Você está na página 1de 20

LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH YANG IDEAL

KULIAH KERJA NYATA

MUHAMMAD FADHAL IQBAL


230110150019

UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR

2017
BIODATA PENULIS

Nama : Muhammad Fadhal Iqbal


Nama panggilan : Iqbal
NPM : 230110150019
Tampat tanggal lahir : Sukabumi, 11 Agustus 1996
Anak ke : 2 dari 3 bersaudara
Jenis kelamin : Laki laki
Golongan darah :B
Agama : Islam
Alamat rumah : Kampung Parakansalak RT04 RW02 No 19 Kecamatan
Parakansalak Kabupaten Sukabumi Jawa Barat 43355
Alamat sekarang : Jalan kolonel ahmad syam desa Cikeruh Kampung Ciawi
RT03 RW 05 Kecamatan Jatinangor, Sumedang 45363
No HP : 082315175742
Status perkawinan : Belum Kawin
Pekerjaan : Mahasiswa
Kewarganegaraan : WNI
Riwayat pendidikan :
TK : TK Tunas Karya
SD : SDN IV Parakansalak
SMP : SMPN 1 Parakansalak
SMA : SMAN 1 Cibadak
Universitas : Universitas Padjadjaran
ABSTRAK

Muhammad Fadhal Iqbal (Dibimbing oleh : Amelia Rizky Alamanda S.E, M.Ak). 2017.
Lembaga Mikro Syariah yang ideal.

Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa (KKNM) dilaksanakan di Kota Bandung mulai


tanggal 1 Desember 2017 hingga 12 Januari 2018. Praktik Kerja Lapang (PKL)
bertujuan untuk mengetahui sebaran panjang dan hubungan panjang dan bobot ikan
tuna sirip kuning yang didaratkan di pelabuhan Benoa. Metode PKL yang digunakan
adalah Metode Praktik Lapang yaitu purposive sampling.Teknik pengumpulan data
yang digunakan dalam praktik kerja lapang yaitu sampling turun langaung ke
lapangan. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebaran panjang ikan tuna sirip kuning
yang didaratkan di pelabuhan Benoa, Bali berada pada angka 86cmFL-169cmFL,
dimana ikan yang paling banyak tertangkap yaitu pada kisaran ukuran 122cmFL –
127cmFL sebanyak 13 ekor. Dan hubungan panjang bobot diperoleh persamaan W=
y = 3E-05x2,9172 dengan nilai koefisien determinasi yaitu R² = 0,9646. Berdasarkan
nilai b yang diperoleh menunjukan bahwa hubungan panjang-bobot Madidihang
alometrik negatif dimana pertambahan bobot lebih lambat dari pada pertambahan
panjang.

Kata Kunci: Ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares), hubungan panjang bobot,
sebaran panjang
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Islam merupakan ajaran yang Syamil (universal), kamil (sempurna),
danmutakamil (menyempurnakan) yang diberikan oleh Allah yang diangkat
sebagai Khalifah(pemimpin) di bumi ini yang berkewajiban untuk memakmurkannya
baik secara material maupun secara spiritual dengan landasan aqidah dan syari’ah
yang masing-masing akan melahirkan peradaban yang lurus dan akhlaqul
karimah (perilaku mulia).
Islam dalam menentukan suatu larangan terhadap aktivitas duniawiyah
tentunya memberi hikmah yang akan memberikan kemaslahatan, ketenangan dan
keselamatan hidup didunia maupun di akhirat. Namun demikian, Islam tidak melarang
begitu saja kecuali di sisi lain ada alternatif konsepsional maupun operasional yang
diberikannya. Misalnya saja larangan terhadap riba, alternatif yang diberikan Islam
dalam rangka rrienghapus riba dalam praktek mu’amalah yang dilakukan manusia
melalui dua jalan. Jalan yang pertama, berbentuk shadaqah ataupun qardhul
hasan (pinjaman tanpa adanya kesepakatan kelebihan berupa apapun pada saat
pelunasan) yang rnerupakan solusi bagi siapa saja yang melakukan
aktivitas riba untuk keperluan biaya hidup (konsumtif) ataupun usaha dalam skala
mikro. Sedangkan jalan yang kedua adalah melalui sistem perbankan Islam yang
didalamnya menyangkut penghimpunan dana melalui tabungan
mudharubah, deposito musyawarah dan giro wadiah yang kemudian disalurkan
melalui pinjaman dengan prinsip tiga hasil (seperti mudharabah, musyarakah), prinsip
jual beli(bai’ bithaman ajil, mudarabah dan sebagainya) serta prinsip sewa/fee (Ijarah,
bai’at takjiri dan lain-lain). Dari kedua jalan di atas, secara sistematik diatur dan
dikelola melalui kelembagaan yang dalam istilah Islam disebut Baitul Maal wat
Tamwil.
Tinjauan Teori

Pengantar
BMT merupakan salah satu jenis lembaga keuangan bukan bank yang
bergerak dalam skala mikro sebagaimana koperasi simpan pinjam (KSP). Adapun
bank umum merupakan lembaga keuangan makro sedangkan bank
perkreditan rakyat merupakan lembaga keuangan menengah. Dari sekian banyak
lembaga keuangan mikro seperti koperasi, BKD dan lainnya, BMT merupakan
lembaga keuangan mikro yang berlandaskan syari’ah. Selain itu, BMT juga dapat
dikatakan sebagai suatu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di
bidang keuangan. Ini disebabkan karena BMT tidak hanya bergerak dalam
pengelolaan modal (uang) saja, tetapi BMT juga bergerak dalam
pengumpulan zakat, infaq, dan shadaqah (ZIS). Ini merupakan sebuah konsekwensi
dari namanya itu sendiri yaitu bait al-mal wat tamwil yang merupakan gabungan dari
kata baitul maal dan bait at-tamwil. Secara singkat, Bait al-mal merupakan lembaga
pengumpulan dana masyarakat yang disalurkan tanpa tujuan profit. Sedangkan bait
at-tamwil merupakan lembaga pengumpulan dana (uang) guna disalurkan dengan
orientasi profit dan komersial.
Perbedaan BMT dengan bank umum syari’ah (BUS) atau juga bank perkreditan
rakyat syari’ah (BPRS) adalah dalam bidang pendampingan dan dukungan. Berkaitan
dengan dukungan, BUS dan BPRS terikat dengan peraturan pemerintah di bawah
Departemen Keuangan atau juga peraturan Bank Indonesia (BI). Sedangkan BMT
dengan badan hukum koperasi, secara otomatis di bawah pembinaan Departemen
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Dengan demikian, peraturan yang
mengikat BMT juga dari departemen ini. Sampai saat ini, selain peraturan tentang
koperasi dengan segala bentuk usahanya, BMT diatur secara khusus dengan
Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No.
91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi
Jasa Keuangan Syari’ah. Dengan keputusan ini, segala sesuatu yang terkait dengan
pendirian dan pengawasan BMT berada di bawah Departemen Koperasi dan Usaha
Kecil dan Mengengah.

