Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Penulis : Dwi Wisnu Pradana (Staf Departemen Kajian Strategis BEM FEB UGM 2015)
Menggapai stabilitas harga bahan pangan di Indonesia bukan merupakan suatu hal yang
mudah. Harga bahan pangan yang fluktuatif seakan-akan menjadi tradisi rutin yang selalu
terulang setiap tahunnya. Bukan hanya konsumen yang menjerit, namun juga para petani
lokal hingga distributor pun akan ikut menjerit.
Tercatat pada bulan Januari 2016, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) adalah sebesar
0,51% month to month (mtm) dan sumber utama pendorong inflasi itu berasal dari kelompok
volatile food (kelompok bahan pangan dengan harga yang mudah bergejolak) yaitu sebesar
2,40% mtm. Serta berdasarkan pada data yang dirilis oleh Kementerian Perdagangan
(Kemendag) di akhir bulan Januari 2015 dan Januari 2016 mengenai harga kebutuhaan pokok
di Indonesia, terdapat 7 bahan kebutuhan pokok dengan kenaikan harga mencapai 5 persen
keatas seperti yang tercantum pada tabel 1, yaitu daging sapi, daging ayam broiler, telur ayam
ras, beras medium, gula pasir, cabai merah biasa, dan bawang merah. Kenaikan harga yang
paling tinggi terjadi pada komoditas bawang merah, yaitu mencapai 45 persen, sedangkan
penurunan harga yang paling drastis terjadi pada komoditas tepung terigu, yaitu mencapai -19
persen.
Tabel 1. Selisih harga kebutuhan pokok Indonesia pada Januari 2015-Januari 2016 per
kilogram
Data diatas menunjukkan bahwa sektor pangan rentan terhadap fluktuasi harga dan juga
menunjukkan bahwa pemerintah belum mampu mengontrol harga beberapa jenis komoditas
dengan baik. Menjaga kestabilan harga pangan merupakan suatu hal yang penting karena
dengan begitu ketahanan pangan dapat diraih, kesejahteraan masyarakat dapat meningkat,
dan kemiskinan akan semakin berkurang.
Untuk menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok, maka pada bulan Juni 2015 pemerintah
menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan
Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Kebutuhan Penting. Dalam peraturan tersebut,
pemerintah memberi wewenang pada Kemendag untuk menetapkan harga bahan pokok
ketika harga bergejolak, mengawasi penyimpanannya, serta mengkoordinasi dan melakukan
berbagai tindakan yang berkaitan dengan stabilisasi harga kebutuhan pokok. Kemendag
belum melakukan banyak tindakan dalam menstabilkan harga kebutuhan pokok karena
peraturan ini baru saja diterbitkan. Saat ini Kemendag akan berfokus pada penetapan harga
acuan beberapa komoditas pangan dan pengaturan stok kebutuhan pokok nasional. Tentunya
dalam menjalankan kewenangan ini, terdapat berbagai hambatan yang akan menghadang.
Melalui Perpres Nomor 71 Tahun 2015, Kemendag memperoleh sebuah tanggung jawab
yang besar untuk mengkoordinasi berbagai kementerian dan lembaga terkait untuk
memecahkan seluruh permasalahan yang berkaitan dengan kestabilan dan ketersediaan
kebutuhan pokok. Baik yang disebabkan oleh masalah ketersediaan, distribusi, maupun
konsumsi. Selama ini kebijakan-kebijakan pangan masih diputuskan secara sektoral dan
belum terintegrasi dengan sempurna, baik oleh Kemendag, Kementerian Pertanian,
Pemerintah Daerah, Kementerian Perhubungan, Perum Badan Urusan Logistik (Bulog),
maupun lembaga atau kementerian lainnya. Tugas ini akan menjadi tantangan yang berat bagi
Kemendag karena selama ini sistem ketahanan pangan belum terwujud dan harus
dikoordinasi dengan baik.
Kedepannya, Indonesia masih membutuhkan sebuah lembaga yang lebih mandiri dan siap
untuk menjaga ketahanan pangan seperti yang telah diamanatkan pada Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Lembaga ini akan memiliki ruang gerak yang lebih
bebas dalam menstabilkan harga pangan nasional, bukan hanya melalui penetapan harga
acuan, namun juga melakukan segala upaya untuk memecahkan permasalahan pangan yang
begitu kompleks.
Infrastruktur memainkan peran penting dalam stabilitas harga bahan pangan. Dengan
infrastruktur yang baik maka wilayah yang memiliki supply berlebihan dapat memenuhi
kebutuhan daerah lain yang mengalami kelangkaan pada bahan pangan tertentu dengan cepat
dan lancar. Jika kedua wilayah tersebut tidak saling terhubung maka wilayah yang
kekurangan bahan pangan akan mengalami peningkatan harga, sedangkan pada wilayah yang
mengalami oversupply akan mengalami penurunanharga. Dengan begitu, disparitas harga
bahan pangan antar daerah pun dapat terjadi.
