Você está na página 1de 14

AGAMA DAN AGAMA ISLAM

A. PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk yang terdiri dari dua elemen, antara jasadi/
materi, dan ruhani/immateri yang menjadi satu.1 Selaras dengan hal tersebut, Wan
Daud menjelaskan, bahwa realitas yang menyatukan apa yang kemudian dikenal
sebagai manusia bukanlah perubahan jasadnya, melainkan keruhaniannya. Ruh
manusia merupakan sesuatu yang tidak mati dan selalu sadar akan dirinya. Ia
adalah tempat bagi segala sesuatu yang intelijibel dan dilengkapi dengan fakultas
yang memiliki sebutan berlainan dan keadaan yang berbeda.2
Sebagaimana Al-Attas mengemukakan: “ketika bergulir dengan sesuatu
yang berkaitan dengan intelektual dan pemahaman, ia (ruh manusia)
disebut “intelek”, ketika mengatur tubuh ia disebut “jiwa”; ketika sedang
mengalami pencerahan intuisi, ia disebut “hati”, dan ketika kembali
kedunianya yang abstrak, ia disebut “ruh” yang pada hakikatnya ia selalu
aktif memanifestasikan dirinya dalam keadaan-keadaan ini.3

Selaras dengan pernyataan di atas, potensi manusia terdiri dari: 1) naluri


instingtif (ghariziyyah); 2) indrawi (hissiyyah); 3) akal (aqliyyah); dan 4) agama
(diniyyah).4
Berkaitan dengan potensi agama (diniyyah) pada uraian di atas Agama
sebagai risalah yang disampaikan Tuhan kepada para nabi-Nya untuk memberi
peringatan kepada manusia. Islam adalah agama wahyu yang diturunkan oleh
Allah kepada rasul-Nya untuk disampaikan Islam adalah satu-satunya agama
Samawi. Sedangkan agama Nasrani dan agama Yahudi dalam bentuknya yang
sekarang tidak dapat lagi disebut sebagai agama murni Samawi; paling- paling
dapat disebut sebagai agama semi- Samawi atau agama semu- Samawi, karena
kedua kitab suci kedua agama tersebut dalam bentuknya yang sekarang ini sudah

1
Usman Abu Bakar dan Surohim. Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam (Respon
Kreatif Terhadap Undang-undang Sisdiknas. (Yogyakarta: Safiria Insania Press. 2005), h. 24
2
Usman Abu Bakar dan Surohim. Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam..., h. 25
3
Usman Abu Bakar dan Surohim. Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam..., h. 25
4
Jalaludi. Filsafat Pendidikan dari Zaman Ke Zaman. —Ed.1—Cet. 1. (Jakarta: Rajawali
Pers. 2017), h. 97
sangat banyak diinterpolasi dengan pikiran- pikiran manusia. Bagaimana halnya
dengan agama Nasrani dan agama Yahudi dalam bentuknya yang asli tentu saja
adalah agama murni-Samawi. Dan oleh karena itu, kedua agama tersebut dalam
bentuknya yang murni menurut pandangan al-Qur’an adalah Islam. Bahkan
menurut al- Qur’an, agama yang dianut oleh semua nabi- nabi Allah SWT itu
seluruhnya adalah agama Islam.
Memperjelas uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pentingnya
membahas topik Agama dan Agama Islam merupakan judul kajian dalam
pembahasan makalah, dengan tujuan untuk menganalisis Agama dan agama
Islam, sehingga dapat memberikan suatu pemahaman dan wawasan tentang
segala hal yang berkaitan dengan hubungan Agama dan Agama Islam. Isi global
dalam makalah ini membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan Agama dan
Agama Islam yang diformulasikan kedalam pendahuluan, sebagai latar belakang,
dan tujuan dalam pembahasan, pembahasan melalui beberapa sub pembahasan,
dan penutup sebagai kesimpulan dalam pembahasan makalah.
Mengawali pembahasan dalam makalah teridri dari beberapa sub
pembahasan yang meliputi; 1. Agama dan Agama Islam dalam tinjauan makna, 2.
Ajaran Islam dalam Konsep Tasawuf, 3. Islam sebagai Produk Sejarah. Penutup
dalam makalah sebagai kesimpulan dalam pembahasan makalah dngan merujuk
pada daftar pustaka sebagai dalil (bukti) dalam pembahasan makalah.

