Você está na página 1de 6

1

AKAL

Imam Abu Ja’far Muhammad Al-Baqir berkata, "Ketika Allah


menciptakan akal, Dia mengajaknya berbicara. Allah berkata,
‘Menghadaplah (kepada-Ku)!’ Maka, akalpun segera menghadap.
Kemudian Allah berfirman kepadanya, ‘ Demi kebesaran dan kemuliaan-
Ku, tiada makhluk yang lebih Aku cintai daripada kamu. Dan tidak Aku
sempurnakan kamu melainkan pada orang-orang yang Aku cintai.
Kepadamulah Aku menyuruh, melarang, menyiksa, dan memberi pahala.’"

Akal adalah lawan dari jahl (kebodohan atau kejahilan). Keduanya berlawanan
dalam segala tahapnya : ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya. Meski
kejahilan mempunyai semacam eksistensi subyektif dan refleksif, tapi ia tidak
memberi efek-efek obyektif dan aktual. Seperti halnya eksistensi warna dalam
cahaya. Pada hakikatnya, warna tidak memiliki eksistensi obyektif di alam
cahaya.

Secara fisis, foton-foton atau partikel-partikel terkecil cahaya yang dipancarkan


dari suatu sumber memiliki energi yang berbeda- beda. Indera dan persepsi
kita-lah yang menafsirkan beragam energi ini sebagai warna. Warna
sebenarnya tidak eksis disamping cahaya. Akan tetapi, cahayalah satu-satunya
yang secara obyektif eksis, sedangkan warna hanya memiliki semacam
eksistensi subyektif di dunia cahaya.

Dalam bahasa filosofis, kejahilan adalah kekurangan -pada tingkat paling


abstraknya adalah ketiadaan- pengetahuan. Ia hanya bisa menunjukkan arti
kurang yang sedikitpun tidak memiliki kualitas ontologis (amr wujudy).

Kekurangan adalah ketiadaan sesuatu dan ketiadaan sesuatu itu tak lain
adalah noneksistensi, ‘adam atau nothingness.

Untuk mempermudah, saya akan berikan suatu contoh matematis di sini.


Ambillah angka sepuluh. Sepuluh dikurangi satu sama dengan sembilan.
Sembilan adalah angka yang kekurangan 1 (satu) untuk menjadi 10 (se-puluh).
Karenanya, sah kalau saya mengatakan bahwa 9 (sembilan) itu kurang 1 (satu)
dibanding 10 (sepuluh) sehingga angka satu tiada, kurang, noneksis, nonbeing,
dan lain-lain pada angka 9 (sem-bilan) -bila dibanding dengan angka 10
(sepuluh). Namun, kalau kita membandingkan angka 9 (sembilan) dengan
angka 8 (delapan), maka kita akan mendapatkan "kekayaan" yang luar biasa
pada angka 9 (sembilan) dan ke-kurangan pada angka 8 (delapan) dan
demikian seterusnya.

Kembali pada pokok persoalan kita di atas. Kejahilan itu tiada secara obyektif
karena sifatnya yang kurang tersebut. Jadi orang bodoh adalah orang yang
kurang pengetahuannya atau belum memiliki pengetahuan.

Kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kesucian, kekuatan, kemandirian, dan


lain sebagainya adalah amr wujudy (kualitas ontologis). Sebaliknya,
kekurangan, kecacatan, keburukan, kelemahan, dan lain sebagainya adalah
kualitas-kualitas yang relatif dan tiada secara obyektif. Dengan kata lain,
kesempurnaan itu manakala sesuatu itu ada, sedangkan ketiadaan adalah
sumber segala kekurangan.

Diriwayatkan, Nabi Saww. bersabda, "Kebaikan, seluruhnya milik-Mu.


Keburukan tak satupun kembali kepada-Mu." Tuhan sebagai Pemiliki segala
kebaikan -kebaikan tentu tidak dapat dipisahkan dari kesempurnaan- adalah
Tuhan Allah yang diajarkan Islam.
2
Dalam pandangan dunianya yang ditandaskan oleh Alquran dan Hadis, Islam
meyakini bahwa seluruh yang ada senantiasa baik dan sempurna. Dan Allah
disebut mahabaik karena Dia maha ada.

