Você está na página 1de 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Arsitektur kolonial Belanda di Indonesia dibangun di seluruh Nusantara yang


dulu dikenal sebagai Hindia Belanda. Sebagian besar bangunan era kolonial yang
lebih baik dan permanen terdapat di Jawa dan Sumatera, yang secara ekonomi
dianggap lebih penting selama masa penjajahan Belanda. Akibatnya, lebih banyak
bangunan kolonial yang bertahan masih terdapat di kedua pulau tersebut. Banyak
benteng dan gudang era VOC lama tersebar di seluruh Nusantara, terutama di
sekitar Kepulauan Maluku dan Sulawesi.
Setibanya di Hindia Timur, arsitektur Belanda terutama berasal dari
pengetahuan dan keahlian dari negara asal. Pada kebanyakan kasus, bangunan
pertukangan batu disukai pada sebagian besar konstruksi mereka. Sebelumnya,
kayu dan produk sampingannya hampir secara eksklusif digunakan di Hindia,
kecuali beberapa arsitektur keagamaan dan istana utama. Selama periode awal
kolonisasi, koloni-koloni Belanda terutama diperintah oleh VOC, yang terutama
memerhatikan fungsionalitas bangunannya daripada membuat bangunan sebagai
ekshibisi bergengsi.
Selama hampir dua abad, para kolonis tidak banyak menyesuaikan kebiasaan
arsitektur Eropa mereka dengan iklim tropis. Di Batavia, misalnya, mereka
membangun kanal melalui dataran rendahnya, yang digawangi oleh rumah
baris berjendela kecil dan berventilasi buruk, kebanyakan bergaya campuran
Tionghoa-Belanda. Kanal-kanal tersebut menjadi tempat pembuangan untuk
limbah berbahaya dan kotoran dan tempat berkembang biak yang ideal untuk
nyamuk anopheles, dengan malaria dan [disentri]] menyebar ke seluruh ibu kota
kolonial Hindia Belanda. Dan pada paruh kedua abad ke-17, penduduk di dalam
Batavia bertembok mulai membangun properti dan vila luar kota yang besar
sepanjang Kanal Molenvliet, contoh terbaik yang bertahan adalah bekas rumah
besar Reyner de Klerk yang dibangun dengan gaya Eropa yang kaku.

B. RUMUSAN MASLAH
1. Bagaiman proses perkembangan arsitektur kolonialise di Indonesia
berdasrkan strudi kasus
2. Menganalisis konsep bangunan kolonialisme

1
C. TUJUAN
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah arsitektur berwawasan budaya
2. Untuk mengetahui proses perkembangan arsitektur kolonialisme di
Indonesia dengan berbagai studi kasus
3. Untuk Menganalisis konsep bangunan kolonialisme

2
BAB II

PEMBAHASAN
ANALISIS KONSEP BANGUNAN MASA KOLONIALISME

A. Pengertian Arsitektur Kolonial Belanda


Pada masa penjajahan Belanda, Indonesia mengalami pengaruh Occidental
(Barat) dalam berbagai segi kehidupan termasuk dalam tata kota dan bangunan.
Para pengelola kota dan arsitek Belanda banyak menerapkan konsep lokal atau
tradisional Belanda didalam perencanaan dan pengembangan kota, permukiman
dan bangunan-bangunan.
Adanya pencampuran budaya, membuat arsitektur kolonial di Indonesia
menjadi fenomena budaya yang unik. Arsitektur kolonial di berbagai tempat di
Indonesia apabila diteliti lebih jauh, mempunyai perbedaan-perbedaan dan ciri
tersendiri antara tempat yang satu dengan yang lain.
Arsitektur kolonial sendiri merupakan arsitektur yang dibangun selama
masa kolonial, ketika Indonesia menjadi negara jajahan bangsa Belanda pada
tahun 1600-1942, yaitu 350 tahun penjajahan Belanda di Indonesia.
Arsitektur kolonial menyiratkan adanya akulturasi diiringi oleh proses
adaptasi antara dua bangsa berbeda. Proses adaptasi yang dialami oleh dua bangsa
terbentuk dengan apa yang dinamakan arsitektur kolonial. Hal ini mencakup
penyelesaian masalah-masalah yang berhubungan dengan perbedaan iklim,
ketersediaan material, cara membangun, ketersediaan tenaga kerja, dan seni
budaya yang terkait dengan estetika. Ditinjau dari proses akulturasi yang terjadi,
terdapat dua faktor yang mempengaruhi terbentuknya arsitektur kolonial Belanda,
yaitu faktor budaya setempat dan faktor budaya asing Eropa atau Belanda.
Arsitektur kolonial lebih banyak mengadopsi gaya neo-klasik, yakni gaya
yang berorientasi pada gaya arsitektur klasik Yunani dan Romawi. Ciri menonjol
terletak pada bentuk dasar bangunan dengan trap-trap tangga naik (cripedoma).
Kolom-kolom dorik, ionik dan corinthian dengan berbagai bentuk ornamen pada
kapitalnya. Bentuk pedimen, yakni bentuk segi tiga berisi relife mitos Yunani atau
Romawi di atas deretan kolom. Bentuk-bentuk tympanum (konstruksi dinding