Istilah BMT
Pada mulanya, istilah BMT terdengar pada awal tahun 1992. Istilah ini muncul
dari prakarsa sekelompok aktivis yang kemudian mendirikan BMT Bina Insan Kamil di
jalan Pramuka Sari II Jakarta. Setelah itu, muncul pelatihan-pelatihan BMT yang
dilakukan oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Usaha Kecil (P3UK), di mana
tokoh-tokoh P3UK adalah para pendiri BMT Bina Insan Kamil.
Istilah BMT semakin populer ketika pada September 1994 Dompet Dhuafa
(DD) Republika bersama dengan Asosiasi Bank Syari’ah Indonesia (Abisindo)
mengadakan diklat manajemen zakat, infaq, dan shadaqah (ZIS) dan ekonomi
syari’ah di Bogor. Diklat-diklat selanjutnya oleh DD dilakukan di Semarang dan
Yogyakarta. Setelah diklat-diklat itu, istilah BMT lebih banyak muncul di Harian Umum
Republuka, terutama di lembar Dialog Jum’at.
Pada tahun 1995, istilah BMT bukan hanya populer di kalangan aktivis Islam
saja, akan tetapi mulai populer di kalangan birokrat. Hal ini tidak lepas dari peran Pusat
Inkubasi Usaha Kecil (PINBUK), suatu badan otonom di bawah Ikatan Cendekiawan
Mulim Indonesia (ICMI). Bahkan pada Muktamar ICMI 7 Desember 1995, BMT
dicanangkan sebagai Gerakan Nasional bersama dengan Gerakan Orang Tua Asuh
(GNOTA) dan Gerakan Wakaf Buku (GWB). Hanya saja, istilah Baitul Maal wat
Tamwil sering diartikan sebagai Balai Usaha Mandiri Terpadu (kependekan dan
operasionalnya sama, BMT).
Untuk menjelaskan pengertian keduanya memang tidak mudah. Sebab belum
ada literatur yang menerangkan secara gamblang dan tepat kedua istilah tersebut.
Boleh dikatakan istilah BMT hanya ada di Indonesia. Namun menilik istilah yang ada
pada padanan tersebut, BMT merupakan paduan lembaga Baitul Maaldan
lembaga Baitut Tamwil. Dari kedua kata itu, istilah yang lebih akrab di telinga kaum
muslimin tentunya adalah Baitul Maal, sebab kata ini sudah ada sejak zaman
Rasulullah.

Sejarah Lahirnya Baitut Tamwil di Indonesia


Adapun kelahiran dan istilah baitu tamwil (BT), namanya pernah populer lewat
BT Teksona di Bandung dan BT Ridho Gusti di Jakarta. Keduanya kini tidak ada lagi.
Setelah itu, walaupun dengan bentuk yang berbeda namun memiliki persamaan
dalam tata kerjanya pada bulan Agustus 1991 berdiri sebuah Bank Perkreditan Rakyat
Syari’ah (BPRS) di Bandung. Kelahirannya terus diikuti dengan beroprasinya Bank
Muamalat Indonesia (BMI) pada bulan Juni 1992.
BT yang menyusul kemudian adalah BT Bina Niaga Utama (Binama) di
Semarang pada tahun 1993. BT Binama hingga kini masih bertahan dengan asset
lebih dari 25 milyar rupiah. Dilihat dari fungsinya, BT sama dengan Bank Muamalat
Indonesia atau BPRS yaitu sebagai lembaga keuangan syari’ah. Yang membedakan
hanya skala dan status kelembagaannya. Bila BMI untuk pengusaha atas, BPRS
untuk menengah ke bawah, maka BT untuk pengusaha bawah sekali (grass root).
Ibaratnya, BMI adalah super market, BPRS adalah mini market, maka BT adalah
warung-warung.
Semakin menjamurnya BT dan istilah BMT pada tahun-tahun itu didukung oleh
adanya pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh Syariah Banking Institut (SBI), Institut
for Shari’ah Economic Depvelopment (ISED), Lembaga Pendidikan dan
Pengembangan Bank Syari’ah (LPPBS). Lembaga tersebut sangat berjasa dalam
mempopulerkan istilah BT yang pada waktu itu BT dianggap sebagai embrio BPRS.
Konsepsi bait al-maal sebagai pengelola dana amanah dan harta rampasan
perang (ghanimah) pada masa awal Islam, yang diberikan kepada yang berhak
dengan pertimbangan kemaslahatan umat, telah ada pada masa Rasulullah. Pada
masa Khalifah Umar bin Khattab, lembaga ini bahkan dijadikan salah satu lembaga
keuangan negara yang independen untuk melayani kepentingan umat dan membiayai
pembangunan secara keseluruhan.
Pada masa itu, telah diadakan pendidikan khusus yang dipersiapkan untuk
pengelolaan lembaga keuangan yang beroperasi sesuai dengan syari’ah. Praktek
mencari keuntungan juga mulai dilakukan dengan cara bagi hasil (mudharabah),
penyertaan modal usaha (musyarakah), membeli dan membayar dengan cicilan (bai’
bi ats-tsaman ajil) dan sewa guna usaha (al-ijarah).
Perkembangan ekonomi di tanah air telah mengalami fase kemajuan yang luar
biasa bahkan telah menguasai seluruh ruang gerak manusia. Hal ini dapat terlihat
dengan ditandai unggulnya ekonomi syari’ah dalam lembaga keuangan yang ada di
negara Indonesia.
Berdirinya lembaga keuangan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan
masyarakat di satu sisi tapi mempunyai kepentingan yang sangat merugikan nasabah
di sisi lain yaitu adanya dominasi penguasaan pada orang-orang tertentu. Ketika bank
konvensional memfungsikan diri sebaga lembaga yang membantu masyarakat lemah
pada dasarnya adalah memberikan kelonggaran di balik sebuah kesusahan yaitu
adanya masa dan beban yang harus ditanggung. Fenomena seperti itu akan terus
saja terjadi selama tidak ada suatu sistem yang dapat mengantarkan pelaku bisnis
untuk meringankan beban yang dihadapi baik mengenai sistem perhitungan laba yang
harus dipenuhi maupun aturan lain yang menuntut adanya sebuah pemaksaan yang
secara tidak langsung mencekik leher bagi para pelaku binis itu sendiri.
Dewasa ini, bersamaan dengan semangat ittiba’ kepada Rasul dengan totalitas
ajarannya, memunculkan semangat untuk meniru sistem “perbankan” pada zaman
Rasulullah dan sahabat Umar. Terlebih dengan adanya kontroversi
mengenai riba dan bunga bank, maka umat Islam mulai melirik untuk mendirikan bank
yang berlandaskan syari’ah.
Dalam konteks Indonesia, keinginan tersebut nampaknya sejalan dengan
kebijakan pemerintah, yang memberikan respon positif terhadap usulan pendirian
bank syari’ah. Dengan disahkannya UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang
mencantumkan kebebasan penentuan imbalan dan sistem keuangan bagi hasil, juga
dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 yang memberikan
batasan tegas bahwa bank diperbolehkan melakukan kegiatan usaha dengan
berdasarkan prinsip bagi hasil. Maka mulailah bermunculan perbankan yang
menggunakan sistem syari’ah, seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI), BNI Syari’ah,
BPRS-BPRS, dan Baitul Mal wat Tamwil (BMT).
Berangkat dari realitas tersebut, Islam menawarakan sebuah solusi dengan
sistem ekonomi yang dapat mengangkat dan meringankan beban bagi para pelaku
bisnis, baik pada tingkat pelaku bisnis pemula maupun pada pelaku bisnis di tingkat
profesional. Landasan ekonomi Islam mempunyai diferensiasi yang sangat jelas
dengan sistem ekonomi modern. Sebab ekonomi Islam mempunyai karakteristik yang
tidak dimiliki oleh ekonomi modern.
Sistem ekonomi Islam mulai bersaing dengan sistem ekonomi konvensional
dengan lahirnya Bank Muamalat Indonesia yang masih berinduk pada Bank
Indonesia. Berinduk berarti bahwa perjalanan dalam menentukan sikap dan kebijakan
yang berlaku di Bank Muamalat Indonesia tidak terlepas dari kontrol dari Bank
Indonesia. Namun dalam menjalankan sebuah sistem yang sesuai dengan syari’at
Islam adalah merupakan jalan sendiri yang tidak ada intervensi dari sistem
konvensional sebagai mana yang berlaku pada Bank Indonesia.
Berawal dari lahirnya Bank Muamalat Indonesia sebagai sentral perekonomian
yang bernuansa Islami, maka bermunculan lembaga-lembaga keuangan yang lain.
Yaitu ditandai dengan tingginya semangat bank konvensional untuk mendirikan
lembaga keuangan Islam yaitu bank syari’ah. Sehingga secara otomatis sistem
perekonomian Islam telah mendapatkan tempat dalam kancah perekonomian di tanah
air Indonesia.
Perkembagan ekonomi Islam tidak hanya berhenti pada tingkatan ekonomi
makro, tetapi telah mulai menyentuh sektor paling bawah yaitu mikro, dengan lahirnya
lembaga mikro keuangan Islam yang berorientasi sebagai lembaga sosial keagamaan
yang kemudian populer dengan istilah BMT.
Munculnya BMT sebagai lembaga mikro keuangan Islam yang bergerak pada
sektor riil masyarakat bawah dan menengah adalah sejalan dengan lahirnya Bank
Muamalat Indonesia (BMI). Karena BMI sendiri secara operasional tidak dapat
menyentuh masyarakat kecil ini, maka BMT menjadi salah satu lembaga mikro
keuangan Islam yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Di samping itu juga
peranan lembaga ekonomi Islam yang berfungsi sebagai lembaga yang dapat
mengantarkan masyarakat yang berada di daerah-daerah untuk terhindar dari sistem
bunga yang diterapkan pada bank konvesional.
Kelahiran BMT sangat menunjang sistem perekonomian pada masyarakat
yang berada di daerah karena di samping sebagai lembaga keuangan Islam, BMT
juga memberikan pengetahuan-pengetahuan agama pada masyarakat yang
tergolong mempunyai pemahaman agama yang rendah. Sehingga fungsi BMT
sebagai lembaga ekonomi dan sosial keagamaan betul-betul terasa dan nyata
hasilnya.
Lahirnya BMT ini di antaranya dilatarbelakangi oleh beberapa alasan sebagai
berikut;

