Você está na página 1de 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Provinsi Sulawesi Tengah adalah salah satu daerah yang rawan terjadi

bencana,karena Sulawesi tengah merupakah daerah pegunungan,dataran

tinggi,dataran rendah yang terdapat di lembah dan pantai serta termasuk dalam

seismik aktif. Kondisi demikian, maka secara geomorfologi, Klimotologis dan

geologis di Sulawesi Tengah selalu mengalami kerentanan terhadap bencana

seperti :gempa bumi, tsunami, banjir bandang, tanah longsor dan konflik sosial.

Salah satu bencana alam yang sering terjadi di Sulawesi tengah adalah

bencana tanah longsor. Tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang

selalu hampir terjadi di setiap musim penghujan yang melanda daerah perbukitan

pada daerah tropis basah karena adanya curah hujan yang tinggi. Tanah Longsor

terjadi jika gaya pendorong pada lereng lebih besar dibandingkan gaya penahan

lereng.

Secara umum tanah longsor merupakan proses eksogen yang kejadiannya

sering dipengaruhi oleh proses endogen maupun adanya kegiatan manusia.

Tenaga endogen merupakan perubahan struktur bumi yang mengalami

berbagai gangguan yang terjadi pada kestabilan tanah atau batuan yang menyusun

1
lereng itu sendiri. Kegiatan manusia juga dapat mempengaruhi terjadinya longsor,

seperti semakin meluasnya pemanfaatan lahan oleh manusia. Aktifitas masyarakat

dalam memanfaatkan lahan untuk kepentingan ekonomi juga memicu tingginya

tingkat kerawanan bencana tanah longsor. Penggunaan lahan mempunyai

pengaruh besar terhadap kondisi tanah dan air tanah, hal ini akan mempengaruhi

keseimbangan lereng. Pengaruhnya dapat bersifat memperbesar atau memperkecil

kekuatan geser tanah pembentuk lereng.

Usaha penanggulangan bencana alam akibat tanah longsor perlu dilakukan

untuk mengurangi seminimal mungkin korban jiwa, kerugian harta benda serta

sarana dan prasarana. Kegiatan manusia dikenal sebagai salah satu faktor paling

penting dalam mempengaruhi terjadinya tanah longsor yang cepat dan intensif.

Hal-hal yang mempengaruhi kegiatan manusia berpotensi sebagai faktor

penyebanya terjadinya longsor. yaitu kurangnya pengetahuan masyarakat tentang

longsor itu sendiri, sehingga akan berpengaruh terhadap tingkat kerentanan

terjadinya potensi longsor disebabkan pengelolahan lahan yang tidak efektif.

Kecamatan Palolo di Kabupaten Sigi adalah salah satu daerah rawan

bencana longsor, Untuk dapat memantau dan mengamati fenomena tanah longsor

diperlukan adanya suatu analisa dan pemetaan daerah rawan longsor yang mampu

memberikan gambaran kondisi kawasan yang ada berdasarkan faktor- faktor

2
penyebab terjadinya tanah longsor. Selain itu juga kita bisa mengetahui sebaran

daerah rawan longsor dan faktor utama penyebabnya sehingga kita bisa

merumuskan upaya penanggulangan.

Dari permasalahan bencana longsor diatas, maka diperlukan suatu input data

berbasis komputer dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG).

SIG adalah pengelolaan data geografis yang didasarkan pada kerja komputer

(mesin). Wilayah rawan longsor akan lebih mudah diketahui dengan

menggunakan Sistem Informasi Geografis. dengan menggunakan Sistem

Informasi Geografis tingkat kerawanan wilayah longsor mudah diketahui karena

Sistem Informasi Geografis mampu menampilkan rekaman kondisi permukaan

bumi yang didapat tanpa adanya kontak langsung. Selain itu, lebih mudah

untuk dilakukan suatu perubahan apabila terdapat pembaruan data, sehingga

dapat dihasilkan informasi yang lebih cepat dan akurat.

Sistem Informasi Geografis sangat berfungsi dalam memvisualisasikan

data spasial berupa atributnya dan mudah menghasilkan peta-peta

tematik.Penggunaan Sistem Informasi Geografis sangat bermanfaat diakarenakan

keunggulannya dapat menyadap informasi tanpa harus dilakukan kontak langsung

dengan medan ataupun daerah penelitian dan tanpa mengeluarkan biaya yang

banyak. Sistem Informasi Geografis dapat digunakan untuk pengolahan data

3
parameter lahan untuk memperoleh daerah tingkat kerawanan longsor dan

dapat digunakan sebagai pengendalian dan upaya untuk meminimalisasi gaya

pemicu longsor serta berbagai kerugian yang ditimbulkan oleh longsor.

4
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa faktor-faktor penyebab terjadinya bencana longsor di Kecamatan Palolo?

2. Bagaimana Tingkat Kerawanan longsor di Kecamatan Palolo?

1.3.Tujuan Penelitian
1. Mengetahui Penyebab Terjadinya Bnecana Longsor di Kecamatan Palolo.

2. Menganalisis Tingkat Kerawanan longsor di Kecamatan Palolo.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini mempunyai beberapa manfaat, diantaranya :

1. Manfaat Teoritis :

Secara teoritis, penelitian ini memberikan sumbangan ilmu tentang :

a. Proses Mitigasi bencana dalam upaya pengurangan resiko bencana

longsor di Kecamatan Palolo Kabupaten Sigi.

b. Tingkat pengetahuan masyarakat terhadap daerah rawan

longsor

c. Peran masyarakat dalam upaya pengurangan resiko bencana

longsor.

2. Manfaat Praktis :

Secara praktis penelitian ini memberikan manfaat kepada

beberapa pihak, diantaranya :

a. Bagi Peneliti :

5
1) Dapat menambah wawasan dan ilmu dalam penanganan

bencana bagi peneliti dan masyarakat.

2) Jika peneliti menjadi guru nantinya, Peneliti mengetahui

bahwa masyarakat terdidik mempunyai peranan dalam

kehidupan masyarakat.

b. Bagi Pemerintah :

1) Sebagai penentu sikap Pemerintah Daerah untuk langkah-

langkah selanjutnya dalam mengayomi masyarakat yang

berada di kawasan rentan bencana tanah longsor dalam

meminimalkan dampak yang ditimbulkan akibat bencana

tanah longsor.

c. Bagi Masyarakat :

1) Sebagai informasi mengenai daerah rawan bencana longsor.

2) Sebagai langkah untuk mengurangi resiko bencana longsor.

1.5 Batasan Istilah


1. Potensi adalah kemampun ataupun daya yang mempunyai kemungkinan

untuk menghasilkan sesuatu. Adapun potensi yang diamksud dalam

penelitian ini adalah segala kemungkinan longsor yang bisa saja terjadi di

Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi.

6
2. Longsor adalah perpindahan material dari pembentuk lereng dan bergerak

pindah dari tempat asalnya. Adapun Longsor yang dimaksud adalah longsor

yang memiliki kemungkinan terjadi di Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Penelitian Relevan


Penelitian yang relevan yang dijadikan sebagai rencana ujukan penelitian

adalah Agus Sriyono yang berjudul Identifikasi Kawasan Rawan Bencana Longsor

Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang Tahun 2012. Tujuan penelitian ini

adalah menghasilkan peta rawan bencana longsor dan mengetahui sebaran kawasan

rawan bencana longsor di Kecamatan Banyubiru. Parameter yang digunakan

diantaranya curah hujan, kemiringan lereng, batuan penyusun lereng, vegetasi,

jenis tanah, tata air lereng, pola tanam, penggalian dan pemotongan lereng.

Pencetakan kolam, drainase lereng, pembangunan kontruksi, kepadatan penduduk

dan mitigasi bencana. Penelitian ini menggunakan metode observasi,

dokumentasi, dan Scoring. hasil penelitian ini adalah terdapat tiga zonasi kawasan

rawan bencana longsor dengan zona A, zona B, dan zona C.

Berikutnya adalah penelitiannyaJefri Andrian Nugroho yang berjudul

Pemetaan Daerah Rawan Longsor dengan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi

Geografis (Studi Kasus Hutan Lindung Kabupaten Mojokerto) Tahun 2008. Tujuan

penelitian ini ialah memetakan daerah rawan terhadap longsor dengan menggunakan

penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis. Data yang digunakan ialah

citra satelit SPOT 4 tahun 2008 ditunjang degan data lain, seperti data curah

hujan, peta jenis tanah, peta kawasan hutan, peta geologi, dan data SRTM. Adapun

8
metode yang digunakan ialah overlay dan memberikan skor pada masing-masing

kriteria dari parameter tersebut. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan

kawasan hutan lindung Kabupaten Mojokerto memilki tingkat kerawanan

longsor rendah (13,28 Ha), kerawanan longsor sedang (177,24 Ha), dan

kerawanan longsor tinggi (427,15 Ha).

