Você está na página 1de 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Seorang perawatan professional dalam merawat lanjut usia yang tidak ada

harapan mempunyai ketrampilan yang multi komplek. Sesuai dengan peran

yang dimiliki, perawatan harus mampu memberikan pelayanan keperawatan

dalam memenuhi kebutuhan klien lanjut usia dan harus menyelami perasaan-

perasaan hidup dan mati.

Dalam memberikan asuhan keperawatan pada lanjut usia yang sedang

menghadapi sakarotul maut tidaklah selamanya muda, klien lanjut usia akan

memberikan reaksi-reaksi yang berbeda–beda, bergantung kepada kepribadian

dan cara klien lanjut usia menghadapi hidup. Tetapi bagaimanapun keadaan,

situasi dan kondisinya perawat harus dapat menguasai keadaan terutama

terhadap keluarga klien lanjut usia. Biasanya, anggota keluarga dalam keadaan

krisis ini memerlukan perhatian perawatan karena kematian pada seseorang

dapat datang dengan berbagai cara, dapat terjadi secara tiba-tiba dan dapat pula

berlangsung berhari-hari. Kadang–kadang sebelum ajal tiba klien lanjut usia ke

hilangan kesadarannya terlebih dahulu.

Pentingnya bimbingan spiritual dalam kesehatan telah menjadi ketetapan

who yang menyatakan bahwa aspek agama (spiritual) merupakan salah satu

unsur dari pengertian kesehataan seutuhnya (WHO, 1984). Oleh karena itu

dibutuhkan dokter dan terutama perawat untuk memenuhi kebutuhan spritual


pasien. Karena peran perawat yang konfrehensif tersebut pasien senantiasa

mendudukan perawat dalam tugas mulia mengantarkan pasien diakhir hayatnya

dan perawat juga dapat bertindak sebagai fasilisator (memfasilitasi) agar pasien

tetap melakukan yang terbaik seoptimal mungkin sesuai dengan kondisinya.

Namun peran spiritual ini sering kali diabaikan oleh perawat. Padahal aspek

spiritual ini sangat penting terutama untuk pasien terminal yang didiagnose

harapan sembuhnya sangat tipis dan mendekati sakaratul maut.

Menurut Dadang Hawari (1977) “orang yang mengalami penyakit terminal

dan menjelang sakaratul maut lebih banyak mengalami penyakit kejiwaan,

krisis spiritual, dan krisis kerohanian sehingga pembinaan kerohanian saat

klien menjelang ajal perlu mendapatkan perhatian khusus”.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimanakah konsep dasar kematian ?

2. Bagaimanakah konsep asuhan keperawatan pasien terminal dan menjelang

ajal ?

C. Tujuan penulisan

1. Tujuan umum

a. Untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan komunitas

b. Agar mahasiswa mampu memahami dan membuat asuhan keperawatan

lansia menjelang ajal atau kematian .

2. Tujuan khusus

a. Mengenal kosep dasar kematian.

b. Melakukan asuhan keperawatan lansia menjelang ajal.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Lansia

1. Definisi

Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur

kehidupan manusia (Budi Anna Keliat, 1999 dalam buku Siti Maryam, dkk,

2008). Sedangkan menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU no. 13 tahun 1998

tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah

mencapai usia lebih dari 60 tahun (R. Siti Maryam, dkk, 2008: 32).

Lansia adalah tahap akhir siklus hidup manusia, merupakan bagian

dari proses kehidupan yang tak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh

setiap individu. Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan baik

secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi

dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik

sebagian dari proses penuaan normal, seperti rambut yang mulai memutih,

kerut-kerut ketuaan di wajah, berkurangnya ketajaman panca indera, serta

kemunduran daya tahan tubuh, merupakan acaman bagi integritas orang

usia lanjut. Belum lagi mereka harus berhadapan dengan kehilangan-

kehilangan peran diri, kedudukan sosial, serta perpisahan dengan orang-

orang yang dicintai. Semua hal tersebut menuntut kemampuan beradaptasi

yang cukup besar untuk dapat menyikapi secara bijak (Soejono, 2000).