2
B. Pembahasan
1. Agama dan Agama Islam dalam Tinjauan Makna
Agama dari sudut bahasa (etimologi) berarti peraturan-peraturan
tradisional, ajaran- ajaran, kumpulan- kumpulan hukum yang turun temurun dan
ditentukan oleh adat kebiasaan. Agama asalnya terdiri dari dua suku kata, yaitu
“a” berarti tidak dan gama berarti kacau. Jadi agama mempunyai arti tidak kacau.
Arti ini dapat dipahami dengan melihat hasil yang diberikan oleh peraturan-
peraturan agama kepada moral atau materiil pemeluknya, seperti yang diakui oleh
orang yang mempunyai pengetahuan.5
Agama dikatakan sebagai Religi dan Din merupakan satu tata-keimanan
atau tata-keyakinan atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia dan ritus
(tata-peribadatan) manusia serta sistema norma tata-kaidah yang mengatur
hubungan manusia dengan alam lainnya. Adapun Agama adalah hubungan yang
tetap antara diri manusia dengan yang bukan manusia yang bersifat suci dan
supernatur, dan yang bersifat berada dengan sendirinya dan yang mempunyai
kekuasaan absolute yang disebut Tuhan.6 Harun Nasution, secara simplistik
seolah hendak menyamakan begitu saja antara pengertian konsep agama, din, dan
religi. Ia menarik benang merah antara ketiga konsep tersebut dengan
menyimpulkan bahwa intisari yang terkandung dalam istilah agama, din, dan
religi mengerucut pada makna yang sama yaitu berupa ikatan-ikatan yang harus
dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan-ikatan inilah yang, dalam pandangan
Harun Nasution memberikan pengaruh bagi kehidupan sehari-hari manusia.7
Berpijak pada fungsi dan kedudukan agama dalam kehidupan manusia
sebagai pedoman, aturan dan undang- undang Tuhan yang harus di taati dan mesti
dijalankan dalam kehidupan. Agama sebagai way of life, sebagai pedoman hidup
yang harus diberlakukan dalam segala segi kehidupan. Orang yang beragama
dapat mendisiplinkan dirinya sendiri, menguasai nafsunya sesuai dengan ajaran
agama. Orang yang beragama cendrung berbuat baik sebanyak-banyaknya,

5
Abdullah, M. Yatimin, Studi Islam Kontemporer, (Pekan Baru: Amzah. 2004, h. 2
6
Abu Ahmadi,. 1984. Sejarah Agama. Solo : Ramadhani. 1984. h. 14
7
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Cetakan V, Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 1985, h. 10

3
dengan hartanya, tenaganya dan pikirannya. Dan dia akan berusaha sehabis daya
upayanya untuk menghindarkan dirinya dari segala perbuatan yang keji dan
munkar. Selain itu agama merupakan unsur mutlak dalam pembinaan karakter
pribadi dan membangun kehidupan sosial yang rukun dan damai.8
Berangkat dari pemahaman beberapa uraian di atas dapat ditegaskan bahwa
masayarakt adalah kumpulan dari individu- individu. Masyarakat akan baik,
manakala terdiri dari pribadi- pribadi yang baik. Pribadi yang baik hanya dapat
dibina melalui ajaran agama. Mukti Ali dalam Abuddin Nata menambahkan
bahwa pertama, pengalaman agama adalah soal batini, subjektif dan sangat
individualis sifatnya. Kedua, orang begitu bersemangat dan emosional dalam
membicarakan agama, karena itu setiap pembahasan tentang arti agama selalu ada
emosi yang melekat erat sehingga kata agama sulit untuk didefinisikan. Ketiga,
konsepsi tentang agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberikan
definisi tersebut.9
Pendapat Zakiah Daradjat yang dikutip oleh Abudin Nata menyatakan
bahwa pengalaman agama yang subyektif, intern dan individual, dimana setiap
orang akan merasakan pengalaman agama yang berbeda dari orang lain. Di
samping itu, tampak bahwa pada umumnya orang lebih condong kepada mengaku
beragama, kendatipun ia tidak menjalankannya.10
Informasi mengenai potensi beragama yang dimiliki oleh manusia itu dapat
dijumpai dalam ayat 172 surat al- A’raf bahwa manusia secara fitri merupakan
makhluk yang memiliki kemampuan untuk beragama. Hal demikian sejalan
dengan hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa setiap anak yang
dilahirkan memiliki fitrah (potensi beragama). Harun Nasution dalam bukunya
Islam ditinjau dari berbagai aspeknya yang dikutip oleh Abuddin Nata
memberikan definisi agama sebagai berikut 1). Pengakuan terhadap adanya
hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus di dipatuhi; 2). Pengakuan
terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia; 3). Mengikatkan diri