Menurut data yang dirilis oleh World Econonomic Forum dalam Global Competitiveness
Report tahun 2014-2015, infrastruktur Indonesia menempati peringkat 56 dari 144 negara
dengan skor 4,4 (skala 1-7). Pencapaian ini bukanlah merupakan hal yang membanggakan
jika kita membandingkannya dengan negara tetangga, Malaysia, yang mampu menempati
peringkat 25 dengan skor 5,5. Pada tabel 2, dapat dilihat Indonesia masih kalah dibanding
dengan Malaysia pada 5 dari 9 indikator penilaian infrastruktur yang berkaitan erat dengan
distribusi pangan.
Indikator Penilaian Infrastruktur Peringkat Indonesia Peringkat Malaysia
Kualitas infrastruktur secara keseluruhan 63 20
Kualitas jalan 45 19
Kualitas infrastruktur kereta 54 12
Kualitas infrastruktur pelabuhan 86 19
Kualitas infrastruktur transportasi udara 50 19
Dalam stabilisasi harga bahan pangan, Kemendag akan melibatkan berbagai kementerian dan
lembaga lain dalam rantai koordinasinya. Kemendag pun akan sangat membutuhkan Perum
Bulog sebagai lembaga stabilisator harga pangan nasional. Bulog akan banyak dituntut untuk
menjaga harga dan stok beberapa komoditas yang rentan terhadap fluktuasi harga. Namun
selama ini Bulog masih dianggap belum mampu menjalankan tugas tersebut secara optimal,
mengingat aset-aset yang dimiliki bulog hingga saat ini masih berfokus pada pengelolaan
komoditas beras saja. Bulog belum memiliki gudang maupun teknologi khusus untuk
menyimpan berbagai komoditas yang lebih beragam. Dengan keterbatasan yang dimiliki
bulog, usaha stabilisasi pangan nasional dalam jangka pendek belum tentu berjalan dengan
lancar sepenuhnya.
Beberapa jenis komoditas pangan kerap sekali mengalami kenaikan harga di Indonesia,
karena barang yang beredar dipasaran terlalu sedikit dari permintaan yang ada. Untuk
mencegah harga merangkak naik, maka pemerintah harus melepaskan stok yang dimilikinya.
Stok pangan dapat diperoleh melalui penumpukan produk lokal yang berlebih atau dengan
cara impor. Namun cara impor tidak perlu dilakukan jika ketersediaan produk lokal
mengalami surplus.
Pada tahun 2015, Indonesia mengalami surplus pada beberapa jenis komoditas. Komoditas
tersebut diantaranya adalah beras, jagung, bawang merah, cabai. Pada tahun 2015, dikabarkan
beras mengalami surplus 10 juta ton, jagung mengalami surplus 813 ribu ton, bawang merah
mengalami surplus 150 ribu ton, dan cabai mengalami surplus sebesar 50 ribu ton. Dengan
adanya surplus, maka Bulog pun dapat mengisi stok gudang mereka dan memberi jaminan
kestabilan harga bagi pasar. Namun pada kenyataannya, keempat komoditas ini selalu
mengalami peningkatan harga yang paling tinggi akibat jumlah barang yang beredar di pasar
terbatas. Bahkan Bulog pun tidak dapat memenuhi gudang-gudangnya dari surplus produk
lokal tersebut. Sehingga keran impor untuk keempat komoditas tersebut harus dibuka agar
jumlah barang yang beredar dipasaran mencukupi serta mampu mengisi stok gudang Bulog.
Kejanggalan data ini tentu menimbulkan banyak tanda tanya, baik data hasil panen maupun
data proyeksi konsumsi masyarakat selama setahun. Data tersebut hanya dapat menimbulkan
kebingungan bagi pemangku kebijakan. Selama ini Kementan yang menangani proses
produksi pangan selalu menyatakan stok pangan surplus, namun Kemendag beserta Bulog
malah mengatakan hal yang berbeda. Pemerintah dalam hal ini masih harus membenahi data
yang ada, agar terjadi keselarasan kebijakan antar lembaga dan kementerian yang terkait.
Dengan begitu stok pangan nasional pun dapat diatur dan memberi kepastian pada pasar.
Berbagai tantangan pasti akan selalu ada dalam upaya menjaga stabilitas harga bahan pangan
nasional. Memang bukan merupakan suatu hal yang mudah untuk menjaga stabilitas ini.
Dibutuhkan suatu komitmen yang kuat untuk menghadapi berbagai tantangan yang ada.
Tanpa adanya keseriusan, maka segala cita-cita Indonesia untuk menjadi negara yang lebih
maju dapat kandas di tengah jalan. Dengan stabilitas harga bahan pangan, maka pemenuhan
kebutuhan pangan masyarakat tidak akan terganggu sehingga gizi setiap warga dapat
terpenuhi. Dan dengan stabilnya harga juga, maka tingkat kemiskinan dapat ditekan dan
kesejahteraan bangsa pun dapat diraih.
Sudah bukan waktunya bagi pemerintah dan masyarakat untuk saling menunggu. Baik
pemerintah maupun masyarakat harus berusaha sekuat tenaga untuk keluar dari ketidak
nyamanan ini. Tindakan yang nyata akan mampu membawa Indonesia menjadi baik lagi.
Bukan hanya menjadi bangsa yang mandiri, namun juga mampu menjadi bangsa yang
dihormati negara lain.
Sumber: