Você está na página 1de 6

PEMBAHASAN

Relasi Allah dan Manusia :

Relasi antara Tuhandan manusia, menurut Toshihiko Izutsu, terdiri dari empat
tipe, yaitu : relasi ontologi, relasi komunikatif, relasi Tuhan-hamba, dan relasi
etik.

1. Relasi Ontologi

Sala satu pertanyaan dasar dan selalu mengusik pikiran manusia dalam
weltanshauung religiud dan filosofis adalah eksistensi manusia. Pertanyaan
abadi dan berulang-ulang adalah : “ dari mana manusia berasal ? Apa sumber
wujudnya di dunia ini ?” menurut konsepsi Al-Qur’an, Allah adalah pencipta
manusia. Dialah sumber wujud yang menganugrahkan eksistensi kepada
manusia. Jadi seara ontologi, relasi antara Allah dan manusia adalah relasi
antara sang pencipta (Khaliq) dan di ciptakan (makhluq).

Manusia bukanlah satu-satunya ciptaan Allah. Dalam Al-Qur’an juga di


tegaskan bahwa Allah adalah pencipta alam semesta : mulai dari malaikat,
jin, langit dan bumi, matahari, bulan, siang dan malam, gunung dan sungai,
pohon-pohon, buah-buahan, biji-bijian, daun-daunan, hingga semua jenis
binatang, dan bahkan segala yang ada di alam semesta ini yang tidak dapat di
sebut saut persatu. Oleh karena itu kata khalq, Khalik, bari, dan sebagainya
dalam al-Qur’an selalu dikaitkan dengan Allah.

Konsep Allah sebagai pencipta alam semesta secara umum sudah dikenal
pleh masyarakat Arab pra-Islam. Meskipun ada Juga beberapa orang
penyembah berhala, sebagaimana dilansir oleh ayat Al-Qur’an, yang
menghubungkan kekuatan penciptaan dengan berhala-berhala, namun pada
umumnya, orang-orang Arab pagan itu menisbatkan segala bentuk aktivitas
penciptaan kepada Allah, Tuhan yang maha Tinggi. Toshihiko Izutsu
membuktikan hal ini dengan adanya syair-syair Arab pra-Islam, misalnya
karya Antarah yang menghubungkan penciptaan burung dan penciptaan sega
sesuatu dengan Tuhan. Bahkan dalam karya penyair serdadu terkenal, Baith
Ibn Suraim al-Yashkuri, konsepsi tentang Allah sebagai Dzat yang telah
meninggikan langit dan bulan di sana sudah dikenal.

Meskipunmasyarakat Arab pra-Islam sudah mengenal konsep penciptaan


Allah, akan tetapi konsep ini hampir-hampir tidak memiliki pengaruh
terhadap pola pikir mereka. Artinya, mereka dapat hidup dengan nyaman
tanpa menaruh perhatian sama sekali terhadap asal-usul eksistensinya
sendiri. Dalam sistem jahiliyah, aktivitas kreatif Allah adalah awal sekaligus
akhir intervensi-Nya dalam urusan manusia. Dia tidak menaruh perhatian
terhadap mahluk ciptaan-Nya. Manusia, sesudah proses penciptaan selesai,
dikuasai oleh wujud lain yang disebut dahr selalu sama, ia merupakan tiran
yang tidak memiliki belas kasih dan berdarah dingin. Dahr ini, menurut
Helmer Ringgren, melahirkan sifat fatalism bagi orang Arab.

Pandangan ini sejalan dengan W. Montgomery Watt, yang menyatakan


bahwa menurut orang Arab, keuntungan dan kegagalan dalam usaha mereka
sehari-hari semata-mata disebabkan oleh Dart tersebut. Dart bagi orang Arab
dipandang sebagai penentu nasib mereka. Dalam hubungannya dengan Q.S.
al-Jatsiyah (45):24 yang menyebutkan tentang dahr, W. Montgomery Watt
berpendapat bahwa dalam ayat tersebut menunjukan sikap sebagai orang
Arab yang tidak percaya terhadap kekuasaaan Tuhan yang menghidupkan
dan mematikan, yang mematikan manusia bukan Tuhan, tetapi dahr tersebut.
Kehidupan menurut mereka hanya di dunia saja. Mereka tidak percaya
adanya kehidupan di akhirat. Kenungkinan akan di bangkitkanya manusia
dalam kehidupan mendatang sama sekali konsep asing dan berada di luar
benak orang Arab. Interpretasi ayat tersebut menurut W. Montgomery Watt
adalah bagi orang Ara peristiwa-peristiwa alam bukan ditentukan oleh
kekuasaan Tuhan, tetapi oleh darh. Oleh karena itu, setela kedatangan Islam
banyak ayat al-Qur’an yang membantah kepercayaan tersebut menempatkan
Tuhan yang berkuasa dan menentukan hidup dan kematian manusia. Dengan
demikian, orang arab menerima fakta alami yang terjadi tanpa mengaitkan
dengan Allah ataupun kekuatan dewi-dewi.

Sikap orang-orang Arab pra- al-Qur’an yang tidak menaruh perhatian


sama sekali terhadap asal-usul eksistensinya sendiri bertentangan dengan
ajaran al-Qur’an. Menurut al-Qur’an, seorang Muslim harus selalu
menyadari eksistensinya sebagai mahluk. Tanpa adanya kesadaran tersebut,
sesorang akan tidak dapat dikatakan muslim karena ia telah jatuh ke dalam
dosa besar, yaitu kesombongan. Menurut sistem Islam, penciptaan Allah
menandai awal kekuasaan-Nya terhadap segala sesuatu yang diciptakan.
Urusan-urusan manusia semuanya dalam pengawasan ketat Allah.

2. Relasi komunikatif
Dalam relasi ontologi telah diketahui bahwa Allah adalah pencipta dan
manusia adalah yang diciptakan. Antara pencipta dan yang diciptakan
terdapat hubungan komunikatif yang bersifat langsung dan bertimbal balik.
Komunikasi antara Allah dan manusia terjadi melalui dua cara yaitu,
pertama, melalui penggunaan bahasa yang dapat dipahami oleh kedua belah
pihak; kedua, melalui pengunaan “tanda-tanda alam” oleh Tuhan dan isyarat-
isyarat atau gerakan tubuh oleh manusia. Dengan demikian komunikasi tipe
pertama bersifat linguistik atau verbal, sedang komunikasi tipe kedua
bersifat non linguistik atau non verbal.

Komunikasi lingusitik antara Tuhan dan manusia terjadi dalam bentuk


pengiriman wahyu dari Tuhan. Toshihiko Izursu menjelaskan bahwa wahyu
merupakan perkataan (kalam) Tuhan. Meskipun ia menyadari bahwa dalam
komunikasi model ini terdapat masalah karena keduanya, yaitu Tuhan dan
manusia sebagai pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi ini, berada
dalam taraf “eksistensi” yang berbeda. Tuhan berada dalam taraf “eksistensi”
natural, sehingga tidak ada kesimbangan ontologi antara keduanya. Oleh
karena itu secara teoritik, tidak mungkin terjadi perteukaran kata (ala-
tahawwur), pengajaran (al-ta’lim), dan juga belajar (al-ta’llum). Problem
eksistensi antara keduanya juga berdampak pada sistem bahasa yang
digunakan dalam berkomunikasi. Tuhan sebagai dzat yang ghaib atau
supranatural tentunya menggunakan bahasa non-alamiah atau non natural,
sebaliknya manusia sebagai mahluk natural menggunakan sistem bahasa
alamiah atau sistem bahasa natural. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan
jika konteks Fazhlur Rahman berpendapat bahwa proses pawahyuan bukan
merupakan komunikasi verbal, tetapi merpakan pemberian inspirasi kedalam
hati Nabi Muhammad.

Problem tersebut menurut Toshihiko Izutsu, dapat diatasi dengan


mengemukakan teori perantara. Perantara inilah yang menjebatani
kesenjangan komunikasi antara Tuhan dan manusia terebut. Ia menegaskan
bahwa wahyu sebagai peristiwa linguistik supranatural merupakan konsep
yang berhubungan denga tiga individu. Kondisi ini juga berlaku dalam
pewahyuan al-Qur’an. Dengan kata lain, dalam kesadarn kenabian yang
dimiliki Muhammad, selalu ada sesorang, suatu mahluk misterius antara
Tuhan dan dirinya yang membawa kata-kata Tuhan ke dalam hatinya.
Mahluk ghaib tersebut, dalam pandangan Toshihiko Izutsu, tidak lain adalah
malaikat Jibril. Hal inilah yang membuat wahyu secara struktural berbeda,
bukan saja dengan perkataan manusia pada umumnya, tapi juga denga tipe
inspirasi verbal lainya yang bersumber dari jinn.

