Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
NIM : 105020100111051
Abstrak
1
Abstract
2
BAB I
Pendahuluan
3
padi yang diperdagangkan di dunia) diikuti Bangladesh (4%),
danBrasil (3%).Produksi padi Indonesia pada 2006 adalah 54 juta ton ,
kemudian tahun 2007 adalah 57 juta ton (angka ramalan III), meleset dari
target semula yang 60 juta ton akibat terjadinya kekeringan yang disebabkan
gejala ENSO.
Tingkat kesejahteraan petani sering dikaitkan dengan keadaan usaha tani
yang sering dicerminkan dengan pendapatan petani. Tingkat pendapatan
petani ini dipengruhi oleh banyak factor, seperti factor social, ekonomis dan
agronomis. Salah satu factor tersebut yang tidak kalah pentingnya adalah
penggunaan factor produksi yang dihasilkan.
Dari kaca mata makroekonomi, dapat dilihat bahwa sebagian besar
wilayan Indonesia dapat digunakan untuk menghasilkan tanaman dan buah-
buahan, namun tidak semua usaha tani tersebut merupakan daerah sentral
produksi tanaman yang berkualitas. Sebagian besar wilayah Indonesia dapat
digunakan untuk menanam padi. Hal ini karena iklim Indonesia yang cocok
untuk pertumbuhan tanaman padi.
Dengan uraian di atas penulis tertarik untuk membuat makalah dengan
judul Analisis Pendapatan Petani.
Rumusan Masalah
1. Apa peran pertanian bagi Indonesia?
2. Bagaimana Keadaan dan pendapatan Petani Padi Indonesia saat ini?
3. Apa saja yang mempengaruhi pendapatan petani?
4. Bagaimana usaha pemerintah untuk meningkatkan pendapatan petani?
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambaha pengetahuan
dan diharapkan bermanfaat bagi kita semua.
BAB II
Pembahasan
4
penting untuk dikembangkan di negara kita. Bentuk-Bentuk Pertanian Di
Indonesia :
1. Sawah
Sawah adalah suatu bentuk pertanian yang dilakukan di lahan basah dan
memerlukan banyak air baik sawah irigasi, sawah lebak, sawah tadah hujan
maupun sawah pasang surut.
2. Tegalan
Tegalan adalah suatu daerah dengan lahan kering yang bergantung pada
pengairan air hujan, ditanami tanaman musiman atau tahunan dan terpisah dari
lingkungan dalam sekitar rumah. Lahan tegalan tanahnya sulit untuk dibuat
pengairan irigasi karena permukaan yang tidak rata. Pada saat musim kemarau
lahan tegalan akan kering dan sulit untuk ditubuhi tanaman pertanian.
3. Pekarangan
4. Ladang Berpindah
5
2. Pertanian Tanaman Perdagangan
- Kopi
- Teh
- Kelapa
- Karet
- Kina
- Cengkeh
- Kapas
- Tembakau
- Kelapa Sawit
- Tebu
6
menghasilkan bahan makanan guna menutupi kebutuhan primer dari
keluarga petani. Pada tingkat itu usaha petani merupakan usah
swasembada murni. Usaha tani swasembada murni belum banyak
melakukan tukar menukar bahan dengan pihak luar. Kehidupan
perekonomian yang sifatnya masih tertutup. Lambat laun ekonomi
kebendaan itu kemasukan uang. Usaha tani swasembada adalah suatu
usaha tani yang secara murni diusahakan untuk memperoleh produk
yang diperlukan untuk menutupi keperluan primer dari keluarga petani.
Di suatu Negara besar seperti Indonesia, di mana ekonomi dalam
negerinya masih di dominasi oleh ekonomi pedesaan sebagian besar dari
jumlah penduduknya atau jumlah tenaga kerjanya bekerja di pertanian. Di
Indonesia daya serap sektor tersebut pada tahun 2000 mencapai 40,7
juta lebih. Jauh lebih besar dari sector manufaktur. Ini berarti sektor
pertanian merupakan sektor dengan penyerapan tenaga kerja yang tinggi.
Kalau dilihat pola perubahan kesempatan kerja di pertanian dan industri
manufaktur, pangsa kesempatan kerja dari sektor pertama menunjukkan
suatu pertumbuhan tren yang menurun, sedangkan di sektor kedua
meningkat. Perubahan struktur kesempatan kerja ini sesuai dengan yang
di prediksi oleh teori mengenai perubahan struktur ekonomi yang terjadi
dari suatu proses pembangunan ekonomi jangka panjang, yaitu bahwa
semakin tinggi pendapatan per kapita, semakin kecil peran dari sektor
primer, yakni pertambangan dan pertanian, dan semakin besar peran dari
sektor sekunder, seperti manufaktur dan sektor-sektor tersier di bidang
ekonomi. Namun semakin besar peran tidak langsung dari sektor
pertanian, yakni sebagai pemasok bahan baku bagi sektor industri
manufaktur dan sektor-sektor ekonomi lainnya.
Pertanian juga mempunyai kontribusi yang besar terhadap
peningkatan devisa, yaitu lewat peningkatan ekspor dan atau
pengurangan tingkat ketergantungan Negara tersebut terhadap impor
atas komoditi pertanian. Komoditas ekspor pertanian Indonesia cukup
bervariasi mulai dari getah karet, kopi, udang, rempah-rempah, mutiara,
hingga berbagai macam sayur dan buah.
Peran pertanian dalam peningkatan devisa bisa kontradiksi
dengan perannya dalam bentuk kontribusi produk. Kontribusi produk dari
sector pertanian terhadap pasar dan industri domestic bisa tidak besar
karena sebagian besar produk pertanian di ekspor atau sebagian besar
7
kebutuhan pasar dan industri domestic disuplai oleh produk-produk impor.
Artinya peningkatan ekspor pertanian bisa berakibat negative terhadap
pasokan pasar dalam negeri, atau sebaliknya usaha memenuhi
kebutuhan pasar dalam negeri bisa menjadi suatu factor penghambat
bagi pertumbuhan ekspor pertanian. Untuk mengatasinya ada dua hal
yang perlu dilakukan yaitu menambah kapasitas produksi dan
meningkatkan daya saing produknya. Namun bagi banyak Negara
agraris, termasuk Indonesiamelaksanakan dua pekerjaan ini tidak mudah
terutama karena keterbatasan teknologi, SDM, dan modal.
Banyak orang memperkirakan bahwa dengan laju pertumbuhan
penduduk di dunia yang tetap tinggi setiap tahun, sementara lahan-lahan
yang tersedia untuk kegiatan-kegiatan pertanian semakin sempit, maka
pada suatu saat dunia akan mengalami krisis pangan (kekurangan stok),
seperti juga diprediksi oleh teori Malthus. Namun keterbatasan stok
pangan bisa diakibatkan oleh dua hal: karena volume produksi yang
rendah ( yang disebabkan oleh faktor cuaca atau lainnya), sementara
permintaan besar karena jumlah penduduk dunia bertambah terus atau
akibat distribusi yang tidak merata ke sluruh dunia.
Mungkin sudah merupakan evolusi alamiah seiring dnegan proses
industrialisasi dimana pangsa output agregat (PDB) dari pertanian relatif
menurun, sedangkan dari industri manufaktur dan sektor-sektor skunder
lainnya, dan sektor tersier meningkat. Perubahan struktur ekonomi seperti
ini juga terjadi di Indonesia. Penurunan kontribusi output dari pertanian
terhadap pembentukan PDB bukan berarti bahwa volume produksi
berkurang (pertumbuhan negatif). Tetapi laju pertumbuhan outputnya
lebih lambat dibandingkan laju pertumbuhan output di sektor-sektor lain.
