Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Oleh :
D1114024
SURAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumussan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan makalah ini yakni “Bagaimana Reformasi Birokrasi
yang terjadi dalam pelayanan perpajakan?”.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Birokrasi
Birokrasi merupakan lembaga yang memiliki kemampuan besar dalam
menggerakkan organisasi, karena birokrasi ditata secara formal untuk melahirkan
tindakan rasional dalam sebuah organisasi. Birokrasi merupakan sarana dan alat dalam
menjalankan kegiatan pemerintahan di era masyarakat yang semakin modern dan
kompleks, namun masalah yang dihadapi masyarakat adalah bagaimana memperoleh dan
melaksanakan pengawasan agar birokrasi dapat bekerja demi kepentingan rakyat banyak.
Menurut Max Weber, sosiolog ternama asal Jerman, dalam karyanya ”The Theory
of Economy and Social Organization”, birokrasi adalah suatu bentuk organisasi yang
ditandai oleh hierarki, spesialisasi peranan, dan tingkat kompetensi yang tinggi
ditunjukan oleh para pejabat yang terlatih untuk mengisi peran-peran tersebut. Secara
konsep menurut Blau, birokrasi adalah organisasi yang ditujukan untuk memaksimumkan
efisiensi dalam administrasi.
Birokrasi pemerintah sekarang adalah warisan dari masa pemerintahan
sebelumnya. Masyarakat setiap waktu selalu menuntut pelayanan public (public service)
yang berkualitas dari birokrat, meskipun tuntutan tidak sesuai dengan harapan karena
secara empiris pelayanan publik yang terjadi selama ini masih berbelit-belit, lambat,
mahal, dan melelahkan.
B. Reformasi Birokrasi
Menurut Denhardt dan J.D Denhardt (153, 2004) mengungkapkan bahwa terdapat
tiga perspektif dalam administrasi publik dalam melakukan perubahan secara praktik dan
studi administrasi publik yang diterapkan diberbagai Negara, seperti Selandia Baru,
Australia, Inggris, dan Amerika Serikat. Guna meningkatkan efektivitas organisasi atau
terciptanya administrasi yang sehat dan menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional.
Perspektif tersebut antara lain old public administration (OPA), new public
management (NPM), dan new public service (NPS). Perspektif pertama (OPA) yang
merupakan perspektif klasik berkembang sejak tulisan Woodrow Wilson tahun 1887 yang
berjudul “the study of administration”. Ada dua gagasan utama dalam perspektif ini.
Gagasan pertama yaitu menyangkut pemisahan politik dan administrasi. Administrasi publik
tidak secara aktif dan ekstensif terlibat dalam pembentukan kebijakan karena tugas utamanya
adalah implementasi kebijakan dan penyediaan layanan publik.
Merujuk pada, administrasi publik menampilkan netralitas dan profesionalitas.
Administrasi publik diawasi oleh dan bertanggung jawab kepada pejabat politik yang
dipilih. Gagasan kedua menyangkut nilai yang dikedepankan oleh perspektif ini, bahwa
administrasi publik seharusnya berusaha sekeras mungkin untuk mencapai efisiensi
dalam pelaksanaan tugasnya. Efisiensi ini dapat dicapai melalui struktur organisasi yang
terpadu dan bersifat hierarkis.
Ciri-ciri paradigma Old Public Management (OPA) menurut Denhardt dan J.D
Denhardt yaitu:
a. Pelayanan publik (public service) berlandaskan pada moral yang baik.
b. Hubungan paternalistik yang baik antara pihak yang memerintah
dengan anak buahnya.
c. Aparat yang memerintah memberi tauladan kepada pihak yang rakyat.
d. Menekankan kepada loyalitas bawahan yang mampu membantu
penguasa.
e. Pembatasan campur tangan pemerintah dalam urusan-urusan local dan
pribadi.
f. Mengutamakan prosedur birokrasi formal dalam manajemen dan
pelayanan publik (public service).
g. Dikotomi antara politik dan administrasi.
h. Pentingnya efisiensi dalam organisasi publik.
Perspektif kedua adalah new public management (NPM), teori ini berusaha
menggunakan pendekatan sektor swasta dan pendekatan bisnis dalam sektor publik.
