Você está na página 1de 15

Asal-usul Keluarga Jenderal Soedirman

Soedirman lahir pada Senin Pon, 18 Maulud 1846 dalam almanak Jawa atau 24
Januari 1916 di Dukuh Rembang, Desa Bantar Barang, Kecamatan Rembang, Kabupaten
Purbalingga, Jawa Tengah, sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Purbalingga. Ia lahir dari
rahim Siyem, wanita asal Purwokerto, istri Karsid Kartoworidji, seorang pekerja pabrik gula.
Soedirman diurus dan tinggal di rumah asisten wedana di Rembang, Raden Tjokrosoenarjo
dan istri Toeridowati. Bayi laki-laki itu diberi nama Soedirman.
Nama itu diberikan ayah angkatnya, Raden Tjokrosoenarjo, asisten wedana di Rembang,
Purbalingga. Sejak lahir, ia memang langsung diurus dan tinggal di rumah pasangan
Tjokrosoenarjo dan Toeridowati. Data Pusat Sejarah Tentara Nasional
Indonesiamenyebutkan, istri Tjokrosoenarjo adalah kakak kandung ibunda Soedirman. Sejak
Soedirman masih di dalam kandungan, Tjokrosoenarjo sudah meminta izin Siyem agar kelak
bisa merawat kemenakannya itu.
Setelah Soedirman berusia delapan bulan, Tjokrosoenarjo pensiun dari jabatannya. Berbekal
duit pensiun 62,35 gulden, ia memboyong keluarganya, termasuk Soedirman dan orang
tuanya, pindah ke sebuah rumah sederhana di Kampung Kemanggisan, Kelurahan
Tambakreja, sebelah selatan pusat Kota Cilacap, Jawa Tengah. “Jadi, Bapak cuma numpang
lahir di Purbalingga, lalu kehidupannya berlanjut di Cilacap,” kata Mohamad Teguh
Bambang Tjahjadi, anak bungsu Soedirman, saat ditemui Tempo awal Oktober lalu.
Teguh bercerita, selama ini banyak buku dan literatur digital di dunia maya menulis ngawur
soal asal-usul keluarganya. Dari sekian banyak buku tentang ayahnya, Teguh hanya percaya
pada buku berjudul Doorstoot naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer karya
wartawan senior Julius Pour terbitan 2005.
“Walau bukan buku biografi Bapak, ceritanya cocok semua dengan cerita Ibu,” ujar bungsu
dari sembilan putra-putri pasangan Soedirman dan Siti Alfiah itu.
Soal asal-usul keluarga sang Panglima Besar, Teguh mengatakan, berdasarkan pernyataan
keluarga, Soedirman merupakan anak kandung Tjokrosoenarjo, Asisten Wedana Rembang,
bukan anak angkat seperti yang selama ini tertulis di berbagai buku sejarah. “Belum ada satu
pun buku yang menulis soal ini (versi keluarga),” katanya.
Tjokrosoenarjo wafat saat Soedirman masih menempuh sekolah guru di Cilacap pada sekitar
1936. Ia mewariskan seluruh hartanya kepada anak tunggalnya itu.
Siti Alfiah, istri Soedirman, beberapa kali berusaha meluruskan soal data sejarah ini, tapi
selalu kandas. Janda Soedirman itu pernah berupaya meluruskannya pada 1960-1970-an.
Namun, pihak Pusat Sejarah ABRI kala itu malah mengesahkan secara resmi sejarah orang
tua Soedirman yang masih kontroversial tersebut lewat pengadilan. “Tapi aneh karena tak ada
satu pun anggota keluarga yang diundang,” ujar Teguh.
Bagi Teguh, ibundanya adalah satu-satunya orang yang tahu persis soal riwayat sang Jenderal
Besar. Sebab, semua dokumen yang berkaitan dengan Soedirman telah dilenyapkan demi
kepentingan keamanan sebelum ia berangkat bergerilya.
Menurut Teguh, sejarawan Anhar Gonggong pernah memberinya saran agar ia menuliskan
semua riwayat Soedirman dari sudut pandang dan pengakuan keluarga. Namun, hingga kini
dia belum pernah mencoba melaksanakan saran Anhar itu.
“Yang jelas, Bapak itu pahlawan nasional. Jasanya banyak, perlu jadi teladan bangsa ini. Itu
saja cukup,” ucap Teguh.
Bintang Lapangan Sepak Bola
Soedirman memasuki masa sekolah pada 1923. Kala itu, berkat status Raden Tjokrosoenarjo
yang bekas pejabat, Soedirman kecil bisa memperoleh pendidikan formal di Hollandsch-
Inlandsche School (HIS, setingkat sekolah dasar) pada usia tujuh tahun. Di sekolah milik
pemerintah ini, ia dikenal sebagai murid yang sangat rajin, berdisiplin, dan pandai.
