Você está na página 1de 22

ADMINISTRASI PEMBANGUNAN

Reformasi Birokrasi Yang Terjadi Dalam Pelayanan Perpajakan

Oleh :

TITIES WICAKSONO PAMUJI WIBOWO

D1114024

PROGRAM S1 ADMINITRASI NEGARA NON REG

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2015
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Birokrasi, reformasi birokrasi, dan penciptaan pelayanan publik berkualitas sudah


menjadi komitmen pemerintah yang dituangkan dalam UU 17/2007 tentang RPJPN 2005-
2025, Perpres 5/2010 tentang RPJMN 2020-2014, Perpres 29/2010 tentang RKP 2011,
Perpres Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi (GDRB)
2010-2025.
Pandangan awam selalu menyamakan negara dengan birokrasi, padahal secara
teoritis negara harus dibedakan dengan birokrasi. Negara, menurut Larson, merupakan
sebuah konsep inklusif yang meliputi semua aspek pembuatan kebijakan dan pelaksanaan
sanksi hukum, sementara birokrasi adalah agen yang melaksanakan kebijakan negara
dalam sebuah masyarakat politik (dalam Budiman, 1996:84). Negara, yang merupakan
abstraksi sekumpulan nilai universal, memang sering mempersulit seseorang ketika
diminta menunjukkan wujud materiil negara. Kesulitan itu kemudian mendorong kita
untuk mereduksi negara ke dalam wujud birokrasi. Birokrasi memang merupakan
pantulan negara yang secara riil dirasakan semua orang. Namun dalam kenyataan, sulit
untuk menarik garis tegas antara birokrasi dan negara, dan kurang tepat pula untuk
memposisikan birokrasi sekadar organ pelaksana kebijakan negara semata.
Birokrasi adalah perangkat/institusi, pegawai/SDM dan sistem penyelenggaraan
pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai negeri berdasarkan peraturan perundang-
undangan. Reformasi adalah proses penyempurnaan, perbaikan, pengubahan, dan
perombakan birokrasi dari keadaan kurang baik menjadi lebih baik. Reformasi birokrasi
merupakan upaya sistematis, terpadu dan komprehensif yang ditujukan untuk
mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance), termasuk tata kelola
pemerintahan yang baik (good public governance), dan tata kelola perusahaan yang baik
(goodcorporate governance).
Reformasi birokrasi terjadi pada beberapa instansi pelayanan publik di Indonesia
Misalnya pada instansi perpajakan. Terjadi perombakan besar yang terjadi di instansi
perpajakan, menyusul terjadinya masalah dan kasus seperti penggelapan pajak. Sejumlah
kasus penyelewengan dan korupsi oleh pegawai pajak seperti Gayus Tambunan serta
dugaan kasus korupsi oleh pegawai pajak lainnya, Dhana Widyatmika, telah
mengakibatkan munculnya persepsi negatif publik terhadap jalannya reformasi birokrasi
di perpajakan dan reformasi birokrasi pada umumnya. Menurut hasil penelitian Kompas,
90% responden meragukan aparat perpajakan saat ini bersih dari tindak korupsi. Selain
itu, hasil penelitian Kompas juga menyoroti buruknya kinerja birokrasi negara di jajaran
kementerian maupun pegawai di BUMN. Proporsi terbesar responden (88,8%) menyoroti
buruknya kinerja birokrasi negara di bidang hukum, yakni kepolisian, kejaksaan, dan
kehakiman. Sementara itu 75% responden nilai memadai dalam laporan evaluasi
akuntabilitas kinerja pemerintah.
Persepsi negatif sebagaimana dikemukakan di atas jika dibenturkan pada
kebijakan reformasi birokrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah seolah-olah terlihat
bahwa belum ada korelasi positif antara reformasi birokrasi dengan upaya pemberantasan
korupsi. Menjadi pertanyaan, apakah program reformasi birokrasi masih relevan
dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga atau apakah reformasi birokrasi telah gagal
dilaksanakan? Pertanyaan tersebut menjadi relevan untuk dijawab oleh para pembuat
kebijakan.