8
Rousydiy, T.A Lathief, Agama Dalam Kehidupan Manusia, ( Medan: Rambow), 1986, h.
90-92
9
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2011, h. 8
10
Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam....., h. 9

4
pada suatu bentuk hidup yang mangandung pengakuan pada suatu sumber yang
berada di luar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia; 4).
Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu; 5).
Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari kekuatan gaib; 6).
Pengakuan terhadap adanya kewajiban- kewajiban yang diyakini bersumber pada
suatu kekuatan gaib; 7). Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari
perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius nyang terdapat
dalam alam sekitar manusia; 8). Ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia
melalui seorang rasul.11
Beberapa pemahaman di atas mengindikasikan bahwa ada empat unsur12
yang menjadi karakteristik agama sebagai beirkut:
Pertama, unsur kepercayaan terhadap kekuatan gaib. Kekuatan gaib
tersebut dapat mengambil bentuk yang bermacam- macam. Dalam agama primitif
kekuatan gaib tersebut dapat mengambil bentuk benda- benda yang memiliki
kekuatan misterius, ruh atau jiwa yang terdapat pada benda- benda yang memiliki
kekuatan misterius; dewa-dewa dan Tuhan atau allah dalam istilah yang lebih
khusus dalam agama Islam. Kepercayaan pada adanya Tuhan adalah dasar yang
utama sekali dalam paham keagamaan. Tiap-tiap agama kecuali Budhisme yang
asli dan beberapa agama lain berdasar atas kepercayaan pada sesuatu kekuatan
gaib dan cara hidup tiap- tiap manusia yang percaya pada agama di dunia ini
sangat erat hubungannya dengan kepercayaan tersebut.
Kedua, unsur kepercayaan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di
dunia ini dan di akhirat nanti tergantung pada adanya hubungan yang baik itu,
kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari akan hilang pula. Hubungan baik ini
selanjutnya diwujudkan dalam bentuk peribadatan, selalu mengingat-Nya,
melaksanakan segala perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya.
Ketiga, unsur respon yang bersifat emosional dari manusia. respon tersebut
dapat mengambil bentuk rasa takut, seperti yang terdapat pada agama primitif,
atau perasaan cinta seperti yang terdapat pada agama-agama monoteisme.

11
Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam....., h. 14
12
Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam....., h. 20

5
Selanjutnya respon tersebut dapat pula mengambil bentuk penyembahan seperti
yang terdapat pada agama-agama monoteisme dan pada akhirnya respon tersebut
mengambil bentuk dan cara hidup tertentu bagi masyarakat ang bersangkutan.
Keempat, unsur paham adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam
bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab suci yang mengandung ajaran-ajaran
agama yang bersangkutan, tempat- tempat tertentu, peralatan untuk
menyelenggarakan upacara, dan sebagainya.

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa ada lima aspek yang terkandung
dalam agama. Pertama, aspek asal usulnya, yaitu ada yang berasal dari Tuhan
seperti agama samawi, dan ada yang berasal dari pemikiran manusia seperti
agama ardhi atau agama kebudayaan. Kedua, aspek tujuannya, yaitu untuk
memberikan tuntunan hidup agar bahagia di dunia dan akhirat. Ketiga, aspek
ruang lingkupnya, yaitu keyakinan akan adanya kekuatan gaib, keyakinan
manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung
pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib, respon yang bersifat
emosional, dan adanya yang dianggap suci. Keempat, aspek pemasyarakatannya,
yaitu disampaikan secara turun temurun dan diwariskan dari generasi ke generasi
lain. Kelima, aspek sumbernya, yaitu kitab suci.
Mendasarkan pada empat unsur di atas dapat dipahami bahwa agama dapat
dimaknai sebagai kebutuhan kodrati manusia sekaligus sebagai hasil renungan
manusia yang terkandung dalam kitab suci yang diwariskan secara turun temurun
dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar
mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Bersinggungan dengan makna agama dalam Islam dapat ditelusuri dari
kedatangan Islam dalam sejarah sosial budaya masyarakat Arab. Sebagaimana
budaya jahiliyah, adat kebiasaannya dipenuhi angkara murka. Mereka suka
poligami tanpa batas, mengubur hidup- hidup anak perempuan, melegalkan
perbudakan, melakukan ihdad berlebihan bagi istri yang ditinggal mati suaminya,
tidak memberi harta warisan kepada kaum perempuan, dan masih banyak lagi
yang lain. Inti agama yang tertuang dalam lembaran teks wahyu tidak lain
bertujuan membebaskan dari keterjeratan budaya jahiliyah tersebut. Karenanya,