9
Berikut adalah Daftar Tabel Penelitian yang relevan terhadap proposal penelitian yang ingin diajukan yaitu:
Judul dan Jenis Tehnik Tehnik Hasil Penelitian
Nama Rumusan Tujuan
No Tahun Penelitian Pengumpulan Analisa
Peneliti Masalah Penelitian
Penelitian Data Data
1. Agus ”Identifikasi 1. Bagaimana 1. menghasilkan Metode Tehnik Tehnik Terdapat tiga
Sriyono Kawasan cara menghasilkan peta rawan Penleitian pengumpulan analsis data zonasi kawasan
Rawan peta rawan longsor bencana yang data yang yang rawan
Bencana di kecamatan longsor. digunakan digunakan digunakan bencana
Longsor banyu Biru.? 2. mengetahui adalah adalah adalah longsor dengan
Kecamatan 2.Bagaimana cara sebaran observasi, wawancara dan analisis zona A, zona B,
Banyubiru mengetahui kawasan dokumenta mengambil data kwantitatif dan zona C.
Kabupaten sebaran longsor di rawan bencana si, dan sekunder deskriptif
Semarang kecamatan longsor di Scoring. seperti
Tahun Banyubiru? Kecamatan monografi desa
2012” Banyubiru. dan sebagainya.
2. Jefri Pemetaan Bagaimana cara memetakan Metode Tehnik Tehnik memperlihatka
Andrian Daerah memetakan daerah daerah rawan Penleitian pengumpulan analsis data n
Nugroho Rawan rawan terhadap terhadap longsor yang data yang yang kawasan hutan
Longsor hutan lindung di dengan digunakan digunakan digunakan lindung
dengan kecamatan menggunakan adalah adalah adalah Kabupaten
Penginderaa Mojokerto? penginderaan observasi, wawancara dan analisis Mojokerto
n Jauh dan jauh dan Sistem dokumenta mengambil data kwantitatif memilki
Sistem Informasi si, dan sekunder deskriptif tingkat
Informasi Geografis. Scoring. seperti kerawanan
Geografis monografi desa longsor rendah
(Studi dan sebagainya. (13,28 Ha),
Kasus kerawanan

10
Hutan longsor sedang
Lindung (177,24 Ha),
Kabupaten dan kerawanan
Mojokerto) longsor tinggi
Tahun (427,15 Ha).
2008.

11
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Longsor
Menurut Hardiyatmo, (2001) Secara umum, kelongsoran lereng

dapat diakibatkan oleh: pertama; penambahan beban pada lereng. Beban

tambahan dapat berupa bangunan baru, penambahan beban oleh air yang

masuk ke pori-pori tanah, beban dinamis oleh pepohonan yang tertiup angin

dan lain-lain. Kedua, penggalian atau pemotongan tanah pada kaki lereng.

Ketiga, penggalian yang menyebabkan kenaikan kemiringan lereng.

Keempat, perubahan posisi muka air secara cepat (rapid-drawdown).

Kelima, kenaikan tekanan secara lateral oleh air (air yang mengisi retakan

akan mendorong tanah kearah lateral), dan keenam, gempa bumi.

Alhasanah (2006) menyebutkan bahwa tanah longsor merupakan

hasil dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya

massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih

rendah. Pergerakan tersebut terjadi karena adanya faktor gaya yang terletak

pada bidang tanah yang tidak rata atau disebut lereng. Selanjutnya gaya

yang menahan massa tanah di sepanjang lereng tersebut dipengaruhi oleh

kedudukan muka air tanah, sifat fisik tanah dan sudut dalam tahanan geser

tanah yang bekerja di sepanjang bidang luncuran. Sedangkan resiko (risk)

adalah gabungan dari unsurunsur resiko, bahaya dan kerentanan, dengan

formula matematis : Rt = E x H x V, dimana Rt : Resiko (risk), E : Unsur-

unsur yang beresiko (risk elements), H : Bahaya (hazard), dan V :

Kerentanan (vulnerability).

12
2.1.2 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Longsor
Menurut Ana Marina Ulfa Rahayu (2016:11-12) Tanah longsor

terjadi dikarenakan adanya gangguan keseimbangan gaya yang bekerja

pada lereng yaitu gaya penahan (shear strength) dan gaya peluncur (shear

stress). Gaya penahan massa tanah pada lereng dipengaruhi oleh kandungan

air, berat massa tanah itu sendiri dan berat beban bangunan.

Ketidakseimbangan gaya yang bekerja pada lereng menyebabkan lereng

menjadi tidak stabil. Ketidakstabilan tersebut menyebabkan massa tanah

atau batuan bergerak turun.

Faktor penyebab longsor dipicu oleh dua faktor utama, yaitu faktor

alam dan faktor ulah manusia.

a. Faktor Alam

1) Geomorfologi

Geomorfologi merupakan karakteristik, keadaan, dan bentuk muka

bumi. Secara umu, wilayah perbukitan atau pegunungan yang memiliki

kemiringan lereng yang terjal dapat menimbulkan longsor.

2) Geologi

Geologi merupakan struktur batuan penyusun lereng. Faktor yang

mempengaruhi struktur geologi ialah sifat fisik tanah dan batuan, tanah

pelapukan semakin tebal, dan patahan. Zona patahan merupakan zona

lemah yang mengakibatkan kekuatan batuan berkurang sehingga

menimbulkan banyak retakan yang memudahkan air meresap.

3) Keairan

13
Intensitas curah hujan yang tinggi menjadi salah satu pemicu

terjadinya longsor. tata lahan persawahan yang menggunakan banyak air

pada lereng yang terjal, erosi yang menggerus lereng, dan abrasi

gelombang laut yang menghantam tebing pantai juga sering

menyebabkan terjadinya longsor.