Di sekolah inilah bintang Soedirman mulai bersinar terang. Salah satunya lewat olahraga
kegemarannya: sepak bola. Menurut Teguh, saking piawainya memainkan si kulit bundar,
Soedirman, yang biasa berposisi sebagai penyerang dijuluki si bintang lapangan.Pria62 tahun
itu mengatakan ayahnya juga menguasai betul aturan dan tata cara permainan bola sepak.
Lantaran dikenal sebagai sosok yang jujur, Soedirman kemudian kerap didaulat menjadi
wasit. “Kebiasaan sepak bola ini terbawa terus sampai Bapak remaja menuju dewasa,” kata
Teguh.
Di Sekolah, Jenderal Soedirman Dijuluki Kaji
Seperti ditulis Majalah Tempo Senin 12 November 2012, Soedirman dikenal sebagai sosok
yang tak segan membantu teman-temannya dalam hal apa pun, termasuk pelajaran. Ia sangat
antusias mengikuti pelajaran bahasa Inggris, ilmu tata negara, sejarah dunia, sejarah
kebangsaan, dan agama Islam. “Saking tekunnya pada pelajaran agama, Soedirman diberi
julukan Kaji atau Haji,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein.
Cara bergaul ayahnya pun luwes, kata anak bungsunya, Mohammad Teguh. Dia bisa
memastikan hal itu berdasarkan cerita ibunya. Soedirman bisa berkawan dan menempatkan
diri di antara senior ataupun juniornya. “Bapak biasa berada di tengah banyak orang. Soalnya
Bapak sangat piawai berpidato,” ujarnya. Terutama saat ayahnya getol mengurus organisasi
intrasekolah Putra-Putri Wiworotomo.
Soedirman lulus HIS pada 1930. Ia baru masuk ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO, setara dengan sekolah menengah pertama) Parama Wiworotomo, Cilacap, dua tahun
setelahnya dan lulus pada 1935.
Bersekolah di MULO merupakan tahapan penting bagi Soedirman. Di sekolah itulah ia
mendapatkan pendidikan nasionalisme dari para guru yang kebanyakan aktif di organisasi
Boedi Oetomo, seperti Raden Soemojo dan Soewardjo Tirtosoepono, lulusan Akademi
Militer Breda di Belanda.
Kisah Asmara di Wiworo Tomo

Soedirman memang begitu sayang kepada


istrinya. Menurut Mohamad Teguh Bambang Tjahjadi, 63 tahun, putra bungsu Soedirman,
ibunya pernah bercerita bagaimana bapaknya tergolong teliti untuk urusan kosmetik dan
busana. “Bapak selalu memilihkan bedak dan busana untuk Ibu. Ibu tinggal mengenakan,”
ujar Teguh. Bapaknya ternyata juga suka menjaga penampilan agar rapi dan berwibawa,
terutama saat berpidato.
Ibunya sekali waktu bercerita, pernah saat Soedirman berpidato, ia merasa cemburu.
Soedirman saat itu berpidato di hadapan putri-putri Keraton Solo. Mereka terlihat kagum
pada penampilannya yang besus atau selalu rapi. Selesai pidato, Alfiah berseloroh, “Kamu
senang, ya? Kalau begitu mau lagi?” Soedirman langsung menjawab, “Ya tidak, kan aku
sudah punya kamu.”
Kisah asmara Soedirman dan Alfiah dimulai di Perkumpulan Wiworo Tomo, Cilacap.
Soedirman tersohor sebagai pemain sepak bola dan pemain tonil atau teater. Dia dijuluki
Kajine karena alim. Tatkala menjadi ketua, Soedirman memilih Alfiah sebagai bendahara
Perkumpulan. Salah seorang teman Soedirman, menurut Teguh, bercerita, banyak pemuda
naksir kepada ibunya tapi tak berani mendekati karena segan kepada sang ayah.
Gosip Soedirman menaksir Alfiah, kata Teguh, bermula dari kebiasaan Soedirman
berkunjung ke rumah Sastroatmodjo, orang tua Alfiah. Silaturahmi itu berkedok koordinasi
internal Muhammadiyah. Kala itu Soedirman termasuk pengurus Hizbul Wathan dan Pemuda
Muhammadiyah. Adapun orang tua Alfiah pengurus Muhammadiyah.
Saat menjadi guru HIS Muhammadiyah, Soedirman dikenal dermawan. Gajinya kerap
dipakai membantu tetangga. Tatkala menjadi anggota Badan Penyediaan Pangan, lembaga
penarik upeti di bawah Jepang, Soedirman bahkan tidak memaksa warga menyetor upeti jika
kekurangan.
“Nenek tahu betul Soedirman muda naksir Alfiah. Nenek merestui karena kagum pada
kealimannya. Nenek membujuk Kakek mau menerima Soedirman menjadi menantu. Saat itu,
usia Bapak 20 tahun, Ibu 16 tahun.”