6
ketentuan syari’at dalam Islam sangat menjunjung moralitas dan nilai- nilai
kemanusiaan.13
Untuk mengetahui definisi Agama Islam setidaknya ada tiga alasan, yaitu:
Pertama, karena pengalaman agama itu adalah soal bathini dan subyektif, juga
sangat individualistik. kedua, bahwa barangkali tidak ada orang yang berbicara
begitu bersemangat dan emosional lebih daripada membicarakan agama, maka
dalam membahas tentang arti agama selalu ada emosi yang kuat sekali hingga
sulit memberikan arti kalimat agama itu. ketiga, bahwa konsepsi tentang agama
akan dipengaruhi oleh tujuan orang yang memberikan pengertian agama itu.14
Islam dapat diartikan agama yang diajarkan Nabi Muhammad saw., yang
berpedoman pada kitab suci Alquran dan diturunkan ke dunia ini melalui wahyu
Allah swt.15
Ensiklopedi Islam Indonesia, mendefinisikan bahwa Islam adalah agama
tauhid yang ditegakkan oleh Nabi Muhammad saw., selama 23 tahun di Makkah
dan Madinah yang inti sari Islam berserah diri atau taat sepenuh hati pada
kehendak Allah swt., demi terciptanya kepribadian yang bersih, hubungan yang
harmonis, dan damai sesama manusia serta sejahtera dunia dan akhirat.16
Islam berasal dari kata “salam“17 yang artinya selamat, aman sentosa,
sejahtera, yaitu aturan hidup yang dapat menyelamatkan manusia di dunia dan di
akhirat. Sementara “ aslama’18 yang artinya menyerah atau masuk Islam, yaitu
agama yang mengajarkan penyerahan diri kepada Allah, tunduk dan taat kepada
hukum Allah tanpa tawar menawar. Kata Islam juga berasal dari kata “silmun”19
yang artinya keselamatan atau perdamaian, yakni agama yang mengajarkan hidup
yang damai dan selamat.. Kata Islam berasal dari kata “sulamun’ yang artinya
tangga, kesadaran, yaitu peraturan yang dapat mengangkat derajat kemanusiaan

13
Abu, Yasid. Nalar dan Wahyu, (Jakarta: Erlangga. 2002), h. 99
14
Endang Syaefudin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, PT Bina Ilmu, Surabaya, 2002, h.
117-118, lihat juga Mukti Ali, Agama, (Universitas dan Pembangunan, Badan Penerbit IKIP,
Bandung, 1971), h. 4
15
Pusat Depennas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 444
16
Harun Nasution, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 443.
17
kata salam terdapat dalam al-Qur’an surat al- An’am ayat 54; surat al- A’raf ayat 46
18
Kata aslama terdapat dalam al-Qur’an surat al- Baqarah ayat 112; surat Ali Imran ayat 20
dan 83; surat an- Nisa’ ayat 125;
19
Kata silmun terdapat dalam surat al- Baqarah ayat 128; dan surat Muhammad ayat 35