3
berbentuk segi tiga atau setengah lingkaran) diletakkan di atas pintu dan jendela
berfungsi sebagai hiasan.
Arsitektur kolonial merupakan arsitektur yang memadukan antara budaya
Barat dan Timur. Arsitektur ini hadir melalui karya arsitek Belanda dan
diperuntukkan bagi bangsa Belanda yang tinggal di Indonesia, pada masa sebelum
kemerdekaan. Arsitektur yang hadir pada awal masa setelah kemerdekaan sedikit
banyak dipengaruhi oleh arsitektur kolonial disamping itu juga adanya pengaruh
dari keinginan para arsitek untuk berbeda dari arsitektur kolonial yang sudah ada.
Arsitektur klonial Belanda adalah gaya desain yang cukup popular di
Netherland tahun 1624-1820. Ciri-cirinya yakni fasad simetris, material dari batu
bata atau kayu tanpa pelapis, entrance mempunyai dua daun pintu, pintu masuk
terletak di samping bangunan, denah simetris, jendela besar berbingkai kayu,
terdapat dormer (bukaan pada atap).
Arsitektur kolonial adalah arsitektur cangkokan dari negeri induknya
Eropa kedaerah jajahannya, Arsitektur kolonial Belanda adalah arsitektur
Belanda yang dikembangkan di Indonesia, selama Indonesia masih
dalam kekuasaan Belanda sekitar awal abad 17 sampai tahun 1942.

B. Karakteristik Arsitektur
Model bangunan berarsitektur Kolonial ini memiliki kekhasan bentuk
bangunan terutama pada fasade bangunannya. Diantara ciri-ciri bangunan
Kolonial yaitu:

1) Penggunaan gewel (gable) pada fasade bangunan yang biasanya berbentuk


segitiga.

4
Gambar 1: Berbagai Variasi Bentuk Gawel (Sumber : American Design 1870-
1940 dalam Handinoto, 1996: 167)

2) Penggunaan tower pada bangunan.


3) Penggunaan dormer pada atap bangunan yaitu model jendela atau bukaan
lain yang letaknya di atap dan mempunyai atap tersendiri.
4) Model denah yang simetris dengan satu lantai atas.
5) Model atap yang terbuka dan kemiringan tajam.
6) Mempunyai pilar di serambi depan dan belakang yang menjulang ke atas
bergaya Yunani.
7) Penggunaan skala bangunan yang tinggi sehingga berkesan megah.
8) Model jendela yang lebar dan berbentuk kupu tarung (dengan dua daun
jendela), dan tanpa overstek (sosoran).

5
C. STUDI KASUS GEDUNG SATE

Gambar 2: Gedung Sate

Nama lama Gouvernements Bedrijven (GB)

Informasi umum

Gaya arsitektur New Indies Style, Rasionalisme Belanda

Lokasi Bandung, Indonesia

Alamat Jalan Diponegoro No. 22

Koordinat 6,902459°LS 107,61873°BT Koordinat:


6,902459°LS 107,61873°BT
Mulai dibangun 27 Juli 1920
Selesai September 1924
Pemilik Pemerintah Kota Bandung
Informasi teknis
Jumlah lantai 3
Luas lantai 27.990,859 m2
Desain dan konstruksi
Arsitek J.Gerber
Perancang lain Eh. De Roo, G. Hendriks

