Você está na página 1de 38

1

ANALAISIS KRITIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DI ERA


TEKNOLOGI MODERN
Oleh: Afrizal

A. Pendahuluan
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia
Islam, terutama pada awal abad ke-19, yang dalam sejarah Islam dipandang
sebagai permulaan periode modern. Kontak dengan dunia Barat selanjutnya
membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme,
demokrasi dan sebagainya, yang merupakan produk akal manusia dan
aktivitasnya yang kreatif, yang dengan itu tampil transformasi sosial kultural
yang akibatnya juga terasa dalam kehidupan agama dan pendidikan. Semua ini
menimbulkan persoalan-persoalan baru, dan pemimpin-pemimpin Islam pun
mulai memikirkan cara mengatasi persoalan baru tersebut.
Memasuki dan ikut serta dalam perkembangan teknologi modern
bukanlah persoalan pilihan, melainkan keharusan sejarah (historical ought).
Kenyataan tersebut menuntut pendidikan Islam untuk berusaha melakukan
pembaharuan, penyegaran dalam penyelengaraan pendidikan, jika tidak, maka
pendidikan Islam itu akan ditinggalkan dan terkubur dalam-dalam, karena tak
mampu bersaing dengan pendidikan umum yang sudah mengalami
perkembangan dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, temasuk
era teknologi modern.
Kemajuan teknologi dalam tiga dasawarsa ini telah menampakkan
pengaruhnya pada setiap dan semua kehidupan individu, masyarakat dan
negara. Dapat dikatakan bahwa tidak ada orang yang dapat menghindar dari
pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Teknologi Modern),
Teknologi Modern bukan saja dirasakan individu, akan tetapi dirasakan pula
oleh masyarakat, bangsa dan negara. Kehadiran Teknologi Modern di negara-
negara maju, sudah lama dirasakan pengaruhnya, karena pada negara-negara
tersebutlah kemajuan itu mula-mula dicapai. Sebaliknya bagi negara-negara
berkembang, pengaruh tersebut baru mulai dirasakan antara lain seperti dalam
bidang informasi, buku-buku, media TV, radio, video, internet dan lain

1
2

sebagainya. Sekarang yang menjadi persoalan sekaligus pertanyaan bagi kita


tentunya adalah bagaimana dengan eksistensi pendidikan Islam dalam
menghadapi arus perkembangan Teknologi modern yang sangat pesat tersebut.
Bagaimanapun tampaknya pendidikan Islam (terutama lembaganya) dituntut
untuk mampu mengadaptasikan dirinya dengan kondisi yang ada. Di samping
dapat mengadaptasi dirinya, pendidikan Islam juga dituntut untuk menguasai
Teknologi Modern, dan kalau perlu merebutnya.
Namun, secara massivitas (keseluruhan) fenomena teknologi modern
ini tidak seluruhnya mampu diserap oleh sistem pendidikan Islam khususnya
dan umat Islam pada umumnya. lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti
PTAI, madrasah dan pesantren sebagai artikulasi sistem pendidikan Islam di
Indonesia, hal ini, apakah disebabkan karena lemah SDM? ataukah karena
manajemen yang tidak jelas? Atau karena kurikulum yang dalam
pengembangannya tidak senada dengan perkembangan teknologi? Atau
mungkin karena akumulasi dari berbagai persoalan tersebut?.
Makalah ini berusaha mengidentifikasi dan memahami problematika
pendidikan Islam di era teknologi modern dan solusi dalam mengatasinya.
Perlu pula dikemukakan bahwa permasalah pendidikan yang diuraikan dalam
tulisan ini terbatas pada permasalahan pendidikan formal.

B. Analisis Kritis Problematika Pendidikan Islam di Era Tekonologi


Modern
1. Definisi Problematika dan pendidikan Islam
Problema/problematika berasal dari bahasa Inggris yaitu
"problematic" yang artinya persoalan atau masalah. Sedangkan dalam
bahasa Indonesia, problema berarti hal yang belum dapat dipecahkan; yang
menimbulkan permasalahan.1 Sedangkan yang lain menyatakan bahwa
"problema/problematika merupakan suatu kesenjangan antara harapan dan
kenyataan.2 Dengan demikian dapat dipahami bahwa problematika adalah
berbagai persoalan yang belum dapat terselesaikan, hingga terjadi
1 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 2002), h. 276)
2 Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islami, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 65)
3

kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang dihadapi dalam proses


pemberdayaan, baik yang datang dari individu Guru maupun dalam upaya
pemberdayaan masyarakat Islami secara langsung dalam masyarakat.
Pendidikan Islam pada intinya dapat dipahami sebagai: pertama
pendidikan Islam merupakan aktivitas pendidikan yang diselenggarakan
atau didirikan dengan hasrat atau niat untuk menjewatahkan ajaran dan
nilai-nilai Islam, sehingga dalam praktiknya pendidikan Islam di Indonesia
terdiri dari: 1) pondok pesantren atau madrsayah Diniyah, 2) madasah dan
pendidikan lanjutan (IAIN/STAIN, UIN yang bernaung dibawah
kementerian agama), 3) pendidikan usia dini/TK, 4) sekolah/perguruan
tinggi yang berada dibawah naungan yayasan dan organisasi Islam, 5)
pelajaran agama Islam di sekolah/madrasah/perguruan tinggi sebagai mata
pelajaran/mata kuliah dan program studi, dan 6) pendidikan Islam dalam
keluarga atau tempat-tempat ibadah, atau forum kajian Islam (majlis ta’lim,
dll). Kedua, pendidikan Islam sebagai sistem pendidikan yang
dikembangkan dari dan disemangati atau dijiwai ajaran dan nilai-nilai Islam,
dalam hal ini, pendidikan Islam dapat mencakup: 1) kepala
Sekolah/madrasah, pimpinan perguruan tinggi, tenaga pendidik dan
kependidikan, yang mengelola dan mengembangkan aktivitas
pendidikannya yang disemangati atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai
Islam, atau 2) komponen-komponen aktivitas pendidikan Islam, seperti
kurikulum, peserta didik, pendidik, lingkungan, alat/media/sumber, metode
dan lain-lain.3 Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan
Islam bisa berbentuk kelembagaan dan program pendidikan Islam, serta
pendidikan Islam dalam bentu ruh atau spirit Islam yang melekat pada setiap
aktivitas pendidikan.
Adapun pengertian pendidikan Islam dalam tulisan ini, mengambil
pengertian pertama dari pendidikan Islam di atas, yaitu sebagai lembaga -
pendidikan Islam -aktivitas pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan
dengan hasrat atau niat untuk menjewatahkan ajaran dan nilai-nilai Islam,

3 Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafiondo Persada, 2009), h. 14-15


4

Dengan demikian lembaga pendidikan Islam di arahkan pada


terselengaranya proses pendidikan agar terbentuknya peserta didik yang
mampu mengamalkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama Islam di dalam
kehidupan sehari-hari.
2. Problematika Pendidikan Islam di era Tekbologi Modern
Adapun problematika pendidikan Islam di era teknologi modern
berdasarkan referensi –buku/laporan-adalah sebagai berikut;
1) Menurut Muslih Lisa dan Aden Wijzan, problematika pendidikan
Islam adalah: 1) Penggunaan pemikiran Islam klasik, yaitu pemikiran
sebagai produk masyarakat ratusan tahun yang lalu, yang jauh berbeda
dari status sosial di mana pendidikan Islam harus berperan di dalamnya.
Akibatnya, setiap materi keislaman ditempatkan dalam susunan
kurikulum yang kurang memberi peluang pengembangan daya kritis dan
kreatif dengan metode yang relevan dan banyak dikaji dalam pemikiran
modern. Misalnya, rumusan tujuan setiap bidang studi, lebih ditekankan
sebagai pendidikan profesi daripada pengembangan ilmu dalam repetisi
formulasi dan jurusan di lingkungan IAIN, 2) Sistematika jurusan di
berbagai fakultas di IAIN dan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)
lain, misalnya juga kurang memiliki dasar teoriterial dan relevansi
dengan dunia objektif umat.4
2) Menurut Abdul Munir, Permasalahan pendidikan Islam yang
berkaitan dengan situasi objektif pendidikan Islam, yaitu 1) adanya
krisis konseptual. Krisis konseptual tentang definisi atau pembatasan
ilmu-ilmu di dalam sistem pendidikan Islam itu sendiri, atau dalam
konteks Indonesia adalah sistem pendidikan nasional. Krisis konseptual
yang dimaksud adalah pembagian ilmu-ilmu di dalam Islam, yaitu
pemisahan ilmu-ilmu profan (ilmu-ilmu keduniaan) dengan ilmu-ilmu
sakral (ilmu -ilmu agama). Di dalam sejarah yang terkenal dengan
historical accident (kecelakaan sejarah), 2) Krisis kelembagaan
disebabkan karena adanya dikotomi antara lembaga- lembaga

4 Muslih Lisa dan Aden Wijdan SZ. Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial. Yogyakarta:
Aditya Media, 1997), h. 97-98
5

pendidikan yang menekankan pada salah satu aspek dari ilmu-ilmu yang
ada, apakah ilmu-ilmu agama ataukah ilmu-ilmu umum. Misalnya
dengan adanya dualisme sistem pendidikan, pendidikan agama yang
diwakili oleh madrasah dan pesantren dengan pendidikan umum, di
tingkat perguruan tinggi terdapat IAIN dengan perguruan tinggi umum.
3) Pendidikan Islam krisis metodologi dan krisis pedagogi. A. Mukti Ali
pernah mengatakan bahwa metodologi yang dimiliki Islam pada
umumnya dan IAIN pada khususnya sangat lemah. Sekarang ini makin
banyak kecenderungan di kalangan lembaga-lembaga Islam bahwa yang
terjadi adalah lembaga merupakan process teaching/proses pengajaran
daripada procces learning/proses pendidikan. Proses pengajaran hanya
mengisi aspek kognitif/intelektual, tapi tidak mengisi aspek
pembentukan pribadi/watak sehingga pendidikan tidak lagi dipahami
sebagai proses long life education. Isu seperti ini menjadi sangat
relevan dengan zaman sekarang, yang disebut sebagai jaman
pascamodernisme (posmodernisme); suatu masa di mana globalisasi
mengakibatkan semakin dislokasi kekacauan sosial atau juga
displacement, banyak orang yang tersingkir dan teralienasi, dan lain
sebagainya. Orang-orang yang berkepribadian kuat dan berkarakter akan
lebih tangguh menghadapi globalisasi ataupun dampak-dampak
negatifnya, 4) Krisis Orientasi. Lembaga-lembaga pendidikan Islam atau
sistem pendidikan Islam pada umumnya lebih berorientasi ke masa
silam dari pada m asa depan. Oleh karenanya anak didik tidak
dibayangkan tantangan-tantangan masa depan. Masih terlalu tergantung
pada pola pendidikan yang digariskan pemerintah, yakni pendidikan
untuk menopang program pembangunan.5
3) Mujamil Qamr, mengemukan problematika pendidikan
Islam/Madsarah dewasa ini, kondisi madrasah sekarang ini sebagai la
yahya wa la yamutu (hidup enggan mati tak mau), karena banyak
permasalahan di madsarah diantaranya: diantaranya: sarana prasasarana