Penuaan merupakan proses normal perubahan yang berhubungan dengan


waktu, sudah dimulai sejak lahir dan berlanjut sepanjang hidup. Usia tua

adalah fase akhir dari rentang kehidupan.

Pengertian lansia (lanjut usia) adalah fase menurunnya kemampuan

akal dan fisik, yang di mulai dengan adanya beberapa perubahan dalam

hidup. Sebagai mana di ketahui, ketika manusia mencapai usia dewasa, ia

mempunyai kemampuan reproduksi dan melahirkan anak. Ketika kondisi

hidup berubah, seseorang akan kehilangan tugas dan fungsi ini, dan

memasuki selanjutnya, yaitu usia lanjut, kemudian mati. Bagi manusia

yang normal, siapa orangnya, tentu telah siap menerima keadaan baru

dalam setiap fase hidupnya dan mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi

lingkunganya (Darmojo, 2004).

Pengertian lansia (lanjut usia) menurut UU no. 4 tahun 1965 adalah

seseorang yang mencapai umur 55 tahun, tidak berdaya mencari nafkah

sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari

orang lain (Wahyudi, 2000) sedangkan menurut UU no. 12 tahun 1998

tentang kesejahteraan lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang telah

mencapai usia diatas 60 tahun (Depsos, 1999). Usia lanjut adalah sesuatu

yang harus diterima sebagai suatu kenyataan dan fenomena biologis.

Kehidupan itu akan diakhiri dengan proses penuaan yang berakhir dengan

kematian (Hutapea, 2005).

Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Dalam

mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia menurut badan koordinasi


keluarga berencana nasional ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan

yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial (BKKBN 1998).

2. Penggolongan Lansia

Sedangkan menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) pengertian

lansia digolongkan menjadi 4, yaitu:

a. Usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun

b. Lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun

c. Lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun

d. Lansia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.

3. Ciri-Ciri Lansia

Menurut Hurlock (Hurlock, 1980: 380) terdapat beberapa ciri-ciri

orang lanjut usia, yaitu:

a. Usia lanjut merupakan periode kemunduran

Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor

psikologis. Kemunduran dapat berdampak pada psikologis lansia.

Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada lansia.

Kemunduran pada lansia semakin cepat apabila memiliki motivasi

yang rendah, sebaliknya jika memiliki motivasi yang kuat maka

kemunduran itu akan lama terjadi.

b. Orang lanjut usia memiliki status kelompok minoritas

Lansia memiliki status kelompok minoritas karena sebagai akibat dari

sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap orang lanjut usia dan

diperkuat oleh pendapat-pendapat klise yang jelek terhadap lansia.


Pendapat-pendapat klise itu seperti: lansia lebih senang

mempertahankan pendapatnya dari pada mendengarkan pendapat

orang lain.

c. Menua membutuhkan perubahan peran

Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami

kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya

dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari

lingkungan.

d. Penyesuaian yang buruk pada lansia

Perlakuan yang buruk terhadap orang lanjut usia membuat lansia

cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk. Lansia lebih

memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Karena perlakuan yang

buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk.

B. Konsep Kematian

1. Pengertian Kematian

Kematian adalah penghentian permanen semua fungsi tubuh yang vital,

akhir dari kehidupan manusia (buku ajar keperawatan gerontik : 435).

Pengertian kematian / mati adalah apabila seseorang tidak teraba lagi

denyut nadinya tidak bernafas selama beberapa menit dan tidak

menunjukan segala refleks, serta tidak ada kegiatan otak (Nugroho : 153).
2. Penyebab Kematian

e. Penyakit

1) Keganasan (Karsinoma Hati, Paru, Mamae).

2) CVD (Cerebrovascular Disaese).

3) Chronic Renal Failure (Gagal Ginjal).

4) Diabetes Melitus (Gangguan Endokrin).