Perspektif ini menekankan penggunaan mekanisme dan terminologi pasar sehingga
memandang hubungan antara badan-badan publik dengan pelanggannya sebagai layaknya
transaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli. Peran Manajer publik yaitu
“mengarahkan bukannya menggayuh” yang bermakna beban pelayanan publik tidak
dijalankan sendiri tetapi sebisa mungkin didorong untuk dijalankan oleh pihak lain
melalui mekanisme pasar.
Ciri-ciri paradigm New Public Management (NPM) antara lain:
a. Menggunakan sektor “private. dan pendekatan bisnis dalam sektor
publik (ru government like a business).
b. Penerapan prinsip “good governance” (tata pemerintahan yang baik).
c. Kegiatan-kegiatan yang tidak bisa dilakukan secara efisien dan efektif
oleh pemerintah ditangani oleh sektor swasta.
d. Dalam sistem manajemen dilakukan sistem pelayanan sipil, yaitu
manajer diperkenankan menegosiasikan kontrak mereka dengan para
pekerja.
e. Fokus sistem anggaran pada kinerja dan hasil.
f. Manajemen berorientasi pada hasil (managing for result).
g. Menggagas konsep “citizens charter”
h. Mengenalkan konsep Reinventing Government.
i. Menciptakan sebuah pemerintah yang “work better and costs less”.
Perspektif ketiga new public service (NPS), teori ini mengedepankan posisi
masyarakat sebagai warga negara dalam konteks governance. Perspektif ini membawa
upaya demokratisasi administrasi publik. Pelayanan kepada masyarakat merupakan tugas
utama bagi administrator publik sekaligus sebagai fasilitator bagi perumusan kepentingan
publik dan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Perspektif ini juga mengakui
bahkan menuntut adanya partisipasi masyarakat dalam berbagai jenjang pemerintahan.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, partisipasi masyarakat merupakan unsur penting
dalam perspektif New Public Service.
Di akhir era New Public Management (NPM), diiringi era New Public Service
perkembangan paradigma Administrasi Negara ke Administrasi Publik mendorong
penyesuaian keadaan Negara Indonesia. Untuk mendukung Administrasi Negara yang
proaktif terhadap pertumbuhan sektor ekonomi terutama dalam bidang pelayanan publik
(public service) yang merupakan domain Administrasi Negara, Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 yang
menyatakan bahwa asas pelayanan publik meliputi transparansi, akuntabilitas,
kondisional, partisipatif, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban.
Reformasi birokrasi merupakan perubahn (transformasi) yang terencana, yang
berfokus pada perubahan kelembagaan yang berdampak pada perubahan ketatalaksanaan
dan kultur birokrasi. Reformasi birokrasi di Indonesia dimaknai sebagai media untuk
melakukan pendefinisian ulang peran pemerintah. Reformasi birokrasi difokuskan untuk
menghasilkan profil kelembagaan (organisasi) yang efektif, ketatalaksanaan (business
process) yang ringkas, dan sumber daya manusia yang professional. Dari sisi
kelembagaan (organisasi), reformasi birokrasi diharapkan menghasilkan kelembagaan
(struktur organisasi) yang ramping, tidak banyak jenjang hirarkis dan struktur organisasi
lebih dominan diisi pemegang jabatan profesi atau fungsional daripada jabatan struktural.
Reformasi birokrasi bertujuan untuk menciptakan birokrasi pemerintah yang
profesional dengan karakteristik adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dan bebas
KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-
nilai dasar dan kode etik aparatur negara. Reformasi Birokrasi harus dilakukan secara
sungguh-sungguh, konsisten, melembaga, bertahap, dan berkelanjutan. Dengan demikian,
diharapkan akan terbentuk birokrasi yang mampu mendukung dan mempercepat
keberhasilan pembangunan di berbagai bidang.
Sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 17/2007 tentang rencana pembangunan
jangka panjang nasional tahun 2005-2055, bahwa pembangunan aparatur Negara
dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur
Negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat dan di daerah agar
mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang lainnya. Sedangkan dalam
mencapai sasaran reformasi birokrasi, Kementerian Agama melakukan penataan
organisasi atau kelembagaan demi terwujudnya organisasi yang tepat fungsi dan tepat
ukuran, terciptanya birokrasi yang memiliki budaya kerja dengan integritas dan kinerja
yang tinggi, terwujudnya sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien,
terukur, dan sesuai dengan prinsip-prinsip good government, tersusunnya regulasi yang
lebih tertib, tidak tumpang tindih, dan kondusif, serta terbangunnya SDM yang
kompeten, professional dan produktif. Dalam standar pelayanan juga akan menjelaskan
teknologi atau perangkat apa yang dipergunakan dalam penyediaan pelayanan, hal ini
dapat mengatasi persoalan sarana dan prasarana kerja yang merupakan salah satu
persoalan yang harus dihadapi dalam penyediaan layanan. Sebagaimana diketahui
fasilitas kerja yang minim, sering menjadi alasan pegawai untuk memperlambat proses
kerjanya. Adanya standarisasi dalam sarana dan prasarana kerja sekaligus juga
mempermudah dalam pengadaan fasilitas kerja yang memang benar-benar dibutuhkan.
C. Pelayanan Publik
PEMBAHASAN
Banyak orang di negeri ini yang menginginkan profesi sebagai Pegawai Negeri
Sipil (PNS). Hampir setiap tahun pendaftaran CPNS di tiap-tiap daerah selalu dibanjiri
ribuan peserta. Bahkan saking banyaknya pendaftar, mereka berusaha mencari segala
cara meski itu salah atau melanggar aturan atau hukum agar bisa lolos dalam seleksi
CPNS.
PNS yang pada awalnya melakukan praktik curang, maka kebanyakan dalam
perjalanan kariernya juga menyalahgunakan tugas, pangkat dan jabatannya. Banyak
praktik korupsi dilakukan mulai dari PNS rendahan sampai PNS yang duduk di jabatan
tertentu.
Selain itu, budaya atau lingkungan kerja di suatu instansi atau lembaga
pemerintahan yang tidak dilalui dengan semangat atau etos kerja yang tinggi, membentuk
prilaku para pegawai menjadi apatis, pragmatis dan pasif. Mereka praktis tidak memiliki
daya pikir untuk memajukan instansinya. Apalagi hal ini sudah mengakar dan
membudaya dari tahun ke tahun.
Maka tidak heran jika PNS yang selama ini terkenal dengan sendiko dawuh, tanpa
inovasi, bekerja hanya jika ada perintah atasan, santai, bisa keluar seenak hati, melayani
dengan setengah hati, mencari “ceperan” dan lain sebagainya seharusnya sudah bukan
zamannya lagi untuk saat ini.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai salah satu instansi yang dahulunya
terkenal korup, mulai tahun 2002 sudah mereformasi diri untuk lebih baik. Direktorat
Jenderal Pajak sudah melakukan reformasi birokrasi. Reformasi Birokrasi dilakukan
antara lain dengan menambah jam kerja pegawai yang semula 7 jam kerja menjadi 9 jam
kerja.
Selain itu kedisiplinan pegawai juga lebih diperketat dengan cara mengganti
absen manual menjadi absen fingerprint dan deteksi wajah sehingga akan sangat sulit
untuk dimanipulasi.
Disamping itu untuk pegawai yang akan keluar di saat jam kerja harus mengisi
buku izin keluar dengan diketahui dan diparaf oleh pejabat setingkat diatasnya serta harus
mencantumkan waktu pukul berapa pegawai tersebut akan kembali. Kamera CCTV juga
dipasang di setiap sudut ruangan yang berfungsi sebagai pemantau kegiatan pegawai di
ruangan. Server kamera diletakkan di meja pimpinan sehingga dengan mudah pimpinan
mengetahui kegiatan pegawai-pegawainya.
Dalam melayani Wajib Pajak, DJP menerapkan layanan unggulan dan lebih
membuka diri untuk menerima saran dan kritik dari Wajib Pajak. Saran dan kritik
tersebut dapat disampaikan dengan menelpon ke layanan aduan kring pajak atau bisa juga
mengisi kotak saran yang diletakkan di ruangan TPT.
Bagaimana reformasi birokrasi di DJP dan apa yang dilakukannya memang belum
sepenuhnya diketahui masyarakat. Sebagai contoh, masih banyak masyarakat yang
beranggapan bahwa sangat mudah memperoleh “ceperan” di Direktorat Jenderal Pajak.