4) Vegetasi penutup

Pohon-pohonan besar pada lereng terjal dapat menahan terjadinya

longsor, karena memiliki akar yang kuat dan dapat menembus tanah

atau batuan yang terletak pada bidang gelincir. Namun, penebangan pohon-

pohon pada lereng, dapat memicu terjadinya longsor karena akar pohon

menjadi dangkal dan lereng menjadi labil.

b. Ulah Manusia

1) Penambahan beban pada lereng seperti membangun rumah di daerah

lereng.

2) Pemotongan lereng seperti penambangan, pembangunan jalan.

3) Getaran lalu lintas, mesin, dan getaran runtuhan lereng.

4) Tata lahan, seperti penebangan pohon

2.1.3 Tingkat Kerawanan dan Parameter Longsor

Menurut Jefrri Nuggroho Ardian (2008) Kerawanan

(vulnerability) adalah tingkat kemungkinan suatu objek bencana yang

terdiri dari masyarakat, struktur, pelayanan atau daerah geografis

mengalami kerusakan atau gangguan akibat dampak bencana atau

kecenderungan sesuatu benda atau mahluk rusak akibat

14
bencana. Kerawanan bencana (hazard vulnerability) adalah tingkat

kemungkinan suatu objek bencana untuk mengalami gangguan akibat

bencana alam. Bencana alam disini ialah bencana longsor. Analisis longsor

secara umum didasarkan pada lima faktor yang menyebabkan terjadinya

yaitu : geologi, morfologi, curah hujan, penggunaan lahan, dan intensitas

gempa. Berdasarkan faktor - faktor tersebut disusun tingkatan kerawanan

bencana alam longsor dengan mengacu kriteria pada Pusat

Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Tingkat

kerawanan longsor diklasifikasi menjadi 3 kriteria, yaitu :

a. Kurang rawan

Daerah kurang rawan longsor biasanya terjadi di ketinggian kurang dari

1000 meter dan kemiringan lereng yang landai. Curah hujan kurang dari 250

mm.

b. Rawan

Daerah rawan longsor biasanya terjadi di ketinggian lebih dari 1000

meter dengan kemiringan lereng agak curam. Curah hujan lebih dari250 mm.

Jenis tanah biasanya tanah lempung yang sedikit batuan pasir.

c. Sangat rawan

Daerah sangat rawan longsor pada umumnya terjadi di ketinggian lebih

dari 1500 meter bahkan lebih dari 2000 meter dengan kondisi lereng sangat

curam hingga terjal. Curah hujan mencapai 300-500 mm. Jenis tanah

lempung berpasir akan labil ketika hujan turun dengan intensitas tinggi. Tiga

kategori diatas, didapatkan pula dari hasil akhir Skoring. Skoring ialah

15
pemberian skor atau nilai terhadap masing-masing nilai parameter untuk

menentukan tingkat kemampuannya. berikut skor kumulatif

tingkat kerawanan longsor.

Tabel 2.1 Skor Kumulatif Tingkat Kerawanan


Longsor

No. Skor Kumulatif Status/Klasifikasi Bencana


1 ≤ 2,5 Kurang Rawan
2 ≥ 2,6 - ≤ 3,6 Rawan
3 ≥3,7 Sangat Rawan
Sumber: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005)

Berikut beberapa parameter longsor menurut Jefri Ardian Nugroho.

1) Iklim (Curah Hujan)

Curah hujan merupakan faktor yang paling sering menyebabkan

terjadinya longsor. Tanah yang merekah pada saat musim kemarau, ketika

musim hujan tiba, hujan akan turun dengan intensitas yang tinggi akan

masuk ke dasar lereng sehingga tanah lempung berpasir semakin basah dan

menyebabkan terjadinya longsor.

2) Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng adalah perbandingan antara beda tinggi (jarak

vertikal) suatu lahan dengan jarak mendatarnya. Kemiringan lereng

menjadi faktor yang paling penting dalam proses terjadinya longsor.

Pembagian zona kerawanan longsor sangat terkait denga longsor. Menurut

16
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 22 Tahun 2007 menyebutkan

longsor dapat terjadi apabila kemiringan lereng mencapai lebih dari

40o atau curam. Biasanya di daerah perbukitan atau pegunungan Selain itu,

daerah rawan gempa juga memicu terjadinya longsor.

3) Ketinggian

Ketinggian suatu daerah tidak lepas dari faktor kemiringan lereng.

Semakin rendah ketinggian suatu daerah, maka kemiringan lereng semakin

landai. Jika suatu daerah semakin tinggi, maka kemiringan lereng semakin

curam.

4) Jenis Tanah

Tanah merupakan hasil pelapukan dari batuan yang ada di permukaan

bumi. Karakteristik tanah yang gembur, tanah lempung dengan

ketebalan lebih dari 2,5 meter memiliki potensi terjadinya longsor

terutama apabila terjadi hujan, karena air hujan mudak masuk ke dalam

penampang tanah.

5) Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan adalah wujud tutupan permukaan bumi baik

yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia. Pada umumnya,

penggunaan lahan merupakan bentuk intervensi manusia terhadap lahan

dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun

spiritual.Penggunaan lahan seperti persawahann maupun perkebunan pada

daerah dataran tinggi dan kemiringan lereng yang agak curam hingga curam

17
dapat memicu terjadinya longsor. Sebab, jenis vegetasi tersebut memiliki

akar yang kurang kuat untuk menahan air yang masuk ke dalam penampang

tanah. Menurut Surono dalam skripsi Ahmad Danil Effendi, menjelaskan

bahwa “pohon yang cocok ditanam di lereng curam adalah yang tidak

terlalu tinggi, namun memiliki jangkauan akar yang luas sebagai pengikat

tanah”.

2.1.4 Jenis-jenis Longsor

Menurut Paimim (2009) Ada 6 jenis tanah longsor, yakni: longsoran

translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan

tanah, dan aliran bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi

paling banyak terjadi di Indonesia.

a. Longsoran Translasi

Longsoran translasi terjadi ketika tanah bergerak pada bidang gelincir

berbentuk rata atau menggelombang landai. Jenis longsor ini banyak

terjadi di Indonesia.

b. Longsoran Rotasi

Longsoran rotasi terjadi ketika tanah dan batuan bergerak secara

bersamaan pada bidang gelincir yang cekung. Jenis longsor juga sering

terjadi di Indonesia

c. Pergerakan Blok

Pergerakan blok merupakan jenis longsor yang terjadi ketika

batuan bergerak pada bidang gelincir yang rata.

18
d. Runtuhan Batu

Runtuhan batu terjadi ketika batuan dalam jumlah besar bergerak

menuruni lereng terjal secara bebas. Biasanya terjadi di daerah pantai.

e. Rayapan Tanah

Pergerakan rayapan tanah hampir tidak terlihat dan tidak terasa.

Lama-lama tiang telepon, tiang listrik, pohon, dan rumah-rumah akan

miring ke bawah.

f. Aliran Bahan Rombakan

Jenis tanah longsor ini biasanya terjadi ketika hujan turun dengan deras.

Jenis longsor ini dapat bergerak di sepanjang lembah dan dapat mencapai

ratusan meter. Longsor ini dapat menelan banyak korban jiwa.

2.1.5 Karakteristik Wilayah Rawan Longsor

Menurut Yukni Arifianti dan Sumaryono (2010) menyebutkan

bahwa terdapat beberapa karakteristik daerah rawan longsor itu, yaitu:

a. Daerah berbukit dengan kelerengan lebih dari 20 derajat.


b. Lapisan tanah tebal di atas lereng.
c. Sistem tata air dan tata guna lahan yang kurang baik.
d. Lereng terbuka atau gundul.
e. Terdapat retakan tapal kuda pada bagian atas tebing.
f. Banyaknya mata air/rembesan air pada tebing disertai
longsoran- longsoran kecil.
g. Adanya aliran sungai di dasar lereng.

Menurut Jefrri Nuggroho Ardian (2008) Berikut adalah

karasteristik wilayah daerah rawan longsor:

19
1. Faktor utama karakteristik wilayah longsor ialah kemiringan lereng lebih

dari 20 derajat. Indonesia memiliki banyak wilayah pegunungan dan tanah

yang berbukit-bukit dengan kemiringan lereng yang landai hingga curam.

Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor berada di wilayah kaki gunung Salak

sehingga kelerengannya cukup terjal dengan kemiringan lereng lebih dari 200.

Dengan demikian, lereng yang terjal sangat rentan terjadinya longsor.

2. Negara kita juga yang beriklim tropis dengan curah hujan yang sangat tinggi

menyebabkan batuan pembentuk bukit menjadi terlapukkan. Tingginya tingkat

perlapukan batu yang akhirnya menjadi tanah ini ditunjukkan dengan

tebalnya lapisan tanah pembentuk lereng. Lapisan tanah yang tebal ini

apabila di bawahnya terdapat lapisan batu yang kedap air menyebabkan tanah

lapisan batu yang kedap air tadi menjadi bidang gelincir yang memungkinkan

terjadinya longsor. Lapisan tanah yang tebal di atas lereng ini menjadi tanda

kawasan rawan tanah longsor dan masyarakat harus jeli melihatnya.

3. Selanjutnya faktor ketiga yaitu, buruknya sistem drainase di bawah lereng dan

tata guna lahan yang buruk juga menjadi tanda-tanda suatu kawasan yang

mengalami tanah longsor. Sistem tata air yang buruk ini menyebabkan air

hujan yang masuk ke dalam lereng ketika hujan turun mengendap disana

sehingga menambah beban lereng dan terakhir terjadilah tanah longsor.