5 Abdul Munir Mulkhan, dkk. (1998). Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi


Pesantren-Regiu sitas TEKNOLOGI MODERN. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 80-86
6

yang dimimilki madrasah banyak yang tidak layak pakai dan tidak
memberikan kenyamanan belajar, madrasah tidak memiliki sumber
keuangan yang cukup untuk membiayai segala kebutuhannya, keculai
SPP dan ini pun jumlahnya kecil, kesejahteraan guru dan karyawan
melemah, proses pembelajaran tidak lancar, kondisi perpustakaan yang
tidak memadai, siswanya tidak mampu bersaing dengan siswa sekolah
umum, jumlah siswa kecil, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
madrasah rendah, tidak terobosan pembinaan karir, tenaga pengajarnya
kurang memiliki kelayakan akademik, kelangkaan kepala sekolah atau
pengelola yang visioner, pengelolaan madrasah hanya secara alami.6
Melihat banyaknya problematika yang telah ditawarkan di atas,
maka penulis akan memfilter dan mengklasifikasikannya menurut
komponen pendidikan, yaitu:
1) Orientasi Pendidikan Islam
Pendidikan Islam dewasa ini, dari segi apa saja terlihat goyah
terutama karena orientasi yang semakin tidak jelas, semestinya “sistem
pendidikan Islam haruslah senantiasa mengorientasi diri kepada
menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat kita
sebagai konsekuensi logis dari perubahan7, jika tidak, maka pendidikan
Islam di Indonesia akan mengalami ketinggalan dalam persaingan global
dan era teknologi modern.
Orientasi pendidikan Islam di Indonesia masih mengalami
perbedaan pendapat, terutama dalam menentukan pola, arah, dan capaian
tertentu yang diinginkan, sehingga pendidikan Islam belum mendapat
pengakuan secara internasional dalam era teknologi modern ini maka
seyogyanya orientasi pendidikan Islam bukan hanya dengan model-
model pendidikan dan pembelajaran seperti yang sudah ada sekarang ini,
yang seharusnya terus menerus melakukan reformasi (pembaruan) dan
inovasi serta kerja keras untuk memperbaiki kelemahan dan kekurangan

6 Mujamil Qomar, Menggagas Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h. 96-97.
7 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru, (Jakarta:
Macana Ilmu, 1999), h. 57
7

menuju langkah baru ke arah kemajuan dan perkembangan sesuai dengan


tuntutan zaman sehingga pemerataan, mutu, relevansi, dan efektif dan
efisiensi dari pendidikan dapat diselesaikan dengan baik dan benar, hal
itu karena tuntutan globalisasi bukan lagi hanya sampai tingkat
mengenyam pendidikan akan tetapi keperluan akan keterampilan yang
bisa menjadi nilai jual bagi diri, masyarakat dan negaranya. Selain itu
juga perlu usaha penelaahan kembali atas aspek-aspek sistem pendidikan
yang berorientasi pada rumusan tujuan yang baru.8
Lembaga pendidikan Islam sekarang lebih pada orientasi yang
bersifat transfer of knowledge and skill dalam mengembangkan proses
intelektualisasi dan kurang memperhatikan dalam pembinaan “qalbun
salim” dengan berupaya terwujudnya generasi yang memiliki “bastatan
fil-ilmi wal jism” yang diliputi oleh spritualisasi dm disiplin moral yang
islami. Pada akhirnya wawasan pendidikan agama menjadi terbelah.
Tujuan pendidikan yang selama ini diorientasikan memang sangat
ideal bahkan, lantaran terlalu ideal, tujuan tersebut tidak pernah
terlaksana dengan baik. Orientasi pendidikan, sebagaimana yang dicita-
citakan secara nasional, barangkali dalam konteks era sekarang ini
menjadi tidak menentu, atau kabur kehilangan orientasi mengingat adalah
tuntutan pola kehidupan pragmatis dalam masyarakat Indonesia. Hal ini
patut untuk dikritisi bahwa teknologi modern bukan semata
mendatangkan efek positif, dengan kemudahan-kemudahan yang ada,
akan tetapi berbagai tuntutan kehidupan yang disebabkan olehnya
menjadikan disorientasi pendidikan. Pendidikan cenderung berpijak pada
kebutuhan pragmatis, atau kebutuhan pasar lapangan, kerja, sehingga ruh
pendidikan Islam sebagai pondasi budaya, moralitas, dan social
movement (gerakan sosial) menjadi hilang.9
Solusi
Berbagai kemajuan ilmu pengetahua dan teknologi harus segera

8 Jusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 23.
9 Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif : Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di
Tengah Pusaran Arus Globalisasi, (Yogyakarta : Teras, 2010), Cet. II, h. 20-21
8

diantisipasi, jika ingin pedidikan Islam ditempatkan pada visi sebagai


agen pembangunan dan perkembangan yang tidak ketinggalan zaman,
dalam kontek ini, pendidikan harus mampu menyiapkan sumber daya
manusia tidak hanya skadar penerima arus informasi global, tetapi juga
harus memberikan bekal kepada mereka agar dapat mengolah,
menyesuaikan dan mengembangkan segala hal yang diterima melalui
arus inforasi itu.10 Manusia yang kreatif dan produktif inilah yang harus
dijadikan visi pendidikan termasuk pendidikan Islam, karena manusia
yang demikianlah yang didambakan kehadirannya baik secara
individual, sosial maupun nasional.11
Orientasi Pendidikan Islam di Era tekonologi modern Menurut
Ahmad Tantowi, dengan adanya era teknologi dan globalisasi ini perlu
adanya rumusan orientasi pendidikan Islam yang sesuai dengan
perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Orientasi tersebut ialah
sebagai berikut :
a. Pendidikan Islam sebagai Proses Penyadaran. Pendidikan Islam
harus diorientasikan untuk menciptakan “kesadaran kritis” masyarakat.
Sehingga dengan kesadaran kritis ini akan mampumenganalisis
hubungan faktor-faktor sosial dan kemudian mencarikan jalan
keluarnya. Hubungan antara kesadaran tersebut dengan pendidikan
Islam dan globalisasi ialah agar umat Islam bisa melihat secara kritis
bahwa implikasi-implikasi dari globalisasi bukanlah sesuatu yang
given atau takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan, akan tetapi
sebagai konsekuensi logis dari sistem dan struktur globalisasi itu
sendiri.
b. Pendidikan Islam sebagai Proses Humanisasi. Proses Humanisasi
dalam pendidikan Islam dimaksudkan sebagai upaya mengembangkan
manusia sebagai makhluk hidup yang tumbuh dan berkembang dengan
segala potensi (fitrah) yang ada padanya. Manusia dapat dibesarkan

10Jusuf Amir Faisal, Reoriantasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. Cet. 1,
131
11
9

(potensi jasmaninya) dan diberdayakan (ptoensi rohaninya) agar dapat


berdiri sendiri dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
c. Pendidikan Islam sebagai pembinaan akhlak al-Karimah. Akhlak
merupakan domain penting dalam kehidupan masyarakat, apalagi di
era globalisasi dan teknologi modern dewasa ini. Tidak adanya akhlak
dalam tata kehidupan masyarakat akan menyebabkan hancurnya
masyarakat itu sendiri. Hal ini bisa diamati pada kondisi yang ada di
negeri ini. Menurut Abuddin Nata, hal seperti ini pada awalnya hanya
menerpa sebagian kecil elit politik (penguasa), tetapi kini ia telah
menjalar kepada masyarakat luas, termasuk kalangan pelajar. Bagi
pendidikan Islam, masalah pembinaan akhlak sesungguhnya bukan
sesuatu yang baru. Sebab akhlak memang merupakan misi utama
agama Islam. Hanya saja, akibat penetrasi budaya sekuler barat,
belakangan ini masalah pembinaan akhlak dalam institusi pendidikan
Islam tampak lemah. Untuk itu, pendidikan Islam harus dikembalikan
kepada fitrahnya sebagai pembinaan akhlaq al-karimah, dengan tanpa
mengesampingkan dimensi-dimensi penting lainnya yang harus
dikembangkan dalam institusi pendidikan, baik formal, informal,
maupun nonformal. Pembinaan akhlak sebagai (salah satu) orientasi
pendidikan Islam di era tekonologi modern dan globalisasi ini adalah
sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Sebab eksis tidaknya suatu
bangsa sangat ditentukan oleh akhlak masyarakatnya.12
Pendidikan Islam mempunyai sesuatu kekuatan yang sangat
signifikan dipertahankan atau dikembangkan. Hal ini mungkin dapat
dilihat dari tataran filosofis atau konseptual dan Pengalaman selama ini
dari lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dari waktu ke waktu telah
mampu tumbuh di tengah-tengah dinamika masyarakat.
a. Motivasi kreatifitas anak didik ke arah pengembangan teknologi
modern itu sendiri, dimana nilai-nilai Islam menjadi sumber acuannya.
b. Mendidik keterampilan, memanfaatkan produk teknologi modern