6
Dengan melibatkan 2000 pekerja dan 150 orang di antaranya adalah
pemahat. Gerber memadukan beberapa aliran arsitektur ke dalam rancangannya.
Setiap elemen bangunan rancangannya memiliki gaya/tema dan filosofi masing
masing yang menarik.
Pada tahun 1808, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem
Daendels, mengubah posisi ibukota Bandung yang mulanya di Krapyak (Bandung
Selatan) menjadi Bandung Kota (Bandung Tengah). Semasa pemerintahannya,
pemerintah kolonial melihat potensi yang besar dimana Eek (nama lama kota
Bandung) dapat dikembangkan menjadi kota yang direncanakan secara matang.
Pembangunan sarana dan prasarana pun dilakukan secara terus-menerus. Hal
inilah yang pada akhirnya memunculkan beberapa karya-karya arsitektur yang
menjadi ikon di Kota Bandung itu sendiri.
Gedung Sate, dengan ornamen ciri khasnya yang berupa tusuk sate
merupakan suatu ikon Kota Bandung yang sudah dikenal diseluruh penjuru
Tanah Air. Umurnya yang hampir mencapai 100 tahun (mulai dibangun tanggal
27 Juli 1920) memiliki nilai sejarah tersendiri bagi masyarakat Jawa Barat
khususnya Kota Bandung. Ornamen-ornamen pada gedung ini memiliki
perpaduan nilai antara arsitektur Eropa dan arsitektur Nusantara (atau bisa disebut
arsitektur Indo-Eropa/ Indo Europeeschenachiectuur stijl) yang menarik dan
anggun. Badan dari Gedung Sate itu sendiri mengingatkan kita pada gaya
arsitektur Italia di masa reinaissance, sedangkan atap bertingkat yang berdiri tegak
mirip dengan atap Pagoda. Ini merupakan ungkapan arsitektur yang berhasil
menghasilkan keharmonisan antara langgam Timur dan Barat. Hal tersebut yang
akan diangkat dan dikupas menjadi pembahasan utama dimana perpaduan tersebut
dapat menciptakan karya arsitektur yang begitu anggun dan menjadi dambaan
banyak maestro arsitek dan ahli bangunan. Dengan itu, pembahasan ini dapat
membuat pembaca menjadi mengetahui lebih dalam nilai-nilai arsitektur yang
terkandung dalam bangunan ini serta mampu mengapresiasinya sebagai ikon
sejarah yang berharga.

7
a. Fasad
Dilihat dari tampak bangunannya, Gedung Sate memiliki tugas untuk
mencerminkan kemegahan Bandung dalam desain arsitekturnya. Kesan megah
sangat ingin ditampilkan oleh Gerber dalam setiap elemen bangunannya, terlebih
Gedung Sate ini yang memang direncanakan sebagai gedung pusat pemerintahan.
Oleh karena itu, gaya arsitektur Reinaissance Perancis yang megah diambil dan
diaplikasikan dalam fasad Gedung Sate ini. Gaya ini diambil dalam bentuk
penggunaan bentuk busur yang berulang dan pengerjaannya yang benar-benar rapi
dengan ukiran yang halus pada setiap busur.

Gambar 3. Foto tampak depan Gedung Sate (Sumber:


http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?t=1157395)
Pada bagian tengah fasad, terdapat suatu ornamen yang menyerupai
bentuk candi yang kontras dan menarik. Bentuknya yang berundak menyerupai
gunung ini disebut Kori Agung. Ornamaen yang juga sering disebut dengan
Paduraksa ini biasanya digunakan sebagai pembatas sekaligus gerbang akses
penghubung antarkawasan dalam kompleks bangunan khusus. Ornamen yang
kental dengan gaya arsitektur Hindu-Buddha ini sering dijumpai pada gerbang
masuk bangunan-bangunan lama di Jawa dan Bali, seperti kompleks keraton,
makam keramat, serta pura dan puri.