4. Faktor yang keempat hampir sama dengan faktor ketiga diatas. Lereng yang

tidak ditumbuhi pepohonan dan tidak ditutup dengan lapisan penutup

menyebabkan air hujan langsung masuk ke dalam lereng. Faktor kelima yaitu

Kawasan yang sudah retak berbentuk tapal kuda di atas tebing mengindikasi

20
bahwa tebing tersebut sudah mulai bergerak. Keadaan ini akan diperparah

apabila turunnya hujan dalam waktu yang lama. Selain 20 itu, rembesan air

yang banyak di lereng sebuah tebing menunjukkan tebing tersebut sudah

sangat jenuh air atau sudah terpenuhi oleh air. Banyaknya air dalam lereng

seperti yang dijelaskan pada faktor ketiga bisa menyebabkan terjadinya tanah

longsor.

5. Faktor selanjutnya ialah pembangunan rumah dan bangunan lain di atas lereng

bisa menambah beban terhadap lereng. Ketika sebuah lereng awalnya stabil

namun karena beban di atasnya terlalu besar maka lama- kelamaan lereng

tersebut akan tidak stabil lagi dan lambat laun bisa menyebabkan bencana

longsor.

Hampir sebagian besar kejadian longsor yang terjadi di negara kita

adalah longsoran yang diakibatkan pemotongan lereng yang terjal untuk

kepentingan pembangunan jalan. Hampir setiap musim penghujan bisa dipastikan

akan ada lereng-lereng di sepanjang jalan perbukitan akan longsor.

Perubahan fungsi dan tata guna lahan yang dilakukan manusia

membawa potensi besar terhadap terjadinya longsor. Semakin besar usaha atau

aktifitas manusia diatas lahan yang miring untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya maka akan meningkatkan resiko wilayah rawan longsor. Karakteristik

yag menjadi faktor yang dapat menyebabkan longsor salah satunya adalah

aktifitas manusia yang terkait dengan berbagai macam penggunaan lahan,

seperti pembuatan jalan, pemotongan tebing untuk pembuatan bangunan rumah,

dan penggalian batuan dasar. ( Yukni Arifianti dan Sumaryono, 2010)

21
2.1.6 Sistem Informasi Geografi (SIG) Untuk Wilayah Rawan Longsor
Menurut Aronoff (1989) dalam Prahasta (2001) Sistem Informasi

Geografis (SIG) merupakan suatu sistem (berbasiskan komputer) yang

digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi

geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan

menganalisis obyek-obyek dan fenomena dimana lokasi geografis

merupakan karakteristik yang memiliki empat kemampuan berikut dalam

menangani data yang bersifat rutgeografi: (a) masukan, (b) manajemen data

(penyimpanan dan pengambilan data), (c) analisis dan manipulasi data, (d)

keluaran.

Menurut Aronoff (1989) dalam Prahasta (2001) Beberapa definisi

dari para ahli mengenai SIG adalah sebagai berikut:

a. Definisi SIG menurut Rhind SIG is a computer system for collecting,

checking, integrating, and analyzing information related to the surface of the

earth.

b. Definisi SIG menurut Purwadhi SIG merupakan suatu sistem yang

mengorganisir perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan

data serta dapat mendayagunakan sistem penyimpanan, pengolahan,

maupun analisis data secar simultan sehingga dapat diperoleh informasi yang

berkaitan dengan aspek keruangan.

22
c. Definisi SIG menurut Anon SIG adalah suatu informasi yang dapat

memadukan antara data grafis (spasial) dengan data teks (atribut) objek yang

dihubungkan secara geografis di bumi (geoference).

d. Definisi SIG menurut Demers SIG adalah sistem komputer yang

digunakan untuk mengumpulkan, memeriksa, mengintegrasikan, dan

menganalisis informasi-informasi yang berhubungan dengan permukaan

bumi.

Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli, dapat disimpulkan

bahwa SIG adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja

dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi dengan

seperangkat operasi kerja. Definisi-definisi diatas maka SIG dapat diuraikan

menjadi beberapa subsistem, yaitu:

a. Data Input

Data input merupakan proses identifikasi dan pengumpulan data yang

dibutuhkan untuk aplikasi tertentu. Data input ini bertugas untuk

mengumpulkan, mempersiapkan, dan menyimpan data spasial dan atributnya

dari berbagai sumber. Proses ini terdiri dari pengumpulan data,

pemformatan ulang, georeferensi, kompilasi dan dokumentasi data.

Komponen masukan data mengubah dari data mentah atau bentuk asli ke

suatu bentuk yang dapat digunakan SIG. Data yang diperlukan untuk suatu

kegiatan umumnya tersedia dalam berbagai bentuk yang berbeda seperti: peta

analog, tabel, grafik/diagram, set data digital asli, peta, foto udara, citra satelit,

hasil pengukuran lapangan dan format digital dari sumber lain.

23
b. Data Output

Subsistem ini bertugas untuk menampilkan atau menghasilkan keluaran,

termasuk mengekspornya ke format yang dikehendaki, baik secara keseluruhan

maupun sebagian basis data (spasial).

c. Data Management

Subsistem ini bertugas untuk mengorganisasikan baik data spasial

maupun tabel-tabel atribut terkait ke dalam sebuah sistem basis data dengan

menggunakan Database Management System (DBMS) sehingga mudah

dipanggil kembali atau di-retrieve, di-update, dan di- edit.

d. Data Manipulation & Analysis

Subsistem ini bertugas untuk menentukan informasi-informasi yang

dapat dihasilkan oleh SIG. selain itu, bertugas untuk melakukan manipulasi

dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang di harapkan.

Dengan demikian, SIG diharapkan dapat memberikan kemudahan-

kemudahan yang diinginkan, yaitu:

a) Penanganan data geospasial menjadi lebih baik dalam format baku

b) Dapat digunakan untuk mengidentifikasi daerah banjir, longsor, dan

kemiskinan.

c) Revisi dan pemutakhiran data menjadi lebih mudah

d) Data geospasial dan informasi menjadi lebih mudah dicari,

dianalisis, dan direpresentasikan.

e) Menjadi produk yang menjadi nilai tambah.

f) Kemampuan menukar data geospasial

24
g) Pengehematan waktu dan biaya

h) Keputusan yang diambil menjadi lebih baik

25
2.2 KERANGKA PEMIKIRAN
Langkah awal dalam penelitian ini ialah penulis melihat kondisi fisik

Kecamatan Palolo. Kondisi fisik tersebut dijadikan parameter tingkat kerawanan

longsor mengacu pada Nugroho (2008), yaitu parameter curah hujan, kemiringan

lereng, ketinggian, jenis tanah, dan penggunaan lahan.

Tiap parameter dibuat ke dalam peta tematik format poligon dengan

memanfaatkan Sistem Informasi Geografis software QuantumGIS setelah dibuat

peta tematik, kelima parameter tersebut dilakukan tumpang susun (overlay)

kemudian tiap parameter tersebut diberikan skor dengan metode Skoring dan

setelah itu dilakukan proses pembobotan.

Setelah melalui proses overlay, skoring, dan pembobotan menghasilkan

zonasi daerah rawan longsor. dari zonasi tersebut, dapat ditemukan tingkat

kerawanan longsor di di Kecamatan Palolo berdasarkan kriteria dari Pusat

Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), yaitu kategori kurang

rawan, rawan, dan sangat rawan di visualisasikan dengan peta tingkat kerawanan

longsor di Desa Sintuwu Kecamatan Palolo.

26
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kwantitatif deskriptif . Metode
penelitian kwantitatif deskriptif merupakan pengungkapan suatu fenomena
keadaan alam untuk dilihat potensi terjadinya longsor , kemudian dilihat tingkat
bahaya longsor tersebut dengan memanfaatkan sistem informasi geografi (SIG)
sebagai sarana pengolah data. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan keruangan.

3.2 Desain atau Rancangan Penelitian


Adapun dalam melaksanakan penelitian ini langkah- langkah yang ditentukan
adalah sebagai berikut:

I Peta RBI
Kecamatan Palolo
N

P Observasi Kondisi
Fisik Wilayah
U
Peta
Peta
Peta Adminis
T Peta Penggu Peta
Lereng Topogr trasi
naan Tanah
afi Kecamat
an Lahan
P Palolo
R
O
S
E Skoring
Sistem Klasifikasi daerah
S rawan longsor Overlay

O
U
T
P Peta Kerentanan Longsor di Kecamatan Palolo
U
T

27
3.3 Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian
3.3.1 Tenpat Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Kecamatan Palolo Kabupaten Sigi Provinsi

Sulawesi Tengah.

3.3.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini Insya Allah akan dilaksanakan selama 3 bulan, dimulai

pada bulan Juni-September Tahun 2018.

3.4 Variabel Penelitian

3.4.1 Variabel Pengaruh

a. Curah Hujan

Curah hujan merupakan jumlah air yang di diperisipitasikan dari

atmosfer untuk suatu satuan waktu tertentu.

b. Kemiringan Lahan/Lereng

Kemiringan lereng merupakan sudut yang dibentuk oleh bidang

lereng dengan bidang horizontal dan besarnya dinyatakan dalam derajat

atau persen.

c. Ketinggian Lokasi

Ketinggian lokasi, merupakan tinggi suatu tempat diukur dari

ketinggian permukaan laut.

d. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan, merupakan wujud nyata aktivitas manusia

terhadap bagian fisik permukaan bumi.

28
e. Tanah

Tanah merupakan bahan alam yang terdiri dari air, udara dan butir-

butir tanah.

3.4.2 Variabel Terpengruh

Variabel terpengaruh dalam penelitian ini adalah kerentanan longsor

di Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi.

3.5 Populasi dan Sampel Peneletian

3.5.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang dapat terdiri dari

manusia, benda-benda, hewan, tumbuhan, gejala, atau peristiwa sebagai sumber

data yang memiliki karakteristik tertentu. Populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh desa di Kecamatan yang terdapat di Kecamatan Palolo Kabupaten Sigi.

3.5.2 Sampel Penelitian

Menueurt Arikunto dalam Ridwan, (2009) Sampel penelitian adalah

sebagian dari populasi yang diambil sebagai sumber data dan dapat mewakili

seluruh populasi .

3.6 Alat dan Bahan

3.6.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

a. GPS (Global Posititionin System)

b. Komputer

29
c. Kamera

d. Alat Tulis

3.6.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

a. Peta Administrasi Kecamatan Palolo

b. Peta Kemiringan Lereng Kecamatan Palolo

c. Peta tekstur tanah yang mendominasi di Kecamatan Palolo

3.7 Jenis Dan Sumber Data

3.7.1 Jenis Data

Penelitian ini menggunakan jenis data sekunder dan primer. Data sekunder

adalah data yang diperoleh peneliti dari sumber yang sudah ada sedangkan data

primer adalah data yang diperoleh peneliti secara lansung.

3.7.2 Sumber data

Sumber data dalam penelitian ini meliputi, data dari hasil interpretasi

peta, data observasi serta di Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi.

3.8 Tehnik Pengumpulan Data

3.8.1 Observasi Langsung

Observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan

pengamatanya melalui hasil kerja pancaindra mata dan dibantu dengan panca

indra lainnya. Peneliti melakukan pengamatan langsung dpada penggunaan

lahan serta kondisi sosial masyarakat di kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi.

3.8.2 Mencatat Dokumen (Content Analysis)

30
Teknik ini sering disebut sebagai analisis isi (content analysis)yang

cenderung mencatat apa yang tersirat dan yang tersurat. Teknikini digunakan

untuk mengumpulkan data yang bersumber dari dokumen dan arsip tentang

bencana longsor. Tehnik ini digunakan untuk menulusuri histori dokumen yang

dibutuhkan. Adapun dokumen yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah:

No. Dokumen yang dibutuhkan Sumber


1. Data Monografi Kecamatan Kantor Kecamatan

2. Data Kejadian Longsor Kecamatan BPBD


Pamijahan Pamijahan
Kabupaten/Provinsi

Pamijahan

3.9 Tehnik Analisis Data Bogor


Menurut Masri Singarimbun, “Teknik analisa data adalah proses

penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan

diinterpretasikan”. Berikut teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian

ini.

1. Overlay (Tumpang Susun)

Metode overlay yaitu menganalisis dan mengintegrasikan dua atau lebih

data spasial yang berbeda.Proses ini menggabungkan beberapa peta yang

menjadi parameter rawan longsor dengan QuantumGIS.

31
2. Skoring

Metode skoring adalah suatu metode pemberian skor atau nilai

terhadap masing-masing nilai parameter untuk menentukan tingkat

kemampuannya. Berdasarkan metode Skoring, Parameter-parameter

yang digunakan untuk potensi kerawanan longsor adalah jenis

tanah, kemiringan lereng, penggunaan lahan, ketinggian dan curah

hujan. Analisis kerawanan longsor dilakukan pada peta unit lahan.

3. Pembobotan

Metode pembobotan juga sering disebut weighting, ialah metode yang

digunakan apabila setiap karakter memiliki peranan berbeda atau jika memiliki

beberapa parameter untuk menentukan kemampuan lahan atau sejenisnya.

Selain dengan metode skoring, penentuan tingkat kerawanan longsor dilakukan

dengan cara memberi bobot. Porsi untuk pembobotan tiap parameter berbeda,

tergantung kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi.

4. Analisis Deskripsi

Pada tahap analisis deskripsi, penulis melakukan penjelasan atau

mendeskripsikan potensi terjadinya longsor. Hasil dari overlay peta, akan

terlihat sebaran daerah rawan longsor di Kecamatan Pamijahan. Peta

tingkat kerawanan longsor selanjutnya dihubungkan dengan kondisi fisik dan

sosial masyarakat Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi.

32
Daftar Pustaka

Alhasanah, F. 2006. Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor Serta
Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus
Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang,
Provinsi Jawa Barat). Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian
Bogor. Bogor
Arifianti Yukni, dan Sumaryono . 2010 . Mengenal Lebih Dekat Tanah Lo
ngsor.Bandung: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.

Hardiyatmo, H., C. (2001) Analisis Sebab sebab Kelongsoran Lereng di Purworejo


dan Sekitarnya, Jurnal Forum Teknik
Nugroho, Jefri Ardian . 2008. Pemetaan Daerah Rawan Longsor dengan
Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis’, Jyrnal Sukolilo,
Surabaya.
Paimim . 2009 . Tehnik Mitigasi Banjir dan Longsor, Tropenbos International
Indonesia Programe.

Plummer. 2007. Physichal Geology 11th Edition. New York: McGraw-Hill.

Prahasta E. 2001. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung:


Informatika Bandung.
Sriyono, Agus. 2012 . “Identifikasi Kawasan Rawan Bencana Longsor Kecamatan
Banyubiru, Kabupaten Semarang”, Skripsi pada Universitas Negeri
Semarang.

33

Você também pode gostar