5) Myocard Infark (Gangguan Kardiovaskuler).

6) COPD (Chronic Obstruction Pulmonary Disaese)

f. Kecelakaan (hematoma epidural).

3. Ciri atau Tanda Klien Lanjut Usia Menjelang Kematian

a. Gerakan dan pengindraan menghilang secara berangsur – angsur.

Biasanya dimulai pada anggota badan, khususnya kaki dan ujung kaki

b. Badan dingin dan lembab, terutama pada kaki, tangan dan ujung

hidungnya.

c. Kulit tampak pucat

d. Tekanan darah menurun

e. Relaksasi otot muka sehingga dagu menjadi turun.

f. Pernafasan cepat dangkal dan tidak teratur.

4. Tanda –Tanda Meninggal Secara Klinis.

Secara tradisional, tanda-tanda klinis kematian dapat dilihat melalui

perubahan-perubahan nadi, respirasi dan tekanan darah. Pada tahun 1968,

World Medical Assembly, menetapkan beberapa petunjuk tentang indikasi

kematian, yaitu :
a. Tidak ada respon terhadap rangsangan dari luar secara total.

b. Tidak adanya gerak dari otot, khususnya pernafasan.

c. Tidak ada reflek.

d. Gambaran mendatar pada EKG.

5. Tahap Kematian

Tahap – tahap ini tidak selamanya bruntutan secara tetapi dapat saling

tindih. Kadang–kadang klien lanjut usia melalui suatu tahap tertentu untuk

kemudian kembali ketahap itu. Lama setiap tahap dapt bervariasi, mulai

dari beberapa jam sampai beberapa bulan. Apabila tahap tertentu

berlangsung sangat singkat, bisa timbul kesan seolah – olah klien lanjut

usia melompati satu tahap, kecuali jika perawat memperhatikan seksama

dan cermat (Nugroho : 2008).

a. Tahap pertama ( penolakan )

Tahap ini adalah tahap kejutan dan penolakan. Biasanya, sikap itu

ditandai dengan komentar “saya? tidak, itu tidak mungkin”. Selama

tahap ini klien lanjut usia sesungguhnya mengatakan bahwa maut

menimpa semua orang, kecuali dirinya. Klien lanjut usia biasanya

terpengaruh oleh sikap penolakannya sehingga ia tidak memerhatikan

fakta yang mungkin sedang dijelaskan kepadanya oleh perawat. Ia

bahkan menekan apa yg telah ia dengar atau mungkin akan meminta

pertolongan dari berbagai macam sumber profesional dan

nonprofesional dalam upaya melarikan diri dari kenyataan bahwa mau

sudah diambang pintu.


b. Tahap kedua (marah)

Tahap ini ditandai oleh rasa marah dan emosi tidak terkendali. Klien

lanjut usia itu berkata “mengapa saya ? ” sering kali klien lanjut usia

akan selalu mencela setiap orang dalam segala hal. Ia mudah marah

terhadap perawat dan petugas kesehatan lainya tentang apa yang

mereka lakukan. Pada tahap ini, klien lanjut usia lebih menganggap

hal ini merupakan hikmah, daripada kutukan. Kemarahan disini

merupakan mekanisme perthanan diri klien lanjut usia. Akan tetapi,

kemarahan yang sesungguhnya tertuju kepada kesehatan

dankehidupan. Pada saat ini, perawat kesehatan harus berhati – hati

dalam memberi penilaian sebagai reaksi yang normal terhadap

kemtian yang perlu diungkapkan.

c. Tahap ketiga (tawar – menawar )