12 Ahmad Tantowi, Op. Cit., h. 90


10

bagi kesejahteraan hidup umat manusia pada umumnya dan umat


Islam pada khususnya.
c. Menciptakan jalinan yang kuat antara ajaran agama dan teknologi
modern, dan hubungan yang akrab dengan para ilmuwan yang
memegang otoritas teknologi modern dalam bidang masing-masing.
d. Menanamkan sikap dan wawasan yang luas terhadap kehidupan
masa depan umat manusia melalui kemampuan menginterpretasikan
ajaran agama dari sumber-sumbernya yang murni dan kontekstual
dengan masa depan kehidupan manusia.13
Jadi kesanalah pendidikan Islam diarahkan, agar pendidikan Islam
tidak hanyut terbawa arus modernisasi dan kemajuan teknologi modern.
Strategi tersebut merupakan sebagian solusi bagi pendidikan Islam untuk
bisa lebih banyak berbuat. Kendatipun demikian, pendidikan Islam tentu
saja tidak boleh lepas dari Idealitas Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
berorientasikan kepada hubungan manusia dengan Allah SWT.
(Hablumminallah), hubungan manusia dengan sesamanya
(Hablumminannas) dan dengan alam sekitarnya. Dari ketiga orientasi
tersebut, tampaknya hubungan dengan alam sekitar menjadi dasar
pengembangan Teknologi modern, sedang Hablumminallah menjadi dasar
pengembangan sikap dedikasi dan moralitas yang menjiwai
pengembangan teknologi modern, sedang Hablumminannas menjadi dasar
pengembangan hidup bermasyarakat yang berpolakan atas
kesinambungan, keserasian, dan keselarasan dengan nilai-nilai moralitas
yang berfungsi menentramkan jiwa manusia, sehingga terciptalah
kedamaian.
2) Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum merupakan salah satu komponen pokok aktivitas
pendidikan Islam, dan merupakan penjabaran dari idealisme, cita-cita,
tuntuan masyarakat, atau kebutuhan tertentu. Dari kurikulum inilah
diketahui arah pendidikan, alternatif pendidikan, fungsi seeta hasil

13 Muzayin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam. (Jakarta; Bumi Aksara. 2009), h. 47
11

pendidikan yang hendak dicapai dari aktivitas pendidikan yang


dilaksanakan.14
Beberapa kritikan kepada praktik pendidikan berkaitan dengan
saratnya kurikulum sehingga seolah-olah kurikulum itu kelebihan
muatan, serta tidak mampu menjawab tantangan perkembangan
teknologi modern, Hal ini mempengaruhi juga kualitas pendidikan.
Anak-anak terlalu banyak dibebani oleh mata pelajaran. 15 Selanjutnya A.
M Saefuddin menjelaskan bahwa sistim madrasah dan apalagi sekolah
dari PT Islam yang membagi porsi materi pendidikan Islam dan materi
pendidikan umum dalam prosentase tertentu telah terbukti
mengakibatkan bukan saja pendidikan Islam tidak lagi berorientasi
sepenuhnya kepada tujuan Islam yang membentuk manusia takwa, tapi
juga tidak mencapai tujuan pendidikan Barat yang bersifat sekuler.
Sementara itu keadaan pendidikan Islam di sekolah PT umum, lebih
jelas diketahui sebagai lebih banyak hanya berfungsi sebagai pelengkap
yang menempel bagi orientasi pendidikan sekuler.16
Solusi
Menghadapi dilematika yang seperti ini, maka ada banyak solusi
yang harus di tawarkan, diantaranya:
a. Kurikulum pendidikan disusun harus mampu menjawab tantangan
zaman, termasuk perkembangan teknologi modern,
Dalam realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum
Pendidikan Islam tersebut mengalami perubahan-perubahan
paradigma, walaupun paradigma sebelumnya tetap dipertahankan. Hal
ini dapat dicermati dari fenomena berikut: (1) perubahan dari tekanan
pada hafalan dan daya ingat tentang teks-teks dari ajaran-ajaran agama
Islam, serta disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh dari timur
tengah, kepada pemahaman tujuan makna dan motivasi beragama

14 Muhaimin, Rekonstruksi...., op.cit., h. 1


15 Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam : Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia,
(Jakarta : Kencana, 2004), Cet. I, h. 205-208
16 ]Jamali Sahrodi, dkk, Membedah Nalar Pendidikan Islam Pengantar ke Arah Ilmu Pendidikan
Islam, Cet. I, (Penerbit: Pustaka Rihlah Group, Yogyakarta, Desember, 2005), h.151
12

Islam untuk mencapai tujuan pembelajaran Pendidikan Islam. (2)


perubahan dari cara berfikir tekstual, normatif, dan absolutis kepada
cara berfikir historis, empiris, dan kontekstual dalam memahami dan
menjelaskan ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islam.(3) perubahan dari
tekanan dari produk atau hasil pemikiran keagamaan Islam dari para
pendahulunya kepada proses atau metodologinya sehingga
menghasilkan produk tersebut. (4) perubahan dari pola pengembangan
kurikulum pendidikan Islam yang hanya mengandalkan pada para
pakar dalam memilih dan menyusun isi kurikulum pendidikan Islam ke
arah keterlibatan yang luas dari para pakar, guru, peserta didik,
masyarakat untuk mengidentifikasikan tujuan Pendidikan Islam dan
cara-cara mencapainya.17
b. Adanya kerjasama dalam penyusunan kurikulum serta
pengetahuan pelaksana kurikulum yang memadai terhadap kurikulum
serta sikap terhadap kurikulum-keinginan melaksanakannya-, dan
dukungan berbagai pihak yang terkait seperti guru dan kepala sekolah
serta masyarakat18 dan pemerintah/dinas pendidikan sehingga warga
sekolah bisa focus untuk pencapaian tujuan pembelajaran dan
pendidikan sebagaimana yang dikehendaki kurikulum.
3) Kualitas SDM lembaga pendidikan Islam
Realitas pendidikan Islam saat ini bisa dibilang telah mengalami
masa intelectual deadlock., diantara indikasinya adalah; (1) minimnya
upaya pembaharuan, dan kalau toh ada kalah cepat dengan perubahan
sosial, politik dan kemajuan Teknologi Modern, (2) praktek pendidikan
Islam sejauh ini masih memelihara warisan yang lama dan tidak
banyak melakukan pemikiran kreatif, inovatif dan kritis terhadap isu-isu
aktual, (3) model pembelajaran pendidikan Islam terlalu menekankan
pada pendekatan intelektualisme-verbalistik dan menegasikan
pentingnya interaksi edukatif dan komunikasi humanistik antara

17 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan


Perguruan Tinggi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 11
18 Rusman, Manajemen Kurikulum; Seri Manajemen Sekolah bermutu, (Jakarta: Rajawali Press,
2009), h. 74
13

guru-murid, dan (4) orientasi pendidikan Islam menitikberatkan pada


pembentukan hamba Allah dan tidak seimbang dengan pencapaian
karakter manusia muslim sebagai khalifah fi al-ardl.19
Banyak indikator untuk menentukan rendahnya kompetensi SDM
lembaga pendidikan Islam, secara regulasi dan mekanismenya bisa
dilihat dalam permendiknas nomor 16 tahun 2007 tentang standar
kompetensi guru, turunannya dalam bentuk penilaian kompetensi guru
berdasarkan 4 komptensi dengan rincian: Pedagogik dengan 7 rincian,
Profesionalnya dengan 2 rincian, Sosialnya dengan 2 rincian dan
Kepribadian/personalnya dengan 3 rincian. Semuanya berjumlah 14
rincian dengan indikator keseluruhan berjumlah 56 indikator. Akan
tetapi secara praktis, apabila guru tidak mampu membedakan sifat materi
baik konsep, prinsip, prosedural maupun fakta, tidak mampu merancang
instrumen penilaian, banyak memarahi dari pada menyadarkan dan
menyenangkan, tidak memahami peserta didik, selalu menggunakan
metode ceramah dalam pembelajaran, maka semua ini mengidikasikan
seorang guru memiliki kompetensi pedagogik dan professional yang
rendah.
Dewasa ini, SDM lembaga pendidikan Islam dituntut luar biasa
pada perkembangan teknologi modern seperti sekarang ini. Seperti kata
Azyumardi Azra, dengan teknologi informasi dan komunikasi yang
berkembang luas dan pesat sekarang ini, memungkinkan peserta didik
untuk mendapatkan informasi/sumber belajar yang lain yang jauh lebih
hebat dibanding gurunya, sehingga guru tidak bisa menjadi peran sentral
dalam proses pembelajaran. Jika tidak, maka guru harus melakukan
perubahan-atau sedikit penyesuaian-dalam paradigma, strategi,
pendekatan dan teknologi pembelajaran.20 Pandangan Azyumardi Azra
tersebut memberikan indikasi bahwa tenaga pendidik harus memiliki dan

19 Imam Machali dan Musthofa (Ed.), Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2004), Cet. I, h. 8-9
20 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Millenium
ke III, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 52
14

mengembangkan kompetensinya dalam hubungan arus globalisasi yang


ditandai dengan percepatan perkembangan sistem ICT, sehingga guru
harus menjadi pribadi yang cepat tanggap, penyesuaian, mengembangkan
dan merumuskan sendiri perubahan itu. Baik dalam tataran paradigma
pembelajaran, pendekatan, strategi, metode serta teknik dan taktik
pembelajaran. Sehingga pembelajaran yang dikemasnya mampu
menghantarkan peserta didiknya yang siap memasuki dan menghadang
kemungkinan terburuk dalam era globalisasi ini. Begitu pula sejatinya
dengan kompetensi personal dan sosial, apabila guru selalu terlambat
datang kesekolah, mengajar apa adanya, bekerja dengan paksaan,
pakaian, perkataan dan perbuatan tidak bernilai edukatif , dimasyarakat
juga tidak mampu membaur dan berkerja sama, maka sudah dapat
dipastikan bahwa seorang guru memiliki kompetensi personal dan sosial
yang rendah.
Rendahnya kompetensi SDM lemabaga pendidikan Islam
disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah 1) sebagai output
perguruan tinggi yang kurang bermutu-karena perguruan tinggi juga
kurang bermutu, 2) sistem rekruitmen yang tidak tepat karena
mengandalkan sistem tes kemampuan dasar, bidang, wawancara atau tes
with money, 3) rendahnya kesadaran untuk melakukan perubahan dan
perbaikan komptensi, 4) rendahnya pembinaan dan pengembangan mutu
guru oleh pemerintah, dan 5) sebagai akibat budaya korup pimpinan dan
teman sejawat dalam kerja sehingga memunculkan sikap malaisme, tidak
percaya diri, tidak progresif dan sebagainya.
Solusi:
Untuk mengatasi problematika tersebut, penulis
merekomendasikan hal yang dilakukan adalah
1. Penerimaan SDM lembaga pendidikan yang akan datang maka
yang harus dilakukan adalah menyusun sistem rekruitman CPNS yang
bermutu dan menggambarkan kualitas kompetensi -4 kompetensi
15

