Você está na página 1de 11

Ada Cahaya di Hatimu

Senja telah datang, dengan solekan siluetnya yang menyapu langit biru.
Angin sore berhembus tenang menerpa dedaunan yang berayun di pucuk-pucuk
dahan. Menimbulkan desir ritmis yang menyapa kalbu, meniupkan aroma ketenangan
yang merasuk jiwa. Kursi taman yang sedikit berkarat karena terkena hujan dan panas
yang tak menentu, kini menjadi tempat bersandar untukku. Tempat di mana kini aku
duduk untuk merehatkan sejenak persendianku yang tengah ngilu karena seharian
berkutat dengan tugas-tugas yang tak kunjung terselesaikan. Jangan mengira aku kini
berada di sebuah taman indah yang tertata rapi di tengah kota, dengan sarana hotspot
yang membuat para remaja sibuk dengan laptop mereka, dengan kursi taman yang
megah dan tatanan kembang yang menawan menjajari setapak jalannya, atau mungkin
tempat yang ramai dan heboh di kunjungi para remaja yang tengah memadu “cinta
abu-abu”nya. Bukan, aku tidak berada di sana saat ini. Aku berada di sebuah tempat
yang jarang terjamah mereka, tempat yang mana setiap saat aku kunjungi tak pernah
aku melihat aktivitas berbaku syahwat bertebaran di tiap sudutnya. Ya, aku berada di
sebuah taman kecil dekat masjid yang tak jauh dari sekolahku. Taman yang tertutup
oleh ilalang dan hanya bunga liar yang tampak menghiasi rumput-rumput yang tak
lagi terawat.
Peluh merembes dari pori tubuhku, menetes membasahi jilbab putih yang
kini tengah kukenakan. Mataku kembali tertuju pada layar laptop yang kini tengah
berada di pangkuanku, laptop yang menyimpan sejarah tentangku, yang kubeli dengan
uang hasil kerjaku sebagai penulis lepas. Aku sudah menjalani ini sejak lama,
tentunya semenjak keluargaku mengalami perosotan dalam konteks ekonomi. Tak
pernah terpikir sebelumnya, aku mampu menuangkan kata demi kata menjadi
rangkaian sederhana dalam lembaran masa. Semua berawal dari cerita hati yang
mengalir begitu saja, mengenai suka dan duka dalam menyusuri lorong kehidupan
yang entah kapan akan berujung.
“Duhai senja, izinkan aku untuk bersandar di kolong langitmu. Izinkan aku
untuk menerka seperti apa rupamu. Aku ingin temukan keberadaanku, ingin ku
temukan arahku. Jika mentari senja telah menghilang, mereka berkata: banyak
permata yang menuntun kita melangkah. Namun aku tak pernah merasakan, permata
yang mereka katakan menuntunku dalam kesendirian ini. Aku hanya terjatuh, dan
kembali terjatuh. Bahkan aku tak pernah mengetahui kapan senja berakhir.”
Aku melihat seorang anak lelaki dengan tubuhnya yang kecil dan kurus
duduk bersandar di sebuah pohon mangga yang tak lagi berbuah, tengah
bersenandung dengan kata-katanya yang indah.
“Jika permata itu tak mampu menuntunmu, maka carilah yang mampu
menuntunmu. Ia yang lebih dari sekadar bintang bahkan mentari. Ia yang memiliki
cahaya paling terang, di antara cahaya terang yang kau dapati!” Ujar ku seraya
melangkah ke arahnya, sedikit menjaga jarak.
Ia tak memandangku, ia terus memandang ke depan. Senyum kecilnya
tersungging, senyum kanak-kanak yang penuh harapan.
“Aku tak pernah mendapati cahaya terang. Yang kutemukan hanyalah
kegelapan.” Ujarnya, ia menatap dengan tatapan kosong.
Aku sedikit menilik wajahnya, wajah yang polos ke kanak-kanakkan.