Menurut Teguh, paman ibunya yang bernama Haji Mukmin, saudagar pemilik hotel,
sesungguhnya tidak setuju terhadap perkawinan Alfiah dan Soedirman. Mukmin berkeras
Alfiah harus mendapatkan suami dari kalangan orang kaya. Adapun Soedirman anak ajudan
wedana, yang bergaji kecil. “Akhirnya, menurut Ibu, semua ongkos pernikahan diam-diam
disiapkan Nenek. Strategi itu agar Bapak tidak disepelekan keluarga besar Kakek.”
Dari ibunya, Teguh mendengar, pada saat makan bersama keluarga besar, Haji Mukmin
menyingkirkan hidangan paling enak dari hadapan bapaknya. Sang ibu tersinggung, tapi
bapaknya memilih mengalah. Sikap Haji Mukmin berubah setelah Soedirman diangkat
menjadi Panglima Besar. Ketika diarak ke Cilacap, dia melihat pamannya itu berdiri di
pinggir jalan. Soedirman menghentikan mobil, lalu mengajaknya masuk ke mobil.
Soedirman Mengajar dari Kisah Pewayangan
Soedirman, Panglima Besar TNI itu adalah seorang pengajar. Sebagai pendidik, ia tak hanya
sekedar memandu murid dari depan kelas. Dia juga menggunakan aneka metode yang
membuat murid tertarik belajar.
Soedirman tak tamat HIK. Dia kembali ke Cilacap setahun kemudian. Soedirman lantas
bertemu R. Mohammad Kholil, tokoh Muhammadiyah Cilacap. Berkat guru pribadinya itu,
dia diangkat menjadi guru sekolah dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS)
Muhammadiyah Cilacap.
Bangunan HIS Muhammadiyah, tempat Soedirman dulu mengajar, kini tak berbekas. Sejak
1993, bangunan tua di tepi Jalan Jenderal Soedirman, Cilacap, itu dirobohkan. Sebagai
gantinya, tepat di lokasi tersebut berdiri Taman Kanak-kanak Aisyiah 1.
Sekolah usia dini yang terdiri dari dua kelas dan satu ruang guru tersebut bersembunyi di
balik Gedung Dakwah Soedirman, bangunan dua lantai markas Pengurus Daerah
Muhammadiyah Cilacap. “Ini untuk mengenang sekaligus tak mengubah fungsi lokasi
tersebut sebagai tempat pendidikan,” kata Arif Romadlon, Ketua Pengurus Daerah
Muhammadiyah Cilacap, Ahad lalu.
Sardiman, dosen sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, dalam bukunya Guru Bangsa:
Sebuah Biografi Jenderal Soedirman (2008), menuturkan bahwa Soedirman berhasil menarik
perhatian murid-muridnya saat mengajar.
Marsidik, salah satu murid HIS Muhammadiyah yang diwawancarai Sardiman pada 1997,
menuturkan cara mengajar Soedirman tak monoton, terkadang sambil bercanda dan acap
diselingi pesan agama dan nasionalisme. “Soedirman juga sering mengambil kisah-kisah
pewayangan,” kata Sardiman kepada Tempopada Ahad lalu.
Soedirman Berhenti Mengajar Demi Berjuang
Nama Soedirman di mata para pejuang kemerdekaan tak sekadar panglima. Dia juga simbol
untuk terus melawan penjajah. Soedirman, yang seorang pendidik, memutuskan untuk
berhenti mengajar dan memilih turun ke medan perang. Dalam edisi khusus tentang
Soedirman di majalah TEMPO, Senin, 12 November 2012, tergambarkan keputusan
Soedirman membangkitkan semangat para muridnya.
Dua lelaki tegap memasuki sebuah kelas di Sekolah Rakyat Kepatihan, Cilacap, Jawa
Tengah. Pelajaran aljabar di dalam kelas langsung berhenti. Kalender saat itu menunjuk akhir
1943. Bersama wali kelas Sukarno, keduanya berdiri di depan 30-an murid kelas lima.
Seorang di antaranya maju mendekati meja paling depan. Sosok itu kemudian mengedarkan
pandangannya ke segala penjuru kelas, mengucap salam, lalu memperkenalkan diri. “Saya
Soedirman dan ini Pak Isdiman.”
Seorang murid yang duduk di bagian belakang kelas, Soedirman Taufik, setengah kaget.
Namanya sama dengan pria di depan kelas itu. Seperti teman-temannya, bocah sepuluh tahun
itu hanya tertegun.
“Saya mau pamit akan berjuang bersama Dai Nipon,” ujar pria di depan kelas. Pria berpeci
hitam, berkemeja putih kusam, dan celana krem panjang sedikit di bawah lutut itu
melanjutkan kalimatnya. “Saya minta pangestu, semoga berhasil. Anak-anak yang sudah
besar nanti juga harus berjuang. Membela negara.”
Serentak murid-murid menjawab, “Nggih, Pak!” Kunjungan berakhir. Soedirman menyalami
para murid sebelum meninggalkan ruangan sambil melambaikan tangan. Isdiman, yang tak
berujar sepatah kata pun, mengikuti di belakangnya.