Bila komunikasi linguistik daru Tuhan berupa wahyu, maka dari pihak
manusia berupa doa yang dipanjatkan kehadira-Nya. Sama seperti halnya
wahyu, problem eksistensi ontologi antara Tuhan dan manusia juga menjadi
kendala daalam komunikasi linguistik dari arah bawah ini. Menurut
Toshihiko Izutsu, doa dapat menjadi komunikasi dari manusia hanya terjadi
dalam situasi yang sangat istimewa, yakni ketika manusia mendapati dirinya
berada dalam situasi tidak wajar. Ketika manusia sedang tidak dalam
keadaan sebagaimana hari-harinya, maka ia berada dalam posisi yang dapat
mengucapkan kata-kata secara langsung kepada Tuhan. Toshihiko Izutsu
menegaskan bahwa hanya dalam situasi demikian saja hti manusia dapat
sepenuhnya murni dari semua pikiran keduniaan. Dengan demikian, bahasa
yang diucapkan manusia secara spiritual menjadi lebih tinggi, dan doa
merupakan percakapan personal paling intim antara hati dengan Tuhan.
Situasi luarbiasa itu pada umumnya disebabkan oleh rasa patuh yang
mendalam terhadap Tuhan atau, yang lazim, karena bahaya kematian yang
sudah mendekat. Dengan menguti al-Kirmani, Toshihiko Izutsu mengatakan
dalam situasi seperti itu manusia bukan lagi manusia dalam pengertian
umum, ia sudah mentransformasi diri menjadi sesuatu yang berada diatas
dirinya.

3. Relasi Tuan-hamba

Dalam sistem al-Qur’an Allah adalah pengusa mutlak; satu-satunya


Tuhan yang berkuasa di seluruh dunia, sementara manusia adalah hamba
(‘abd). Sebagai hamba (‘abd), manusia harus bersikap berserah diri
sepenuhnya, merendah, dan menghinakan diri dihadapanya tanpa syarat.
Inilah sebabnya, menurut Toshihiko Izutsu, al-Qur’an sangat mementingkan
kelompok istilah yang memiliki makna kepatuhan mutlak, penyerahan dan
kerendahan diri, seperti tha’ah (patuh), qunut (setia, berserah diri), khusu
(penyerahan), tadharru (menghinakan diri). Akan tetapi, dari istilah-istilah
tersebut, dalam pandangan Toshihiko Izutsu, Islam merupakan istilah paling
penting. Dengan menghubungkan kata Islam dengan kata kerjanya, yaitu
aslama, maka Islam dapat dipahami sebagai tindakan yang dilakukan oleh
seseorang dengan sukarela untuk menyerahkan diri kepada kehendak Allah
dan mempercayakan diri secara penuh kepada-Nya. Pengertian ini di peroleh
berdasarkan penggunaannya dalam frase aslama wajhahu li Allah
Hal lain yang menunjukan istilah islam sangat penting adalah
karena ia sebagai pengalaman batin religius yang bersifat personal pada tiap-
tiap orang, merupakan peristiwa penting yang menandai titik awal
dimulainya penyerahan dan kerendahan diri sesungguhnya. Ia menandai titik
balik yang menetukan dalam kehidupan seorang manusia. Sementara semua
istilah al-Qur’an lainya yang bermakna kepatuhan dan penyerahan diri
sangat samar dan ambigu. Istilah-istilah tersebut dapat memberikan kesan
salah tentang kepatuhan dan kerendahan diri sebagai sifat alamiah
sesorang.dalam struktural semantik tidak dapat momentum eksistensial,
momentum lompatan ke dalam bidang kehidupan yang tidak diketahui.
Hanya kata Islam yang ber implikasi demikian.