7
yang dapat mengantarkan orang kepada kehidupan yang bahagia. Islam adalah
agama Samawi terakhir yang diwahyukan Allah SWT kepada utusan-Nya
Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia di Bumi.
Agama Islam bersifat universal dan menjadi Rahmat bagi seluruh alam (rahmah li
al-‘Alamin). Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya,
tetapi juga memberikan tuntunan bagaimana manusia berhubungan dengan
sesamanya, dan bagaimana kedudukan manusia di tengah-tengah alam semesta
dan lingkungan sekitarnya.20
Memahami Islam hanya dari sudut sejarahnya atau sosial budayanya akan
berakibat pada longgarnya ikatan norma agama karena selalu dikaitkan dengan
kenyataan sosial budaya penganutnya. Dalam hal pendekatan pemahaman Islam
secara utuh (kaafah), A. Mukti Ali, mantan Menteri Agama RI, mengajukan
beberapa cara yaitu pertama, ketahui siapa Tuhan yang menjadi pusat
penyembahan; kedua, pelajari kitab sucinya yaitu Alquran; Ketiga, pelajari pribadi
Nabi Muhammad; keempat, teliti suasana dan situasi di mana Nabi Muhammad
bangkit; kelima, pelajari orang-orang terkemuka seperti sahabat-sahabat Nabi
yang setia.21
2. Ajaran Islam dalam Konsep Tasawuf
Sebagai salah satu disiplin keagamaan dalam Islam, tasawuf merupakan
bidang yang oleh sementara kalangan dianggap berada pada wilayah yang berbeda
dari ilmu pengetahuan pada umumnya. Hal tersebut dikarenakan sebagai disiplin
keagamaan, tasawuf lebih bersifat adikodrati sehingga hanya mungkin didekati
dengan pendekatan spiritual. Sifatnya yang adikodrati itulah yang menjauhkannya
dari disiplin ilmiah yang bersifat empiris. Bahkan di kalangan sebagian agamawan
ada anggapan bahwa ilmu pengetahuan pada umumnya merupakan ancaman
terhadap dogma agama. Sebaliknya, sebagian para ilmuan juga memandang
agama sebagai penyebab kemandekan ilmu pengetahuan.22

20
lihat; QS 3: 112
21
A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 38-44.
22
Yasien Mohamed, Insan yang Suci: Konsep Fitrah dalam Islam (Bandung: Mizan, 1995),
h. 90-93.

8
Lebih lanjut jika manusia ingin meraih derajat keparipurnaannya (insân
kâmil) atau dalam ungkapan lain yang disebut maʻrifat (pengetahuan ketuhanan)
di mana dimensi ketuhanan (ulûhîyah) teraktualisasikan secara penuh, manusia
harus melalui proses latihan spiritual yang disebut takhallî atau zero mind process
(mengosongkan diri dari segala keburukan atau kejahatan), tahallî atau character
building (menghiasi diri dengan perilaku baik) dan tajallî atau God spot (kondisi
di mana kualitas ketuhanan teraktualisir atau termanifestasikan). Konsep ini
sejalan dengan firman Allah yang menyatakan: ―Maka Aku ilhamkan (dalam diri
manusia) potensi kejahatannya dan kebaikannya. Sungguh beruntung orang-orang
yang menyucikannya dan sungguh celaka orang-orang yang mengotorinya‖. (Q.S.
al-Shams [91]: 8-10).
Seorang sâlik dalam menempuh jalan tasawuf, pencapaian yang dilaluinya
pada derajat tertinggi dalam maqâmat, yaitu berada dekat dengan Allah Sang
Maha Kasih, merupakan tujuan akhir yang dapat dijadikan sebagai media
memaksimalkan potensi kebaikan yang dimiliki oleh setiap manusia dan pada saat
yang sama keduanya dijadikan sebagai―perisai yang bisa melindungi manusia
dari hal-hal negatif yang bisa merusak jiwa dan nilai-nilai kemanusiaan. Sebagai
ilustrasi, dalam disiplin psikologi transpersonal dikenal konsep religious
experience yang menekankan pentingnya pemahaman keagamaan yang
komprehensif dimana aspek―pengalaman luar‖ keagamaan seharusnya
ditransformasikan ke dalam aspek spiritualitas untuk memerkaya nilai-nilai
kejiwaan. Selanjutnya, nilai-nilai tersebut dimanifestasikan lagi dalam bentuk
perbuatan individu yang mencerminkan kesalehan sosialHal yang sama juga
berlaku dalam dunia tasawuf di mana seorang sâlik, selain mengamalkan aspek
eksoteris ajaran Islam, juga menekankan aspek esoteris, yaitu spiritualitas, untuk
menemukan al-Haqq. Pengalaman keagamaan dalam pencarian spiritual tersebut
kemudian diimplementasikan oleh seorang sâlik dalam kehidupan sosial. Dengan
demikian, pengalaman keagamaan semacam ini akan menciptakan pemahaman
agama yang inklusif dan penuh penghayatan. Sebagaimana diketahui, dimensi
ketuhanan (al-rûh al-illahîyah) merupakan sumber kekuatan pribadi manusia. Jika
seseorang konsisten untuk mengaktualisir asma Allah atau dengan kata lain al-