Berselang 69 tahun, Taufik–Juni lalu genap 79 tahun–masih ingat betapa gaduh kelasnya
ketika dia bersama kawan-kawan memekikkan salam perpisahan sekaligus doa. “Selamat
berjuang, Pak! Semoga berhasil!” katanya kepada Tempo, Ahad lalu. Beberapa tahun setelah
kejadian itu, nama kedua pria yang berpamitan tadi muncul sebagai tokoh perjuangan
kemerdekaan Indonesia.
Soedirman kelak menjadi jenderal, Panglima Besar TNI, diangkat pada Juni 1947. Adapun
Letnan Kolonel Isdiman gugur sebagai Komandan Resimen 16/II Purwokerto, dua tahun
sebelumnya, dalam pertempuran melawan tentara sekutu di Ambarawa, Jawa Tengah.
Dari cerita kawan seangkatannya, Taufik, yang kini menjadi Dewan Penasihat Organisasi
Angkatan ’45 Cilacap, mengetahui bahwa Soedirman dan Isdiman juga berpamitan ke
beberapa sekolah lainnya sebelum bergabung dengan tentara sukarela bentukan Jepang,
Pembela Tanah Air (Peta). “Pak Dirman memang guru,” katanya.
Cacat Kaki, Soedirman Sempat Pesimis Jadi Tentara

Kebesaran nama Panglima Jenderal TNI Soedirman bisa dilihat dari kisahnya yang terungkap
di buku-buku sejarah. Namun sebenarnya di balik perjuangannya dengan bertandu,
Seodirman sempat ketakutan menjadi tentara karena kondisi kakinya.
Ditinggal Soedirman dalam usia satu tahun, Muhammad Teguh Bambang Cahyadi
mendengar cerita tentang ayahnya itu dari sang ibu, Siti Alfiah. Termasuk kisah tentang
Soedirman ketika mengawali karier militernya. Menurut Teguh, ayahnya sempat ragu masuk
dunia militer. “Saya cacat, tak layak masuk tentara,” kata Soedirman, seperti yang didengar
Teguh dari ibunya.
Bukan tanpa alasan jika Soedirman tak percaya diri menjadi tentara. Kakinya pernah terkilir
pada saat main sepak bola. Hal itu membuat sambungan tulang lutut kirinya bergeser. Siti
Alfiah juga menyatakan sangat mengkhawatirkan kondisi suaminya.
Dalam buku Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman, Soekanto menuliskan dialog
pasangan suami-istri ini pada saat Soedirman ingin menjadi tentara. Menjelang tengah malam
satu hari pada 1944, Soedirman menyampaikan rencana bergabung dengan pasukan Pembela
Tanah Air (Peta). “Jadi, Mas mau jadi tentara?” kata Siti Alfiah. Soedirman mengangguk,
seolah meminta pengertian dari sang istri.
Tak langsung mengiyakan, Siti mencecar Soedirman. Dia menanyakan soal mata kiri
Soedirman yang kurang terang. “Lalu, kaki Mas yang terkilir sewaktu main bola itu….”
“Tidak apa-apa, Bu, semua pengalaman ada gunanya,” katanya. “Saya harap Ibu berhati
mantap.” Soedirman lalu pergi mengambil wudhu dan berjalan ke kamar untuk salat tahajud.
Pilihan menjadi prajurit diambil setelah sekolah Muhammadiyah, tempat Soedirman
mengajar, ditutup tentara Jepang. Sekolah itu dianggap bentukan kolonial Belanda. Achmad
Dimyati, rekan sesama guru, menyampaikan ketertarikan penguasa militer Kabupaten
Cilacap merekrut Soedirman. “Mungkin Dik Dirman akan diangkat
menjadi sangikai Karesidenan Banyumas, semacam perwakilan rakyat,” kata Dimyati.
Dimyati berusaha meyakinkan bahwa Soedirman bisa menjadi penghubung antara tentara
Jepang dan penduduk Karesidenan Banyumas. Dia berpendapat Jepang lebih baik daripada
Belanda.
Nyatanya, Soedirman tak langsung tertarik. Dia menilai Belanda dan Jepang sama-sama
orang asing yang menjajah. Jepang dinilainya memerlukan tenaga pribumi hanya karena
beberapa jabatan penting kosong ditinggal orang-orang Belanda.
Toh, Soedirman diterima di kesatuan militer. Ia mendapat jabatansangikai, yang bertugas
mendampingi tentara Jepang mengambil hati penduduk agar mau menyerahkan padi. Namun,
dengan bahasa Jawa, Soedirman meminta rakyat agar mendahulukan kebutuhan mereka
sebelum menyetorkan padi ke tentara Jepang.
Usia 26, Soedirman Tumpas Pemberontakan Pertama
Soedirman mendapatkan pendidikan militer pertamanya dari Jepang. Ia direkrut
pemerintah negeri matahari terbit itu pada usia 25 tahun. Setahun menempa pendidikan
kemiliteran, Soedirman pun mendapatkan tugas besar pertamanya.
