Você está na página 1de 5

AKALASIA

Kemampuan 2: Mendiagnosis dan merujuk

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan
dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

Pendahuluan

Akalasia adalah gangguan motorik yang mengenai segmen otot polos di bawah
esofagus, akibat dari degenerasi neuron pleksus myenterik intramural sehingga
mengakibatkan gangguan relaksasi LES dan hilangnya peristaltik, yang menimbulkan
disfagia, nyeri dada dan regurgitasi. Akalasia menyebabkan obstruksi fungsional di
esofagus, dan berkurangnya peristaltik esofagus, sehingga mengganggu pengosongan
esofagus. Obstruksi fungsional ini bisa diatasi bila tekanan hidrostatik makanan melebihi
tekanan LES.

Akalasia terbagi menjadi 2 yaitu primer dan sekunder. Akalasia primer tidak
diketahui dengan jelas penyebabnya, tetapi diduga disebabkan oleh genetic, infeksi virus,
penyakit autoimun, dan degenerasi neuron.

Epidemiologi

Akalasia tergolong penyakit yang jarang, prevalensinya kurang dari 1/10.000


penduduk, insidensnya bervariasi antara 0,03-1/100.000 penduduk pertahun. Laki-laki
dan perempuan seimbang, dapat muncul pada segala usia, namun insidens tertinggi
dijumpai pada dekade ke-7. Diagnosis akalasia seringkali terlambat karena misdiagnosis,
dan pasien didiagnosis GERD atau penyakit lain dengan keluhan disfagia dan dispepsia.
Pengobatan lebih dini dilaporkan dapat menurunkan peningkatan risiko karsinoma
esofagus diantara penderita akalasia.
Patogenesis

Gambar 1 Pataomekanisme akalasia

Sumber : Silbernagl, Stefan. Lang, Florian. Teks dan atlas berwarna patofisiologi. Jakarta: EGC; 2003.2

Akalasia menyebabkan neuron myenterik pada pleksus myenterikus di esophagus


berkurang. Pada stadium awal yang berkurang yaitu neuron inhibitori yang mengandung
VIP (vasoactive intestinal peptide) dan NOS (nitric oxide synthase). Pada stadium lanjut
neuron eksitatori yang mengandung asetilkolin juga menurun.

Pleksus mientericus yang mengalami degenerasi pada akalasia primer


mengakibatkan neuron inhibitori tidak berfungsi dengan baik. Sedangkan fungsi dari
neuron inhibitori untuk koordinasi gerakan relaksasi dan peristalktik dari LES. Penyebab
degenerasi neuron ini belum jelas, teteapi diduga karena infeksi virus, faktor genetic, dan
autoimun. Proses inflamasi secara perlahan-lahan merusak neuron inhibitori yang
mengandung VIP dan NOS. Akalasia juga dapat menimbulkan manifestasi pada gaster
bagian proksimal yaitu pengosongan cairan lebih cepat dan berkurangnya sekresi asam
lambung.

Manifestasi Klinis

Disfagia merupakan keluhan utama akalasia, baik terhadap makanan cair maupun
padat, di sertai regurgitasi, nyeri dada, dan tidak bisa sendawa. Umumnya penderita
akalasia perlu waktu lebih lama untuk makan dibanding orang sekitamya. Disfagia
biasanya merupakan keluhan yang paling pertama muncul, mula-mula hanya terhadap
makanan cair. Namun pada tahap lanjut kesulitan menelan terjadi baik terhadap makanan
cair maupun padat. Keluhan ini bertambah berat bila disertai stres emosi atau bila
penderita terdesak untuk makan dengan cepat.

Regurgitasi terjadi akibat retensi sejumlah besar saliva beserta makanan di lumen
esofagus, biasanya setelah berbaring ter-lentang. Regurgitasi ini dapat terjadi segera
setelah makan atau dapat juga beberapa jam kemudian, dan makanan keluar dalam bentuk
belum dicema.

Heartburn pada akalasia kemungkinan terjadi karena kandungan asam dari


makanan, atau fermentasi bakteri dari retensi makanan di esofagus memproduksi asam
laktat. Cegukan (hiccups) juga dapat terjadi, akibat distensi esofagus dan stimulasi
nervus vagal aferen.

Diagnosis

Akalasia dapat ditegakkan berdasarkan keluhan klinis. Pemeriksaan fisik pada


akalasia tidak khas. Manifestasi dari gangguan menelan menyebabkan penurunan berat
badan. Pada pemeriksaan rontgen dada, dapat ditemukan hilangnya udara lambung dan
kadang dijumpai masa tubular di mediastinum dekat aorta. Adanya air fluid level di
mediastinum pada posisi tegak menunjukkan retensi makanan dan cairan di esophagus.
Sedangkan oemeriksaan penunjang untk akalasia adalah manometri esofagus, esofagus
barium, dan endoskopi.
Endoskopi kurang baik dalam mengevaluasi peristaltic esofagus dan tekanan
LES, dan juga tidak sensitive dan tidak spesifik untuk mennetukan hilangnya gerakan
peristaltic dan meninigkatnya tekanan LES pada akalasia. Tetapi endoskopi bermanfat
untuk membedakan akalasia dari pseudoakalasia. Pada pemeriksaan endoskopi ditemukan
dilatasi esofagus dan retensi sisa makanan, tetapi hanya ditemukan pada akalasia berat.

Manomatri esfogasu adalah baku emas dalm menegakkan diagnosis akalasia.


Pemeriksaan pada penderita akalasia dapat ditemukan aperistaltik dan gangguan relaksasi
LES. Pada proses menenlan normal, LES relaksasi sehingga makanan turun ke lambung,
tetapi pada akalasia, relaksasi ini menurun atau bahkan hilang sehingga makanan akan
sukar masuk ke lambung.

Tatalaksana

Masalah utama dari akalasi yaitu disfungsi LES, sehingga tindakan terapi
ditujukan untuk menurunkan tekanan LES sehingga diharapkan bolus makanan dapat
melalui LES menuju lambung. Penurunan tekanan LES dapat dicapai dengan obat-obatan
relaksan otot polos, dilatasi, atau pembedahan. Tujuan dari penggunaan relaksan otot
polos untuk mengurangi keluhan. Terapi medikamentosa yang pernah dilakkan pada
akalasia yaitu golongan penyekat kalsium, nitrat, dan inhibitor fosfodieterasi yang
bertujuan menurunkan tekanan sfingter.

Penyekat kalsium seperti nifedipin, dosis 10-20 mg sublingual sebelum makan.


Terapi medikamentosa pada jangka panjang kurang menuaskan karena keluhan tidak
sepenuhnya hilang tetapi sering muncul efek samping sakit kepala atau hipotensi
sehingga terapi ini hanya diberikan sementara.

Terapi operatif yang sering dipilih pada akalasia adalah Myotomi Heller tetapi
belumbisa mengembalikan hilangnya inhibitori neuron sehingga pasien sering mengalami
kekambuhan.
Daftar pustaka :

1. Rani, A Aziz. Buku ajar gastroenterology. Jakarta: Interna Publishing

2. Silbernagl, Stefan. Lang, Florian. Teks dan atlas berwarna patofisiologi.


Jakarta: EGC; 2003

Você também pode gostar