guru-sesungguhnya dan transparan, bukan berdasarkan pada


pendekatan politis, kekeluargaan dan sogokkan.
2. Ada kemauan tenaga pendidik yang bersangkutan untuk
mengalokasikan dana dan pelaksanaan pembinaan kompetensi secara
utuh dan berkelanjutan berbasis nilai-nilai pancasila-agama,
membangun niat yang lurus untuk membangun pendidikan, senantiasa
berusaha untuk meningkatkan mutu kompetensinya melalui kegiatan
sharing, seminar, workshop, menulis, membacadan sebagainya,
membangun kepribadian yang memiliki nilai-nilai integritas, visioner,
kreatif, ulet serta menjadi uswah berbasis religi.
3. Memberikan pembinaan dalam rangka meningkatkan kompetensi
serta meningkatkan kualitas lulusan.
4) Manajemen Pendidikan Islam
Manajemen pendidikan Islam memiliki fungsi dan peran yang
sanagt besar dalam mengantarkan dan mewarnai kemajuan serta kejayaan
lembaga pendidikan Islam, melalui manajemen yang profesional dan
dijalankan secara maksimal akan memberikan jaminan kemajuan lembaga
pendidikan Islam serta akan melahirkan lulusan berkualitas. Adapun
problematika manajemen lembaga pendidikan di era teknologi modern
adalah:
1) Lembaga pendidikan Islam kebanyakan menerapkan manajemen
patriarki (kekeluargaan). Artinya semua unsur pemangku kebijakan di
lembaga pendidikan Islam tersebut adalah terdiri dari satu keluarga-
kerabat, sahabat, satu organisasi, misalnnya dari unsur ketua yayasan,
pembina, pengawas, pengurus, kepala sekolah, bahkan guru dan staf.
Pendekatan manajemen seperti ini dalam banyak hal akan
menimbulkan disfungsi manajemen organisasi kelembagaan
pendidikan yang ada, hal tersebut sudah barang tentu akan menggangu
profesionalitas manajemen pengelolaan lembaga tersebut, sehingga
dapat dikatakan tingkat akuntabilitasnya sulit
dipertanggungjawabkan.21 Terutama dalam menghadapi persaingan di

21Abdul Majid, Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja
16

era teknologi modern.


2) Sistem yang kaku, yakni sistem yang masih terperangkap dalam
kekuasaan otoriter dalam artian negatif, maka hasilnyapun
pengelolaan pendidikan kita sangat kaku sifatnya.22 Diantara tandanya
adalah bahwa birokrasi pendidikan dalam segala lini masih sangat
ketat, kendati setelah UU No. 20 tahun 2003 berlaku, tapi karena
dalam era otonomi daerah sekarang dengan otonomi pendidikan tetap
saja banyak masalah, khususnya leluasanya kekuasaan daerah
dibarengi dengan kualitas sumber daya manusia yang sangat minim,
maka pendidikanpun sering dikelola berdasarkan selera dan intres dari
kekusaan itu sendiri. Termasuk pendidikan Islam, dengan praktek
seperti itu, kelihatannya daerah belum begitu mengerti missi reformasi
dan demokrasi pendidikan, kendati dipahami tapi aplikasinya masih
sangat jauh dari aturan sehingga pendidikan Islam di daerah tetap saja
menjadi anak tiri yang diterlantarkan.
3) Pendidikan masih saja dikelola dengan penuh bau KKN, yakni
peraktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang sangat kental.23 Otonomi
kekuasaan kelihatannya dapat mempersubur peraktek ini. Hal ini
disinyalir sebagai efek dari demokrasi yang terlalu terbuka, seperti
adanya pemilihan kepala sekolah dan pemilihan kepala dinas
pendidikan dengan cara bujuk dan rayu agar memilih yang
bersangkutan, bahkan dengan sogokkan.
4) Pendidikan belum berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, 24
ini cukup jelas, karena sangat dirasakan bahwa masih banyak peraktek
kebijakan yang cukup memberatkan masyarakat, baik ia dalam soal
sistem dana pendidikan, sistem evaluasi pendidikan dan sebagainya
mengakibatkan bahwa masyarakat merasa senantiasa dirampas atau
ditodong. Apalagi situasi kehidupan ekonomi masyarakat yang
senantiasa semakin berat dari akibat kepincangan dan ketidak adilan
Rosdakarya, 2012), h. 28.
22 H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21,
(Magelang, Tera Indonesia, 1999), h. 26-28
23 Ibid,.
24 Ibid,.
17

sistem perekonomian bangsa yang terus menjurus pada sistem


kapitalis dan liberalis. Bukankah umpamanya dilingkungan PTAI
sebagai lembaga pendidikan Islam sering kali terjadi demo mahasiswa
akibat adanya penambahan pembayaran SPP atau uang Praktikum?,
tentu bila dicermati mereka ini demo bukan ditompangi akan tetapi
murni karena beratnya situasi ekonomi khususnya mereka berasal dari
latar belakang keadaan orang tua yang pas-pasan. Atau secara umum
adanya demo penolakan tentang Undang-Undang Pendidikan yang
menjurus pada otonomi dengan ujungnya kemandirian akan dana
masyarakat untuk memperoleh pendidikan.
Kondisi tersebut dapat mengakibatkan kurang berfungsinya unsur-
unsur manajemen secara baik, dan memungkinkan akan terhambatnya
akselerasi pencapaian program-program pendidikan yang ada, Karena
akuntabilitas dan reliabilitas unsur-unsur yang ada sulit ditegakkan secara
ideal. Maka dalam konteks inilah peran serta masyarakat dapat saling
mengawasi terhadap manajemen lembaga pendidikan Islam yang ada.
Kalaupun ada unsur kekeluargaan sebaiknya tetap memperhatikan
profesionalitas.25 Guna mencapai birokrasi seperti di atas, perlu dilakukan
terobosan tradisi baru. Misalnya, mengedepankan transparansi dan
kompetensi dalam proses penerimaan calon tenaga administrasi, calon
PNS dan honorer. Terobosan seperti ini hanya bisa berjalan bila dalam
waktu yang sama juga dilakukan pemberantasan proses rekrutmen dengan
cara-cara klasik yang umumnya didasarkan pada ikatan primordial yang
sempit (hubungan saudara, sedaerah, seorganisasi, sekolega) serta sarat
dengan kolusi dan nepotisme.
Di samping mementingkan aspek kompetensi, keterampilan,
keahlian, dan integritas, manajemen pendidikan modern juga
mensyaratkan bersih pada sistem promosi jabatan yang transparan atas
dasar pertimbangan yang rasional dan objektif. Jika hal-hal yang demikian
dapat diwujudkan secara konkrit dalam kebijakan birokrasi, maka

25 Ibid., h. 32.
18

pemberdayaan manajemen birokrasi akan berjalan semakin baik pula di


masa depan. Salah satu indikatornya adalah, setiap pegawai memiliki etos
kerja sebagai pegawai yang profesional. Satu yang perlu dicatat bahwa
corporate culture dari IAIN adalah bersifat akademik. Oleh karenanya,
iklim birokrasi yang hendak dikembangkan harus pula diarahkan kepada
iklim birokrasi akademis.Hal ini membawa implikasi bahwa pihak-pihak
yang terlibat di dalam sistem birokrasi IAIN harus pula memiliki visi
birokrasi akademis.26
Solusi
Untuk mengatasi berbagai prolematika manajemen lembaga
pendidikan Islam di era tekonlogi modern tersebut, maka paradigma baru
manajemen pendidikan Islam saat ini melihat bahwa kegiatan pendidikan
harus dikelola dengan pendekatan manajemen bisnis yang bertumpu pada
daya layanan yang memuaskan kepada pelanggan.27 Termasuk kebutuhan
masayarakat terhadap tekonologi modern. Dalam hal ini, Imam
Suprayogo28 menjelaskan langkah-langkah strategis dalam memperbaiki
manajemen lembaga pendidikan Islam. Diantranya:
1) Adanya Semangat Berubah dan Berprestasi yang muncul secara
total warga.
Semangat dan jiwa baru sebagai modal untuk tumbuh dan
berkembang. Semua warga lembaga pendidikan Islam memiliki
kesadaran bersama, bahwa kampus ini harus berubah, berkembang
untuk meraih prestasi. Rasa memiliki bersama secara mendadak
tumbuh di kalangan dosen, karyawan maupun mahasiswa Selain itu
rasa cinta terhadap lembaga tumbuh secara bersama-sama. Kecintaan
terhadap lembaga juga dibarengi dengan kerelaan untuk berkorban.
Seolah-olah warga lembaga sedang menemukan momentumnya untuk
bangkit dan bergerak membesarkan perguruan tinggi Islam ini. Antar