Oleh sebab itu, demonstrasi filosofis akan sifat-sifat sempurna (shifat


kamaliyyah) Allah dalam teologi Syiah, seperti sifat ke-mahaadilan-Nya, ke-
mahabijaksanaan-Nya, ke-mahatahuan-Nya, ke-mahakuasaan-Nya dan lain
sebagainya, diimplikasikan secara langsung dari prinsip keniscayaan
eksistensial-Nya.

Walhasil, secara umum, semua maujud atau yang ada itu baik. Setidaknya, ia
baik untuk dirinya sendiri tanpa dikait-kaitkan dengan\kepada selainnya (an
sich). Pengaitan dan penghubungan satu dengan yang lain ialah asal-usul ke-
burukan atau kejelekan di alam ini. Dengan demikian, ke- burukan dan
kejelekan itu bersifat -bahkan berwujud- secara relatif.

Lebih jauh, mengikuti paradoks kaum Sufi, ketiadaan adalah meng-hubungkan


sesuatu kepada Allah. Ketika Anda menisbatkan dan mem-bandingkan
keberadaan Anda de-ngan keberadaan Allah, maka akan menyaksikan diri
Anda tersuruk ke lubang ketiadaan. Karena sumber se-gala wujud dan
keberadaan adalah Dia semata. Kalau kita mengatakan bahwa ada ke-
beradaan di samping keberadaan Allah, maka kita telah menduakan dan
membedakan dua corak keberadaan yakni keberadaan Allah dan keberadaan
selain-Nya. Dan ini adalah syirik hakiki. Syirik hakiki adalah keyakinan akan
dualisme eksistensial dalam makna di atas.

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, 9 (sembilan) jika kita lihat sebagai dirinya
sendiri, maka tampaklah ia sebagai sesuatu yang sempurna dan baik. Namun,
bila kita lihat dia secara komparatif dengan yang di atasnya, maka tampaklah ia
sebagai sesuatu yang kurang, buruk, dan tiada. Namun, bila kita hubungkan 9
(sembilan) dengan angka 8 (delapan), maka akan tampak jelas bagi kita semua
bahwa 9 (sembilan) sangat sempurna. Apalagi bila kita mengaitkannya dengan
7,6,5,4, dan seterusnya, maka kesempurnaannya semakin tampak dengan
nyata. Perlu dicatat, bahwa kesempurnaan angka itu selalu bersifat kuantitatif.
Untuk itulah, kita memberinya nama angka.

Marilah kita perhatikan contoh berikut ini. Andaikan ada nyamuk malaria
menggigit lengan Anda. Dokter yang Anda temui setelah kejadian itu
menyarankan Anda untuk membersihkan sarang-sarang nyamuk yang ada di
rumah Anda. Anda dianjurkan oleh si dokter untuk membasmi semua nyamuk
yang ada di rumah Anda.

"Nyamuk itu jelek, buruk, bencana, dan lainnya bagi manusia," tutur sang
dokter kepada Anda. Namun, bila ke-jadian itu kita pandang dari kacamata
filosof, maka kita tidak akan menemukan kejelekan dan keburukan sedikitpun di
da-lamnya. Jika Anda bertanya mengapa ? Maka si filosof itu

akan menjawab demikian, "Bukankah nyamuk itu adalah ciptaan yang, antara
lain, perannya di alam ini sebagai obyek makanan atau subyek pemakan ?
Kalau kita melihatnya dari sisinya sebagai subyek pemakan, maka ia telah
menyempurna-kan tugasnya dengan baik dan sempurna."

"Lengan Anda sebagai organ yang dapat digigit nyamuk pun sempurna. Karena
ia bukan besi atau aluminium atau yang semisalnya. Ketidaksempurnaan dan
kejelekan, dengan makna konvensional, pulasan dan semunya, tampak saat
kita menghubungkan yang satu kepada yang lainnya." Inilah kira-kira
tanggapan si filosof tentang kejadian tersebut.
3
Karena seluruh eksistensi itu sempurna dan baik, maka pengetahuan sebagai
salah satu kualitas eksistensial dan ontologis juga sempurna dan baik.