1. Agar masyarakat dapat terhindar dari pengaruh sistem ekonomi kapitalis dan
sosialis yang hanya memberikan keuntungan bagi mereka yang mempunyai
modal banyak. Sehingga ditawarkanlah sebuah sistem ekonomi yang berbasis
syari’ah. Ekonomi syari’ah yang dimaksud adalah suatu sistem yang dibangun
atas dasar adanya nilai etika yang tertanam seperti pelarangan tentang penipuan
dan bentuk kecurangan, adanya hitam di atas putih ketika terjadi transaksi, dan
adanya penanaman kejujuran terhadap semua orang dan lain-lain.
2. Melakukan pembinaan dan pendanaan pada masyarakat menengah ke bawah
secara intensif dan berkelanjutan
3. Agar masyarakat terhindar dari rentenir-rentenir yang memberikan pinjaman
modal dengan sistem bunga yang sangat tidak manusiawi.
4. Agar ada alokasi dana yang merata pada masyarakat, yang fungsinya untuk
menciptakan keadilan sosial.
Realitas menunjukkan, adanya BMT di tingkat daerah sangat membantu
masyarakat dalam rangka pemenuhan kebutuhan ekonomi yang saling
mengutungkan dengan memakai sistem bagi hasil. Di samping itu juga ada bimbingan
yang bersifat pemberian pengajian kepada masyarakat dengan tujuan sebagai sarana
transformatif untuk lebih mengakrabkan diri pada nilai-nilai agama Islam yang
bersentuhan langsung dengan kehidupan sosial masyarakat.
Sebagai lembaga keuangan yang bergerak pada bidang bisnis dan sosial, BMT
harus mempunyai visi yang mengarah pada perwujudan masyarakat sejahtera dan
adil. Walaupun setiap BMT mempunyai visi yang berbeda antara yang satu dengan
yang lainnya, namun arah atau visi utama tersebut harus dijadikan sebagai pijakan.
Pada dataran realitas, dimana BMT berbadan hukum koperasi, visi kesejahteraan dan
keadilan tersebut memang diarahkan pada anggota terlebih dahulu. Namun demikian,
kesejahteraan masyarakat umum juga tidak boleh dikesampingkan.
Dengan acuan tersebut, maka visi BMT dapat dirumuskan secara
kelembagaan masing-masing. Hal ini mengingat lingkungan kerja BMT yang memang
sangat variatif. Sehingga visi yang dibangunnya juga dapat saja berbeda-beda.
Adapun misi yang harus dijadikan sebagai acuan adalah membangun dan
mengembangkan tatanan ekonomi dan masyarakat yang sesuai dengan prinsip
syari’ah. Hal inilah yang membedakan koperasi pada umumnya dengan koperasi
dalam bentuk BMT. Karena pengertian BMT yang mengandung unsur sosial juga,
maka misi sebagaimana di atas juga harus dijadikan patokan utama. Secara defakto,
rumusan redaksional misi antar BMT dapat berbeda-beda namun dengan misi utama
yang sama.
Melihat visi dan misi BMT yang harus diarahkan pada terciptanya masyarakat
sejahtera dan adil sebagaimana di atas, maka tujuan didirikannya suatu BMT harus
relevan dengan hal itu. Selain juga sebagai lembaga berbadan hukum koperasi, BMT
harus diupayakan mempunyai tujuan pemberdayaan ekonomi anggota secara khusus
dan masyarakat luas pada umumnya. Pemberdayaan (empowering) harus menjadi
brand tujuan BMT. Artinya bahwa pemberian modal pinjaman pada anggota maupun
penyimpanannya oleh anggota harus dilakukan sebagai alat pemberdayaan ekonomi
mereka. Pemberdayaan semacam ini dapat diwujudkan oleh BMT dengan cara
pendampingan usaha bagi penerima modal atau dengan kegiatan-keiatan lainnya.
Dengan hadirnya Kepmen K.UKM No. 91 Tahun 2004, maka yang menjadi
tujuan pengembangan KSPS, KJKS, dan UJKS yang merupakan wadah BMT, harus
diarahkan pada;
Peningkatan program pemberdayaan ekonomi, khususnya di kalangan usaha mikro,
kecil, menengah dan koperasi melalui sistem syari’ah,
Pemberian dorongan bagi kehidupan ekonomi syari’ah dalam kegiatan usaha mikro,
kecil, dan menengah khususnya dan ekonomi Indonesia pada umumnya; dan
Peningkatan semangat dan peran serta anggota masyarakat dalam kegiatan Koperasi
Jasa Keuangan Syari;ah
Sebagai lembaga bisnis yang profesional, BMT dituntut untuk lebih
mengembangkan usahanya pada sektor keuangan, yakni simpan pinjam, jasa, dan
jual beli. Usaha ini seperti usaha perbankan yakni menghimpun dana anggota dan
calon anggota (nasabah) serta menyalurkan kepada sektor ekonomi yang halal dan
menguntungkan. Namun demikian, terbuka luas bagi BMT untuk mengembangkan
usahanya pada lahan bisnis yang lebih riil maupun sektor lain yang dilarang dilakukan
oleh lembaga keuangan bank. Karena BMT bukan bank, maka ia tidak tunduk pada
aturan perbankan.
Dengan adanya Kepmen K.UKM No. 91 Tahun 2004 maka ruang lingkup kerja
BMT dapat berbeda-beda tergantung perizinan yang dilakukan. Artinya, jika izin
pendirian BMT dilakukan sebatas di Dinas Koperasi Kabupaten atau Kota, maka
ruang lingkup kerjanya sebatas Kabupaten atau Kota tersebut. Adapun BMT yang
meminta izin usahanya di Dinas Koperasi Propinsi, maka secara otomatis ruang
lingkup kerjanya mencakup satu propinsi tersebut. Adapun bila BMT mendapat ijin
langsung dari menteri, maka wilayah operasionalnya dapt di seluruh wilayah
Indonesia.
Untuk lebih jelas tentang ruang lingkup kerja BMT ini dapat dilihat dalam
Kepmen No. 91 Tahun 2004 pasal 5 bagian a, b, dan c. Pasal 5 bagian a Keputusan
Menteri ini menyatakan bahwa permohonan pengesahan akta pendirian Koperasi
Jasa Keuangan Syari’ah Primer dan Sekunder yang anggotanya berdomisili di dua
atau lebih propinsi, diajukan kepada Menteri c.q. Deputi Bidang Kelembagaan
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, setelah terlebih dahulu mendapatkan
rekomendasi Pejabat pada tingkat kabupaten/kota tempat domisili koperasi yang
bersangkutan dan selanjutnya menteri mengeluarkan surat keputusan pengesahan
akta pendiriannya. Bagian b menyatakan bahwa permohonan pengesahan akta
pendirian Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah baik Jasa Keuangan Syari’ah Primer
maupun Sekunder yang anggotanya berdomisili di beberapa kabupaten dan atau kota
dalam satu propinsi, diajukan kepada instansi yang membidangi koperasi tingkat
propinsi yang membawahi bidang koperasi, dengan terlebih dahulu mendapatkan
rekomendasi Pejabat yang membawahi bidang koperasi pada kabupaten dan atau
kota tempat domisili koperasi yang bersangkutan, selanjutnya Pejabat tingkat propinsi
mengeluarkan surat keputusan pengesahan akta pendirian. Sedangkan bagian c
menyatakan bahwa permohonan pengesahan akta pendirian Koperasi Jasa
Keuangan Syari’ah Primer dan Sekunder yang anggotanya berdomisili dalam satu
wilayah kabupaten dan atau kota diajukan kepada Instansi yang membawahi bidang
koperasi pada kabupaten dan kota setempat dan selanjutnya Pejabat setempat
mengeluarkan surat keputusan pengesahan akta pendiriannya.
Melihat pengertian BMT sebagaimana ide awal lahirnya dan kemudian
pengaturan pemerintah dalam legalitasnya, maka BMT mempunyai peranan sebagai
berikut:

1. Mengumpulkan dana dan menyalurkannya pada anggota maupun


masyarakat luas.
2. Mensejahterakan dan meningkatkan perekonomian anggota secara khusus
dan masyarakat secara umum.
3. Membantu baitul al-maal dalam menyediakan kas untuk alokasi pembiayaan
non komersial atau biasa disebut qardh al-hasan.
4. Menyediakan cadangan pembiayaan macet akibat terjadinya kebangkrutan
usaha nasabah bait at-tamwil yang berstatus al-gharim.
5. Lembaga sosial keagamaan dengan pemberian beasiswa, santunan
kesehatan, sumbangan pembangunan sarana umum, peribadatan dan lain
lain. Di sisi lain hal ini juga dapat membantu bait at-tamwil dalam kegiatan
promosi produk-produk penghimpun dana dan penyaluran kepada
masyarakat.

Walaupun demikian, karena di sisi lain BMT mempunyai misi membangun dan
mengembangkan tatanan perekonomian dan struktur masyarakat yang madani dan
adil, maka dapat dipahami bahwa tujuan dari BMT bukan semata-mata mencari
keuntungan dan penumpukan modal pada segolongan orang kaya saja, tetapi lebih
berorientasi pada pendistribusian laba yang merata dan adil, sesuai dengan prisip
ekonomi Islam. Oleh karena itu, hal-hal yang harus dikedepankan oleh BMT adalah:

1. Orientasi bisnis, mencari laba bersama, pemanfaatan ekonomi paling banyak


untuk anggota dan masyarakat.
2. Walaupun bukan lembaga sosial, tetapi bermanfaat untuk mengefektifkan
pengumpulan dana zakat, infaq, dan shodakoh bagi kesejahteraan orang
banyak.
3. Ditumbuhkan dari bawah berdasarkan peran serta masyarakat di sekitarnya.
4. Menjadi milik bersama masyarakat bawah bersama dengan orang kaya di
sekitar BMT, bukan milik perseorangan atau orang dari luar masyarakat.