Pada tahap ini biasanya klien lanjut usia pada hakikatnya berkata ,

“ya, benar aku, tapi...” Kemarahan biasnya mereda dan klien lanjut

usia biasanya dapat menimbulkan kesan sudah dapat menerima apa

yang sedang terjadi pada dirinya. Akan tetapi, pada tahap tawar

menawar ini banyak orang cenderung untuk menyelesaikan urusan

rumah tangga mereka sebelum mau tiba, dan akan menyiapkan

beberpa hal, misalnya klien lanjut usia mempunyai permintaan terkhir

untuk melihat pertandingan olahraga, mengunjungi kerabat, melihat

cucu terkecil, atau makan direstoran. Perawat dianjurkan memenuhi


permohonan itu karena membantu klien lanjut usia memasuki tahap

berikutnya.

d. Tahap keempat (sedih/ depresi )

Pada tahap ini biasanya klien lanjut usia pada hakikatnya berkata “ya,

benar aku” hal ini biasanya merupakan saat yang menyedihkan karena

lanjut usia sedang dalam suaana berkabung. Di masa lampau, ia sudah

kehilangan orang yang dicintainya dan sekarang ia akan kehilangan

nyawanya sendiri. Bersamaan dengan itu, dia harus meninggalkan

semua hal menyenangkan yang telah dinikmatinya. Selam tahap ini,

klien lanjut usia cenderung tidak banyak bicara dan sering menangis.

Saatnya perawat duduk dengan tenang disamping klien lanjut usia

yang melalui masa sedihnya sebelum meninggal

e. Tahap kelima (menerima/ asertif)

Tahap ini ditandai oleh sikap menerima kematian.menjelang saat ini,

klien lanjut usia telah membereskan segala urusan ysng belum

selesesai dan mungkin tidak ingin berbicara lagi karena sudah

menyatakan segala sesuatunya. Tawar menawar sudah lewat dan

tibalah saat kedamaian dan ketenangan. Seseorang mungkin saja lama

ada dalam tahap menerima, tetapi bukan tahap pasrah yang berarti

kekalahan . Dengan kata lain pasrah terhadap maut tidak berarti

menerima maut.
6. Pengaruh Kematian

a. Pengaruh kematian terhadap keluarga klien lanjut usia :

1) Bersikap kritis terhadap cara perawatan.

2) Keluarga dapat menerima kondisinya.

3) Terputusnya komunikasi dengan orang yang menjelang maut.

4) Penyesalan keluarga dapat mengakibatkan orang yang

bersangkutan tidak dapat mengatasi rasa sedih.

5) Pengalihan tanggung jawab dan beban ekonomi.

6) Keluarga menolak diagnosis. Penolakan tersebut dapat

memperbesar beban emosi keluarga.

7) Mempersoalkan kemampuan tim kesehatan.

b. Pengaruh kematian terhadap tetangga / teman :

1) Simpati dan dukungan moril.

2) Meremehkan / mencela kemampuan tim kesehatan

C. Asuhan Keperawatan Lansia Menghadapi Kematian

1. Pengkajian

Pengkajian ialah tahap pertama proses keperawatan. Sebelum

perawat dapat merencanakan asuhan keperawatan pada pasien yang tidak

ada harapan sembuh, perawat harus mengidentifikasi dan menetapkan

masalah pasien terlebih dahulu. Oleh karena itu, tahap ini meliputi

pengumpulan data, analisis data mengenai status kesehatan, dan berakhir


dengan penegakan diagnosis keperawatan, yaitu pernyataan tentang

masalah pasien yang dapat diintervensi.

Tujuan pengkajian adalah memberi gambaran yang terus – menerus

mengenai kesehatan pasien yang memungkinkan tim perawatan untuk

merencanakan asuhan keperawatannya secara perseorangan.pengumpulan

data dimulai dengan upaya untuk mengenal pasien dan keluarganya. Siapa

pasien itu dan bagimana kondisinya akan membahayakan jiwanya.