Kemampuan Indonesia meningkatkan produksi pertanian untuk
swasembada dalam penyediaan pangan sangat ditentukan oleh banyak
faktor eksternal maupun internal. Satu-satunya faktor eksternal yang tidak
bisa dipengaruhi oleh manusia adalah iklim, walaupun dengan kemajuan
teknologi saat ini pengaruh negatif dari cuaca buruk terhadap produksi
pertanian bisa diminimalisir. Dalam penelitian empiris, factor iklim
biasanya dilihat dalam bentuk banyaknya curah hujan (millimeter). Curah
hujan mempengaruhi pola produksi, pola panen, dan proses pertumbuhan
tanaman. Sedangkan factor-faktor internal, dalam arti bisa dipengaruhi
oleh manusia, di antaranya yang penting adalah lusa lahan, bibit,
8
berbagai macam pupuk (seperti urea, TSP, dan KCL), pestisida,
ketersediaan dan kualitas infrastruktur, termasuk irigasi, jumlah dan
kualitas tenaga kerja (SDM), K, dan T. kombinasi dari faktor-faktor
tersebut dalam tingkat keterkaitan yang optimal akan menentukan tingkat
produktivitas lahan (jumlah produksi per hektar) maupun manusia (jumlah
produk per L/petani). Saat ini Indonesia, terutama pada sektor pertanian
(beras) belum mencukupi kebutuhan dalam negeri. Ini
berarti Indonesia harus meningkatkan daya saing dan kapasitas produksi
untuk menigkatkan produktivitas pertanian.
Pertanian merupakan isu sensitif dan penting yang menjadi ciri
sosial ekonomi bagi sebagian besar dari negara-negara berkembang di
dunia. Namun, negara maju yang sudah menjadi negara industri, yang
memiliki jumlah petani dan kontribusi pertanian yang kecil ternyata juga
ikut membela dengan serius sektor pertaniannya. Di Indonesia, kita
jumpai banyak sekali industri-industri yang bergerak dalam mengelola
hasil-hasil dari sektor pertanian. Selain itu banyak hasil karya anak
bangsa yang mengubah hasil pertanian sebagai bahan baku yang
kemudian disulap menjadi barang yang sangat bermanfaat dan bernilai
jual tinggi. Contohnya pemanfaatan pelepah pisang yang dibuat menjadi
berbagai kerajinan tangan. Biji-biji jarak yang kemudian diolah menjadi
biodiesel. Hasil dari perkebunan tembakau, karet, kopi, tanaman sayur
dan hortikultura serta masih banyak lagi industri-industri pertanian yang
dimiliki oleh Indonesia.
Dalam pembangunannya, industri pertanian tidaklah lepas dari
perkembangan teknologi. Pemanfaatan hasil pertanian sebagai bahan
baku industri mampu memberikan kontribusi tenaga kerja sehingga
tingkat pengangguran di Indonesia secara perlahan-lahan dapat
menurun. Peran bioteknologi juga sangat diperlukan di sektor ini,
sehingga menjadi peluang untuk tenaga-tenaga ahli dalam bidang
pertanian untuk bekerja. Dalam proses pengelolaan yang tidak tepat pada
subsektor ini, banyak keuntungan dari hasil produksi yang dimiliki oleh
badan usaha asing sehingga penghasilan dari ekspor bisa berkurang dari
nilai tertingginya. Kurangnya modal dan hutang luar negeri Indonesia
memaksa hal tersebut terjadi. Oleh karena itu, seharusnya ada usaha-
usaha yang dilakukan agar keuntungan negara dapat meningkat dan laju
9
inflasi dapat diturunkan sehingga kondisi ekonomi negara Indonesia
dapat stabil dan terjamin untuk keberlanjutan proses pembangunan.
10
masukan yang dipakai dibandingkan dengan hasil yang dicapai.
Sedangkan produktivitas kerja yaitu jumlah produksi yang dapat
dihasilkan dalam Waktu tertentu.
Dilihat dari table diatas bahwa produktivitas padi semakin meningkat dari
tahun 2007-2010 namun mengalami penurunan pada tahun 2010.
Tabel Luas Panen- Produktivitas- Produksi Tanaman Padi Provinsi Jawa Tengah
11
Jenis Luas
Provinsi Tahun Produktivitas(Ku/Ha) Produksi(Ton)
Tanaman Panen(Ha)
12
Tabel Luas Panen- Produktivitas- Produksi Tanaman Padi Provinsi Jawa Timur
Jenis
Provinsi Tahun Luas Panen(Ha) Produktivitas(Ku/Ha) Produksi(Ton
Tanaman
Jawa Timur Padi 2007 1736048 54.16 9402
Jawa Timur Padi 2008 1774884 59.02 10474
Jawa Timur Padi 2009 1904830 59.11 11259
Jawa Timur Padi 2010 1963983 59.29 11643
Jawa Timur Padi 2011 1926796 54.89 10576
Sumber : Badan Pusat Statistik ( BPS )
Melihat dari table diatas pulau Jawa masih menjadi lahan persawahan
yang dominan untuk memproduksi padi. Namun jika penduduk di pulau Jawa
semakin padat maka lahan-lahan persawahan ini akan berkurang dan mungkin
saja pulau Jawa tidak dapat diandalkan lagi dalam peningkatan produksi padi
nasional ke depan.
Impor Beras
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total beras impor yang masuk ke
Indonesia hingga September 2011 ini telah mencapai 1,9 juta ton atau senilai
US$ 997,4 juta atau kurang lebih Rp 8,47 Triliun (Rp 8.500/dolar AS). Salah satu
yang menarik adalah dari jumlah itu terdapat beras impor dari Amerika Serikat
(AS). Menurut data BPS, AS turut menyumbang ketersediaan beras impor di
tanah air dengan adanya impor sebesar 1,4 ribu ton dengan nilai US$1,7 juta
hingga September 2011.
Beras dari negara lain yang juga masuk ke Indonesia juga berasal dari India
dengan total beras yang telah masuk sebanyak 1,8 ribu ton dengan nilai US$ 5,3
juta. Sementara itu beras impor dari Negeri Tirai Bambu China sebanyak 1,9 ribu
ton dengan nilai US$ 5,1 juta. Pada periode bulan Agustus dan September tidak
ada impor beras dari China. Beras impor dari negara lainnya sebanyak 7 ribu ton
dengan nilai US$ 3,4 juta. Khusus beras impor dari Vietnam dan Thailand,
selama Januari hingga September 2011, tercatat beras Vietnam yang masuk ke
tanah air sebanyak 1,14 juta ton dengan nilai US$ 585,3 juta.
13
Jumlah tersebut meningkat pesat mengingat pada bulan Agustus 2011, impor
beras asal Vietnam hanya 13,1 ribu ton, kemudian pada bulan September lalu,
beras yang masuk dari negara ini naik menjadi 232,5 ribu ton dengan nilai US$
125 juta. Sementara untuk beras dari Thailand, semenjak banjir terjadi pada awal
bulan Agustus lalu terjadi penurunan. Pada Agustus 2011, Thailand berhasil
memasukkan 39,6 ribu ton berasnya ke Indonesia. Sedangkan, pada bulan
September 2011, beras yang masuk dari negeri 1.000 Pagoda ini hanya 14,8 ribu
sehingga total beras yang masuk sepanjang tahun ini dari Thailand sebanyak
720,2 ribu ton dengan nilai US$ 396,6 juta.
Tercatat juga beras impor dari Pakistan dan Myanmar pun masuk ke
Indonesia. Jumlahnya sebanyak 26,9 ribu ton dari Pakistan dengan nilai US$
10,7 juta. Sedangkan, setelah bulan Desember 2011 dan Januari 2012 tidak
dilakukan impor beras dari Myanmar. Indonesia kembali mendatangkan beras
impor dari negara tersebut pada bulan Februari sebanyak 4,9 ribu ton dengan
nilai US$ 2,35 juta dan bulan Maret 650 ton dengan nilai US$ 208 ribu sehingga
total pada triwulan I ini untuk beras dari Myanmar sebanyak 5,5 ribu ton dengan
nilai US$ 2,6 juta.
Usaha Tani
14
juta, dan Rp 5,3 juta/ha. Total biaya tunai untuk masing-masing musim
tanam adalah Rp 2,7 juta, Rp 2,9 juta, dan Rp 3 juta/ha, sehingga
keuntungan atas biaya tunai berturut-turut adalah Rp 2,7 juta, Rp 2,6
juta, dan Rp 2,3 juta/ha.
Pada usahatani padi dengan status garapan sewa, keuntungan atas
biaya tunai pada musim hujan hanya sekitar Rp 1 juta/ha karena kompensasi
untuk sewa lahan mencapai Rp 1,56 juta/ha/musim. Pada MK I keuntungan lebih
rendah dan bahkan pada MK II keuntungan kurang dari Rp 500 ribu/ha. Untuk
menyiasati keuntungan yang rendah tersebut, petani penyewa umumnya
mengusahakan komoditas nonpadi pada MK II, terutama hortikultura.
Pendapatan usahatani padi dengan status garapan sakap (bagi hasil)
lebih tinggi daripada garapan sewa. Pada musim hujan, keuntungan
atas biaya tunai rata-rata Rp 1,15 juta/ha, sedangkan pada MK I
meningkat menjadi Rp 1,35 juta/ha. Walaupun demikian tidak semua
petani penyakap bernasib lebih baik daripada petani penyewa, karena
kualitas lahan yang disewakan umumnya lebih baik dan petani
penyewa umumnya menanam komoditas yang bernilai ekonomi lebih
tinggi.
Produktivitas padi sawah yang cukup tinggi, dibarengi harga jual gabah
yang bagus dalam waktu dua tahun terakhir membawakan berkah
keberuntungan bagi petani padi, yang berakibat pula terhadap kenaikan
kesejahteraan petani. Betulkah hal tersebut terjadi pada seluruh petani padi di
perdesaan? Jawabannya ternyata terbagi dua: ya, bagi sebagian kecil, dan tidak
bagi sebagian besar petani. Walaupun jawaban tersebut sudah dapat diduga
sebelumnya, namun anatomi mengapa demikian dan berapa pendapatan petani
dari usaha tani produksi padi sawah, menarik untuk diketahui.
Bagi kita yang biasa berhitung secara ekstrapolatif atau berdasarkan
konversi, adalah sangat mudah menghitung keuntungan usaha tani padi per
hektar, dan berapa nisbah atau rasio antara keuntungan dengan ongkos usaha.
Untuk memberikan gambaran “keuntungan” petani dari usaha tani padi sawah
pada lahan milik sendiri disajikan pada Tabel 1. Petani yang memiliki lahan
sawah dua hektar akan mendapat keuntungan sekitar Rp 21,9 juta sekali panen
(jangka waktu 4 bulan), atau sekitar Rp 5,48 juta per bulan. Bila petani memiliki
lahan sawah 5 hektar, pendapatan per bulan mencapai sekitar Rp 13,7 juta, dan
15
bila petani hanya memiliki 1 hektar, pendapatan per bulan hanya Rp 2,7 juta.
Pendapatan dari usaha tani padi dinilai cukup layak bagi penghidupan keluarga
petani apabila petani memiliki lahan sawah 2 hektar, atau minimal 1 hektar.