Pada 3 Oktober 1943, pemerintah Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 44 Tahun 2603
(1944) tentang Pembentukan Pasukan Sukarela untuk Membela Tanah Jawa. Penguasa
Karesidenan Banyumas mengusulkan Soedirman ikut bergabung. Nugroho Notosusanto
dalam buku Tentara PETA pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia, mengatakan
hampir semua daidancho dan chudancho dibujuk secara pribadi oleh Beppan.
Daidancho kebanyakan direkrut dari tokoh masyarakat, seperti guru, tokoh agama Islam, dan
pegawai pemerintah. “Karena itu, umurnya tak muda lagi,” kata Nina Lubis, penulis
buku PETA Cikal Bakal TNI. Daidancho adalah jabatan setingkat komandan batalion.
Soedirman kemudian masuk Peta angkatan kedua sebagai calon daidancho. Muhammad
Teguh mengenang cerita ibunya bahwa tentara Jepang sebenarnya tidak suka dengan
masuknya Soedirman. Sebab, ketika menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat, ia
sering menentang instruksi tentara Jepang. “Namun, saat itu Jepang berkepentingan
membentuk pasukan bersenjata untuk menghadapi serangan tentara Sekutu,” katanya.
Sebelum membentuk Peta, Jepang telah mengeluarkan peraturan tentang pembentukan
pasukan pribumi Heiho pada 22 April 1943. Pasukan Heiho terutama bertugas di satuan
artileri pertahanan udara, tank, artileri medan, mortir parit, dan sebagai pengemudi angkutan
perang. Namun, Heiho ternyata tak memuaskan Jepang, yang ingin pasukan sepenuhnya
terdiri dari orang pribumi, terpisah dari tentara Jepang.
Pemuda Heiho hanya menjadi pembantu prajurit Jepang. Tak satu pun di antara mereka
menjadi perwira. Tangerang Seinen Dojo (pusat latihan pemuda Tangerang), yang mulai
berlatih sejak Januari 1943, malah dianggap lebih berhasil.
Pemisahan tentara pribumi dengan tentara Jepang kemudian dilaksanakan di Kalimantan,
Sumatera, dan Jawa dengan nama Giyu-gun. Pengerahan rakyat pribumi untuk masuk tentara
sukarela akhirnya terlaksana dengan pembentukan Peta.
Untuk menjadi calon perwira tentara Peta, Jepang mensyaratkan bakat kepemimpinan, jiwa
dan fisik sehat, serta stabilitas mental. Seleksi dilakukan di ibu kota kabupaten (ken) atau
kota madya (shi), yang kemudian dilanjutkan di ibu kota karesidenan (shu) untuk
pemeriksaan kesehatan.
Seleksi dilakukan pada awal bulan Oktober 1943 dan hasilnya diumumkan dua minggu
kemudian.
Angkatan kedua pendidikan Peta dimulai pada April 1944. Pendidikan untuk daidancho, kata
Nina dalam bukunya, hanya dua bulan.Sedangkan
untuk chudancho dan shudancho latihannya 3-4 bulan. Mereka berlatih di kompleks militer
eks Belanda, 700 meter dari istana presiden di Bogor. Pusat latihan itu diberi nama Jawa Bo-
ei Giyugyun Kanbu Renseitai, dibuka resmi pada 15 Oktober 1943.
Angkatan kedua pendidikan perwira Peta dilantik pada 10 Agustus 1944. Mereka diberi
samurai dan disebar ke 55 daidan di daerah pantai selatan Jawa. Sebagai daidancho,
Soedirman ditempatkan di Kroya, Jawa Tengah, didampingi shoko shidokan, perwira Jepang
yang bertugas sebagai pengawas dan penasihat teknis kemiliteran, Letnan Fujita.
Setelah diangkat menjadi daidancho pada usia 26 tahun, Soedirman pulang ke rumah dan
menceritakan kepada Alfiah ihwal penempatannya di Kroya. “Saya menjadi daidancho di sini
(Cilacap),” kata Soedirman. Ujian pertama Soedirman dilalui pada 21 April 1945, saat
pasukan Peta di bawah komando bundanchoKusaeri memberontak di Desa Gumilir, Cilacap.
Peristiwa itu berlangsung lima hari setelah vonis tentara Jepang terhadap pemberontakan Peta
Blitar. Soedirman diperintahkan memadamkan pemberontakan Gumilir.
Dalam buku Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman, daidancho itu sebenarnya tahu
gerakan Kusaeri. Sebab, beberapa hari sebelum bergerak, Kusaeri menemuinya di Cilacap.
Soedirman meminta koleganya itu menunda gerakan. Kata dia, “Kita harus bergerak pada
waktu yang tepat.”