9
takhalluq bi asmâ’ Allâh (mengambil nama-nama Allah sebagai sumber inspirasi
segala perilakunya), ia akan meraih kesempurnaan yang didambakan. Takhalluq,
menurut Ibn ʻArabî, adalah jalan spiritual menuju Allah yang melahirkan akhlak
mulia sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan takhalluq berarti mengukuhkan
pandangannya bahwa tidak ada suatu realitaspun yang wujud kecuali Allah, nama-
nama-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya.23
Dalam tradisi tasawuf, banyak teori yang menyebut karakter-karakter
keluhuran yang seharusnya dimiliki oleh manusia. Karakter-karakter tersebut
tergambar dalam konsep-konsep sufistik seperti, maqâmât (stations), ah}wâl
(states), ittih}âd (unity), wah}dat al-wujûd (kesatuan wujud), wah}dat al-shuhûd
(kesatuan penyaksian), wah}dat al-adyân (kesatuan agama-agama), dan lain-lain.
Menurut hemat penulis, konsep-konsep sufistik tersebut memiliki titik relevansi
dengan konsep process of becoming dalam disiplin psikologi transpersonal.
Sebagai contoh, maqâmât dalam tasawuf pada dasarnya merupakan rangkaian
proses yang harus dijalani oleh seorang sâlik dalam perjalanan spiritualnya
menuju Allah. Keberhasilan seorang sâlik dalam menjalani proses-proses tersebut
pada akhirnya akan menjadikannya sebagai individu ―yang menjadi‖; individu
yang paripurna karena dia telah ―menjadi‖ kekasih dari Sang Maha Kasih.
Dalam konsep maqâmât juga terkandung banyak karakter luhur yang
dijadikan syarat bagi seseorang yang menapaki pendakian spiritualKarakter-
karakter tersebut antara lain: tawbah, sabr, zuhd, waraʻ, tawakkal, dan rid}â.
Tawbah berarti semangat untuk melakukan perubahan menuju yang lebih baik dan
meninggalkan perilaku kejahatan yang dilakukan. Sabr memiliki makna semangat
tinggi dengan penuh ketegaran untuk menghadapi segala rintangan yang
menghadang. Waraʻ menghindari perilaku atau tindakan yang tidak berguna. Zuhd
bermakna independensi diri untuk tidak terbelenggu dari gemerlapnya duniawi.
Tawakkal yakni sikap berani menghadapi resiko yang ditimbulkan oleh perilaku
yang diputuskannya. Sedangkan ridâ berarti kerelaan diri untuk menerima hasil
apapun yang diperoleh dari usaha yang telah dilakukan secara maksimal dengan

23
Muhy al-Dîn Ibn ‗Arabî, al-Futuh}ât al-Makkîyah, Vol. 3 (Mesir: Dâr al-Kutub al-
‗Arabîyah, 1997), h. 68.

10
penuh suka cita. Di sisi lain, konsep-konsep tasawuf falsafî seperti, ittihâd,
wahdat al-wujûd, wahdat al-shuhûd, dan tajallî dalam konteks takhalluq
mengimplikasikan sikap kesempurnaan, perasaan menyatu dengan alam,
kesetaraan, keadilan, keindahan, keutuhan, keserasian, kesederhanaan dan sifat-
sifat kebaikan lainnya.
Para orientalis pun mengakui bahwa Alquran adalah benar yang dibaca oleh
Nabi Muhammad dulu; hanya mereka tidak menyebutkan sebagai wahyu Allah
sebagaimana kaum Muslimin mengakuinya. Namun mereka mengakui bahwa
Alquran adalah bacaan Nabi Muhammad yang ditulis oleh Zaid ibn Tsabit
kemudian dikumpulkan oleh Abu Bakar dan diperbanyak salinannya oleh Usman
ibn Affan. Ringkasan yang disebut wahyu dalam Islam adalah ayat-ayat dalam
bahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi. Kalau ayat-ayat itu diganti dengan
kata lain walaupun hanya diganti dengan sinonimnya itu sudah bukan wahyu lagi.
Demikian pula kalau diubah susunan kata-katanya meskipun susunan kata-kata itu
adalah dengan menggunakan bahasa Arab, itu juga bukan firman Allah.
Mengapa? Di dalamnya sudah ada campur tangan manusia. Adapun terjemahan
adalah hasil pemikiran manusia.24