Anggapan seperti itu sebenarnya tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena
masyarakat trauma dengan pelayanan beberapa instansi lain dimana PNS di dalamnya
yang masih suka mencari “ceperan”. Step terakhir dari reformasi birokrasi adalah
pengawasan. Baik pengawasan internal maupun pengawasan eksternal.
Untuk pengawasan internal dimulai dari pengawasan unit sendiri yang dilakukan
Unit Kepatuhan Internal (UKI) di kantor masing-masing. Tugas dari Unit Kepatuhan
Internal selain membantu pimpinan unit kerja dengan pemantauannya, juga membantu
teman-teman di unitnya untuk lebih meningkatkan kedisiplinan.
Pengawasan internal setingkat lebih tinggi dari UKI ialah pengawasan oleh
direktorat tersendiri tetapi masih di bawah naungan Direktorat Jenderal Pajak. Direktorat
tersebut adalah Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Apartur
(KITSDA). Beberapa tugas dari KITSDA antara lain menjaga kedisiplinan pegawai,
memberikan sanksi untuk pegawai yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan SOP
dan pegawai yang melanggar kode etik.
Setingkat lebih tinggi dari direktorat KITSDA adalah Inspektorat Jenderal
(ITJEN). Posisi ITJEN dibawah naungan Kementerian Keuangan dan di luar DJP.
Tugasnya adalah melaksanakan penugasan dari Menteri Keuangan untuk melakukan
pengawasan di lingkungan Kementerian Keuangan melalui audit, reviu, evaluasi,
pemantauan dan pengawasan pegawai.
Selain pengawas internal, ada juga pengawas eksternal yang merupakan
langganan DJP. Salah satunya yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Setiap tahun
BPK selalu melakukan audit keuangan. Berapa anggaran yang telah digunakan, apakah
anggaran tersebut telah sesuai dengan fungsinya, serta apakah ada penyelewengan
anggaran dan lain sebagainya.
Lain halnya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam pengawasan
DJP, KPK lebih menitikberatkan pada penyelidikan dan penyidikan oknum-oknum yang
berindikasi melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Selama ini KPK sudah
mengungkap dan menangkap beberapa oknum DJP yang melakukan penyelewengan.
Bukan korupsi tepatnya tetapi lebih pada penyalahgunaan wewenang.
Dengan adanya beberapa penangkapan ini, maka bisa disimpulkan bahwa DJP
semakin transparan dan semakin bersemangat untuk berbenah. Dan dengan adanya
oknum yang tertangkap tersebut, menandakan bahwa adanya kerjasama yang baik antara
pengawas internal terutama KITSDA dengan pengawas eksternal seperti KPK.
Selain instansi disebut di atas, pengawas lain juga masih ada, di antaranya pihak
media, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan masyarakat sendiri. Jika ingin
dibandingkan dengan instansi lain, dengan sangat yakin DJP akan bangga mengatakan,
saya sudah mereformasi diri. Jika dibandingkan dengan instansi lain, DJP akan bangga
mengatakan, saya sudah tidak menerima ceperan yang bukan hak saya. Jika dibandingkan
dengan instansi lain, DJP akan bangga mengatakan saya bekerja secara professional dan
penuh integritas. Jika dibandingkan dengan instansi lain, DJP akan bangga mengatakan
bahwa saya memberikan pelayanan dengan sepenuh hati.
Usaha mereformasi diri yang dilakukan DJP hendaknya diimbangi dengan
dukungan dari stakeholder. Stakeholder di sini yang dimaksud adalah masyarakat dan
instansi atau kementerian lain yang ada di Indonesia. Dengan adanya kolaborasi ini maka
akan menjadikan Indonesia dapat berevolusi dari Negara berkembang menjadi Negara
maju. Evolusi ini tidak lain diawali dengan terciptanya masyarakat yang sadar pajak dan
amanahnya pemanfaatan pajak oleh instansi terkait.
Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) memiliki tugas mengumpulkan
penerimaan negara dari sektor pajak. Pada tahun 2012 tugas yang diamanatkan kepada
Ditjen Pajak sebesar Rp 885 triliun, dan meningkat sebesar 16% untuk tahun 2013 atau
sebesar Rp 1.031 triliun. Peningkatan penerimaan pajak yang siginifikan itu diharapkan
dapat memperbesar kemampuan membangun, memperluas ruang gerak pendanaan bagi
berbagai program peningkatan kesejahteraan rakyat, dan meningkatkan kemandirian
bangsa. Namun demikian, mampukah Ditjen Pajak melaksanakan tugas mengumpulkan
penerimaan negara tersebut?
Tugas mengumpulkan penerimaan negara yang diamanatkan kepada Ditjen Pajak
membutuhkan manajemenyang baik karena tugasnya yang sangat kompleks. Dalam hal
ini Ditjen Pajak membutuhkan restrukturisasi atau reformasi yang memungkinkan
strategi, struktur organisasi, sistem, dan skill sumber daya manusianya dapat digerakan
dengan cepat, sehingga memiliki kemampuan yang tanggap terhadap perubahan.
Kualitas tata kelola sebuah organisasi tergantung pada seberapa besar struktur
organisasinya memadai untuk mengemban tugas. Dengan kata lain, struktur
organisasi harus mencerminkan tujuan utama organisasi dan pada saat bersamaan juga
harus fleksibel menanggapi perubahan strategi organisasi. Sejak dilaksanakan reformasi
birokrasi di Ditjen Pajak pada tahun 2002, telah dilakukan penyempurnaan struktur
organisasi Ditjen Pajak dengan menerapkan organisasi berbasis fungsi pada Kantor
Pelayanan Pajak (KPP), yaitu seperti fungsi pelayanan, pengawasan dan konsultasi, serta
fungsi pemeriksaan agar tugas pengumpulan penerimaan pajak menjadi lebih efektif.
KPP ini dikelola oleh Kantor Wilayah (Kanwil) yang tersebar di setiap provinsi di
seluruh Indonesia. Kemudian seiring dengan dinamika yang terjadi pada dunia usaha,
Ditjen Pajak juga membentuk KPP Khusus untuk Wajib Pajak tertentu. Unit kerja ini
menangani Wajib Pajak Besar Nasional, Wajib Pajak Besar Wilayah, Penanaman Modal
Asing, Badan dan Orang Asing, Perusahaan Masuk Bursa, Badan Usaha Milik Negara,
Perusahaan Tambang, serta Perusahaan Minyak Bumi dan Gas. Untuk menjangkau
wilayah Indonesia yang begitu luas, Ditjen Pajak juga memiliki Kantor Penyuluhan,
Pelayanan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang tersebar di berbagai wilayah
pelosok Indonesia. Secara keseluruhan, saat ini Ditjen Pajak memiliki 31 Kanwil, 331
KPP dan 207 KP2KP.
Ditjen Pajak telah melakukan pembenahan internal organisasi, yaitu dengan
menerapkan sistem pengukuran kinerja, penegakan disiplin dan pemberian remunerasi.
Ditjen Pajak juga membangun sistem yang bisa mendeteksi secara dini dan cepat
berbagai bentuk penyimpangan, yaitu dengan membangun unit pengawasan internal,
mengembangkan whistleblowing system, serta mengembangkan budaya korektif dimana
sesama pegawai saling mengoreksi apabila ada rekannya yang melakukan penyimpangan.
Dalam pembenahan internal organisasi, Ditjen Pajak juga telah
melakukan kerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengefektifkan dan
memaksimalkan fungsi pengawasan internal.
Ditjen Pajak bertekad secara sungguh-sungguh dalam gerakan reformasi birokrasi
yang digalakkannya. Sejak tahun 2002, penerapan hukuman disiplin kepada pegawai
yang menyalahgunakan wewenang terus diberlakukan dengan tegas. Dalam lima tahun
terakhir, jumlah pegawai yang terkena sanksi disiplin meningkat signifikan. Pada tahun
2007, jumlah pegawai yang terkena sanksi disiplin sebanyak 196 orang. Angka itu
bertambah pada tahun 2008 menjadi 406 orang. Pada tahun 2009 dan 2010 berturut-turut
Ditjen Pajak memberikan sanksi disiplin kepada 516 dan 657 pegawai. Sedangkan sejak
awal tahun 2012 ini, sudah ada 39 pegawai yang dijatuhkan sanksi.