Soedirman dan Keris Penolak Mortir
Desing pesawat membangunkan Desa Bajulan yang senyap, suatu hari di awal Januari
1949. Penduduk kampung di Nganjuk, Jawa Tengah, yang tengah berada di sawah, halaman,
dan jalanan, itu panik masuk ke rumah atau bersembunyi ke sebalik pohonan.Warga Nganjuk
tahu itu pesawat Belanda yang sedang mencari para gerilyawan dan bisa tiba-tiba
memuntahkan bom atau peluru. Tak kecuali Jirah. Perempuan 16 tahun itu gemetar di dapur
seraya membayangkan gubuknya dihujani peluru.Dirumahnya ada sembilan laki-laki asing
tamu ayah angkatnya, Pak Kedah, yang ia layani makan dan minum. Meski tak paham siapa
orang-orang ini, Jirah menduga mereka yang sedang dicari tentara Belanda. Sewaktu pesawat
mendekat, dia melihat seorang yang memakai beskap duduk di depan pintu dikelilingi
delapan lainnya. “Saya mengintip dan menguping apa yang akan terjadi dari dapur,” kata
Jirah, September lalu.
Lelaki pemakai beskap yang oleh semua orang dipanggil ”Kiaine” atau Pak Kiai itu
mengeluarkan keris dari pinggangnya. Keris itu ia taruh di depannya. Tangannya merapat dan
mulutnya komat-kamit merapal doa. Ajaib. Keris itu berdiri dengan ujung lancipnya
menghadap ke langit-langit. Kian dekat suara pesawat, kian nyaring doa mereka.
Keris itu perlahan miring, lalu jatuh ketika bunyi pesawat menjauh. Kiaine menyarungkan
keris itu lagi dan para pendoa meminta undur diri dari ruang tamu. Kepada Jirah, seorang
pengawal Kiaine bercerita bahwa keris dan doa itu telah menyamarkan rumah dan kampung
tersebut dari penglihatan tentara Belanda.
Dari curi-dengar obrolan para tamu dengan ayahnya itu, Jirah samar-samar tahu, orang yang
memakai beskap bertubuh tinggi, kurus, dan pendiam dengan napas tercekat yang dipanggil
Kiaine tersebut adalah Jenderal Soedirman. “Saya mendapat kepastian itu Pak Dirman justru
setelah beliau meninggalkan desa ini,” ujarnya.
Waktu itu Panglima Tentara Indonesia ini sedang bergerilya melawan Belanda, yang secara
resmi menginvasi kembali Indonesia untuk kedua kalinya tiga tahun setelah Proklamasi. Jirah
ingat, rombongan itu–yang berjumlah 77 orang–datang ke Bajulan pada Jumat Kliwon
Januari 1949. Di rumahnya, Soedirman ditemani delapan orang, antara lain Dr Moestopo,
Tjokropranolo, dan Soepardjo Roestam. Yang lain menginap di rumah tetangga.
Selama lima hari di Bajulan, tak sekali pun Belanda menjatuhkan bom atau menembaki
penduduk. “Itu berkat keris dan doa-doa,” kata Jirah. Soedirman seolah-olah tahu tiap kali
Belanda akan datang mencarinya. Karena itu, operasi Belanda mencari buron nomor wahid
tersebut selalu gagal.
Cerita Kesaktian Soedirman
Soedirman terkenal punya firasat dan perhitungan jitu semasa bergerilya. Anak
bungsunya, Mohamad Teguh Sudirman, mendengar banyak cerita ”kesaktian” ayahnya.
Teguh lahir pada 1949 ketika ibunya bersembunyi di Keraton Yogyakarta saat ayahnya
bergerilya. Dia tak sempat bertemu dengan ayahnya, yang meninggal dua bulan setelah ia
lahir, dan hanya mendengar kisah Soedirman dari sang ibu, Siti Alfiah.
Inilah kesaktian sang Jenderal yang merupakan perokok berat ini.
Ceritanya ketika Soedirman sampai di Gunung kidul. Ia tak mengizinkan pasukannya
beristirahat lama-lama. Benar saja, beberapa saat kemudian, pasukan Belanda tiba di lokasi
peristirahatan pasukannya. Jika Soedirman, yang dalam sakit bengek dan tubuh rapuh, tak
segera meminta mereka jalan lagi, pertempuran tak akan bisa dihindari. “Dan bisa jadi
pasukan Bapak kalah,” kata Teguh.
Soedirman, yang selalu menyamar sepanjang gerilya, juga kerap diminta mengobati orang
sakit. Di sebuah desa di Pacitan, Teguh bercerita, Soedirman dan pasukannya kelaparan
karena tak menemukan makanan berhari-hari. Mau meminta kepada warga desa, takut ada
mata-mata Belanda. Saat rombongan ini beristirahat, seorang penduduk menghampiri mereka
dan meminta air mantra untuk kesembuhan istri lurah di situ.
Sang Panglima mengambil air dari sumur, lalu meniupkan doa. Ajaib, istri lurah yang
terbaring payah itu bisa bangun setelah minum. Pak Lurah pun menyilakan Soedirman dan
anak buahnya beristirahat. Ia menjamunya dengan pelbagai makanan. “Baru setelah itu
Bapak mengenalkan diri,” kata Teguh.