Rencana pengobatan apa yang telah dilaksanakan ? Tindakan apa saja yang

telah diberikan ? Adakah bukti mengenai pengetahuannya, prognosisnya,

dan pada tahap proses kematian yang mana pasien berada ? Apakah ia

menderita rasa nyeri ? Apkah anggota keluarganya mengetahui

prognosisnya dan bagaiman reaksi mereka ? Filsafat apa yang dianut oleh

pasien dan keluarganya mengenai hidup dan mati. Pengkajian keadaan,

kebutuhan, dan masalah kesehatan / keperawatan pasien khususnya. Sikap

pasien terhadap penyakitnya, antara lain apakah pasien tabah terhadap

penyakitnya, apakah pasien menyadari tentang keadaannya ?

a. Perasaan takut. Kebanyakan pasien merasa takut terhadap rasa nyeri

yang tidak terkendalikan yang begitu sering diasosiasikan dengan

keadaan sakit terminal, terutama apabila keadaan itu disebabkan oleh

penyakit yang ganas. Perawat harus menggunakan pertimbangan yang

sehat apabila sedang merawat orang sakit terminal. Perawat harus

mengendalikan rasa nyeri pasien dengan cara yang tepat. Perasaan

takut yang mungkin takut terhadap rasa nyeri, walaupun secara teori,
nyeri tersebut dapat diatasi dengan obat penghilang rasa nyeri, seperti

aspirin, dehidrokodein, dan dektromoramid. Apibila orang berbicara

tentang perasaan takut mereka terhadap maut, respon mereka secara

tipikal mencakup perasaan takut tentang hal yang tidak jelas, takut

meninggalkan orang yang dicintai, kehilangan martabat, urusan yang

belum selesai, dan sebagainya. Kematian merupakan berhentinya

kehidupan. Semua orang akan mengalami kematian tersebut. Dalam

menghadapi kematian ini, pada umumnya orang merasa takut dan

cemas. Ketakutan dan kecemasan terhadap kematian ini dapat

membuat pasien tegang an stress.

b. Emosi. Emosi pasien yang muncul pada tahap menjelang kematian,

antara lain mencela dan mudah marah.

c. Tanda vital. Perubahan fungsi tubuh sering kali tercermin pada suhu

badan, denyut nadi, pernapasan, dan tekanan darah. Mekanisme

fisiologis yang mengaturnya berkaitan satu sama lain. Setiap

perubahan yang berlainan dengan keadaan yang normal dianggap

sebagai indikasi yang penting untuk mengenali keadaan kesehatan

seseorang.

d. Kesadaran. Kesadaran yang sehat dan adekuat dikenal sebagai awas

waspada, yang merupakan ekspresi tentang apa yang dilihat,

didengar, dialami, dan perasaan keseimbangan, nyeri, suhu, raba,

getar, gerak, gerak tekan, dan sikap, bersifat adekuat, yaitu tepat dan

sesuai ( mahar mardjono dan p. Sidharta, 1981 ).


e. Fungsi tubuh. Tubuh terbentuk atas banyak jaringan dan organ. Setiap

organ mempunyai fungsi khusus.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Merasa kehilangan harapan hidup dan terisolasi dari lingkungan sosial

berhubungan dengan kondisi sakit terminal.


b. Kehilangan harga diri berhubungan dengan penurunan dan kehilangan

fungsi
c. Depresi berhubungan dengan kesedihan tentang dirinya dalam

keadaan terminal
d. Cemas berhubungan dengan kemungkinan sembuh yang tidak pasti,

ditandai dengan klien selalu bertanya tentang penyakitnya, adakah

perubahan atau tidak (fisik), raut muka klien yang cemas


e. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan tidak menerima

akan kematian, ditandai dengan klien yang selalu mengeluh tentang

keadaan dirinya, menyalahkan Tuhan atas penyakit yang dideritanya,

menghindari kontak sosial dengan keluarga/teman, marah terhadap

orang lain maupun perawat.


f. Distress spiritual berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien

dalam melaksanakan alternatif ibadah sholat dalam keadaan sakit

ditandai dengan klien merasa lemah dan tidak berdaya dalam

melakukan ibadah sholat.


g. Inefektif koping keluarga berhubungan dengan kehilangan

3. Intervensi Keperawatan
a. Merasa kehilangan harapan hidup dan terisolasi dari lingkungan sosial

berhubungan dengan kondisi sakit terminal.