Pernyataan "aku mengetahui sesuatu" pasti mempraanggapkan kenyataan


adanya hubungan refleksif antara pengetahuan dan eksistensi subyek yang
mengetahui. Refleksifitas adalah relasi yang mengandung pasangan (a,a,)
untuk setiap aÎ A. Kategori eksistensi dan pengetahuan yang tampak berbeda
itu, tidaklah dapat dipisahkan dalam perspektif ontologisnya. Mengetahui
adalah tingkatan tertentu dari mengada. Singkat kata, eksistensi pengetahuan
adalah hubungan subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui.

Pembahasan seputar makna kesatuan obyek dan subyek pengetahuan dalam


bahasa filsafat Islam disebut kaidah ittihad al-‘aqil wal ma’qul.

Allamah Majlisi dalam kitab Mir’at al-‘Uqul menyatakan bahwa ’aql (akal) secara
bahasa berarti pengikatan dan pemahaman terhadap sesuatu. Secara istilah,
akal digunakan untuk menunjukkan salah satu definisi berikut ini:

1. Kemampuan untuk mengetahui sesuatu.


2. Kemampuan memilah-milah antara kebaikan dan keburukan yang niscaya
juga dapat digunakan untuk mengetahui hal-ihwal yang mengakibatkannya
dan sarana-sarana yang dapat mencegah terjadinya masing-masing dari
keduanya.
3. Kemampuan dan keadaan (halah) dalam jiwa manusia yang mengajak
kepada kebaikan dan keuntungan dan menjauhi kejelekan dan kerugian.
4. Kemampuan yang bisa mengatur perkara-perkara kehidupan manusia. Jika
ia sejalan dengan hukum dan dipergunakan untuk hal-hal yang dianggap
baik oleh syariat, maka itu adalah akal budi. Namun, manakala ia menjadi
sesuatu yang mbalelo dan menentang syariat, maka ia disebut nakra` atau
syaithanah.
5. Akal juga dapat dipakai untuk menyebut tingkat kesiapan dan potensialitas
jiwa dalam menerima konsep-konsep universal.

An-nafs an-nathiqah (jiwa rasional yang dipergunakan untuk menalar) yang


membedakan manusia dari binatang lainnya.

6. Dalam bahasa filsafat, akal merujuk kepada substansi azali yang tidak
bersentuhan dengan alam material, baik secara esensial (dzaty) maupun
aktual (fi’ly).

Definisi-definisi yang dipaparkan Allamah Majlisi di atas mengandung


ketumpang-tindihan terminologis. Dengan sedikit kecermatan, kita bisa
mendapatkan persamaan makna pada tiap-tiap definisi yang diberikan.
Misalnya definisi kesatu, kedua, dan ketiga itu dapat dikatakan identik, meski
dipandang dari perspektif yang sedikit berbeda. Definisi keempat memberikan
gambaran umum tentang akal melalui bahasa syariat yang dapat dibedakan
dari definisi-definisi sebelumnya hanya dari sisi detailnya. Definisi kelima
berupaya mengembalikan makna akal sebagai suatu potensi pencerapan yang
bersifat pasif. Definisi keenam memandang akal dari sisi penalarannya yang
bersifat aktif. Dan definisi ketujuh, agak berbeda dari yang sebelumnya,
memandang akal dari perspektif ontologisnya. Namun demikian, masing-
masing definisi ini sama sekali tidak dapat dipertentangkan.