3. Islam Sebagai Produk Sejarah


Islam sebagai produk sejarah memberikan gambaran kepada kita bahwa
wajah Islam yang kita lihat dan saksikan sehari-hari tidak seluruhnya sama dan
sebangun dengan Islam yang ada pada zaman Nabi. Teologi Syiah, Mutazilah
bahkan Ahlus Sunnah wa al-Jamaah, yang menjadi anutan banyak pemeluk Islam
di dunia, adalah produk sejarah. Konsep Khulafa al-Rasyidin, ijtihad empat
mazhab fikih, dan konsep tasawwuf al-Ghazali adalah produk sejarah. Dalam hal
Islam sebagai produk budaya dan sejarah, memberikan gambaran kepada kita
bahwa campur tangan manusia dalam membedah dan memformulasikan ajaran,
mazhab, pendapat dan renungannya demikian–dominan. Mereka sama-sama
mendasarkan pendapatnya atas teks wahyu dan sunnah Nabi. Peran ijtihad dalam

24
Harun Nasution, “Klasifikasi Ilmu dan Tradisi Penelitian Islam: sebuah Perspektif”,
dalam Mastuhu dan Deden Ridwan (Ed). Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan
Antardisiplin Ilmu, (Bandung: Nuansa, 1998), h. 10.

11
hal ini demikian besar. Hasil ijtihad kalau benar-benar didasarkan atas teks yang
mutawatir dengan tujuan mencari kebenaran demi kemaslahatan umat dinilai
sebagai berpahala. Ada dalil yang populer menyatakan, “barang siapa berijtihad
dan benar, maka ia mendapatkan dua pahala, sebaliknya barang siapa berijtihad
dan hasilnya tidak benar maka ia tetap memperoleh satu pahala.”
Lebih lanjut, Meminjam istilah Atho Mudzhar, Islam dapat dipandang
sebagai “produk budaya, produk sejarah, gejala sosial dan lain-lain.” Islam
sebagai “produk budaya” akan memberi corak yang berbeda antara satu daerah
dengan daerah lain karena masing-masing penganut di masing-masing wilayah
berbeda-beda. Corak Islam yang dianut di Timur Tengah akan berbeda dengan
yang dianut orang-orang di Jawa Tengah; upacara-upacara orang Islam di Saudi
Arabia di samping memiliki kesamaan dengan negara Muslim lain tentu memiliki
ciri khas yang berbeda dengan tradisi Islam di berbagai belahan bumi ini; cara
merayakan hari-hari besar di Iran akan jauh berbeda dengan teman-teman kita di
Padang Pariaman, misalnya. Tradisi berlebaran di Indonesia dalam rangka
menyambut hari raya Idul Fitri jauh lebih semarak dari pada di Makkah dan
Madinah. Tradisi Idul Adha yang di Indonesia biasa-biasa saja tapi justeru di Arab
Saudi lebih semarak dan sakral. Sekurang-kurangnya, terdapat lima gejala yang
perlu diperhatikan apabila kita hendak mempelajari suatu agama: Pertama,
scripture atau naskah-naskah atau sumber-sumber ajaran agama tersebut. Kedua,
para penganut, pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan
penghayatan agama para penganutnya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga dan
ibadat-ibadat seperti salat, haji, puasa, perkawinan dan waris. Keempat, alat-alat
(sarana) seperti masjid, gereja, lonceng, peci, sorban, dan semacamnya. Kelima,
organisasi-organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan
berperan, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persis, Gereja Katolik,
Gereja Protestan, Syiah, Ahmadiyah dan lain-lain.25