Tujuan : Klien merasa tenang menghadapi sakaratul maut

berhubungan dengan sakit terminal.


Intervensi :
1) Dengarkan dengan penuh empati setiap pertanyaan dan berikan

respon jika dibutuhkan klien dan gali perasaan klien.


2) Berikan klien harapan untuk dapat bertahan hidup.
3) Bantu klien menerima keadaannya sehubungan dengan ajal yang

akan menjelang.
4) Usahakan klien untuk dapat berkomunikasi dan selalu ada teman di

dekatnya.
5) Perhatikan kenyamanan fisik klien.
b. Kehilangan harga diri berhubungan dengan penurunan dan kehilangan

fungsi.
Tujuan : Mempertahankan rasa aman, tenteram, percaya diri, harga

diri, dan martabat klien.


Intervensi :
1) Gali perasaan klien sehubungan dengan kehilangan.
2) Perhatikan penampilan klien saat bertemu dengan orang lain.
3) Bantu dan penuhi kebutuhan dasar klien antara lain hygiene,

eliminasi.
4) Anjurkan keluarga dan teman dekat untuk saling berkunjung dan

melakukan hal – hal yang disenangi klien.


5) Beri klien support dan biarkan klien memutuskan sesuatu untuk

dirinya, misalnya dalam hal perawatan.


c. Depresi berhubungan dengan kesedihan tentang dirinya dalam

keadaan terminal.
Tujuan : Mengurangi rasa takut, depresi dan kesepian.
Intervensi :
1) Bantu klien untuk mengungkapkan perasaan sedih, marah dan lain

lain.
2) Perhatikan empati sebagai wujud bahwa perawat turut merasakan

apa yang dirasakan klien.


3) Bantu klien untuk mengidentifikasi sumber koping, misalnya dari

teman dekat, keluarga ataupun keyakinan klien.


4) Berikan klien waktu dan kesempatan untuk mencerminkan arti

penderitaan, kematian dan sekarat.


5) Gunakan sentuhan ketika klien menunjukkan tingkah laku sedih,

takut ataupun depresi, yakinkan bahwa perawat selalu siap

membantu.
6) Lakukan hubungan interpersonal yang baik dan berkomunikasi

tentag pengalaman – pengalaman klien yang menyenangkan.


d. Cemas berhubungan dengan kemungkinan sembuh yang tidak pasti,

ditandai dengan klien selalu bertanya tentang penyakitnya, adakah

perubahan atau tidak (fisik), raut muka klien yang cemas.


Tujuan : Klien tidak cemas lagi dan klien memiliki suatu harapan serta

semangat hidup.
Intervensi :
1) Kaji tingkat kecemasan klien.
2) Jelaskan kepada klien tentang penyakitnya.
3) Tetap mitivasi (beri dukungan) kepada klien agar tidak kehilangan

harapan hidup dengan tetap mengikuti dan mematuhi petunjuk

perawatan dan pengobatan.


4) Anjurkan kepada klien untuk tetap berserah diri kepada Tuhan.
5) Datangkan seorang klien yang lain yang memiliki penyakit yang

sama dengan klien.


6) Ajarkan kepada klien dalam melakukan teknik distraksi, misal

dengan mendengarkan musik kesukaan klien atau dengan teknik

relaksasi, misal dengan menarik nafas dalam.


7) Beritahukan kepada klien mengenai perkembangan penyakitnya.
8) Ikut sertakan klien dalam rencana perawatan dan pengobatan.
e. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan tidak menerima

akan kematian, ditandai dengan klien yang selalu mengeluh tentang

keadaan dirinya, menyalahkan Tuhan atas penyakit yang dideritanya,

menghindari kontak sosial dengan keluarga/teman, marah terhadap

orang lain maupun perawat.