26 Abdullah Idi & Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006),
h. 199.
27 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kecana, 2010), edisi ketiga, h. 148
28 Pidato, sumber, www.imamsuprayogo.com, diakses 28 Oktober 2009.
19

warga kampus bersatu, di antara mereka tidak lagi melihat seseorang


dari kelompok mana, Muhammadiyah atau NU, atau tidak NU dan
juga tidak Muhammadiyah. Sebagai kelanjutan dari semangat tumbuh
dan berkembang, muncul beberapa kegiatan, baik yang bersifat
akademik maupun kultural tumbuh hingga berhasil memperkukuh dan
mengobarkan semangat warga kampus….. Label-label kultural yang
sebelumnya menjadikan warga kampus terpilah-pilah menjadi menyatu
kembali. Sebutan kita dan mereka, jama’ah kita dan jama’ah mereka
menjadi hilang. Semua warga lembaga hanya menginginkan adanya
perubahan dan kemajuan. Suasana saling menjaga, menghargai,
menolong atau membantu dan kerjasama tumbuh dan indah.
2) Adanya jalinan kerjasama dengan pihak-pihak terkait dan
berkepentingan.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah dijalin hubungan
kerjasama baik dengan Departemen Agama, Pemerintah Daerah
maupun dengan berbagai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta,
dalam negeri maupun luar negeri. Kerjasama ini sangat besar artinya
untuk membangun rasa percaya diri, merasa bisa dan merasa sama dan
setara dengan institusi lain yang lebih dahulu berkembang.
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin
lembaga pendidikan Islam harus memiliki kecakapan sosial, yakni
kemampuan berkomunikasi dan memotivasi setiap orang yang ikut dalam
gerbong kepemimpinan serta ketulusan dan keikhlasan bahwa semua
pekerjaan dilakukan bermotiv ibadah kepada Allah SWT, sehingga terlihat
bahwa secara internal disenangi karena kepiawiyan dalam berkomunikasi
dan mengorganisir kinerja sehingga muncul team kerja kolektif yang
tangguh secara internal dan kemampuan berkomunikasi dalam mengajak
stakeholder untuk berkontribusi dan ikut bertanggung jawab terhadap
jalannya organisasi.
A.Malik Fajar,29 dalam salah satu pikiran yang dikemukakannya,

29Ahmad Barizi, M.A,(editor), Holistik Pemikiran Pendidikan(A. Malik Fadjar),(Jakarta, PT Raja


Grafindo Persada, 2005), h. 250
20

bahwa dalam memimpin lembaga pendidikan Islam itu, pungkas beliau :


“Oleh karena itu, kalau kita ingin menatap masa depan pendidikan Islam
yang mampu memainkan peran strategis dan memperhitungkan untuk
dijadikan pilihan, maka perlu ada keterbukaan wawasan dan keberanian
dalam memecahkan masalah-masalahnya secara mendasar dan
menyeluruh, seperti yang berkaitan dengan hal-hal berikut ini. Pertama,
kejelasan antara yang dicita-citakan dengan langkah operasionalnya.
Kedua, pemberdayaan (empowering) kelembagaan yang ada dengan
menata kembali sistemnya. Ketiga, perbaikan, pembaruan dan
pengembangan dalam sistem pengelolaan atau manajemen. Keempat,
peningkatan SDM yang diperlukan.”
Pikiran di atas memberi petunjuk bahwa dalam mengelola lembaga
pendidikan Islam harus ditempuh empat langkah sepertidi atas. Dalam
bahasa yang lebih sederhana, seorang pimpinan harus terlebih dahulu
merumuskan dan memahami secara seksama apa cita-cita dan tujuan
lembaga itu didirikan, artinya harus dengan jelas memberi jawaban
terhadap pertanyaan tentang apa/semacam apa yang akan diproduk dari
lembaga itu. Dengan jelasnya jawaban terhadap pertanyaan ini, maka akan
dapat terpenuhi hajat sosial yang lebih fungsional, artinya lembaga dan
program yang dilakukan benar-benar menjadi kebutuhan hidup manusia,
baik ia secara akademis, personal maupun profesional/fungsional. Karena
bukan tidak jarang banyak sekali dari lembaga pendidikan Islam
mengasuh berbagai kajian dan disiplin padahal produk kajian belum
memenuhi hajat kehidupan seperti diungkapkan di atas.
Hal lain yang harus dilakukan adalah pemberdayaan kelembagaan
yakni mengorganisir lembaga dengan efektif dan efisien serta tata kelola
yang kondusip dengan daya dukung kualitas sumber daya yang handal.
Dalam konteks kepemimpinan, maka lembaga pendidikan bermutu itu
punya karakter seperti ungkapan Arcaro S Jerome, bahwa terdapat lima
karakteristik sekolah (lembaga pendidikan) yang bermutu yaitu : 1). Fokus
pada pelanggan. 2). Keterlibatan total 3). Pengukuran 4). Komitmen 5).
21

Perbaikan berkelanjutan.30
Mutu produk pendidikan akan dipengaruhi oleh sejauh mana
lembaga mampu mengelola seluruh potensi secara optimal mulai dari
tenaga kependidikan, peserta didik, proses pembelajaran, sarana
pendidikan, keuangan dan termasuk hubungannya dengan masyarakat.
Pada kesempatan ini, lembaga pendidikan Islam harus mampu merubah
paradigma baru pendidikan yang berorientasi pada mutu semua aktifitas
yang berinteraksi didalamnya, seluruhnya mengarah pencapaian pada
mutu. Oleh karena itu komitmen jama’i amat dipentingkan serta evaluasi
kinerja dalam perbaikan berkelanjutan sepanjang waktu sebab setiap saat
perubahan terjadi dan kekuranganpun makin disadari. Seperti dijelaskan
Suryadi Poerwanegara.31 menyampaikan ada enam ungsur dasar yang
mempengarui suatu produk : 1) manusia 2) metode 3) mesin 4) bahan 5)
ukuran 6) evaluasi berkelanjutan.
Sekanjutnya perlu dipahami bahwa pemimpin lembaga pendidikan
Islam,merupakan motivator, event Organizer, bahkan penentu arah
kebijakan lembaga yang akan menentukan bagaimana tujuan-tujuan
pendidikan pada umumnya direalisasikan. Untuk mewujutkan hal tersebut
maka seorang pimpinan perlu mengunakan konsep manajemen yang
mampu menjawab tantang teknologi modern, diantaranya:
a. Manajemen yang Bernuansa Entrepreneurship.
Manajemen yang dapat memberi nilai tambah adalah
manajemen yang bernuansa entrepreneurship. Rhenald Kasali dalam
Paulus Winarto32, menegaskan bahwa seorang entrepreneur adalah
seorang yang menyukai perubahan, melakukan berbagai temuan yang
membedakan dirinya dengan orang lain, menciptakan nilai tambah,
memberikan manfaat bagi dirinya dan orang lain, karyanya dibangun
berkelanjutan (bukan ledakan sesaat) dan dilembagakan agar kelak

30 Wahjosumidjo, Kepemimpinan dan Motivasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001) h.13


31 Suryadi Poerwanegara, Filosofi Baru Tentang Manajemen Mutu Terpadu, (Jakarta, PT.Bumi
Aksara, 2002) h. 12
32 Paulus Winarto, First Step to be an Entrepreneur. (Jakarta: Elex Media Komputindo. 203) h. 3.
22

dapat bekerja dengan efektif di tangan orang lain. Seorang manajer


yang sekaligus sebagai seorang entrepreneur memiliki karakter
sebagai berikut: memiliki keberanian mengambil resiko, menyukai
tantangan, punya daya tahan yang tinggi punya visi jauh ke depan dan
selalu berusaha memberikan yang terbaik.
Menjadi seorang entrepreneur diperlukan integritas yang
kokoh, memiliki etos kerja yang tinggi dan kesanggupan untuk
menghadapi tantangan, hambatan dan bahkan ancaman, termasuk
dalam mengahdapi era tekonologi modern. Seorang entrepreneur
adalah orang yang berani mengambil keputusan “keluar dari zona
nyaman dan masuk ke dalam zona ketidakpastian (penuh resiko)”.
Manajer yang biasa (konvensional) sebenarnya adalah orang yang
paling membutuhkan keamanan dan status quo, dan sebaliknya takut
pada perubahan. Hal ini wajar karena ia sedang berada di puncak
piramida dalam struktur organisasi dengan segala fasilitas, kedudukan
dan kehormatan yang melekat padanya.
Seorang entrepreneur pada dasarnya adalah seorang
pembaharu (innovator) karena melakukan sesuatu yang baru,
dianggap baru atau berbeda dari kondisi sebelumnya. Apa yang
dilakukan itu membawa perubahan ke arah yang lebih baik dan
memberi nilai tambah bagi diri maupun orang lain. Dalam upaya
untuk menciptakan nilai tambah seorang entrepreneur sangat
mengutamakan kekuatan brand, yaitu citra atau merek yang kuat atas
apa yang dilakukannya. Dengan brand yang baik jelas akan
memberikan value yang tinggi. Brand image bagi sebuah lembaga
pendidikan merupakan aset yang paling berharga yang mampu
menciptakan value bagi stakeholder dengan meningkatkan kepuasan
dan menghargai kualitas dan akhirnya melahirkan kepercayaan.
Seorang manajer yang sekaligus entrepreneur bukan sekedar bisa
membangun brand belaka, namun juga memanfaatkan kekuatan brand
untuk melipatgandakan akselerasi sebuah perubahan.
23

b. Management based society, yaitu manajemen yang dapat menjaga


hubungan baik dengan masyarakat sekitar.
Data EMIS Departemen agama menunjukkan 90% madrasah
berstatus swasta dan 100 % pesantren adalah swasta. Ini berarti bahwa
lembaga pendidikan Islam adalah lembaga milik masyarakat, atau bisa
dikatakan “dari, oleh dan untuk masyarakat”. Manajemen pendidikan
Islam yang tepat adalah manajemen yang dapat mendekatkan
pendidikan Islam dengan masyarakat, diterima, dimiliki dan
dibanggakan oleh masyarakat, dan dapat mendayagunakan potensi-
potensi yang dimiliki masyarakatnya. Konsep Manajemen berbasis
sekolah (Management Based School) dan pendidikan berbasis
masyarakat (Society Based Education) dalam konteks teknologi
modern, lahir karena dilandasi oleh kesadaran bahwa masyarakat
punya peran dan tanggung jawab terhadap lembaga pendidikan di
daerahya disamping sekolah dan pemerintah dalam mengahadapi
tantangan era teknologi modern.
Bagi lembaga pendidikan Islam yang memang “dari, oleh dan
untuk masyarakat”, maka mengembalikan pendidikan Islam kepada
masyarakat merupakan sebuah keniscayaan apabila pendidikan Islam
ingin mengambil dan mendayagunakan kekuatannya. Dengan kata
lain, masyarakat adalah kekuatan utama pendidikan Islam. Mencabut
pendidikan Islam dari grass root nya (masyarakat) justru akan
memperlemah pendidikan Islam itu sendiri. Pondok pesantren yang
mampu menjaga hubungan baiknya dengan basis sosialnya terbukti
dapat terus berkembang, dan sebaliknya akan mengalami surut ketika
ditinggalkan oleh masyarakatnya.
Lembaga-lembaga pendidikan di Negara-negara maju terutama
yang berstatus privat pada umumnya terdapat lembaga semacam
Dewan Sekolah, Majlis Madrasah, Dewan Penyantun, Majlis Wali
Amanah dan lain sebagainya yang antara lain bertugas
memperhatikan hubungan, kedekatan dan aspirasi masyarakat serta
24

