ]
Para sufi berpendapat bahwa kedua keadaan itu, baik bagi arif maupun murid,
selalu bergonta-ganti dalam kalbu seorang mukmin yang berjalan meniti sirath
al-mustaqim (jalan yang lurus).
Imam ‘Ali pernah berkata, "Kalbu mempunyai keadaan ingin, menghadap dan
mengungkur. Maka, datangilah kalbu ketika ia dalam keadaan ingin dan
menghadap. Karena, bila kalbu itu sudah tidak ingin, maka ia menjadi buta."