Tujuan : Koping individu positif.
Intervensi :
1) Gali koping individu yang positif yang pernah dilakukan oleh

klien.
2) Jelaskan kepada klien bahwa setiap manusia itu pasti akan

mengalami suatu kematian dan itu telah ditentukan oleh Tuhan.


3) Anjurkan kepada klien untuk tetap berserah diri kepada Tuhan.
4) Perawat maupun keluarga haruslah tetap mendampingi klien dan

mendengarkan segala keluhan dengan rasa empati dan penuh

perhatian.
5) Hindari barang – barang yang mungkin dapat membahayakan

klien.
6) Tetap memotivasi klien agar tidak kehilangan harapan untuk hidup.
7) Kaji keinginan klien mengenai harapa untuk hidup/keinginan

sebelum menjelang ajal.


8) Bantu klien dalam mengekspresikan perasaannya.
f. Distress spiritual berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien

dalam melaksanakan alternatif ibadah sholat dalam keadaan sakit

ditandai dengan klien merasa lemah dan tidak berdaya dalam

melakukan ibadah sholat.


Tujuan : Kebutuhan spiritual dapat terpenuhi yaitu dapat melakukan

sholat dalam keadaan sakit.

Intervensi :
1) Kaji tingkat pengetahuan klien mengenai ibadah sholat.
2) Ajarkan pada klien cara sholat dalam keadaan berbaring.
3) Ajarkan tata cara tayamum.
4) Ajarkan kepada klien untuk berzikir.
5) Datangkan seorang ahli agama.
g. Inefektif koping keluarga berhubungan dengan kehilangan.
Tujuan : Membantu individu menangani kesedihan secara efektif.
Intervensi :
1) Motivasi keluarga untuk menverbalisasikan perasaan – perasaan

antara lain : sedih, marah dan lain – lain.


2) Beri pengertian dan klarifikasi terhadap perasaan – perasaan

anggota keluarga.
3) Dukung keluarga untuk tetap melakukan aktivitas sehari – hari

yang dapat dilakukan.


4) Bantu keluarga agar mempunyai pengaharapan yang realistis.
5) Berikan rasa empati dan rasa aman dan tenteram dengan cara

duduk disamping keluarga, mendengarkan keluhan dengan tetap

menghormati klien serta keluarga.


6) Berikan kesempatan pada keluarga untuk melakukan upacara

keagamaan menjelang saat – saat kematian

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kematian adalah penghentian permanen semua fungsi tubuh yang vital, akhir

dari kehidupan manusia (Buku Ajar Keperawatan Gerontik : 435).

Pengertian kematian / mati adalah apabila seseorang tidak teraba lagi denyut

nadinya tidak bernafas selama beberapa menit dan tidak menunjukan segala

refleks, serta tidak ada kegiatan otak (Nugroho : 153).

B. Saran

Adapun saran yang ingin penulis sampaikan pada mahasiswa.

1. Dalam membuat makalah, kelompok diharapkan dapat menjelaskan asuhan

keperawatan pada lansia mennjelang ajal.


2. Proses penuaan yang dialami dapat menimbulkan berbagai masalah fisik,

psikis dan sosial bagi pasien dan keluarga. Oleh karena itu perawat

sebaiknya meningkatkan pendekatan-pendekatan melalui komunikasi

terapeutik, sehingga akan tercipta lingkungan yang nyaman dan kerja sama

yang baik dalam memberikan asuhan keperawatan gerontik.

3. Perawat sebagai anggota tim kesehatan yang paling banyak berhubungan

dengan pasien dituntut meningkatkan secara terus menerus dalam hal

pemberian informasi dan pendidikan kaesehatan sesuai dengan latar

belakang pasien dan keluarga.

Daftar Pustaka

Maryam, R. Siti, dkk. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta :

Salemba Medika.

Mass, Meridean. 2011. Asuhan Keperawatan Geriatrik. Jakarta : EGC.

Nugroho, Wahyudi. 2008. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta: EGC.

Stanley, Mickey. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerotik Edisi 2. Jakarta : EGC.

Você também pode gostar