Jadi, adalah benar bahwa produktivitas padi sawah yang tinggi dan harga
jual gabah yang bagus, membawa keberuntungan usaha bagi petani, yaitu petani
pemilik lahan yang agak luas, lebih dari satu hektar. Dan memang
seharusnyalah, petani padi memiliki lahan sawah sendiri, idealnya minimal 2
hektar per KK. Seperti halnya petani padi di Thailand, mereka rata-rata memiliki
luas lahan garapan 5 hektar /KK, di Malaysia 4 hektar /KK, dan bahkan di
Australia mencapai 100 hektar /KK. Sayangnya petani padi di Indonesia
kepemilikan lahan sawahnya rata-rata hanya 0,5 hektar. Di Karawang dan di
Indramayu, Jawa Barat, memang ada beberapa petani yang luas sawahnya 50
hektar, bahkan ada yang lebih. Akan tetapi, jumlah pemilik lahan yang luasnya
demikian hanya sedikit, kurang dari 1%, sedangkan yang terbanyak antara 0,3-
0,7 hektar. Dapat dibayangkan betapa akan sejahteranya petani Indonesia
apabila skala usahanya sama dengan petani Thailand, apalagi bila sama dengan
petani Australia.
Petani Penggarap
Oleh banyaknya petani yang tidak memiliki lahan, maka “status petani aktif”
menjadi golongan tersendiri dalam masyarakat pedesaan menempati strata
lapisan atas, Entah bagaimana proses terbentuknya pada akhir abad XX (sejak
16
tahun 1990-an) petani pemilik lahan banyak yang mengalihkan pengelolaan
operasional usahataninya kepada petani penggarap. Lahan sawah seolah-olah
mempunyai fungsi sosial untuk “pemerataan kesejahteraan”, sehingga seberapa
pun luasan sawah milik petani selalu dibagihasilkan dengan petani tanpa lahan.
Di salah satu kabupaten di Jawa Barat, seorang petani pemilik lahan sawah 0,7
hektar membagi-hasilkan kepada lebih dari seorang petani penggarap, dan
seorang petani penggarap mendapat jatah garapan antara 100-350 bata (1 ha =
700 bata) atau 15-50 are. Secara umum ketentuan bagi hasil adalah biaya
sarana dan upah usaha tani padi ditanggung oleh petani penggarap dan pada
saat panen petani penggarap memperoleh bagian 40% dari hasil bersih, setelah
dipotong bawon. Ketentuan ini dapat sedikit berbeda antar wilayah dan antar
pemilik lahan. Dengan bagian hasil yang hanya 40%, maka pendapatan petani
penggarap setelah dikurangi biaya produksi jelas sangat kecil. Untuk garapan
seluas 50 are, pendapatan petani penggarap setelah dikurangi biaya produksi
hanya Rp. 990.000,- dari satu musim panen padi (empat bulan), sedangkan
pemilik lahan yang tidak mengeluarkan modal justru memperoleh pendapatan
Rp.4.485.000.
17
petani, yang mampu menyediakan penghasilan hingga dua kali lipat pendapatan
petani dari usahatani padi.
18
Upah Nominal dan Riil Buruh Tani di Indonesia
(Rupiah),
Tahun 2008 - 2012
(2007=100)
Buruh Tani
Tahun dan
(Harian)
Bulan
Nominal Riil
2012
19
Januari 39,727 28,582
Februari 39,854 28,542
Maret 40,002 28,607
2011
Januari 38,648 28,705
Februari 38,769 28,755
Maret 38,852 28,832
April 38,976 29,098
Mei 39,082 29,175
Juni 39,144 29,104
Juli 39,215 28,975
Agustus 39,287 28,816
September 39,345 28,774
Oktober 39,412 28,787
November 39,503 28,736
Desember 39,599 28,701
2010
Januari 37,426 29,997
Februari 37,637 29,987
Maret 37,721 30,093
April 37,844 30,138
Mei 37,897 30,153
Juni 37,946 29,980
Juli 38,069 29,507
Agustus 38,198 29,356
September 38,301 29,315
Oktober 38,382 29,354
November 38,494 29,209
Desember 38,577 28,934
2009
Januari 36,190 30,551
Februari 36,392 30,438