8
Gambar 4 Contoh Kori Agung pada Pura
Gresik (Sumber:
https://puramedangkamulan.wordpress.co
m/puralain-di-gresik/)

Selain bentuk candi tersebut, gaya arsitektur Hindu-Buddha pun juga dapat
terlihat pada ornamen yang digunakan pada tiang pada tepi kanan dan kiri
bangunan Gedung Sate ini. Tiang tersebut berbentuk segi delapan dan terbagi
dalam 3 sekmen vertikal yang memiliki diameter berbeda-beda. Tiang tersebut
menyerupai tiang pada bangunan arsitektur Hindu-Buddha namun dengan
ornamen dan ukiran yang lebih sederhana.

Gambar 5. Perbandingan tiang pada Gedung sate dengan tiang pada Kuil Sri Maha
Nageswari Amman di India
(Sumber : http://www.projekdialog.com/featured/kuil-sri-maha-nageswari-
amman/)

9
b. Atap
Pada Gedung Sate ini, terdapat 2 bentuk atap yang digunakan. Pada
puncak atap yang menaungi bagian depan bangunan dan berbentuk perisai,
terdapat ornamen atap yang berciri tradisional dan merupakan perpaduan ragam
hias Hindu, Buddha, dan India.

Gambar 6. Foto detail perisai Gedung Sate


(Sumber: http://www.metrotvnews.com/amp/GNlxV6BNmenikmati-bandung-
dari-puncak-gedung-sate)
Sedangkan pada atap yang terletak paling tinggi dan menonjol dari bangunan ini
menggunakan gaya atap pura/tumpang seperti meru di Bali atau pagoda di
Thailand, sesuatu yang lazim terdapat pada arsitektur di wilayah Timur. Pada
puncaknya terdapat ikon yang sangat terkenal yaitu "tusuk sate" dengan 6 buah
ornamen sate yang konon melambangkan 6 juta gulden (jumlah biaya yang
digunakan untuk membangun Gedung Sate). Terlihat sangat jelas, pada elemen ini
Gerber ingin memasukkan aliran arsitektur Nusantara.

Gambar 6. Foto detail atap utama Gedung Sate


(Sumber : http://anyerpanarukan.blogspot.co.id/2010/12/ge dung-sate.html)

10
c. Jendela
Untuk mendukung fasad bangunan yang bergaya Reinassance ini, Gerber
mengambil tema Moor Spanyol untuk jendelanya. Jendela ini berbentuk seperti
busur yang terbuat dari material bata plester yang condong ke arah luar dan
dilengkapi dengan kaca berkusen kayu pada bagian dalamnya. Di sekeliling, bata
plester ini diukir secara sederhana mengikuti bentuk busur jendela tersebut.

Gambar 7. Foto detail jendel Gedung Sate


(Sumber : http://archive.kaskus.co.id/thread/1235854/9)
Selain itu, pada bagian atasnya terdapat jendela yang mengandung gaya
arsitektur Hindu-Buddha menyerupai Gupta pada gambar dibawah namun dengan
ukiran yang lebih sederhana.

Gambar 8. Perbandingan jendela pada Gedung Sate dan jendela pada ornamen
banguanan arsitektur India
(Sumber : https://pixabay.com/en/india-maharaja-temple-window-347/)

11
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN
Gedung Sate mampu menunjukkan bagaimana kolaborasi antar arsitektur
Eropa dan Indonesia dapat menghasilkan suatu karya arsitektur yang memiliki
kemegahan, keindahan, dan keanggunan yang dikagumi oleh begitu banyaknya
arsitek dan ahli bangunan dari Eropa maupun Indonesia. Konsep arsitektur Indo-
Eropa yang harmonis ini dapat memberikan inspirasi kepada kita semua dalam
merancang bangunan yang tidak terbatasi oleh satu langgam saja Kolaborasi yang
baik dapat dihasilkan dengan memperhatikan proporsi dan komposisi yang
seimbang antar elemen untuk menghasilkan suatu rancangan yang harmonis.

12
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Arsitektur_kolonial_di_Indonesia

http://www.berbagaireviews.com/2015/03/sitemap.html
https://dheavours.wordpress.com/2015/06/11/arsitektur-kolonial/

http://kanalrumah.blogspot.co.id/2016/05/arsitektur-gedung-sate-bandung.html

https://www.arsitur.com/2017/03/perkembangan-arsitektur-kolonial-di.html

13

Você também pode gostar