Entah mengapa bocah cilik itu pandai memainkan kata menjadi rangkaian kata indah
sarat makna. Mata beningnya memandang lurus kedepan, tatapan tanpa arah dan
tujuan. Aku masih terdiam.
“Kau siapa?” Tanya bocah itu. Ia masih tak memandangku, membuatku
merasa tak di hargai di depannya. Tapi ada sesuatu yang menarik dari dirinya, yang
membuatku enggan pergi dari tempatku. Sesuatu yang menggelitik hati, tentang
ucapannya yang puitis di usianya yang mungkin jauh lebih muda dariku.
“Lia. Niki Arzalia. Kamu?”
Bocah itu terdiam, kemudian tersenyum pahit. “Pentingkah untukmu
mengetahuinya?” Ujarnya dengan bahasanya yang dewasa, tak cocok dengan
pawakan dan wajahnya yang kekanak-kanakkan.
“Siapa namamu? Sepertinya, usia mu jauh lebih muda dariku?”
Ia masih terdiam, tangannya memegang tongkat kayu dengan erat. Masih
tak memandangku.
“Kenapa? Kau terkejut dan menganggap ku gila dengan bahasa yang ku
gunakan?” Ujarnya dengan senyuman yang mengambang.
“Syairmu sungguh puitis, aku menyukainya.”
Dia tertawa kecil, “Syair? Syair kau bilang? Aku tak pernah
menganggapnya sebagai syair atau puisi. Itu hanyalah ucapan gila yang terlontar dari
lidah seorang cacat sepertiku.”
Aku tertegun, berusaha mencerna apa yang ia katakan.
“Aku buta. Semua orang menganggap aku bocah gila. Bocah berumur dua
belas tahun dengan ucapannya yang aneh.” Ia tertawa, “Entah sampai kapan, aku bisa
bertahan dengan keanehan ini. Aku tak seperti yang lain. Mungkin kau
merasakannya!” Ujarnya seraya berbalik pergi. Langkahnya tertatih, tongkatnya ia
gunakan untuk membantu jalannya. Aku terpaku di tempatku berdiri. Bocah yang
empat tahun lebih muda dariku, dengan kata-katanya yang dewasa, cuek, dan puitis.
Entah siapa Ia, aku tak mengerti.
Gerimis berderai, tetesnya membasahi dedaunan kering yang berdebu. Di
balik tirai jendela kamar, aku menikmati sisa senja yang perlahan mulai menghilang,
menghilang dan menampilkan berkas hitam di cakrawala. Malam akan menjelang,
mungkin tanpa bintang dan rembulan. Bocah itu kembali bermain di celah pikiranku,
memainkan bayang-bayang semu yang tak pernah ada kepastian. Ucapannya kembali
terngiang di telingaku, “Semua orang menganggap aku bocah gila. Bocah berumur
dua belas tahun dengan ucapannya yang aneh. Entah sampai kapan, aku bisa bertahan
dengan keanehan ini. Aku tak seperti yang lain. Mungkin kau merasakannya!”
Ya, dia memang tak seperti yang lain. Dengan penampilan dan wajahnya
yang kekanak-kanakkan, ia terlihat dewasa dengan ucapannya. Ucapannya selalu
penuh teka-teki. Dan puisi itu, bahkan ia tak menganggapnya puisi. Apakah itu
memang tanpa sadar ia ucap? Tanpa kesadaran ia ucapkan itu, tanpa kesadaran bahwa
itulah ragam bahasanya. Bahasanya yang tak pernah sederhana. Ah, aku tak tahu!
Hari Minggu yang cerah. Sinar mentari begitu hangat, terasa lembut
menusuk jiwa. Usai membantu Ummi membereskan rumah, aku berniat pergi menuju
taman itu. Ingin ku dapati kesegaran dalam pikiranku, agar dengan mudah aku bisa
menyelesaikan cerpenku yang masih tertunda.
Angin yang sejuk membelai jilbab merah mudaku. Aku merasakan
kesejukan yang luar biasa hari ini, tentunya setelah melaksanakan shalat duha di
masjid dekat taman. Perlahan mulai ku rangkai apa yang kini tengah ada dalam
benakku, menuangkannya pada sebuah tulisan fiksi yang akan ku kirimkan ke sebuah
majalah remaja islami.
Sudah dua setengah jam aku mengadu mata dengan monitor,
menyelesaikan tulisanku hingga usai. Ku putuskan untuk berjalan ke sekeliling taman,
mencari kesegaran untuk merefresh kembali otakku. Kembali mataku menangkap
bayang seorang anak yang tengah duduk di balik semak. Seorang anak yang ku temui
di taman kemarin sore, entah apa yang kini tengah ia lakukan. Baru sejenak aku
memutuskan untuk menghampirinya, langkahku kembali terhenti begitu melihat
sekumpulan bocah yang berlari menghampirinya.
“Eh! Sedang apa kau disini? Mencari uang untuk mengobati matamu yang
buta itu ya?” Ujar salah satu dari mereka, yang lain tertawa.
“Mana mungkin bisa terobati? Mencari uang saja dia tidak bisa, hahaha!”
Bocah itu masih terdiam, menunduk tak menentang. Aku masih terdiam di
tempat, tak mampu melangkahkan kaki ke arahnya.
“Iya, dia kan tidak bisa melihat cahaya! Semuanya gelap! Sama dengan
masa depannya yang gelap! Hahahaha”
Menyakitkan, sungguh menyakitkan. Namun aku tak mengerti, mengapa
aku tak mampu untuk sekedar membelanya. Bibirku seakan terkatup, tak mampu
berbicara.
“Aku bisa menemukan cahaya itu! Aku bisa!” Ujar Bocah itu, suaranya
sedikit meninggi.
“Mana? Cahaya seperti apa yang kau lihat Berkhayal kamu! Hahha”
“Ada, cahaya yang lebih dari sekedar bintang bahkan mentari. Cahaya
yang mampu menuntunku, dan ia ada di hatiku!”
Aku tertegun mendengar ucapannya. Ucapannya yang sama dengan
ucapanku padanya sore itu. Aku terharu, ia masih mengingatnya, ia betul-betul
mencernanya.
“Dengar teman-teman. Kata-kata gilanya muncul. Hahahaha. Menuntunmu
kemana? Kau sendiri tak punya kemampuan untuk menentukan masa depanmu?
Kamu ini cacat! Tidak bisa bermain bola, playstation, bahkan bekerja! Teruskan saja
angan-anganmu! Dasar kau buta! Hahaha”
Bocah-bocah nakal tu berlari pergi, salah satu di antaranya mendorong
anak itu hingga terjatuh. Spontan aku langsung menghampirinya. Aku melihat
matanya yang bening basah, mungkin ia menahan tangis.
“Kamu tidak apa-apa?” Tanya ku sambil memperhatikan badannya, takut
jika ada yang terluka.
“Kenapa kamu kembali datang? Untuk mencerca ku? Sama seperti teman-
temanku yang lain?” Ujarnya. Ia menunduk.
Aku menggeleng, sebuah sikap yang tak mungkin tertangkap di matanya.
“Aku kemari untuk menghiburmu.”
Ia masih terdiam, tak bersuara. Aku tak beranjak pergi, masih disana
menemaninya.
“Apa yang kamu lakukan takkan mampu mengobati ke cacatanku. Aku
buta, tak memiliki masa depan. Bahkan membahagiakan Abah dan Emak pun aku tak
mampu! Benar kata teman-temanku, aku tak memiliki kelebihan apapun”
“Kamu pasti mampu. Kamu memiliki kelebihan yang tak mereka punyai.