Maret 36,526 30,449
April 36,632 30,633
Mei 36,742 30,718
Juni 36,827 30,680
Juli 36,908 30,747
Agustus 37,002 30,521
September 37,065 30,292
Oktober 37,105 30,115
November 37,230 30,301
Desember 37,305 30,233
2008
Januari 16,106 2,550
Februari 16,277 2,575
Maret 16,407 2,576
April 16,658 2,611
Mei 28,986 26,999
Juni 34,908 30,821
20
Juli 35,225 30,583
Agustus 35,348 30,520
September 35,455 30,358
Oktober 35,544 30,259
November 35,704 30,404
Desember 35,842 30,393
1. Skala Kecil
2. Modal yang terbatas
3. Penggunaan teknologi yang masih sederhana
4. Sangat dipengaruhi oleh musim
5. Wilayah pasarnya local
6. Akses terhadap kredit rendah
7. Pasar komoditi masih dikuasai oleh pedagang besar
8. Penguasaan lahan
21
Selain itu, masih ditambah lagi dengan permasalahan-permasalahan
yang menghambat pembangunan pertanian di Indonesia seperti pembaruan
agraria (konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian) yang semakin
tidak terkendali lagi, kurangnya penyediaan benih bermutu bagi petani,
kelangkaan pupuk pada saat musim tanam datang, swasembada beras yang
tidak meningkatkan kesejahteraan petani dan kasus-kasus pelanggaran Hak
Asasi Petani, menuntut pemerintah untuk dapat lebih serius lagi dalam upaya
penyelesaian masalah pertanian di Indonesia demi terwujudnya pembangunan
pertanian Indonesia yang lebih maju demi tercapainya kesejahteraan masyarakat
Indonesia.
22
Kenaikan harga berbagai produk pertanian pangan dan perkebunan mulai
mengguncang Indonesia di awal tahun 2008. Goncangan harga pangan ini
sebenarnya telah terjadi secara merata hampir di seluruh dunia semenjak tahun
2007. Goncangan harga tersebut dengan cepat berubah menjadi krisis harga
pangan dan mulai menuai keresahan di berbagai belahan dunia, bahkan di
beberapa negara berkembang terjadi kerusuhan sosial, seperti di Haiti dan
negara-negara sub-sahara Afrika. Negara-negara seperti Cina, Filipina, Meksiko,
bahkan Italia serta negara-negara di Amerika Selatan juga ikut tergoncang. Di
Indonesia sendiri tingginya harga kebutuhan pokok telah menyeret sebagian
rakyat ke dalam kubangan kemiskinan yang semakin akut. Hal ini ditandai
dengan beberapa fenomena yang terjadi di masyarakat. Banyak orang rela
menyabung nyawa demi mendapatkan zakat atau sedekah yang nilainya tak
seberapa, antrian orang yang membeli minyak tanah terjadi hampir diseluruh
kota-kota di Indonesia, di beberapa tempat terjadi kasus gizi buruk.
Dalam masalah perberasan, pemerintah mengeluarkan Inpres No. 1
tahun 2008 tentang Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dalam perberasan pada
bulan April. Namun kebijakan HPP tersebut menjadi tidak berarti, menyusul
kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada bulan berikutnya. HPP menjadi
tidak efektif karena harga riil beras sudah jauh lebih tinggi. Menjelang akhir tahun
2008, pemerintah sepertinya mengkoreksi kebijakannya. Lewat Inpres No. 8
tahun 2008 pemerintah menaikan lagi HPP dan menurunkan harga BBM. Untuk
memenangkan hati rakyat, pemerintah mengkampanyekan surplus beras
nasional dan swasembada. Namun pada faktanya, suplus atau swasembada
beras yang digembar-gemborkan pemerintah tidak menaikan tingkat
kesejahteraan petani kecil. Berdasarkan survey yang dilakukan SPI, pendapatan
petani tidak beranjak dari angka Rp. 4.300/hari dari awal tahun hingga tahun
2008 berakhir.