B. Rumussan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan makalah ini yakni “Bagaimana Reformasi Birokrasi
yang terjadi dalam pelayanan perpajakan?”.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Birokrasi
Birokrasi merupakan lembaga yang memiliki kemampuan besar dalam
menggerakkan organisasi, karena birokrasi ditata secara formal untuk melahirkan
tindakan rasional dalam sebuah organisasi. Birokrasi merupakan sarana dan alat dalam
menjalankan kegiatan pemerintahan di era masyarakat yang semakin modern dan
kompleks, namun masalah yang dihadapi masyarakat adalah bagaimana memperoleh dan
melaksanakan pengawasan agar birokrasi dapat bekerja demi kepentingan rakyat banyak.
Menurut Max Weber, sosiolog ternama asal Jerman, dalam karyanya ”The Theory
of Economy and Social Organization”, birokrasi adalah suatu bentuk organisasi yang
ditandai oleh hierarki, spesialisasi peranan, dan tingkat kompetensi yang tinggi
ditunjukan oleh para pejabat yang terlatih untuk mengisi peran-peran tersebut. Secara
konsep menurut Blau, birokrasi adalah organisasi yang ditujukan untuk memaksimumkan
efisiensi dalam administrasi.
Birokrasi pemerintah sekarang adalah warisan dari masa pemerintahan
sebelumnya. Masyarakat setiap waktu selalu menuntut pelayanan public (public service)
yang berkualitas dari birokrat, meskipun tuntutan tidak sesuai dengan harapan karena
secara empiris pelayanan publik yang terjadi selama ini masih berbelit-belit, lambat,
mahal, dan melelahkan.

B. Reformasi Birokrasi
Menurut Denhardt dan J.D Denhardt (153, 2004) mengungkapkan bahwa terdapat
tiga perspektif dalam administrasi publik dalam melakukan perubahan secara praktik dan
studi administrasi publik yang diterapkan diberbagai Negara, seperti Selandia Baru,
Australia, Inggris, dan Amerika Serikat. Guna meningkatkan efektivitas organisasi atau
terciptanya administrasi yang sehat dan menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional.
Perspektif tersebut antara lain old public administration (OPA), new public
management (NPM), dan new public service (NPS). Perspektif pertama (OPA) yang
merupakan perspektif klasik berkembang sejak tulisan Woodrow Wilson tahun 1887 yang
berjudul “the study of administration”. Ada dua gagasan utama dalam perspektif ini.
Gagasan pertama yaitu menyangkut pemisahan politik dan administrasi. Administrasi publik
tidak secara aktif dan ekstensif terlibat dalam pembentukan kebijakan karena tugas utamanya
adalah implementasi kebijakan dan penyediaan layanan publik.
Merujuk pada, administrasi publik menampilkan netralitas dan profesionalitas.
Administrasi publik diawasi oleh dan bertanggung jawab kepada pejabat politik yang
dipilih. Gagasan kedua menyangkut nilai yang dikedepankan oleh perspektif ini, bahwa
administrasi publik seharusnya berusaha sekeras mungkin untuk mencapai efisiensi
dalam pelaksanaan tugasnya. Efisiensi ini dapat dicapai melalui struktur organisasi yang
terpadu dan bersifat hierarkis.
Ciri-ciri paradigma Old Public Management (OPA) menurut Denhardt dan J.D
Denhardt yaitu:
a. Pelayanan publik (public service) berlandaskan pada moral yang baik.
b. Hubungan paternalistik yang baik antara pihak yang memerintah
dengan anak buahnya.
c. Aparat yang memerintah memberi tauladan kepada pihak yang rakyat.
d. Menekankan kepada loyalitas bawahan yang mampu membantu
penguasa.
e. Pembatasan campur tangan pemerintah dalam urusan-urusan local dan
pribadi.
f. Mengutamakan prosedur birokrasi formal dalam manajemen dan
pelayanan publik (public service).
g. Dikotomi antara politik dan administrasi.
h. Pentingnya efisiensi dalam organisasi publik.
Perspektif kedua adalah new public management (NPM), teori ini berusaha
menggunakan pendekatan sektor swasta dan pendekatan bisnis dalam sektor publik.
Perspektif ini menekankan penggunaan mekanisme dan terminologi pasar sehingga
memandang hubungan antara badan-badan publik dengan pelanggannya sebagai layaknya
transaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli. Peran Manajer publik yaitu
“mengarahkan bukannya menggayuh” yang bermakna beban pelayanan publik tidak
dijalankan sendiri tetapi sebisa mungkin didorong untuk dijalankan oleh pihak lain
melalui mekanisme pasar.
Ciri-ciri paradigm New Public Management (NPM) antara lain:
a. Menggunakan sektor “private. dan pendekatan bisnis dalam sektor
publik (ru government like a business).
b. Penerapan prinsip “good governance” (tata pemerintahan yang baik).
c. Kegiatan-kegiatan yang tidak bisa dilakukan secara efisien dan efektif
oleh pemerintah ditangani oleh sektor swasta.
d. Dalam sistem manajemen dilakukan sistem pelayanan sipil, yaitu
manajer diperkenankan menegosiasikan kontrak mereka dengan para
pekerja.
e. Fokus sistem anggaran pada kinerja dan hasil.
f. Manajemen berorientasi pada hasil (managing for result).
g. Menggagas konsep “citizens charter”
h. Mengenalkan konsep Reinventing Government.
i. Menciptakan sebuah pemerintah yang “work better and costs less”.