Reformasi birokrasi adalah tugas besar yang tidak dapat ditanggung oleh Ditjen
Pajak sendiri, namun dibutuhkan dukungan dan partisipasi seluruh masyarakat.
Reformasi birokrasi merupakan proses panjang dan terus-menerus karena harus
mengubah cara pandang dan budaya kerja. Reformasi birokrasi yang bertujuan
menjadikan Ditjen Pajak sebagai institusi terpercaya dalam memungut pajak tidak akan
sukses tanpa diimbangi dengan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak. Dengan
sistem perpajakan yang menganut sistem self assessment, kesadaran Wajib Pajak untuk
memenuhi kewajiban perpajakannya secara sukarela adalah kunci sukses dari
pelaksanaan sistem perpajakan nasional
Reformasi birokrasi terbukti sudah membuahkan hasil. Tren peningkatan
penerimaan pajak adalah buktinya. Realisasi penerimaan pajak yang pada tahun 2002
hanya sebesar Rp 176 triliun, pada tahun 2007 meningkat menjadi Rp 571 triliun dan
kemudian pada tahun 2011 menjadi Rp 742 triliun. Hasil reformasi birokrasi pada
akhirnya juga akan dinikmati oleh rakyat berupa peningkatan kesejahteraan dan
perbaikan layanan umum. Mari dukung Ditjen Pajak dalam mengemban tugas
mengumpulkan pajak negara. Bayar dan laporkan pajak Anda dengan jujur dan benar
sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.
BAB IV
KESIMPULAN SARAN
A. Kesimpulan
Reformasi birokrasi adalah tugas besar yang tidak dapat ditanggung oleh Ditjen
Pajak sendiri, namun dibutuhkan dukungan dan partisipasi seluruh masyarakat.
Reformasi birokrasi merupakan proses panjang dan terus-menerus karena harus
mengubah cara pandang dan budaya kerja. Reformasi birokrasi yang bertujuan
menjadikan Ditjen Pajak sebagai institusi terpercaya dalam memungut pajak tidak
akan sukses tanpa diimbangi dengan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak.
Dengan sistem perpajakan yang menganut sistem self assessment, kesadaran Wajib
Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya secara sukarela adalah kunci sukses
dari pelaksanaan sistem perpajakan nasional
Reformasi birokrasi terbukti sudah membuahkan hasil. Tren peningkatan
penerimaan pajak adalah buktinya. Realisasi penerimaan pajak yang pada tahun 2002
hanya sebesar Rp 176 triliun, pada tahun 2007 meningkat menjadi Rp 571 triliun dan
kemudian pada tahun 2011 menjadi Rp 742 triliun. Hasil reformasi birokrasi pada
akhirnya juga akan dinikmati oleh rakyat berupa peningkatan kesejahteraan dan
perbaikan layanan umum. Mari dukung Ditjen Pajak dalam mengemban tugas
mengumpulkan pajak negara. Bayar dan laporkan pajak Anda dengan jujur dan benar
sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.
B. Saran
Tugas mengumpulkan penerimaan negara yang diamanatkan kepada Ditjen Pajak
membutuhkan manajemenyang baik karena tugasnya yang sangat kompleks. Dalam
hal ini Ditjen Pajak membutuhkan restrukturisasi atau reformasi yang memungkinkan
strategi, struktur organisasi, sistem, dan skill sumber daya manusianya dapat
digerakan dengan cepat, sehingga memiliki kemampuan yang tanggap terhadap
perubahan
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Keberlanjutan Reformasi Birokrasi oleh Riris Katharina. Vol. IV, No.
05/I/P3DI/Maret/2012
Jurnal Reformasi Birokrasi dan Pelayanan Publik Oleh : Komarudin. Jurnal
Sekretariat Negara RI | No. 20 | Tahun 2011
Cyrus Sihaloho. 2002. Modul Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Jakarta :
RajaGrafindo Persada.
Erly Suandy. 2002. Perpajakan. Jakarta : Salemba Empat
Sinambela, Lijan Poltak. 2008. Reformasi Pelayanan Publik Teori Kebijakan dan
Implementasi. Jakarta : Bumi Aksara.
Moenir, H.A.S., 2000. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta : Bumi
Aksara.
Ratminto dan Atik Septiwinarsi. 2005. Manajemn Pelayanan. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.