25
Atho Mudzar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998), h. 30-32

12
C. Kesimpulan
Agama (diniyyah) sebagai risalah yang disampaikan Tuhan kepada para
nabi-Nya untuk memberi peringatan kepada manusia. agama dapat dimaknai
sebagai kebutuhan kodrati manusia sekaligus sebagai hasil renungan manusia
yang terkandung dalam kitab suci yang diwariskan secara turun temurun dengan
tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Sebagai salah satu disiplin keagamaan dalam Islam, tasawuf sebagai
metode manusia dalam meraih derajat keparipurnaannya (insân kâmil) yang
selanjutnya untuk menyibak tabir maʻrifat (pengetahuan ketuhanan) dimensi
ketuhanan (ulûhîyah) yang teraktualisasikan secara penuh, manusia harus melalui
proses latihan spiritual yang disebut takhallî atau zero mind process
(mengosongkan diri dari segala keburukan atau kejahatan), tahallî atau character
building (menghiasi diri dengan perilaku baik) dan tajallî atau God spot (kondisi
di mana kualitas ketuhanan teraktualisir atau termanifestasikan). Islam sebagai
produk sejarah memberikan gambaran seperti; dalam konsep tasawwuf al-Ghazali.
Memahami agama dalam Islam secara benar dapat ditempuh beberapa cara:
Pertama, Islam harus dipelajari dari sumber yang asli, yaitu Alquran dan
Alsunnah. Kekeliruan memahami Islam adalah karena orang hanya mengenalnya
dari sebagian ulama dan pemeluknya yang telah jauh dari bimbingan Alquran dan
Alsunnah atau melalui pengenalan dari kitab-kitab fikih dan tasawwuf yang
semangatnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman; Kedua, Islam
harus dipelajari secara integral, tidak parsial; artinya ia dipelajari secara
menyeluruh sebagai suatu kesatuan yang bulat. Memahami Islam secara parsial
(sepotong-sepotong) akan membahayakan, akan menimbulkan sikap skeptis,
bimbang, dan tidak pasti; Ketiga, Islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang
ditulis oleh para ulama besar, kaum zu’ama dan sarjana-sarjana Islam, karena
pada umumnya mereka memiliki pemahaman Islam yang baik, yaitu pemahaman
yang lahir dari perpaduan ilmu yang dalam terhadap Alquran dan Sunnah Rasul
dengan pengalaman yang dihadapi setiap saat, dalam hal ini bukan berarti
perpustakaan ulama besar ini tidak ada kekurangannya.

13
DAFTAR PUSTAKA

A. Mukti Ali. Metode Memahami Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Abdullah, M. Yatimin, Studi Islam Kontemporer. Pekan Baru: Amzah. 2004.
Abu Ahmadi. Sejarah Agama. Solo : Ramadhani. 1984.
Atho Mudzar. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998.
Endang Syaefudin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, PT Bina Ilmu, Surabaya, 2002, h. 117-118,
lihat juga Mukti Ali, Agama. Universitas dan Pembangunan, Badan Penerbit IKIP, Bandung,
1971.
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Cetakan V, Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia. 1985.
Harun Nasution. “Klasifikasi Ilmu dan Tradisi Penelitian Islam: sebuah Perspektif”, dalam
Mastuhu dan Deden Ridwan (Ed). Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan
Antardisiplin Ilmu. Bandung: Nuansa, 1998.
Harun Nasution. Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 443.
Jalaludi. Filsafat Pendidikan dari Zaman Ke Zaman. —Ed.1—Cet. 1. Jakarta: Rajawali Pers. 2017.
Muhy al-Dîn Ibn Arabî, al-Futuhât al-Makkîyah. Vol. 3 (Mesir: Dâr al-Kutub al-Arabîyah. 1997.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2011.
Pusat Depennas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Rousydiy, T.A Lathief, Agama Dalam Kehidupan Manusia. Medan: Rambow. 1986.
Usman Abu Bakar dan Surohim. Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam (Respon Kreatif
Terhadap Undang-undang Sisdiknas. Yogyakarta: Safiria Insania Press. 2005.
Abu Yasid. Nalar dan Wahyu. Jakarta: Erlangga. 2002.
Yasien Mohamed. Insan yang Suci: Konsep Fitrah dalam Islam. Bandung: Mizan, 1995.

14

Você também pode gostar