Dalam rangka mencapai tujuan dan agar peranannya berjalan dengan


maksimal, BMT berfungsi sebagai lembaga yang mengidentifikasi, memobilisasi,
mengorganisasi, mendorong dan mengembangkan potensi serta kemampuan potensi
ekonomi anggota dan masyarakat daerah kerjanya. Dengan demikian, BMT dituntut
untuk mampu;

1. Meningkatkan kualitas SDM anggota dan masyarakat wilayah kerjanya untuk


menjadi lebih profesional dan Islami sehingga semakin utuh dan tangguh dalam
menghadapi persaingan global.
2. Menggalang dan memobilisasi potensi masyarakat dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya.
3. Menjadi perantara keuangan (fiancial intermediary), antara agniya (kelompok
orang-orang kaya) sebagai shahibul maal (pemilik dana)
dengandu’afa (kelompok masyarakat kelas bawa) sebagai mudharib (pelaksana
usaha), terutama untuk dana-dana sosial seperti zakat, infaq, shadaqah, wakaf,
hibah, dan lainnya.
4. Menjadi perantara keuangan (financial intermediary), antara pemilik dana
(shohibul maal), baik sebagai pemodal maupun penyimpan dengan pengguna
dana (mudharib) untuk mengembangkan usaha yang lebih produktif.
C. Dampak Perkembangan dan Pertumbuhan BMT di Indonesia
1. Membangkitkan usaha mikro di kalangan masyarakat menengah ke
bawah.
2. Membantu masyarakat dalam hal simpan pinjam.
3. Meningkatkan taraf hidup melalui mekanisme kerja sama ekonomi dan
bisnis
4. Dengan adanya BMT maka tidak terjadi penimbunan uang karena uang
terus berputar
5. Memperluas lapangan pekerjaan khususnya didalam sector riil.
D. Kendala
1. BMT masih kurang di kenal oleh masyarakat luas, sehingga jumlah
nasabahnya pun tidak terlalu banyak
2. Kurang promosi terhadap lembaga itu sendiri, maka Kepercayaan
masyarakat terhadap BMT masih kurang
3. Mayoritas orang – orang kota mempunyai rasa gengsi untuk menabung
dalam jumlah kecil
4. minimnya modal yang dimiliki oleh lembaga BMT.[5]
E. Peghimpunan dan Penyaluran Dana BMT
1. Penghimpunan dana
Penghimpunan dana BMT diperoleh melalui simpanan, yaitu dana yang
dipercayakan oleh nasabah kepada BMT untuk disalurkan kesektor produktif dalam
bentukk pembiayaan. Simpanan ini dapat berbentuk tabungan wadi’ah, simpanan
mdharabah jangka pendek dan jangka panjang.
2. Penyaluran dana
Penyaluran dana BMT kepada nasabah terdiri atas dua jenis:
a) Pembiayaan dengan sistem bagi hasil
b) Jual beli dengan pembayaran ditangguhkan
Pembiayaan merupakan penyaluran dana BMT kepada pihak ketiga berdasarkan
kesepakatan pembiayaaan antara BMT dengan pihak lain dengan jangka waktu
tertentu dan nisbah bagi hasil yang disepakati.
Pembiayaan dibedakan menjadi pembiayaan musharabah dan musyarakah.
Penyaluran dana dalam bentuk jual beli dengan pembayaran ditangguhkan adalah
penjualan barang dari BMT kepada nasabah, dengan harga ditetapkan sebesar biaya
perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati untuk keuntungan
BMT
F. Problematika BMT
Dengan segala kekurangan, kelebihan, keunggulan dari BMT, problematika
tetap saja ada, antara lain :
1. Modal
Modal yang relatif kecil menjadi permasalahan yang setiap saat ada pada BMT.
Didukung dengan perputaran modal yang belum tentu kembali 100 % untuk BMT.
Diperlukan adanya suntikan dana yang cukup baik dari pemerintah atau pihak-pihak
yang tertarik untuk berinvestasi di BMT.
2. Kredit Macet
Lambatnya angsuran yang diterima oleh BMT menjadi alasan yang klasik bagi
BMT. Persoalan ini sudah menjadi santapan tiap terjadi akad-akad pembiayaan
walaupun tidak semua peminjam selalu bermasalah.
3. Likuiditas
Dengan modal yang relatif kecil dan diharuskan terjadi perputaran untuk
memperoleh laba, di samping dana pihak ketiga juga ikut diputar agar dana yang
disimpan memperoleh bagi hasil, maka BMT akan mengalami permasalahan likuiditas
jika tidak dapat memenuhi permintaan uang oleh nasabah.
4. Pangsa Pasar
Pasar yang digarap oleh BMT (Dana Mentari) adalah terbatas lingkup
kabupaten, sehingga jika diambil sebuah analisis, di kabupaten Banyumas tidak
terdapat industri-industri yang besar sehingga kurang mendukung adanya BMT
sebagai intermediasi. Selain itu, pangsa pasar di Purwokerto sudah terbatas karena
saat ini banyak bank yang sudah masuk ke dalam kegiatan ekonomi skala kecil.
G. Peran BMT Sebagai Lembaga Keuangan Syariah Terhadap Perekonomian
Masyarakat.
Hernandi de Soto dalam bukunya The Mystery of Capital (2001)
menggambarkan betapa besarnya sektor ekonomi informal dalam memainkan
perannya dalam aktivitas ekonomi di negara berkembang. Ia juga mensinyalir
keterpurukan ekonomi di negara berkembang disebabkan ketidakmampuan untuk
menumbuhkan lembaga permodalan bagi masyarakatnya yang mayoritas pengusaha
kecil.
Indonesia misalnya, adalah negara berkembang yang jumlah pengusaha
kecilnya mencapai 39.04 juta jiwa. Namun para pengusaha kecil tersebut tidak
memiliki akses yang signifikan ke lembaga perbankan, sebagai lembaga permodalan.
Lembaga-lembaga perbankan belum bisa menjangkau kebutuhan para pengusaha
kecil, terutama di daerah dan pedesaan.
Belum adanya lembaga keuangan yang menjangkau daerah perdesaan (sektor
pertanian dan sektor informal) secara memadai yang mampu memberikan alternatif
pelayanan (produk jasa) simpan-pinjam yang kompatibel dengan kondisi sosial
kultural serta ‘kebutuhan’ ekonomi masyarakat desa menyebabkan konsep BMT
(Baitul Mal wat Tamwil) dapat ‘dihadirkan’ di daerah kabupaten kota dan bahkan di
kecamatan dan perdesaan.
Konsep BMT sebagai lembaga keuangan mikro syari’ah, merupakan konsep
pengelolaan dana (simpan-pinjam) di tingkat komunitas yang sebenarnya searah
dengan konsep otonomi daerah yang bertumpu pada pengelolaan sumber daya di
tingkat pemerintahan (administrasi) terendah yaitu desa.
Mengutip formulasi Bambang Ismawan (1994) tentang lembaga keuangan
mikro, maka setidaknya terdapat beberapa hal yang diperankan BMT dalam otonomi
daerah :
1. Mendukung pemerataan pertumbuhan
Pelayanan BMT secara luas dan efektif sehingga akan terlayani berbagai
kelompok usaha mikro. Perkembangan usaha mikro yang kemudian berubah menjadi
usaha kecil, hal ini akan memfasilitasi pemerataan pertumbuhan.
2. Mengatasi kesenjangan kota dan desa
Akibat jangkauan BMT yang luas, bisa meliputi desa dan kota, hal ini
merupakan terobosan pembangunan. Harus diakui, pembangunan selama ini acap
kali kurang adil pada masyarakat desa, sebab lebih condong mengembangkan kota.
Salah satu indikatornya adalah dari derasnya arus urbanisasi dan pesatnya
perkembangan keuangan mikro yang berkemampuan menjangkau desa, tentu saja
akan mengurangi kesenjangan desa dan kota.
3. Mengatasi kesenjangan usaha besar dan usaha kecil
Sektor yang selama ini mendapat akses dan kemudahan dalam
mengembangkan diri adalah usaha besar, akibatnya timbul jurang yang lebar antara
perkembangan usaha besar dan semakin tak terkejar oleh usaha kecil. Dengan
dukungan pembiayaan usaha kecil, tentunya hal ini akan mengurangi kesenjangan
yang terjadi.
4. Mengurangi capital outflow
Perkembangan kota-kota besar yang sedemikian pesat, semakin
meninggalkan pertumbuhan daerah-daerah pedesan. Lembaga keuangan mikro
syari’ah BMT lebih berkemampuan memfasilitasi agar tabungan dari masyarakat desa
atau daerah terkait, dapat memanfaatkan kembali tabungan yang telah mereka
kumpulkan.
5. Meningkatkan kemandirian daerah
Dengan adanya faktor-faktor produksi (capital, tanah, SDM) yang merupakan
kekuatan dimiliki oleh daerah, dimanfaatkan dan didayagunakan sepenuhnya untuk
memanfaatkan berbagai peluang yang ada, maka ketergantungan terhadap investasi
dari luar daerah (maupun luar negeri) akan terkurangi, serta investasi ekonomi rakyat,
dapat berkembang pesat.
Adanya pemerataan pertumbuhan, terjadinya keseimbangan pertumbuhan
kota dan desa, berkurangnya kesenjangan usaha besar-usaha kecil, tentunya hal ini
akan mengurangi kemungkinan ketidakstabilan daerah. Kecemburuan sosial dengan
sendirinya akan terkurangi, sebab adanya kesejahteraan yang merata akan
menimbulkan multiplier effect maupun interdependensi antar satu bagian dengan
bagian yang lain.
Era otonomi daerah merupakan peluang untuk memberdayakan ekonomi
rakyat dengan memanfaatkan lembaga keuangan mikro syariah BMT. Melalui
keuangan mikro syariah, kebangkitan ekonomi rakyat (sekaligus ekonomi nasional)
maupun pengurangan kemiskinan, akan dilakukan oleh rakyat sendiri. Memang telah
tiba saatnya, masyarakat menemukan jalannya sendiri untuk mengatasi persoalan
yang mereka hadapi.
Metodologi