siap mendayagunakan potensi masyarakat dan memberikan layanan


pengabdian (langsung maupun tidak langsung) kepada masyarakat. Di
Stanford University misalnya ada The Board of Trustees yang
berwenang mengelola dana hibah dan hadiah (grand), sumbangan
(endowment) dan lain sebagainya yang dihimpun dari dana
masyarakat untuk pengembangan Stanford University.
Semangat beramal untuk membangun lembaga pendidikan
dalam tradisi iman umat Islam sebenarnya bukan sesuatu yang baru,
bahkan umat Islam pernah menjadi pelopor (avant-garde) dalam
komitmennya mengembangkan lembaga pendidikan melalui semangat
amal. Dengan demkian, kebutuhan lembaga pendidikan untuk
mengahadapi tekonologi moder dapat teratasi dan kebutuhan akan
lahirnya manusia yang kompetitif dalam era teknologi modern dapat
terwujud. Strategi yang perlu dilakukan dalam membangkitkan
kembali semangat beramal ini dalam mengembangkan pendidikan
Islam, adalah: Pertama, adanya lembaga semacam Board of Trustees
atau semacam Majlis Wali Amanah yang anggotanya dari wakil
masyarakat yang memiliki integritas dan komitmen yang tinggi
terhadap pendidikan Islam. Kedua, perlu dibangkitkan kembali
semangat juang (jihad), etos kerja semua komponen stake holder
internal sebagai wujud amal (perbuatan) nyata. Ketiga, perlu
diterapkan manajemen mutu terpadu (total quality management)
dalam penyelenggaraan pendidikan Islam.
c. Management Based Mosque atau Manajemen Berbasis Masjid.
Manajemen pendidikan Islam yang berbasis masjid adalah
manajemen yang dijiwai oleh nilai dan semangat spiritual, semangat
berjamaah, semangat ihlas lillahi ta’ala (ihlas karena Allah) dan
semangat memberi yang hanya berharap pada ridlo Allah. Proses
pembelajaran yang integratif dengan masjid memberikan nuansa
religius yang kental dalam penanaman nilai-nilai religius maupun
praktek langsung pengalaman beragama. Dimulai dari pembiasaan
25

shalat dluha, shalat dluhur berjamaah dan shalat Ashar berjamaah bagi
yang full day school.
Akhir-akhir ini banyak lembaga pendidikan Islam yang
berkualitas yang berbasis masjid seperti SD Islam al-Falah Surabaya,
SD-SMP Islam al-Hikmah Surabaya, dan SD Islam Sabilillah Malang.
Management Based Mosque bukan hanya berarti lokasi sekolah itu di
dekat masjid, melainkan sifat-sifat keutamaan dalam masjid dapat
ditransfer dalam mengelola lembaga pendidikan Islam. Disamping itu,
perlu dikembangkan hubungan sinergis antara masjid, lembaga
pendidikan dan jamaah. Hal ini dapat menekan dampak negatif dari
perkembangan tekonologi modern.
d. Manajemen Mutu Terpadu (MMT).
Manajemen adalah pengaturan yang dilakukan melalui proses
dan diatur berdasarkan urutan dari fungsi-fungsi manajemen itu, jadi
manajemen itu merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan
yang diinginkan. Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality
Management) dalam kontek pendidikan merupakan sebuah filosofi
metodologi tentang perbaikan secara terus menerus, yang dapat
memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap institusi
pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan
pelanggan, saat ini maupun masa yang akan datang.33 Sedangkan
Pidarat, menyampaikan bahwa TQM merupakan suatu sistem
manajemen yang mengangkat kualitas sebagai strategi usaha yang
berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh
anggota organisasi.34[21]. Total Quality Management merupakan suatu
pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk
memaksimalkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus
menerus atas produk, jasa, manusia, tenaga kerja, proses, dan

33Edward Sallis, Total Quality Management in Education, (Pitman Publishing, London, United
Kingdom 2006), h. 73
34 Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2004), h. 4
26

lingkungan.35
Pada hakekatnya tujuan institusi pendidikan adalah untuk
menciptakan dan mempertahankan kepuasan para pelanggan dan
dalam TQM kepuasan pelanggan ditentukan oleh stakeholder lembaga
pendidikan tersebut. Oleh karena hanya dengan memahmi proses dan
kepuasan pelanggan maka organisasi dapat menyadari dan menghargai
kualitas. Semua usaha / manajemen dalam TQM harus diarahkan pada
suatu tujuan utama, yaitu kepuasan pelanggan, apa yang dilakukan
manajemen tidak ada gunanya bila tidak melahirkan kepuasan
pelanggan.
5) Keilmuan Islam yang Dilematis
Masalah keilmuan Islam secara historis prespective dipengaruhi
oleh dua arus besar yang menjadi tabir bagi upaya rekontruksi pemikiran
Islam secara umum dan pemikiran Islam secara khusus. Arus besar itu
adalah warisan ortodoksi pemikiran Islam dan masuknya positivisme ke
dalam metodologi keilmuan Islam. Dampak dari warisan ortodoksi
pemikiran Islam tersebut tidak sekedar mewarnai bingkai-bingkai fiqh,
tetapi juga memberikan akses negatif terhadap epistemologi keilmuan
dalam Islam, pintu ijtihad pun tertutup. dampak dari stagnasi pemikiran
tersebut membawa dunia Islam dalam rentang waktu yang cukup lama
hanya menghasilkan ilmu-ilmu yang isinya sebagian besar berbentuk
elaborasi (syarah, hasyiyah), termasuk dalam bidang penafsiran maupun
dalam bidang muamalat.
Dalam bidang penafsiran Islam memang dapat memunculkan
ribuan jilid kitab tafsir dengan berbagai corak dan metodenya. Namun,
sayang sebagian besar berisi pengulangan yang ada. sebagaimana juga
dijelaskan Nasr hamid Abu Zaid tentang keadaan tersebut sebagai
berikut: “pada saat ini sikap dan wacana keagamaan kontemporer
terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an dan demikian pula ilmu-ilmu hadis adalah
sikap pengulangan. Hal ini terjadi karena diantara ulama ada yang

35 Nasution.M.N., Manajemen Mutu Terpadu, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), h. 18


27

mempunyai asumsi bahwa dua tipe ilmu tersebut masuk dalam ilmu yang
sudah matang dan sudah selesai, sehingga generasi kemudian tidak lagi
memiliki apapun seperti yang dimiliki oleh generasi tua.36
Nasr hamid Abu Zaid menambahkan bahwa stagnasi pemikiran di
dunia Islam ini dipengaruhi oleh apa yang disebutnya sebagai peradaban
teks (Hadharah al-Nash).37Peradaban teks menurutnya merupakan sebuah
peradaban dimana teks menjadi semacam poros penggerak serta
sekaligus sebagai pembentuk pengetahuan.38dalam peradaban demikian,
tafsir teks menjadi semacam kebutuhan utama dari waktu ke waktu
senantiasa mewarnai tiap jengkal deretan sejarah Islam. Oleh karena itu,
Islam dapat memunculkan ribuan jilid kitab tafsir dengan berbagai
corak dan metode, mulai dari tahlili sampai maudhu’i.
Peradaban demikian akhirnya membawa implikasi luas serta
memungkinkan terciptanya kultur yang serba berdimensi teks, termasuk
dalam memandang kebenaran. Kebenaran selalu diukur dengan letterleks
teks, tidak ada kebenaran di luar itu. Sekalipun manusia memungkinkan
dapat memperoleh kebenaran sendiri melalui pencarian dengan daya
nalarnya, ia tetap harus selalu mendapat rujukan dari teks. Kalau ia gagal
dalam merujuk, maka apa yang dikatakan nalar sebagai kebenaran gagal
pula. Sedangkan dampak kedua arus tersebut dalam dunia pendidikan
Islam adalah terjadinya transformasi pada paradigma ilmu pendidikan
Islam beserta epistemologinya dari Islamic education of islamic menjadi
Islamic education for Moslem.
Solusi
Untuk mengatasi problematika tersebut di atas, adalah penerapan
pendidikan Islam terpadu pada dasarnya merupakan pendidikan Islam
ideal masa kini yang memadukan berbagai keunggulan pendidikan umum
dan Islam. Pendidikan umum dengan institusinya yang membekali anak

36 Nasr hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an; kritik terhadap Ulumul Qur’an, (Yokyakarta:
LKIS, 2001), h. 4
37 Ibid, h. 1
38 Ibid, h. 2
28

didik dengan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi secara (relatif)


baik. Sedangkan pendidikan Islam, dengan sistem dan model
pendidikannya yang unik, mampu membekali anak didik dengan tata
aturan dan moral keagamaan yang terpuji. Kelebihan-kelebihan pada
kedua pendidikan tersebut kini dicoba dipersatukan dan dipadukan dalam
sebuah formasi khusus yang disebut pendidikan Islam terpadu, yakni
sebuah pendidikan alternatif yang diharapkan mampu memperbaiki anak
didik dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
mendalam sekaligus rasa keagamaan dan pengalamannya yang kuat.
Pendidikan Islam terpadu hendaknya memadukan pendekatan
normatif deduktif yang bersumber pada sistem nilai yang mutlak, yaitu
Al-Qur'an, Hadits, dan hukum Allah yang terdapat dalam alam semesta
dengan pendekatan deskriptif induktif yang melestarikan aspirasi umat
dan peningkatan budaya bangsa sesuai dengan cita-cita kemerdekaan
dengan perumusan program pendidikan yang didasarkan kepada konsep
variabilitas. Yusuf A. Faesal mengatakan proses variabilitas adalah suatu
proses perumusan tujuan dan penyusunan kurikulum atau silabus yang
didasarkan pada kepentingan lulusan (out put oriented) yang bervariasi
karena adanya interaksi antara tujuan normatif dan deskriptif dengan
varietas kepentingan yang berlandaskan kepada adanya perbedaan latar
belakang budaya yang meliputi sistem tata nilai dan norma, sistem ide
dan pola pikir, sistem pola prilaku. serta sistem produk budayanya.39
Namun demikian, tanpa landasan nilai-nilai agama, teknologi
modern tersebut justru akan menjadi bumerang bagi umat manusia.
Dengan adanya penyatuan ilmu dengan nilai-nilai ajaran Islam, persoalan
ambivalensi`dan disintegrasi akan dapat dicarikan jalan keluarnya.
Wawasan ilmu tidak lagi dipisahkan secara dikotomis dalam pembagian
pendidikan, sebagaimana selama ini kita kenal, tetapi dintegrasikan
dengan pendekatan nilai-nilai Qurani. Dengan demikian, kehadiran
pendidikan Islam terpadu pada prinsipnya bertujuan menyiapkan sumber