Kelebihan itu ada di hatimu.”
“Inikah caramu menghiburku?”
Aku menghela nafas, membiarkan angin yang berhembus membantuku
untuk berbicara. “Kau tahu? Kau memiliki kelebihan yang tak kau sadari. Kelebihan
yang menurutmu aneh dan gila. Tentang kemampuanmu merangkai bait-bait indah,
kau bisa menjadi penulis! Penulis terkenal dengan karyanya yang mengagumkan!”
Anak itu masih terdiam seperti memikirkan sesuatu. Aku memetik
beberapa bunga liar dan memainkannya, menunggu anak itu berbicara.
“Mereka bilang itu aneh. Kata-kata gila yang tak tercerna! Mereka
menganggapku rendah” Ujarnya.
“Karena mereka tak tahu, mereka tak bisa memahami. Karenanya, kamu
harus membuktikan pada mereka, bahwa kamu bisa, dan kamu tidak aneh seperti yang
mereka katakan! Kamu harus semangat!”
“Kenapa kamu memahamiku? Kenapa kau tak menghujatku?”
“Karena aku ingin kamu menjadi temanku, temanku yang semangat dan
tak pernah mengenal lelah!”
“Teman?”
“Iya teman. Kamu mau menjadi temanku? Dan berjanji akan terus
bersemangat menjalani hidup?”
Anak itu tersenyum, senyum kekanakkan yang lembut. Tak pernah aku
melihatnya segembira ini.
“Abah dan Emak memanggilku Ijal, kamu bisa memanggilku demikian”
Ujarnya dan berjalan pergi. Tapi kemudian langkahnya terhenti, ia bertanya dengan
suara kecilnya..
“Kalau kau temanku, tentu kau mau menunjukan apa cahaya yang sering
kau sebut-sebut?”
“Dia ada di dekatmu, selalu mengawasi dan menemanimu. Dialah Tuhan-
mu.”
Anak itu terdiam, menekan dadanya. Kemudian tersenyum, “Aku
menemukannya!” Teriaknya lantang.
Hari demi hari, seakan terwarnai dengan kehadiran anak itu. Dengan
tawanya yang jernih khas anak-anak, aku memperoleh banyak ide darinya. Setiap sore
datang, aku selalu mengunjunginya di taman ataupun di rumahnya. Rumah kecil dari
bilah bambu yang berdiri tak jauh dari taman. Aku senang berkunjung ke sana,
sekedar untuk bercerita dengan Abah dan Emak, ataupun membantu Ijal menulis
karyanya. Bahkan adiknya, Tia juga dekat denganku. Selalu mengajakku bermain,
atau membantunya belajar. Mereka seolah menjadi keluarga kedua bagiku. Dan tak
hanya aku, Abi dan Ummi-pun kadang berkunjung kesana. Sebuah kekerabatan yang
hangat, yang tak pernah terduga sebelumnya.
“Mungkin nanti sampai selesai ujian, aku gak bisa kesini lagi. Aku harus
serius belajar, karena ujian sudah dekat. Kamu belajar sendiri ya?” Ujarku pelan.
Ijal mengangguk, “Iya, aku mengerti.”
“Oh iya, kapan pengumuman lombanya?”
“Lusa.”
“Kalau begitu, besok saat aku datang kemari bawakan aku piala
kemenanganmu ya? Aku tunggu!”
Ijal mengangguk dengan senyumnya yang khas, senyum ke kanak-
kanakkan yang sangat lucu. Hari itu adalah hari terakhir aku berkunjung ke rumahnya.
Selanjutnya aku serius dengan bimbingan belajar yang aku ikuti. Aku ingin
memberikan yang terbaik untuk Abi dan Umi.