Metode yang digunakan pada pembuatan artikel untuk KKNM ini yaitu observasi, wawancara,
partisipasi aktif dan studi literatur.
 Observasi
Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang mempunyai ciri yaitu
spesifik bila dibandingkan dengan teknik yang lain yaitu wawancara dari kuesioner.
Karena observasi tidak selalu dengan obyek Manusia tetapi juga obyek-obyek alam
yang lain. Sutrisno Hadi, dalam (Sugiyono, 2012) mengemukakan bahwa observasi
merupakan suatu proses yang kompleks suatu proses yang tersusun dari berbagai
proses biologis dan psikologis. Dua diantara yang terpenting adalah proses-proses
pengalaman dan ingatan.
 Partisipasi Aktif
Partisipasi aktif adalah mengikuti secara aktif atau langsung suatu kegiatan
(Arikunto 1998). Dalam Praktek Kerja Lapang ini partisipasi aktif yang akan dilakukan
meliputi kegiatan Monitoring, sampling dan enumerasi.
 Studi Literatur
Studi literatur yaitu pengumpulan data berdasarkan referensi buku-buku atau
literatur yang ada yang berhubungan dengan komposisi hasil tangkapan ikan tuna
segar.
 Data yang diperoleh terdiri dari :
- Data Primer = data yang diproleh dari hasil pengamatan wawancara tanya
jawab dan diskusi secara langsung.
- Data Sekunder = Data yang diperoleh dengan mencari informasi melalui studi
pustaka literatur maupun media internet yang berhubungan dengan metode
enumerasi.
Pembahasan

Baitul mal wa tamwil adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan


dengan prinsip bagi hasil, menumbuhkemgangkan bisnis usaha mikro dan kecil
dalam rangka mengangkat martabat dan serta membela kepentingan kaum fakir
miskin. Secara konseptual, BMT memiliki dua fungsi Baitul Tamwil (Bait = Rumah, At
Tamwil = Pengembangan Harta). Jadi BMT adalah balai usaha mandiri terpadu yang
isinya berintikan bayt al-mal wa al-tamwil dengan kegiatan mengembangkan usaha-
usaha proktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegitan ekonomi pengusaha
bawah dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang
pembiayaan kegiatan

Sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah, BMT BMT mempuyai dua peran
sekaligus. Pertama sebagai lembaga yang terbentuk atas inisiatif dari bawah, BMT
melakukan fungsinya sebagai mobilisator potensi ekonomi masyarakat untuk
dikembangkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan anggota. Dalam hal ini
BMT berkedudukan sebagai organisasi bisnis. Kedua adalah fungsi BMT sebagai
organisasi yang juga berperan sosial, yaitu menjadi perantara antara agniya sebagai
shahibul maal (orang yang mempuyai harta yang berlebihan) dengan dua’fa (orang
yang kekurangan harta) sebagai mudharib (pengguna dana) terutama untuk
pengembangan usaha produktif.