Perspektif ketiga new public service (NPS), teori ini mengedepankan posisi
masyarakat sebagai warga negara dalam konteks governance. Perspektif ini membawa
upaya demokratisasi administrasi publik. Pelayanan kepada masyarakat merupakan tugas
utama bagi administrator publik sekaligus sebagai fasilitator bagi perumusan kepentingan
publik dan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Perspektif ini juga mengakui
bahkan menuntut adanya partisipasi masyarakat dalam berbagai jenjang pemerintahan.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, partisipasi masyarakat merupakan unsur penting
dalam perspektif New Public Service.
Di akhir era New Public Management (NPM), diiringi era New Public Service
perkembangan paradigma Administrasi Negara ke Administrasi Publik mendorong
penyesuaian keadaan Negara Indonesia. Untuk mendukung Administrasi Negara yang
proaktif terhadap pertumbuhan sektor ekonomi terutama dalam bidang pelayanan publik
(public service) yang merupakan domain Administrasi Negara, Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 yang
menyatakan bahwa asas pelayanan publik meliputi transparansi, akuntabilitas,
kondisional, partisipatif, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban.
Reformasi birokrasi merupakan perubahn (transformasi) yang terencana, yang
berfokus pada perubahan kelembagaan yang berdampak pada perubahan ketatalaksanaan
dan kultur birokrasi. Reformasi birokrasi di Indonesia dimaknai sebagai media untuk
melakukan pendefinisian ulang peran pemerintah. Reformasi birokrasi difokuskan untuk
menghasilkan profil kelembagaan (organisasi) yang efektif, ketatalaksanaan (business
process) yang ringkas, dan sumber daya manusia yang professional. Dari sisi
kelembagaan (organisasi), reformasi birokrasi diharapkan menghasilkan kelembagaan
(struktur organisasi) yang ramping, tidak banyak jenjang hirarkis dan struktur organisasi
lebih dominan diisi pemegang jabatan profesi atau fungsional daripada jabatan struktural.
Reformasi birokrasi bertujuan untuk menciptakan birokrasi pemerintah yang
profesional dengan karakteristik adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dan bebas
KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-
nilai dasar dan kode etik aparatur negara. Reformasi Birokrasi harus dilakukan secara
sungguh-sungguh, konsisten, melembaga, bertahap, dan berkelanjutan. Dengan demikian,
diharapkan akan terbentuk birokrasi yang mampu mendukung dan mempercepat
keberhasilan pembangunan di berbagai bidang.
Sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 17/2007 tentang rencana pembangunan
jangka panjang nasional tahun 2005-2055, bahwa pembangunan aparatur Negara
dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur
Negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat dan di daerah agar
mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang lainnya. Sedangkan dalam
mencapai sasaran reformasi birokrasi, Kementerian Agama melakukan penataan
organisasi atau kelembagaan demi terwujudnya organisasi yang tepat fungsi dan tepat
ukuran, terciptanya birokrasi yang memiliki budaya kerja dengan integritas dan kinerja
yang tinggi, terwujudnya sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien,
terukur, dan sesuai dengan prinsip-prinsip good government, tersusunnya regulasi yang
lebih tertib, tidak tumpang tindih, dan kondusif, serta terbangunnya SDM yang
kompeten, professional dan produktif. Dalam standar pelayanan juga akan menjelaskan
teknologi atau perangkat apa yang dipergunakan dalam penyediaan pelayanan, hal ini
dapat mengatasi persoalan sarana dan prasarana kerja yang merupakan salah satu
persoalan yang harus dihadapi dalam penyediaan layanan. Sebagaimana diketahui
fasilitas kerja yang minim, sering menjadi alasan pegawai untuk memperlambat proses
kerjanya. Adanya standarisasi dalam sarana dan prasarana kerja sekaligus juga
mempermudah dalam pengadaan fasilitas kerja yang memang benar-benar dibutuhkan.