Sang Jenderal Klenik
Kepercayaan dan kegemaran Soedirman pada supranatural tak hanya terjadi saat
gerilya, tapi juga dalam diplomasi formal dengan Belanda. Muhammad Roem punya kisah
menarik tentang klenik Soedirman. Syahdan, suatu pagi beberapa hari menjelang
perundingan Renville di Yogyakarta pada 17 Januari 1948, Roem dipanggil Presiden
Sukarno.
Presiden meminta Ketua Delegasi Indonesia dalam perundingan itu menemui Soedirman di
rumahnya. “Sebagai ketua delegasi, jiwa Saudara harus diperkuat,” kata Presiden. “Temuilah
segera Panglima Soedirman.” Meski awalnya menolak, Roem, yang tak mengerti urusan
klenik, menuruti saran itu.
Di rumahnya, Soedirman sudah menunggu. Sang Panglima ditemani seorang anak muda yang
ia kenalkan kepada Roem sebagai “orang pintar”. Rupanya, anak muda yang dikenal Roem
tak punya pekerjaan tetap itu yang akan “memperkuat jiwa” Menteri Dalam Negeri ini.
Dukun itu kemudian memberinya secarik kertas. “Jimat ini tak boleh terpisah dari Saudara,”
kata Soedirman. “Kalau hilang, kekuatannya bisa berbalik. Jagalah sebaik-baiknya.”
Jimat itu menemani Roem menghadapi delegasi Belanda yang keras kepala tak mau
hengkang dari Indonesia. Seorang diplomat Amerika Serikat yang jadi penengah rundingan
itu memuji Roem dan delegasi Indonesia. “Saya sudah kesal karena Belanda begitu legalistik,
tapi kalian bisa melawannya dengan legalistik juga. You are wonderful,” katanya, seperti
ditulis Roem dalam Jimat Diplomat. Roem, lulusan Rechts School (Sekolah Hukum) di
Jakarta, hanya mesem sambil meraba jimat itu di saku celananya.
Akan tetapi, cerita paling absurd yang pernah didengar anak bungsunya, Mohamad Teguh
Sudirman, adalah kisah seorang santri dari Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Kepadanya,
santri itu menceritakan kisah gurunya yang ikut bergerilya bersama Soedirman. Dalam
sebuah pertempuran sengit, menurut santri itu, Soedirman menjatuhkan pesawat Belanda
dengan meniupkan bubuk merica. Teguh berkomentar, “Gila, ini tak masuk nalar.”
Soedirman Penganut Kejawen Sumarah
Soedirman terkenal punya firasat dan perhitungan jitu semasa bergerilya. Jenderal
dari Banyumas dan percaya klenik ini dikabarkan memiliki bermacam kesaktian.
Soedirman disebut sebagai penganut aliran kejawen Sumarah. Ia gemar mengoleksi keris. Ia
juga percaya benda pusaka itu punya tuah yang bisa melindunginya.
Anak bungsu Soedirman, Mohamad Teguh Sudirman, bercerita sewaktu ayahnya terpojok di
lereng Gunung Wilis, Tulungagung, keris ayahnya bisa menyelamatkan pasukannya. Padahal
ketika itu tentara gerilyawan tak punya celah meloloskan diri dari kepungan pasukan
Belanda.
Soedirman tiba-tiba mencabut cundrik, keris kecil pemberian seorang kiai di Pacitan, dan
mengarahkannya ke langit. Tak berapa lama, awan hitam bergulung-gulung, petir dan angin
menghantam-hantam. Hujan lebat pun turun dan membuyarkan kesolidan pengepungan
Belanda. Lagi-lagi pasukan Soedirman selamat.
Cundrik itu ia tinggalkan di rumah penduduk. Beberapa tahun setelah Soedirman meninggal
pada 1950, Panglima Kodam V Brawijaya Kolonel Sarbini datang ke rumahnya di Kota Baru,
Yogyakarta, ditemani seorang petani.
Menurut Teguh, Sarbini bercerita kepada ibunya, Siti Alfiah, petani itu hendak
mengembalikan cundrik Soedirman yang dititipkan kepadanya sewaktu gerilya. “Cundrik itu
kami titipkan di Museum Soedirman di Bintaran Timur, Yogya,” ujar Teguh. “Tapi sekarang
hilang.
Soedirman Ternyata Hanya Bernapas dengan Satu Paru
Sejak remaja, Soedirman doyan merokok. Bahkan, ia masuk dalam golongan perokok
berat. Rokok Soedirman kretek tak bermerek. Disebutnya tingwe alias nglinthing
dewe, yang artinya ”meramu sendiri”. Kebiasaan mengisap tembakau membuat Soedirman
mengalami gangguan pernapasan. Kondisi kesehatannya pun semakin menurun sejak
pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun, Jawa Timur.
Diceritakan bila Letnan Jenderal Soedirman berjalan tertatih-tatih memasuki rumah dinasnya
di Jalan Bintaran Wetan, Yogyakarta. Di depan pintu, sang istri, Siti Alfiah, menyambutnya.
“Bapak pulang setelah dua pekan memimpin operasi penumpasan pemberontakan PKI,” kata
Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, putra bungsu Soedirman, yang mendapat cerita itu
dari ibunya.