Dari pengertian dan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa BMT merupakan
organisasi bisnis yang juga berperan sebagai sosial. Sebagai lembaga sosial, Baitul
Maal memiliki kesamaan fungsi dan perannya dengan Lembaga Amil Zakat ( LAZ )
atau Badan Amil Zakat milik pemerintah, oleh karenanya Baitul Maal ini harus
didorong untuk mampu berperan secara profesional menjadi LAZ yang mapan. Fungsi
tersebut meliputi pengumpulan zakat, infak, sedekah, wakaf dan dana-dana sosial
lainnya serta upaya penyalurannya kepada golongan yang paling berhak menurut
ketentuaan asnabiah.

Sebagai lembaga bisnis, BMT memfokuskan pada usahanya di sektor


keuangan, yakni simpan-pinjam dengan pola syari’ah. Pengelolaan ini hampir mirip
dengan usaha perbankan yaitu menghimpaun dana dari anggota – masyarakat
(kegiatan Funding) dan menyalurkannya kepada sektor ekonomi yang halal dan
menguntungkan (kegiatan Finding). Namun BMT tidak sama dengan Bank, BMT
merupakan salah satu jenis lembaga keuangan bukan bank yang bergerak dalam skala
mikro sebagaimana koperasi simpan pinjam (KSP). Adapun bank umum merupakan
lembaga keuangan makro sedangkan bank perkreditan rakyat merupakan lembaga
keuangan menengah. Dari sekian banyak lembaga keuangan mikro seperti koperasi, BKD
dan lainnya, BMT merupakan lembaga keuangan mikro yang berlandaskan syari’ah. Selain
itu, BMT juga dapat dikatakan sebagai suatu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
bergerak di bidang keuangan. Ini disebabkan karena BMT tidak hanya bergerak dalam
pengelolaan modal (uang) saja, tetapi BMT juga bergerak dalam
pengumpulan zakat, infaq, dan shadaqah (ZIS). Ini merupakan sebuah konsekwensi dari
namanya itu sendiri yaitu bait al-mal wat tamwil yang merupakan gabungan dari kata baitul
maal dan bait at-tamwil. Secara singkat, Bait al-mal merupakan lembaga pengumpulan
dana masyarakat yang disalurkan tanpa tujuan profit. Sedangkan bait at-
tamwil merupakan lembaga pengumpulan dana (uang) guna disalurkan dengan
orientasi profit dan komersial.
Perbedaan BMT dengan bank umum syari’ah (BUS) atau juga bank perkreditan
rakyat syari’ah (BPRS) adalah dalam bidang pendampingan dan dukungan. Berkaitan
dengan dukungan, BUS dan BPRS terikat dengan peraturan pemerintah di bawah
Departemen Keuangan atau juga peraturan Bank Indonesia (BI). Sedangkan BMT
dengan badan hukum koperasi, secara otomatis di bawah pembinaan Departemen
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Dengan demikian, peraturan yang
mengikat BMT juga dari departemen ini. Sampai saat ini, selain peraturan tentang
koperasi dengan segala bentuk usahanya, BMT diatur secara khusus dengan
Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No.
91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi
Jasa Keuangan Syari’ah. Dengan keputusan ini, segala sesuatu yang terkait dengan
pendirian dan pengawasan BMT berada di bawah Departemen Koperasi dan Usaha
Kecil dan Mengengah.
Dari perspektif hukum di Indonesia, sampai saat ini BMT menggunakan badan
hukum yang paling memungkinkan adalah dalam bentuk Koperasi baik serba usaha
(KSU) atau simpan-pinjam Syariah (KSPS). Dari wacana para praktisi BMT dan
keuangan Syariah sangat mungkin dibentuk perundangan tersendiri bagi BMT,
mengingat operasional BMT tidak sama persis dengan koperasi, semisal LKM (
Lembaga Keuangan Mikro ) Syariah atau lainnya.

Baitul Maal Wat Tamwil adalah salah satu lembaga keuangan mikro7 yang memiliki
angka pertumbuhan sangat pesat dari tahun ke tahun, sebagaimana disampaikan
oleh Joelarso, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan BMT Indonesia,
“hingga akhir 2012 ini, terdapat 3.900 BMT. Sebanyak 206 di antaranya bergabung
dalam asosiasi BMT seluruh Indonesia. Pada tahun 2005, seluruh aset 96 BMT yang
menjadi anggota asosiasi mencapai Rp 364 miliar. Pada 2006, aset tumbuh menjadi
Rp 458 miliar, dan hingga akhir 2011 jumlah aset mencapai Rp 3,6 triliun dari 206
BMT yang bergabung di asosiasi”.8 Dalam perkembangannya, di tahun 2013, angka
pertumbuhan BMT sudah mencapai lebih dari 5500 BMT yang tersebar di seluruh
Indonesia.9 Sebagai bagian dari LKM yang terus bertumbuh10 , sebagaimana data
yang disampaikan oleh Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank
Otoritas Jasa Keuangan Firdaus Djaelani, yang memperkirakan bahwa saat ini jumlah
LKM di Indonesia sekitar 567 ribu sampai 600 ribu unit.11 Ini menunjukkan bahwa
lembaga keuangan mikro adalah lembaga keuangan yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat kecil, khususnya di daerah-daerah untuk menunjang dan mendukung
pertumbuhan ekonomi kerakyatan, terutama masyarakat berpenghasilan rendah yang
selama ini tidak terjangkau oleh layanan perbankan. Akan tetapi, jika dilihat dari sisi
kualitasnya, maka masih banyak BMT yang memiliki kinerja ( keuangan, sumber daya
manusia, maupun aspek lain kelembagaan) yang kurang baik. Jika keadaan ini
dibiarkan, maka akan menjadi ancaman berat bagi lembaga tersebut.

Tentunya untuk mengoptimalkan operasional BMT dibutuhkan tenaga SDM yang


bekerja sesuai dengan konsep dasar yang dimiliki oleh BMT. Bagi karyawannya
bekerja di BMT tidak hanya akan mendapatkan keuntungan secara duniawi tetapi juga
sebagai ibadah dan dakwah dalam melaksanakan syariat ekonomi Islam. Terlebih
BMT adalah lembaga bisnis dan sosial yang banyak membantu masyarakat sehingga
disini tidak hanya dibutuhkan pekerja yang profesional tetapi juga bekerja secara
ikhlas, memiliki kejujuran, rasa keadilan ,moralitas dan keagamaan yang baik,
sehingga hasil dari kerja tersebut memberikan manfaat bagi orang banyak, karena
sebaik-baiknya manusia adalah yang memberi manfaat disekelilingnya.