Tiga hari sebelum ujian berlangsung, kepalaku mendadak sakit yang begitu
hebat. Jika pusing biasa, tak akan sesakit ini. Ummi begitu khawatir melihat
keadaanku, segera ia membawaku ke rumah sakit. Hasilnya sangat memilukan, sangat
mengejutkan, bahkan aku tak pernah menduga sebelumnya. Ada tumor di otakku dan
harus segera di angkat sebelum menjadi parah.
Aku menggeleng, “Lia mohon Ummi, Abi, tunggu sampai Lia selesai
ujian!”
“Jangan Lia. Nanti akan semakin parah, Ummi dan Abi masih punya
simpanan untuk operasimu!”
“Tidak Ummi. Lia yakin, akan kuat sampai nanti! Lia mohon! Ummi, Abi,
percaya Lia kan?”
Ku lihat mereka menangis, aku segera memalingkan muka. Aku harus
berjuang, setidaknya sampai ujian selesai. Aku tak ingin mengacaukan semuanya. Aku
tak ingin mengecewakan Abi dan Ummi, Aku harus memberikan yang terbaik.
Perjuanganku selama tiga tahun ini, tak boleh terbuang begitu saja. Aku sudah di
terima di salah satu universitas negeri melalui PMDK, juga mendapatkan beasiswa di
sana. Kini tinggal selangkah untuk membahagiakan kedua orang tuaku, aku tak mau
melewatkannya. Mereka pernah berkata, ingin melihatku masuk di universitas yang
mereka inginkan. Dan aku tak akan mengecewakan mereka hanya karena penyakitku
ini.Tidak.
Soal-soal ujian terakhir tengah ku hadapi, ku coba untuk bergelut dengan
rasa sakitku. Senyuman Ummi dan Abi melayang dibenakku, tentang Ijal yang
berjanji akan menunjukan piala kemenangannya setelah ujian usai. Aku tak boleh
menyerah, aku harus berjuang. Ku rasakan kepeningan yang luar biasa, pandanganku
mengabur. Aku terjatuh, setelah aku berhasil menjawab nomor terakhir.
Samar ku dengar, suara Ummi dan Abi melantunkan ayat suci alqur’an. Ku
coba perlahan membuka mataku. Tertangkap bayangan Abi dan Ummi bersimpuh
membaca Al-Qur’an. Sosok wanita yang ku kenal duduk di sebelahku, tak salah ia
Amah Niar. Mata mereka sembab, aku tak mengerti. Ku rasakan, selang infuse
menancap di tanganku, ada selang oksigen yang membantu pernafasanku. Ku coba
untuk mengeluarkan sepatah kata, ku ingin menyapa mereka.
“Ummi…Abi…Amah!”
Ku lihat Amah Niar sedikit terkejut, ada raut kegembiraan begitu
melihatku. Begitu juga dengan Abi dan Ummi, mereka langsung merangkulku.
“Alhamdulillah, Lia telah sadar?”
“Ada apa ini, Ummi?”
“Lia masih ingat, Lia jatuh pingsan setelah mengerjakan soal ujian
terakhir?”
Aku mencoba mengingatnya, bayangan itu kini hadir di benakku. Aku
mengangguk.
“Setelah itu Lia dibawa di rumah sakit. Setelah di operasi Lia mengalami
koma berkepanjangan!”
“Seberapa lama Ummi?’
“Satu bulan. Awalnya dokter menyerah, karena tak sanggup lagi. Ummi
hampir saja putus asa, kalau Abi-mu ini tidak menabahkan Ummi. Ummi terus
berdo’a akan kesembuhanmu. Dan sekarang, Ummi begitu bahagia bisa bersamamu
lagi!” Ujar Ummi sambil menangis. Mataku memerah.
Seminggu setelah itu, aku keluar dari rumah sakit. Aku, Ummi, dan Abi
untuk sementara tinggal di Semarang, di rumah Amah Niar. Pengobatanku yang mahal
membuat Abi menjual rumah, dan kini Abi tengah bekerja sebagai pelatih inkai di
salah satu universitas tempat Ami Ario-suami Amah Niar- bekerja sebagai dosen.