39 Yusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 113
29

daya berkualitas, yakni yang seimbang antara kemampuan penguasaan


ilmu pengetahuan dan teknologi dan keimanan kepada Allah swt.
Pendidikan Islam terpadu mengemban misi mama untuk mencetak
manusia Indonesia yang berwawasan intelektual religius.
Di sini lah tantangan terbesar bagi pendidikan Islam, yakni
melahirkan intelektual muslim yang mampu melahirkan konsep-konsep
Islami yang aplikatif dalam masyarakat Islam yang hidup dalam era
teknologi modern. Pendidikan merupakan kunci utama. dalam hal ini,
internalisasi nilai-nilai Islami tersebut tidak akan dapat diwujudkan bila
ia hanya mengandalkan pendidikan formal. setiap sektor pendidikan
formal, non formal dan informal, harus difungsikan secara integral.40
Dengan berbekal pemahaman yang utuh. penguasaan teknologi modern
tidak menjadikan seseorang jauh dari Islam, justru meningkatkan
keimanan dan ketekunan beribadah. Ini karena mereka menyadari bahwa
alam semesta segenap fenomenanya merupakan bukti kekuasaan dan
kebenaran Allah swt.
Islam mengajarkan konsep ad-dunya wal akhirah (dunia-akhirat),
kedua bagian kehidupan tersebut merupakan kesatuan yang tak dapat
dipisahkan. Bahkan mutu kehidupan akhirat ditentukan oleh kehidupan
dunia. Dalam konteks pendidikan Islam, pendidikan agama,
sesungguhnya dengan ini dapat dikatakan bahwa pendidikan agama itu
mencakup pendidikan umum.41 Pandangan dikotomis, yang selama ini
mewarnai dunia ilmu maupun kebudayaan umat Islam, sebenarnya justru
bertentangan dengan petunjuk ajaran Islam itu sendiri.
Berinjak dari pola pikir yang integratif, yakni menyatukan arti
kehidupan dunia dan akhirat, pendidikan umum pada hakikatnya adalah
pendidikan agama juga. Bagaimana mengintegrasikan pendidikan umum
ke dalam pendidikan Islam secara padu. Pemisahan pendidikan, baik

40 Yakup Matandang, Perguruan Tinggi Islam di Era Giobalisasi, ed, Syahrin Harahap,
(Yogyakarta: Tiara Wicara, 1998), h. 16
41 AM Syaifuddin, Desekularisasi Pemikiran Landasan islamisasi, (Bandung: Mizan, 1993), h.
198
30

secara penuh dengan membentuk sistem perguruan tersendiri, maupun


dalam bentuk pembagian porsi materi pendidikan Islam dan umum dalam
presentase tertentu, sesungguhnya masih tetap mengandung unsur yang
dikotomis sifatnya. Perpaduan itu mestilah terjadi sebagai proses
pelarutan, dan bukan sekedar proses percampuran biasa-biasa.
Suatu sistem pendidikan yang disusun berdasarkan nilai-nilai Al-
Qur'an sendiri, dengan jaminan yang pasti karakter anak adik khususaya
dan umat Islam umumnya dengan sendirinya akan terjadi integritas serta
keseluruhannya. Aktualisasi nilai-nilai Al-Qur'an tersebut tidak hanya
perlu diwujudkan dalam perancangan sistem pendidikan saja, tetapi
dalam langkah-langkah operasionalnya mesti pula berpedoman pada
kaedah-kaedah Al-Qur'an, sesuai dengan motivasi cara dan tujuan.
Said Aqil mengemukakan, sesuai perkembangan masyarakat yang
semakin dinamis sebagai akibat kemajuan Teknologi Modern, terutama
teknologi informasi, maka aktualisasi nilai-nilai Al-Qur'an menjadi
sangat penting. Tanpa aktualisasi, kita akan menghadapi kendala dalam
upaya internalisasi nilai-nilai Qur'ani, baik secara individual maupun
sosial. Aktualisasi nilai-nilai Qur'ani ini sebagai jalan bagi upaya yang
internalisasi, diarahkan kepada upaya pembentukan pribadi umat yang
beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cerdas, maju, dan mandiri.42
Penggabungan ini dilakukan karena ada beberapa hal, antara lain,
pada saat ini masih sangat sulit menemukan sosok tenaga pengajar yang
utuh, yang menguasai teknologi modern secara mendalam sekaligus
ilmu-ilmu agama secara luas. Yang ada adalah orang yang menguasai
Teknologi Modern tetapi kurang mendalami ilmu-ilmu agama atau
sebaliknya. Mereka kurang mampu menggabungkan unsur-unsur yang
ada dalarn ilmu umum dengan dasar-dasar yang tertera dalam Al-Qur'an
dan Sunnah. Padahal keduanya merupakan ilmu-ilmu Allah yang
sebenarnya tidak terpisahkan, ilmu-ilmu agama lahir dari pemahaman

42 Said Aqil Al-Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani dalam, sistem PendidikanIslam, 2002),
h.
31

terhadap Al-Quran dan As-Sunnah, sedangkan ilmu islam atau umum


lahir dari pengamatan dan penelitian terhadap sunnatullah, secara hakiki
keduanya adalah "ayat-ayat" Allah yang kita diperintahkan membacanya.
Al-Qur'an adalah ayat yang tertulis, sedang hukum alam (sunnatullah)
adalah ayat yang tidak tertulis.
Pendidikan Islam terpadu harus memiliki visi Islam yang jernih
dan kokoh. Ketika visi ke Islamannya telah mantap, ia sanggup
berhadapan dan berinteraksi dengan segenap kondisi objektif yang ada.
Visi ini jugalah yang mampu membantu seseorang merumuskan tujuan
ideal yang ingin dicapainya, upaya ideal inilah yang menjadi misinya.
Untuk menjalankan misi ini, perlu disusun suatu strategi. Untuk bisa
menyusun rencana strategi, apalagi action plan yang baik dan rinci
memerlukan suatu pengkajian yang mendalam dan penelitian yang
akurat. Tetapi dasar pertama dari suatu perencanaan yang baik adalah
sadar dan dihayati visi dan misi yang jelas, jernih dan terarah. Untuk itu
semua instansi, fasilitas dan sarana yang ada di dalam masyarakat Islam
harus digunakan.
Pendidikan Islam terpadu tersebut berfungsi menjadi sarana yang
memungkinkan terpeliharanya program melalui suatu sistem yang
relevan dengan dasar dan kondisi lebih efesien, dan lebih efektif dalam
mencapai tujuan yang tergambar dalam konsep iman, Islam, dan akhlak
yang diproyeksikan ke dalam tujuan untuk meningkatkan tanggung
jawab terhadap Allah, tanggung jawab terhadap perkembangan dirinya
sebagai manusia, tanggung jawab terhadap masyarakat, dan lingkungan
ekologinya dalam struktur pendidikan yang multi program dan
multistrata.
Tantangan penerapan model pendidikan Islam yang membina
imtaq melalui Teknologi Modern ini, adalah tuntutan pendidikan untuk,
1) memiliki guru umum yang Islami, 2) memilih guru agama yang
memahami materi umum, 3) memiliki labor yang Islami. Dan yang
takkala pentingnya yaitu pengembangan lingkungan yang memiliki
32

"tradisi agamis-Islami" yang kuat, tradisi budaya Islarni yang dapat


menyentuh hati.
6) Lulusan lembaga Pendudikan Islam
Lembaga pendidikan Islam harus diarahkan pada upaya
memberdayakan lulusan yang unggul, tantangan globalisasi dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi menghendaki manusia
yang memiliki kompetensin yang unggul dan dapat diandalkan, sehingga
ia dapat berkompetisi di era tekonologi modern. Dalam pandangan
Ahmad Tafsir43 bahwa karakteristik lulusan lembaga pendidikan Islam
yang diharapkan adalah : pertama, manusia yang berdedikasi dan
berdisiplin tinggi, yakni manusia yang memiliki kesadaran tinggi dengan
didasari rasa pengabdian dan tanggung jawab dalam kehidupannya,
mempunyai visi jauh kedepan dan normatif idealis yang terjabarkan
dalam misi strategis. Kedua, manusia yang inovatif, tidak puas dengan
apa yang dihasilkannya dan tidak mau terjebak dalam sttus quo. Ketiga,
manusia yang jujur baik pada orang lain terlebih-lebih pada didirinya
sendiri, sebab saat ini zaman membutuhkan manusia seperti ini.
Keempat, manusia yang tekun yang dapat fokus dalam tugas-tugas yang
dihadapi. Kelima, manusia ulet, yakni manusia yang tidak mudah
menyerah dan putus asa, tapi ia terus menggali dan menggali. Keenam,
manusia yang unggul itu adalah manusia yang dapat mengendalikan diri.
Saat ini situasi bangsa terjebak pada sebuah kondisi yang amat korup itu
disebabkan bahwa sifat mampu mengendalikan diri, mampu menahan
diri untuk tidak terjebak pada godaan hal-hal yang bersifat materialisme,
hedonisme dan egoisme itu adalah sesuatu sifat yang amat sulit dilakukan
oleh para pengelola pendidikan Islam itu, dan secara umum pengelola
negara ini, sehingga mental korup itu telah merajalela dalam segala lini
kehidupan.
Namun kenyataan berbicara lain, seiring perkembangan teknologi
modern, terlihat ada problematika lulusan lembaga pendidikan Islam,