Beberapa karakter yang dimiliki oleh BMT menjadikannya sebagai lembaga keuangan
mikro yang ideal untuk pemberdayaan usaha mikro sekaligus membantu perluasan
lapangan kerja bagi masyarakat ekonomi kecil dan menengah. Karakter-karakter
tersebut antara lain sebagai berikut :

Pertama. BMT dalam menyalurkan dana (Pembiayaan) bersifat luwes tidak mesti
bankable, dengan demikian penyaluran dana dapat menyentuh para pengusah mikro
yang tidak terlayani akses permodalan oleh perbankan. Keluwesan disini tetap
memperhatikan kelayakan dan kesehatan kredit yang diberikan menurut parameter
BMT, karena banyak pengusaha mikro yang sebenarnya layak mendapatkan bantuan
kredit tetapi tidak bisa terlayani oleh perbankan disebabkan berbenturan dengan
aturan-aturan yang mengikat dalam dunia perbankan,misalnya kelayakan jaminan
kredit, memiliki ijin usaha dan persyaratan-persyaratan lainnya yang harus dipenuhi.
Disinilah peran BMT agar para pengusaha mikro tersebut tetap mendapatkan akses
permodalan, jangan sampai karena tidak mendapatkan kredit di Bank mereka terjebak
oleh pinjaman-pinjaman yang diberikan para Rentenir dengan biaya bunga yang
sangat tinggi. Sehingga BMT dapat menjadi jembatan penyelamat antara dunia
perbankan dan para rentenir yang bunga pinjamannya sangat mencekik para
pengusaha mikro.

Kedua. Ciri yang paling melekat pada BMT adalah pelayanan jemput bola, para
dai/marketing BMT terjun langsung kelapangan menjemput calon nasabah baik
nasabah penabung maupun nasabah pembiayaan. Kebanyakan BMT-BMT di
Indonesia memiliki kantor yang terletak di pasar-pasar induk dengan demikian lebih
mudah pemasarannya dalam menjemput bola para pedagang kecil yang berjualan di
pasar. Proses jemput bola ini akan berdampak baik bagi BMT, yakni akan cenderung
memiliki para nasabah yang sehat dari sisi pembiayaan (kredit), karena dengan
menjemput bola tersebut para dai/marketing BMT dapat melihat langsung kondisi
usaha si pedagang, layak atau tidaknya calon nasabah tersebut mendapatkan kredit
pembiayaan dari BMT, tentunya juga dilakukan analisis kelayakan kredit yang lebih
mendalam berkaitan dengan usaha yang dibiayai.

Ketiga. BMT adalah Lembaga keuangan yang menerapkan Pola Syariah. Berbeda
dengan lembaga keuangan atau perbankan dengan sistem konvensional yang
berbasis bunga. Pembiayaan atau penyaluran dana oleh BMT kepada nasabah
menggunakan akad Bagi hasil(mudharabah) dan atau Jual Beli(murabahah),
sehingga transaksi ini tidak akan mendhalimi kedua belah pihak baik BMT maupun
nasabah debitur. Akad bagi hasil akan sama-sama memberikan keuntungan kedua
belah pihak karena transaksi ini merupakan transaksi mitra atau kerjasama, bagi hasil
yang diberikan tidak tetap tetapi berfluktuatif bisa lebih besar atau lebih kecil
berdasarkan penghasilan yang diperoleh nasabah. Sedangkan akad jual beli akan
memberikan keamanan bagi kedua belah pihak walaupun suku bunga naik atau turun
tidak akan mempengaruhi nilai pembiayaan, karena nilai pembiayaan ditentukan
berdasarkan harga beli dan harga jual yang telah disepakati. Nasabah juga tidak
dibebankan denda dan finalti bunga yang berganda, sehingga nasabah lebih mudah
dan tenang dalam membayar kewajibannya.

Keempat. Walaupun BMT adalah lembaga keuangan syariah yang mengikuti prinsip-
prinsip Ekonomi Islam, namun dalam transaksinya tidak hanya melayani khusus umat
Islam saja tetapi juga dapat dilakukan kepada siapa pun termasuk dengan orang-
orang non muslim. Karena dalam Ekonomi Islam muamalah itu membawa misi
Rahmatan lil’Alamin, bahwa membantu dan memberikan atas dasar kasih sayang itu
dilakukan kepada seluruh umat manusia bukan hanya umat Islam.

Kelima. BMT adalah lembaga keuangan non Bank, bidang usahanya tidak hanya pada
jasa keuangan tetapi juga dapat mengembangkan bidang usaha lainnya, seperti
misalnya Toko Waserda, Agen Travel, Toko Baju Muslim dan usaha-usaha lainnya
yang dianggap memberikan keuntungan secara halal

Keenam. Seperti yang diuraikan diatas BMT didalamnya mempunyai dua


kelembagaan yang berbeda yaitu Bidang Tamwil untuk orientasi profit ekonomi
produktif dan bidang Maal untuk orientasi sosial. Dengan memiliki bidang Maal yang
sumber dananya berasal dari zakat, infak dan sedekah dapat digunakan BMT untuk
menciptakan entrepreneur-entrepreneur baru berasal dari masyarakat yang tidak
mampu (tidak memiliki modal dan agunan untuk pinjaman modal). Karena dana maal
dapat diproduktifkan kepada mereka sebagai pinjaman modal usaha yang tidak
membebankan biaya bunga atau bagi hasil , tanpa harus memiliki agunan untuk usaha
yang dibangun . Sehingga ketika mereka telah berhasil mengelola usahanya dan telah
memiliki asset yang dapat digunakan sebagai jaminan, status orang-orang ini telah
terangkat dari orang-orang yang tidak mampu, tidak punya penghasilan menjadi
pengusaha mikro yang berkecukupan, minimal mereka mempunyai penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dana Maal ini terus digulirkan dan digulirkan kepada
yang lain, maka semakin banyak yang terbantu semakin banyak juga mengurangi
jumlah penganguran dan masyarakat miskin.

Dari keenam karakter di atas tidaklah naif dikatakan, bahwa BMT adalah Pahlawan
Ekonomi Rakyat, karena geraknya untuk rakyat khususnya masyarakat ekonomi kecil
dan menengah dimana jumlahnya sangat dominan di negeri ini.

Karena karakternya BMT dapat menjadi lembaga altenatif untuk program


pengentasan kemiskinan dan menjadi pilihan sebagai Lembaga Keuangan Mikro
Syariah yang Ideal, untuk itu kehadirannya perlu mendapat sambutan dan dukungan
dari pihak manapun, Pemerintah, Lembaga-lembaga yang memberikan Permodalan
pada keuangan mikro, kalangan Investor, para Ulama, dan masyarakat umumnya.

Você também pode gostar