Sedangkan Ummi, bersama Amah Niar membangun bisnis catering dan sebuah butik.
Aku bangga dengan mereka, mampu setabah itu menghadapi ujian yang datang. Dan
aku, aku lulus dengan nilai yang baik, dan kini aku akan segera berkuliah dengan
beasiswa yang aku dapat. Hingga nanti aku lulus dan bekerja, serta Abi dan Ummi
memiliki uang untuk kembali ke Tegal dan membangun rumah kembali, mungkin
kami akan tetap disini. Namun ada satu yang mengganjal pikiranku, tentang Ijal, entah
seperti apa keadaannya kini aku tak mengerti. Aku merasa berasalah padanya karena
telah mengingkari janjiku untuk bertemu dengannya usai ujian sekolah. Ah Ijal..
maafkan aku!
Delapan tahun sudah aku berada di Semarang. Aku telah lulus sebagai
lulusan terbaik, dan kini aku tengah bekerja sebagai asisten manager di salah satu
majalah islami terkenal. Rencananya lusa, aku beserta Ummi dan Abi akan pulang ke
Tegal. Aku akan melepas jabatanku itu. Dan kembali ke Tegal untuk membuka sebuah
tempat pelatihan kepenulisan di sana.
Sebelumnya, aku pergi ke toko buku. Aku ingin membelikan buku untuk
Ijal sebagai permintaan maafku. Meski aku tahu mungkin Ijal tak mampu
membacanya, tapi Ijal memiliki adik yang sangat pintar, dan Tia pasti bisa
membacakan buku itu untuknya. Mataku terpaku pada sebuah buku berwarna kuning
cerah, berjudul “Ada Cahaya di Hatimu”, karya Muhammad Rizal Adhi Pratama.
“Lia! Sudah hampir pukul dua belas! Cepat, nanti kita ketinggalan kereta!”
Ummi mengingatkan.
Tanpa ku baca lebih dalam tentang buku itu, segera ku meminta pelayan
toko untuk membungkusnya rapi. Kemudian segera ku berlari menyusul Ummi dan
Abi. Kami pulang dengan kereta. Perasaanku tak karuan, tak sabar untuk bertemu Ijal.
Bocah kecil yang mungkin sekarang tak kecil lagi. Aku akan meminta maaf padanya.
Langit senja berwarna kemerah-merahan, dedaunan kering di tapak jalan
menuju rumah Ijal berterbangan tertiup angin. Rumah bambu kecil dengan pohon
mangga di depannya, aku masih ingat betul. Segera aku mengetuk pintu rumahnya,
namun tak ada jawaban. Seorang Ibu tua di rumah sebelah ke luar menghampiriku.
“Mereka sudah pindah, entah kemana!” Ujarnya dengan suara parau.
Aku hanya bisa terpaku. Kemana Ijal? Bahkan aku belum sempat
mengucap maaf, ia telah pergi. Ada selaksa kerinduan yang terbersit di hatiku. Ku
putuskan untuk datang ke taman tempatku betemu Ijal. Aku ingin mengenang masa-
masa remajaku, bersama bocah kecil sok puitis disana. Ah Ijal, dimana engkau
sekarang?