43 Ahmat Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2006), h.202
33

lembaga pendidikan Islam dihadapkan pada persoalan kualitas


lulusannya, lembaga pendidikan kesulitan untuk melahirkan manusia-
manusia yang kompetitif dalam era globalisasi yang didominasi oleh
ilmu pengetahuan dan teknologi, sebaliknya apabila pendidikan Islam
tersebut dapat melahirkan manusia-manusia yang menguasai ilmu
pengetahuan yang sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama, maka
manusia-manusia inilah yang akan menjadi pilar-pilar dari masyarakat
madani. Demikian pula kualitas manusia tersebut akan dapat lebih
unggul dari manusia-manusia yang hanya sekedar menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi tanpa dijiwai oleh nilai luhur agama. Kurang
cukup mempunyai kualitas yang dianut oleh masyarakat global, karena
selain pembinaannya sangat sektoral juga tidak dapat bersaing dalam
lapangan kerja yang sangat kompetitif dalam masyarakat baru yang akan
datang.44
Selanjutnya Imam Tholkhan menjelaskan bahwa problmatika
lulusan pendidikan Islam kini dan masa datang, antara lain: Pertama,
kurangnya kemampuan para lulusan (out puts) dari lembaga-lembaga
pendidikan Islam, madrasah, pesantren serta perguruan tinggi Islam di
dalam menelaah teks-teks klasik secara utuh yang sebenarnya merupakan
bagian integral dari kajian pokok yang harus dipelajari. Para lulusan
madrasah, pesantren dan perguruan tinggi Islam tidak jarang tercerabut
dari akar-akar tradisi, nilai dan kepercayaan yang dianutnya. Kedua, tidak
semua lulusan lembaga pendidikan Islam mampu melaksanakan fungsi-
fungsi layanan terhadap umat Islam, tak terkecuali hal yang paling
mendasar dan memasyarakat seperti memimpin berbagai ritual
keagamaan. Ketiga, adanya kecenderungan lulusan lembaga pendidikan
Islam hanya berpikir normatif atau cenderung berpikir melalui kaedah
keagamaan (deduktif) dan kurangnya mereka memahami konteks dan
substansi empiris dari persoalan-persoalan keagamaan dan sosial yang

44 Khermarinah, Pendidikan Islam Yang Ideal Di Era Globalisasi, Jurnal Al-Ta’lim, Vol. 11, No.
2, Juli 2012, 325-337
34

dhadapi (induktif), Keempat, sistim pendidikan Islam yang ada sampai


dewasa ini masih dinilai belum bisa menghasilkan manusia-manusia
kompetitif di era global yang didominasi oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi. Kelima, posisi pendidikan Islam selalu diletakkan pada posisi
marginal atau under class. Keenam, para lulusan lembaga pendidikan
Islam belum terlatih untuk mengembangkan ilmu-ilmu keislaman yang
baru, baik dalam konteks kultur nasional maupun antar kultur, sebaliknya
mereka hanya terlatih untuk menghafal dan mengulangi kembali
pengetahuan yang baku dan kaku yang keberadaannya kurang relevan
dengan perkembangan situasi dan kondisi. Ketujuh, para lulusan lembaga
pendidikan Islam cenderung bersifat eksklusif dan belum mampu bekerja
secara profesional. Kedelapan, adanya stigma bahwa lembaga pendidikan
Islam itu sektarianisme yang dibungkus dengan kerangka ideologis,
paham, dan kepercayaan serta kepentingan-kepentingan kelompok
tertentu. Dan Kesembilan, sistim pendidikan Islam cenderung milik
perseorangan atau kelompok tertentu dari pada milik bersama atau
masyarakat.
Solusi
Untuk mengatasi problematika lulusaan lembaga pendidikan
Islam di atas, yaitu: Pertama, mengembangkan konsep pendidikan
integralistik, yaitu pendidikan secara utuh yang berorientasi pada
Ketuhanan, kemanusiaan dan alam pada umumnya sebagai suatu yang
integralistik bagi perwujudan kehidupan. Kedua, mengembangkan
konsep pendidikan humanistik, yaitu pendidikan yang berorieintasi dan
memandang manusia sebagai manusia (humanisasi) dengan menghargai
hak-hak asasi manusia. Ketiga, mengembangkan konsep pendidikan
pragmatis, yaitu memandang manusia sebagai makhluk yang selalu
membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan, mempertahankan dan
mengembangkan hidupnya baik jasmani maupun rohani dan peka
terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Keempat, mengembangkan
konsep pendidikan yang berakar pada budaya yang akan dapat
35

mewujudkan manusia yang mempunyai kepribadiaan, harga diri, percaya


pada kemampuan sendiri, membangun budaya berdasarkan budaya
sendiri dan berdasarkan nilai-nilai ilahiyah. Secara umum, konsep
pendidikan Islam yang ditawarkan adalah pendidikan yang berorientasi
pada kompetensi nilai-nilai ilahiyah, knowledge, skill, ability, social-
kultural dan harus berfungsi untuk memberikan kaitan secara operasional
antara peserta didik dengan masyarakatnya, lingkungan sosial-
kulturalnya, dan selalu menerima dan ikut serta melakukan perubahan.45

A. Penutup
Berdasarkan uarain di atas, terkait analisis kritis problematika pendidikan
Islam di era teknologi modern, sesungguhnya memberikan sebuah kenyataan
yang membuktikan problematika-problemtika besar dan massif yang
dirasakan dan dihadapi oleh pendidikan Islam di era teknologi modern.
Problematika tersebut diantaranya oreantasi pendidikan Islam, kulaitas SDM,
Kurikulum, lulusan lembaga pendidikan Islam, manajemen serta cara
pandang yang dikotomis terhadap ilmu pengetahuan.
Berbagai problematika tersebut sangat mendesak untuk dicarikan
solusinya. Adapun solusi yang diketengahkan dalam tulisan ini, lahir dari
semangat idealisme serta berdasarkan analisis filosofis, sistemik dan
kontektual yang sulit untuk diterapkan pada masa kini-akan tetapi masih ada
harapan-, ditengah perkembangan teknologi modern. Pendidikan Islam di
Indonesia dan Pendidikan Islam sebagai sub sistem, sesungguhnya
mengharapkan munculnya para pembaharu-pembaharu pendidikan Islam
dalam menghadapi tantangan era teknologi moder dewasa ini.

45 Hujair A. Sanaky, dalam Jurnal Al-Tarbawi, Permasalahan dan PenataanPendidikan Islam


Menuju Pendidikan yang Bermutu,UII, (Yogyakarta,NO. 1. VOL. I. 2008), h. 83
36

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Idi & Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006).

Abdul Munir Mulkhan, dkk. (1998). Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren-Regiu
sitas Teknologi Modern.( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998).

Arifin, Muzayin, Kapita Selekta Pendidikan Islam. (Jakarta; Bumi Aksara. 2009)

A. Sanaky, Hujair, dalam Jurnal Al-Tarbawi, Permasalahan dan PenataanPendidikan Islam Menuju
Pendidikan yang Bermutu,UII, (Yogyakarta,NO. 1. VOL. I. 2008)
Aqil Al-Munawar, Said, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani dalam, sistem PendidikanIslam, 2002).

Tafsir, Ahmat, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2006)

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru, (Jakarta:
Macana Ilmu, 1999)
--------------, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Millenium ke III,
(Jakarta: Kencana, 2012)
Amir Faisal, Jusuf, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995)
37

Barizi, Ahmad,(editor), Holistik Pemikiran Pendidikan(A. Malik Fadjar),(Jakarta, PT Raja


Grafindo Persada, 2005)
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 2002)

Hamid Abu Zaid, Nasr, Tekstualitas Al-Qur’an; kritik terhadap Ulumul Qur’an, (Yokyakarta:
LKIS, 2001)

Jamali Sahrodi, dkk, Membedah Nalar Pendidikan Islam Pengantar ke Arah Ilmu Pendidikan
Imam Machali dan Musthofa (Ed.), Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2004)

Islam, Cet. I, (Penerbit: Pustaka Rihlah Group, Yogyakarta, Desember, 2005)

Khermarinah, Pendidikan Islam Yang Ideal Di Era Globalisasi, Jurnal Al-Ta’lim, Vol. 11, No. 2,
Juli 2012

Nasution.M.N., Manajemen Mutu Terpadu, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004)

Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia,


(Jakarta: Kecana, 2010)

Majid, Abdul, Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2012)

Matandang, Yakup, Perguruan Tinggi Islam di Era Giobalisasi, ed, Syahrin Harahap,
(Yogyakarta: Tiara Wicara, 1998)

Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan


Perguruan Tinggi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007)

------------, Rekonstruksi Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafiondo Persada, 2009)

Muslih Lisa dan Aden Wijdan SZ. Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial. Yogyakarta:
Aditya Media, 1997)

Putra Daulay, Haidar, Pendidikan Islam : Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia,
(Jakarta : Kencana, 2004)

Pidato, sumber, www.imamsuprayogo.com, diakses 28 Oktober 2009.

Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2004)

Poerwanegara, Suryadi, Filosofi Baru Tentang Manajemen Mutu Terpadu, (Jakarta, PT.Bumi
Aksara, 2002)

Rusman, Manajemen Kurikulum; Seri Manajemen Sekolah bermutu, (Jakarta: Rajawali Press,
2009)

Rembangy, Musthofa, Pendidikan Transformatif : Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di


Tengah Pusaran Arus Globalisasi, (Yogyakarta : Teras, 2010)

Sallis, Edward Total Quality Management in Education, (Pitman Publishing, London, United
Kingdom 2006)
38

Syaifuddin, AM, Desekularisasi Pemikiran Landasan islamisasi, (Bandung: Mizan, 1993)

Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islami, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983)

Tilaar, H.A.R. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21,
(Magelang, Tera Indonesia, 1999)

Qomar, Mujamil, Menggagas Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014)

Wahjosumidjo, Kepemimpinan dan Motivasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001)

Winarto, Paulus, First Step to be an Entrepreneur. (Jakarta: Elex Media Komputindo. 203)

Você também pode gostar