Selanjutnya di sektor pertanahan, konversi lahan terus terjadi dan konflik
agraria terus meningkat. Petani kecil yang tergusur dari lahan garapannya yakni
sebanyak 24.257 Kepala Keluarga (KK) pada tahun 2007 meningkat jadi 31.267
KK di tahun 2008. Ketimpangan struktur penguasaan tanah semakin hari
semakin parah. Petani yang tidak mempunyai lahan (buruh tani) dan petani
gurem (petani berlahan sempit, kurang dari 0,5 hektar) semakin hari semakin
bertambah dengan laju pertambahan 2,2 persen per tahun. Dalam kondisi seperti
itu, pemerintah tetap tidak mau melaksanakan land reform. Program Pembaruan
23
Agraria Nasional (PPAN) yaitu suatu program untuk meredistribusikan tanah
kepada rakyat yang dicanangkan pemerintah SBY-JK sejak tahun 2006, tidak
pernah direalisasikan. Kerusakan lingkungan akibat pembangunan yang tidak
terencana dan pembukaan lahan secara besar-besaran oleh perusahaan-
perusahaan perkebunan dan kehutanan semakin menggila. Petani harus
menghadapi kenyataan pahit setiap memasuki musim kemarau karena
kekeringan semakin meluas dan di saat musim hujan banjir datang menerjang.
Sawah yang rusak karena kekeringan dan banjir dari masa ke masa semakin
meluas.
Paruh terakhir tahun 2008 ditandai dengan krisis keuangan global yang
berimbas pada menurunnya harga minyak dan produk perkebunan. Situasi ini
menyebabkan persoalan ekonomi seperti pemutusan hubungan kerja yang
meluas. Krisis ini seakan melengkapi krisis-krisis yang terjadi sebelumnya yakni
krisis pangan dan krisis energi, dan menjelma menjadi krisis multidimensi atau
krisis kapitalisme global. Diperlukan kebijakan yang memiliki keberpihakan
terhadap sektor pertanian untuk memperluas lapangan kerja, menghapus
kemiskinan dan mendorong pembangunan ekonomi yang lebih luas.
24
(d) nilai tambah dan dayasaing produk pertanian; dan
(e) produksi dan ekspor komoditas pertanian.
Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Indonesia merpakan negara agraris yang mayoritas penduduknya bekerja
sebagai petani, namun seiring perkembangan jaman kesejahteraan petani
menurun padahal produktifitas padi meningkat dari tahun ke tahun tentu saja
terdapat factor-faktor yang menyebabkan pendapatan petani ini menurun. Hal-
hal yang berkaitan dengan pendapatan petani adalah luas lahan, luas lahan ini
sangat mempengaruhi produktifitas pertanian yang tentu saja akan
25
mempengeruhi pendapatan pertanian. Ketika lahan produktif di konversi untuk
property atau yang lain maka secara otomatis juga akan mengurangi
produktivitas pertanian. Tidak terlepas dari luas lahan tersebut kepemilikan lahan
juga berpengaruh bagi pendapatan petani, sekarang banyak petani yang hanya
memiliki luas tanah tidak lebih dari 0,5 Ha atau yang disebut petani gurem,
terlebih lagi banyak yang hanya menjadi buruh tani. Dari seluruh pertanian yang
ada di Indonesia yang paling dominan adalah di pulau Jawa, namun hal ini juga
mendapat hambatan yaitu semakin banyaknya penduduk di pulau Jawa.
3.2 Saran
Daftar Pustaka
26
G. Kartasasmita Unang, Sumarno. 2010. Kemelaratan Bagi Petani Kecil di Balik
Kenaikan Produktifitas Padi.
Badan Pusat Statistik ( BPS ) , 2012 Upah Nominal dan Riil Buruh Tani di
Indonesia
http://pustaka.unpad.ac.id/archives/28827/
http://agriculturproduct.blogspot.com/2012/02/peningkatan-kesejahteraan-
melalui.html
27