Taman itu masih sama seperti dulu, dengan rumputnya yang liar dan kursi
taman berkarat yang ada di tengahnya. Aku duduk disana, menggenggam kado
kecilku untuk Ijal dengan pilu. Sesaat mataku tertuju pada botol kaca di samping
kursi, berpita pink yang sudah luntur terkena hujan dan panas. Aku meraihnya, ada
sebuah kertas di dalamnya. Aku membacanya…
Kamu begitu jahat meninggalkanku begitu saja…Kamu berjanji untuk
menemuiku usai ujian sekolah? Tapi kau tak kunjung datang…Kau tau? Pada hari itu
aku menunggumu… hujan dan panas tak ku hiraukan. Pada hari itu aku
membawakan piala besar untuk kau lihat. Aku memenangkannya Lia!! Tapi kau tak
kunjung menyapa ku…Setiap hari, aku selalu kemari… berharap aku bisa mendengar
celotehanmu itu,namun nihil…Dan setiap hari pula disini aku dijahili anak-anak
nakal itu… tapi kau tak datang untuk membelaku kembali… Ah... mungkinkah kamu
melupakan aku? Seorang buta yang tengah belajar untuk menemukan cahaya di
hidupku…Ya sudalah… bukankah kau katakan dulu, kalau seorang ikhwan tak boleh
cengeng? Aku akan belajar itu Lia…Tulisan ini, Tia yang menulis…Dia sering
merengek-rengek minta bertemu denganmu…Begitu juga dengan Abah dan Emak,
mereka rindu padamu. Lalu aku? Sudahlah, tak perlu di bahas… kerinduanku
padamu tak akan bernilai, karena aku-pun takkan pernah mendengar suaramu lagi,
dan mungkin kau takkan pernah merindukaku. Tapi satu yang harus kau tau, aku
akan slalu mendoakanmu di setiap sujudku. (Ijal, Tia, Emak, dan Abah)
Air mata membasahi pipiku, aku telah membuat anak itu khawatir…
bahkan mungkin mengecewakannya. Rasa bersalahku tertumpah begitu saja disana,
aku tak sanggup menahan air mataku. Dari dulu aku memang bukanlah akhwat
tangguh yang mampu memendam luka dan tangis dalam hati… Dan kini, entah kapan
aku bisa bertemu dengan bocah itu lagi.
“Kenapa menangis?”
Suara seorang pria menyapa telingaku. Segera ku hapus air mataku.
Seorang pria tinggi kekar dengan dadanya yang bidang, wajahnya teduh, matanya
bening. Pria yang memiliki jenggot tipis di dagunya, ia yang berkacamata, aku tak
mengenalnya.
“Apa ini?” Pria itu mengambil paksa kado yang tengah aku pegang. Kado
untuk Ijal yang mungkin takkan pernah tersampaikan.
“Jangan. Itu untuk temanku!” Sebisa mungkin aku merebutnya. Namun ia
jauh lebih tinggi dari ku. Aku tak mampu meraihnya. Perlahan ia membuka kado itu,
kemudian tersenyum.
“Siapa kamu? Tak sopan caramu seperti itu. Bahkan aku tak
mengenalmu!”
Pria itu menyerahkan novel itu padaku, “Perhatikan isinya, maka kau akan
mengenalku!” Ujarnya seraya berbalik pergi.
Aku membuka novel best seller itu dengan penasaran, ada sebuah tulisan
yang mencengangkan, aku baca di sana.
Novel ini terinspirasi, dari seorang wanita yang tak pernah ku raba
wajahnya. Wanita yang mengajarkanku untuk mencari cahaya di hatiku hingga aku
menemukannya. Wanita yang membuatku tersadar akan potensi yang aku miliki. Dan
wanita yang tanpa sadar, telah membuatku melihat dunia luas! Karena karya-karya
yang telah ku terbitkan dan mereka mengetahui keadaan fisik ku, aku telah menerima
donor mata, dan kini aku bisa melihat. Melihat gambaran indah yang Allah ciptakan.
(Kau tau nama panjangku? Ya, Muhammad Rizal Adhi Pratama.)
Segera ku berlari menghampiri pria itu. Bukan, bukan pria. Tapi bocah itu,
bocah nakal yang sok dewasa. Aku ingin meminta kejelasan darinya. Ya, Ijal.. Dialah
Ijal. Ia tengah berdiri di samping mobil hitamnya. Ia yang tengah tersenyum,
memandang lurus ke depan.
“Ijal?” Sapaku lembut.