Dalam mensyarahi hadis yang sama, Mulla Shadra dengan tegas memaknai
‘aql di sini sebagai kepribadian Nabi Muhammad Saww. - dalam seluruh
martabat wujud beliau. Karena menurutnya, semua sifat yang diberikan Allah
kepada akal itu identik dengan sifat-sifat Nabi Muhammad Saww. yakni:
4
1. Dalam hadis ini digambarkan bahwa Allah mengajak akal "berbicara". Dan
ini sama halnya dengan Allah mengajak Nabi berbicara dalam perjalanan
Mikraj beliau.
2. Hadis ini menegaskan ketaatan akal kepada Allah. Ketaatan Nabi kepada
Allah itu bersifat aksiomatis.
3. Dalam hadis di atas Allah menandaskan kecintaan-Nya yang luar biasa
kepada akal. Dalil-dalil rasional dan riwa`iy (riwayat) menegaskan bahwa
Nabi adalah makhluk yang paling dicintai Allah.
4. Keimanan terhadap wujud Nabi atau kepada kenabian beliau ialah syarat
mutlak kesempurnaan tauhid. Dan kesempurnaan tauhid adalah anugerah
agung dan luas yang tidak Allah berikan kecuali kepada para kekasih-Nya.
5. Dan sifat terakhir yang tercantum di dalam hadis ini adalah bahwa kepada
akal-lah Allah menyuruh, melarang, menyiksa, dan memberi pahala. Allah
berfirman, "(Ingatlah) ketika Allah mengambil janji para nabi (yaitu), sungguh
apa yang Aku datangkan kepada kalian berupa kitab dan hikmah.
Kemudian, datanglah kepada kalian utusan yang membenarkan apa yang
ada pada kalian dan berkata, ‘Hendaklah kalian beriman kepadanya dan
menolongnya.’ Allah berkata, ‘Adakah kalian akui dan ambil janji-Ku itu!’
Mereka menjawab, ‘Kami mengakuinya.’ Berkata Allah, ‘Bersaksilah!
Sesungguhnya Aku beserta kalian akan menjadi saksi.’" (QS Ali’ Imran,
3:81). Jelas bahwa kepada Nabi Muhammad Saww. Allah memberi perintah
dan larangan dan karena beliau pulalah Allah menurunkan pahala dan siksa.
[ Mulla shadra, Syarh ushul al kafi, kitab al aql wa al jahl, hadith pertama ]

Dengan ungkapan yang agak berbeda, Allamah Thabathaba`i menarik


kesimpulan yang sama. Dalam magnum opus-nya, Al-Mizan, Allamah
Thabathaba`i menye-butkan, dengan mengutip sebuah hadis masyhur, bahwa
akal adalah sesuatu yang dengannya Allah di-sembah. Dengan kata lain, akal
adalah lentera yang dengannya seseorang dapat mengenali "Wajah" Allah. Ini
berarti bahwa peran yang dimainkan akal itu sama sekali tidak berbeda dengan
peran yang dibawa oleh Nabi [ Allamah Thabatabai, tafsir al mizan, surah al
baqarah ayat 130 ]. Dan kesimpulan ini jelas tidak berbeda dengan kesimpulan
Mulla Shadra yang mengatakan bahwa akal itu identik dengan Nabi
Muhammad Saww.

Dari sudut yang berbeda, dapat kita katakan bahwa akal adalah manifestasi
dan petunjuk internal dari keberadaan Nabi. Muhammad adalah inti wujud
segenap nabi dan senjata pamungkas kerasulan. Bagaimanapun juga,
manifestasi mesti mencerminkan obyek dasarnya. Dengan demikian, semua
ucapan, amalan, dan penegasan Nabi Muhammad Saww. pasti bersifat
rasional. Lebih jauh, Nabi Muhammad Saww. adalah kriteria rasionalitas dan
irasionalitas segala sesuatu.

Dan Alquran yang merupakan tajally yang paling sempurna dari haqiqah
muhammadiyyah (hakikat ke-Muhammad-an) dapat pula memainkan peran
yang sama. Inilah metode penggabungan sisi intelektual, rasional, dan teoretis
manusia atau masyarakat dengan sisi individual, sosial, dan praktisnya dalam
pandangan-dunia Islam. Pandangan-dunia Islam menggunakan metode ini
untuk membangun infrastruktur (rasio), struktur (masyarakat), dan suprastruktur
(pemerintahan) sosial kemasyarakatan.

Muhaqqiq al-Lahiji menulis demikian, "Akal dan ruh, sirr dan khafy, jiwa rasional
dan kalbu adalah hakikat yang sama. Namun, karena dzuhur (manifestasi) yang
terjadi pada berbagai gradasi eksistensialnya, maka mereka memiliki hukum
dan sifat yang berbeda-beda sesaui dengan tingkat eksistensialnya. Oleh
sebab itu para ulama memberikan pada masing-masingnya nama yang
berbeda-beda" [ Muhaqiq Lahiji, Syarh Gulsyan e-raz, hal 4 ]
5
Ada banyak kemungkinan makna iqbal (kemenghadapan) dan idbar
(keberpalingan). Boleh jadi, makna menghadap dan berpalingnya akal itu
bersifat hakiki dan bukan majasi. Karena banyaknya manusia yang dengan
akalnya menjadi taat kepada Allah (iqbal) dan ada pula yang tidak.
Kemungkinan ini, tentunya bertentangan dengan teori Mulla Shadra yang kami
paparkan di atas. Sebab Nabi Muhammad Saww. mustahil tidak taat kepada
Allah.