4. Relasi Etik

Etika berkaitan denga apa yang harus dilakukan oleh manusia terhadap
Tuhan berkaitan dengan perintah dan larangan Tuhan, maupun bagaimana
Tuhan berkehendak terhadap mahluk-Nya. Menurut Toshihiko Izutsu,
terdapat tiga kategori yang berbeda mengenai konsep etik di dalam al-
Qur’an, yaitu: pertama, kategori yang menunjukan dan menguraikan sifat
Tuhan; kedua, kategori yang menjelaskan berbagai macam aspek sifat
fundamenatam manusia terhadap Tuhan ; dan ketiga, kategori yang
menunjukan tentang prinsip-prinsip dan aturan tingkah laku yang menjadi
milik dan hidup di dalam masyarakat Islam. Ketiga konsep etika ini pada
dasarnya tidak berdiri sendiri, namun memiliki hubungan yang sangat erat.
Kelompok pertama terdiri dari nama-nama Tuhan, seperti Maha pemurah,
Maha baik, Maha adil, dan Maha agung. Nama-nama ini pada hakikatnya
menggambarkan bahwa sifat dan tindakan Tuhan terhadap manusia adalah
etik, dan oleh karena itu manusia harus bersikap seperti dalam merespon
sifat an tindakan Tuhan tersebut. Implikasi dari sikap etik manusia terhadap
Tuhan tercermin dalam etika antara sesama manusia yang hidup dalam
masyarakat yang sama.

Relasi etis ini didasarkan pada dua aspek yang bertentangan secara
fundamental mengenai konsepsi Tuhan dalam al-Qur’an. Alah di satu sisi
disebut sebagai Tuhan penuh keadilan dan kebaikan. Dengan kata lain,
Tuhan bertindak kepada manusia dengan tindakan-tindakan yang baik.
Namun di sisi lain, Dia disebut sebagai Tuhan yang keras, yang membalas di
hari Pengadilan dengan balasan yang sangat pedih (shadid al-iqab), Tuhan
yang membalas dendam (dhu intiqam), Tuhan yang kemarahan-Nya
(ghadab) akan melemparkan siapa saja kedalam kebinasaan. Pandangan al-
Qur’an yang menunjukan dua aspek secara fundamental bertentangan satu
sama lain menurut Toshihiko Izutsu sangat sulit dipahami oleh logia orang-
orang awam, bahka para pemikir pun menghadapi kesulitan untuk
mempertemukan kedua aspek tersebut satu sama lain, akan tetapi bagi orang-
orang saleh dan beriman hal ini tidak menjadi problem.

Aspek Allah sebagai Tuhan Maha pemurah, Maha pengasih, Maha


penyayang, dan Maha pengampun kepada manusiaini disebutkan dalam al-
Qur’an dengan kata kunci seperti ni’mah (kenikmatan), fadl (kemurahan
hati), rahmat (kasih sayang), magfirah (ampunan), dan sebagainya. Menurut
Toshihiko Izutsu , fakta yang menunujukan bahwa Tuhan bersifat demikian
dan menunjukan semua kebaikan dalam bentuk ayat ini hendaknya
menentukan respon yang benar di pihak manusia. Respon tersebut adalah
syukr atau rasa terimakasih atas karunia yang telah dianugrahkan Tuhan.
Rasa terimakasih ini hanya mungkin timbul bila manusia sudah mengerti
makna ayat tersebut.

Al-Qur’an menaikan struktur semantik respon terhadap ni’mah ke dalam


tinkatatan religius, yakni meletakan dalam hubungan Tuhan dan manusia.
Sehingga ni’mah di sini merupakan karuni Ilahi yang di respon oleh manusia
dengan sikap positif (syukr) maupun sikap negatif (kufr). Sehingga sangat
wajar bila konsep syukr ini kemudian berkembang ke arah “percaya” (iman),
sementara kufr sebagai lawanya berkembang ke arah “tidak percaya” . perlu
di catat di sini bahwa, menurut Toshihiko Izutsu, transformasi semantik kufr
dari “tidak berterimaksih” kepada “tidak percaya” terjadi secara lebih
menyeluruh apabila dibandingkan dengan transformasi semantik syukr,
terdapat kata iman yang menghalangi syukr ini menempati posisi semantik
“percaya”. Sementara pada kasus kufr, tidak terdapat pra eksistensi kata
seperti itu, sehingga kufr dapat dikatakan muncul dan menempati tempat
yang kosong. Dengan demikian, kufr dalam pengertian religius berada dalam
posisi yang bertentangan secara diametral dengan iman.

Você também pode gostar