“Ku kira kau takkan kembali kesini, dan melupakan semuanya!”
Aku terdiam, mengumpulkan keberanian untuk bicara, “ Maafkan aku,
bukan maksudku untuk meninggalkanmu begitu saja, tapi…”
“Sudahlah, aku mengerti bahwa bocah sepertiku dulu memang tiada-lah
penting bagimu. Tapi terimakasih, karenamu aku mampu menemukan cahaya itu!”
Ujarnya seraya membuka pintu mobilnya. Aku tak bisa membiarkannya pergi begitu
saja, pergi dengan membawa dugaan buruk tentangku. Aku tak mau. Segera aku
menahan pintu mobilnya. Mengungkapkan semuanya.
“Kau tahu? Tiga hari menjelang ujian aku sakit. Aku sakit parah. Ada
tumor ada otakku. Saat itu aku menolak untuk dioperasi. Aku mencoba bertahan
selama ujian berlangsung. Saat hari terakhir, sakitku semakin menjadi. Namun aku
teringat janjiku untuk bertemu denganmu, itu yang membuatku semangat untuk tetap
bertahan. Dan saat terakhir, saat semua soal telah ku kerjakan, aku tak sadarkan diri.
Ummi bercerita, aku koma selama satu bulan! Rumah dijual untuk membiayai
perawatanku di Semarang. Setelah sembuh aku tinggal di rumah Amah Niar dan…”
“Baru sekarang kau bisa kemari?” Lanjutnya.
Aku menangis, “Aku mencarimu, dan setelah mengetahui kau tiada,
aku….”
“Cukup Lia.. cukup… Maafkan aku telah berburuk sangka padamu!”
Ujarnya lembut. Aku makin tersedu. “Sudahlah jangan menangis, kau terlihat jelek
jika begitu!”
“Mengapa kau mengenaliku? Dan mengapa kau masih menungguku?”
Ujarku dengan suara sedikt meninggi karena kesal padanya.
“Sejak dulu, aku mengenali suaramu, mengenali getaran itu. Entah apa itu
aku tak tahu. Aku masih menunggumu, karena di hatiku yang terdalam aku tahu…
bahwa kaulah wanita yang tercipta dari sebagian ruh dan tulang rusukku. Aku masih
menunggumu, untuk mengucap Ana ukhibuki fillah ya ukhti… Maukah kau
menyempurnakan sebagian dien-Nya dengan ku? Sudikah kamu menerimaku sebagai
imam mu, untuk selamanya?”
Saat itu, aku merasakan sesak di dadaku. Bukan karena sakit, tapi karena
bahagia. Seperti itukah Allah mempertemukan ku dengan jodoh ku? Mempertemukan
ku dengan cara-Nya… cara-Nya yang indah dan tak pernah terduga. Langit senja
mulai menghitam, ada selaksa kebahagiaan dalam hatiku saat ini. Aku duduk di dalam
mobil Rizal, tentu bersama Abah, Emak, dan Tia. Rupanya mereka ada di dalam mobil
saat aku berada di taman senja tadi. Dan akan melamarku secara resmi di depan Abi
dan Ummi. Aku akan beristikharah, untuk memantapkan keyakinanku. Dan lagi….
Aku melihat dua orang remaja di sudut jalan, tengah memadu “cinta abu-abu”- nya
dengan berangkulan mesra. Ah, andai mereka tau, bahwa bukan seperti itu cara
mendapatkan kekasih hati.
Dan seandainya mereka tahu dan mau mencari… bahwa ada cahaya di
hatinya, yang akan membimbingnya menuju kebahagiaan sejati. Kebahagiaan dari
Sang Pemilik Cinta Abadi… Allah Ya Rabbul Izzaty. Begitulah kata-kata yang tertulis
di akhir cerita ADA CAHAYA di HATIMU. (TRIFANY ARLITA_XI IA 1)

Você também pode gostar