Mungkin juga makna dari menghadap dan perginya akal itu bersifat takwiny
(kreatif atau berkaitan dengan penciptaannya). Sehingga jika akal dalam
keadaan menghadap, maka ia dapat melakukan penyempurnaan, pendekatan-
diri kepada Allah, dan transendensi. Sebaliknya, kalau ia dalam keadaan
berpaling, maka ia mengalami keme-rosotan dan kehancuran maknawi. Teori ini
tidak sesuai dengan pendapat Mulla Shadra dan Allamah Thabathaba`i di atas.
Kedua kemungkinan makna ini diajukan oleh Allamah Majlisi dalam kitabnya
yang sama.

Kemungkinan lain adalah bahwa makna keduanya mengacu kepada istilah para
sufi mengenai qabdh (penyem-pitan dan penggenggaman) dan basth
(pelapangan dan pe-longgaran [dari ikatan atau genggaman]). Menurut
Qusyairi, kedua keadaan tersebut adalah maqam-maqam yang dilalui oleh para
penempuh jalan spiritual.

"Keduanya akan tampak setelah seorang hamba melewati keadaan takut dan
harap. Keadaan sempit bagi para sufi atau arif itu sama dengan keadaan takut
bagi murid. Keadaan lapang bagi arif itu sama dengan keadaan harap bagi
seorang murid," ungkap Qusyairi. [ Syaikh Qusyairi, Rasail Qusyaiyriyyah, hal
14 ]

Para sufi berpendapat bahwa kedua keadaan itu, baik bagi arif maupun murid,
selalu bergonta-ganti dalam kalbu seorang mukmin yang berjalan meniti sirath
al-mustaqim (jalan yang lurus).

Kamaluddin Abdurrazzaq Al-Kasyani menerangkan kedua keadaan ini sebagai


berikut, "Keadaan lapang pada kalbu sama dengan keadaan harap pada jiwa
manusia. Ia adalah keadaan hati yang mengisyaratkan penerimaan (qabul yang
berasal dari akar-kata yang sama dengan iqbal), kelembutan (luthf), rahmat,
dan keintiman hati dengan Allah (uns). Sebaliknya, keadaan sempit sepadan
dengan keadaan takut pada jiwa. Keadaan lapang pada sang mahabenar
adalah saat Allah melapangkan seorang hamba yang hidup secara lahir di
tengah masyarakat dan menyempitkannya dan merangkulnya untuk Diri-Nya
sendiri secara batin sebagai rahmat bagi hamba tersebut. Maqam ini
menjadikan hamba tersebut dapat mencakupi segala sesuatu, tapi tidak
dicakupi oleh sesuatu apapun (selain daripada Allah). Dia dapat mempengaruhi
segala sesautu (dengan izin Allah) dan tidak dipengaruhi oleh apapun (selain
daripada-Nya). [ Kasyani, Istilahat ash-shuffiyah, terbitan Bidar Qum-Iran, hal
37 ]

Imam ‘Ali pernah berkata, "Kalbu mempunyai keadaan ingin, menghadap dan
mengungkur. Maka, datangilah kalbu ketika ia dalam keadaan ingin dan
menghadap. Karena, bila kalbu itu sudah tidak ingin, maka ia menjadi buta."

Seyogyanya, seorang bertanya tentang bagaimana korelasi antara akal dalam


pembahasan ini dan keadaan-keadaan kalbu yang saya sebutkan. Untuk
menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengembalikan perhatian Anda kepada
premis yang saya nukil dari seorang filosof agung di atas, Muhaqqiq Lahiji.
Dalam bukunya tersebut, dia membawakan pembuktian filosofis dan
demonstratif akan korelasi antara akal dan kalbu. Bahkan, lebih jauh, Lahiji
mengemukakan dalil-dalil tentang kesatuan keduanya.
6
Musa al-Kadzhim

Diterbitkan oleh : Lembaga Pendidikan Yayasan Pelita Zaman Kolaka ;


Jalan Pendidikan No. 10 Kolaka

Você também pode gostar