Pada akhir September 1948, Soedirman mengeluh ke Alfiah bila dia tak bisa tidur
selama di Madiun. Soedirman begitu terpukul menyaksikan pertumpahan darah di antara
rakyat Indonesia itu. Peristiwa Madiun membuat batin Panglima Besar Angkatan Perang
Republik Indonesia ini nelangsa. “Selain kelelahan berat, Bapak tertekan batinnya karena
peristiwa itu,” ujar Teguh.
Malam itu, kondisi kesehatan Soedirman turun. Namun, ia tetap mandi dengan air dingin.
Saran sang istri agar mandi air hangat tak ia indahkan. “Inilah awal petaka bagi Bapak,” kata
Teguh. “Esoknya, Bapak terkapar di tempat tidur.”
Kendati sakit, kegemarannya merokok tetap tak bisa ia hilangkan. Sesekali, sembari
terbaring, Soedirman mengisap rokok kretek. Melihat itu, istrinya hanya diam, tak berani
melarang.
Karena bandel, Soedirman tidak juga pulih. Bahkan, tim dokter tentara mendiagnosis ia
menderita tuberkulosis, infeksi paru-paru. Tak percaya akan hasilnya, keluarga meminta
pemeriksaan ulang oleh dua dokter tentara senior, Asikin Wijayakusuma serta Sim Ki Ay.
Dan jawabannya sama dengan observasi pertama. Soedirman pun dibawa ke Rumah Sakit
Panti Rapih, Yogyakarta.
Menurut Soegiri, bekas ajudan Soedirman, obat yang dibutuhkan atasannya hanya ada di
Jakarta. Untuk sampai Yogyakarta, obat itu harus diboyong melalui jalur penyelundupan. Di
lain pihak, Soedirman butuh penanganan cepat.
“Akhirnya tim dokter memutuskan operasi penyelamatan dengan membuat satu paru-parunya
tak berfungsi,” kata Soegiri.
Pasca-operasi, menurut Soegiri, tim dokter berbohong kepada Soedirman. Mereka
mengatakan operasi itu cuma mengangkat satu organ kecil di paru-paru yang menghambat
saluran pernapasan. Sedangkan kata Teguh, dokter memberitahukan ibunya perihal operasi
itu. “Sejak itu, Bapak bernapas dengan separuh paru-paru,” katanya.
Soedirman Jual Perhiasan Istri Demi Ransum Tentara
Usai menjalani operasi paru-paru pada November 1948, Soedirman hidup dengan sebelah
paru. Ia pun harus mengonsumsi banyak obat. Seperti codeine untuk mengobati gangguan
pernapasan dan kinine bagi penyakit malarianya.
Kata pesuruh Soedirman, Jamaluddin, bentuk obat-obatan itu kecil, serupa kedelai. Warnanya
ada yang biru untuk pencegahan malaria dan merah bila sakitnya parah. “Semua itu Pak
Dirman minum dengan air teh tiyung atau teh merek Sruni,” ujar Jamaluddin.
Meski sakit, sang Jenderal tidak sulit makan. Bahkan, ia tak pernah memilih-milih menu.
Semua makanan yang disediakan dapur umum dia santap. Pilihan makanannya pun tidak
beda dengan dengan jatah seluruh prajurit. Apalagi waktu itu masa gerilya, semua serba
seadanya. Kadang nasi berteman rebusan daun lembayung, kadang-kadang tempe. “Dikasih
apa saja Pak Dirman mau,” ujar Jamal.
Ransum untuk Soedirman diantar dalam rantang. Satu rantang untuk sekali makan, diantar
sampai pintu kamar, setiap pagi, siang, dan sore. Tapi sering kali, dari tiga rantang yang
dikirim, hanya satu yang habis. “Pak Dirman kerap berpuasa. Karena itu, hanya habis satu
rantang. Sisanya dimakan ramai-ramai oleh teman-teman,” kata Jamal.
Sumber makanan tidak hanya dari dapur umum. Penduduk sekitar tempat persembunyian
juga sering mengirimkan ransum. Menunya kadang tiwul dan ketela. Jarang sekali mereka
mendapatkan nasi. “Ya, seadanya makanan kampung,” ujar Jamal.
Kala itu, tak jarang juga mereka kekurangan makanan. Untuk menutupinya, Soedirman
mengirim sang adik ipar, Hanung Faeni, kembali ke Yogyakarta. Ditemani sopir pribadi
Soedirman, Hainun Suhada, Hanung berjalan kaki untuk menyampaikan pesan sang Jenderal
ke istrinya, Siti Alfiah.
Dalam amanat itu, Soedirman meminta perhiasan Alfiah untuk membiayai perang. Kata anak
bungsu Soedirman, Teguh Bambang Tjahjadi, ayahnya sudah berpesan bila ia akan meminta
perhiasan itu jika dibutuhkan. “Perhiasan dibarter ayam dan beras,” kata Teguh.

Você também pode gostar