C. Pelayanan Publik

Sinambela (1992), pada dasarnya setiap manusia dalam menjalani kehidupannya


membutuhkan pelayanan sehingga dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat
dipisahkan dan melekat erat di dalam kehidupan manusia (dalam Sinambela, 2008).
Moenir (2000) mendefinisikan pelayanan sebagai
“Proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara
langsung”.
Sugiarto (1999) memberikan definisi pelayanan sebagai:
“Suatu tindakan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan orang
lain (konsumen, pelanggan, tamu, klien, pasien, penumpang, dan lain-lain)
yang tingkat pemuasannya hanya dapat dirasakan oleh orang yang
melayani maupun dilayani”.
Pelayanan dijelaskan oleh Ratminto (2005) dengan mengutip pendapat Ivancevich
dan Gronroos. Ivancevich (1997) menjelaskan “pelayanan adalah produk-produk yang
tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang melibatkan usaha-usaha manusia dan
menggunakan peralatan” . Gronroos (1990) menjelaskan pelayanan sebagai berikut:
“Pelayanan adalah suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat
tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi akibat adanya interaksi antara
konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan
pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah konsumen/
pelanggan”.
Istilah pelayanan sering disebut juga dengan istilah jasa. Kottler, et al. (1990)
mendefinisikan jasa sebagai: “Setiap tindakan atau perbuatan yang ditawarkan oleh suatu
pihak lain yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak
menghasilkan kepemilikan sesuatu. Walau begitu, produksi jasa bisa berhubungan
dengan produksi fisik maupun tidak” (dalam Tjiptono, 1997).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pelayanan merupakan
suatu aktivitas yang melibatkan usaha manusia dengan atau tanpa menggunakan peralatan
dan bersifat tidak kasat mata. Pelayanan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan orang
lain. Pelayanan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pelayanan publik. Sinambela
(2008) mengatakan pelayanan publik merupakan sebuah “bentuk pemenuhan keinginan
dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara”. Kurniawan (2005)
mendefinisikan pelayanan publik sebagai:
“Pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang
mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok
dan tata cara yang telah ditetapkan (dalam Sinambela, 2008)”.
Santosa (2008) menjelaskan pelayanan publik sebagai suatu pemberian jasa yang
dilakukan oleh pemerintah, pihak swasta atas nama pemerintah, maupun pihak swasta
kepada masyarakat dengan atau tanpa pembayaran. Pelayanan publik bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan dan atau kepentingan masyarakat.
Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik menjelaskan bahwa:
“Pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam
rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang,
jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara
pelayanan publik”.
Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa penyelenggara pelayanan publik merupakan
institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk
berdasarkan undang-undang dan badan hukum lain. Penyelenggara pelayanan dibentuk
dengan tujuan untuk melaksanakan kegiatan pelayanan publik.
Sesuai dengan UU tersebut untuk mewujudkan pelayanan publik yang layak,
penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi asas-asas pelayanan publik, yaitu meliputi:
a. kepentingan umum;
b. kepastian hukum;
c. kesamaan hak;
d. keseimbangan hak dan kewajiban;
e. keprofesionalan;
f. partisipatif;
g. persarnaan perlakuan/ tidak diskriminatif;
h. keterbukaan;
i. akuntabilitas;
j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
k. ketepatan waktu; dan
l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Selain itu setiap penyelenggara pelayanan harus memiliki standar pelayanan dan
dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan (Ratminto,
2005).
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik standar pelayanan sekurang-kurangnya meliputi:
a. dasar hukum;
b. persyaratan;
c. sistem, mekanisme, dan prosedur;
d. jangka waktu penyelesaian;
e. biaya/ tarif;
f. produk pelayanan;
g. sarana, prasarana, dan/ atau fasilitas;
h. kompetensi pelaksana;
i. pengawasan internal;
j. penanganan pengaduan, saran, dan masukan;
k. jumlah pelaksana;
l. jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan
sesuai dengan standar pelayanan;
m. jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen
untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keraguraguan;
dan
n. evaluasi kinerja pelaksana.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik


merupakan aktivitas/kegiatan berupa pemberian layanan administrasi, barang, dan atau
jasa. Pelayanan publik dilaksanakan oleh institusi penyelenggara negara, korporasi,
lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang dan badan hukum lain.
Pelayanan publik diselenggarakan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
dan melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada dasarnya tujuan akhir yang hendak dicapai dalam suatu pelayanan adalah
untuk memberikan kepuasan kepada pengguna layanan. Sempara (2000) menyatakan
bahwa pelayanan merupakan rangkaian kegiatan yang menyediakan kepuasan pelanggan
(dalam Sinambela, 2008).
Demikian halnya dengan pelayanan publik, secara teorotis pada dasarnya tujuan
dari pelayanan publik adalah memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu
penyelenggara pelayanan dalam hal ini pemerintah dituntut untuk memberikan kualitas
pelayanan prima (Sinambela, 2008). Kualitas pelayanan merupakan tolak ukur yang
penting atas kinerja organisasi sektor publik karena keluaran utama dari organisasi publik
adalah pelayanan, seperti yang dikemukakan oleh Arawati, Baker & Kandampully (1997,
dalam Ilhaamie, 2010) mengatakan bahwa: “Service quality is an important dimension of
organizational performance in the public sector as the main output of public organizations
is services”Kualitas suatu pelayanan publik juga terkait dengan harapan pengguna jasa.
Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Nitecki dan Franklin (1994, dalam Kachoka dan
Hoskins, 2009) sebagai berikut: “Service quality in terms of reducing the gap between
customer’s expectation of excellent service and their perceptions of the service
delivered” Artinya, kualitas pelayanan merupakan hal yang berkenaan dengan
pengurangan suatu kesenjangan yaitu antara harapan konsumen akan pelayanan yang
unggul dengan apa yang dirasakan konsumen atas pelayanan yang diberikan. Senada
dengan hal tersebut Sahu (2006, dalam Kachoka, 2009) juga mengatakan bahwa “quality
is the difference between user’s expectations and perceptions of user’s on performance”
yang artinya kualitas pelayanan adalah perbedaan antara harapan pengguna layanan dan
yang dirasakan pengguna layanan atas kinerja pelayanan .
Pengertian mengenai kualitas pelayanan publik tersebut hampir sama dengan apa
yang dikemukakan oleh Yamit (2004) yang mengartikan kualitas pelayanan sebagai
perbandingan antara harapan konsumen dengan kinerja kualitas jasa pelayanan.
Parasuraman (1988, dalam Ramseook, et al., 2010) mengatakan bahwa “service quality
as the ability of the organization to meet or exceed customer expectations” yang artinya
bahwa kualitas pelayanan merupakan kemampuan dari suatu organisasi untuk memenuhi
atau melebihi harapan konsumen. Dalam jurnal yang sama Zeithaml, et al.(1990)
menambahkan bahwa kualitas pelayanan adalah ”the difference between customer
expectations of service and perceived service” (perbedaan antara harapan konsumen akan
pelayanan dan yang dirasakan konsumen)
Definisi lain mengenai kualitas pelayanan diberikan oleh Lewis dan Booms
(1983, dalam Tjiptono, 2005) yang mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai ukuran
seberapa bagus tingkat layanan yang diberikan mampu sesuai dengan ekspektasi
pelanggan. Mengacu pada definisi tersebut, Tjiptono lebih lanjut menjelaskan bahwa
kualitas pelayanan dapat diwujudkan melalui pemenuhan kebutuhan dan keinginan
pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan.
Dengan demikian kualitas pelayanan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu customer
expectation(harapan pelanggan) dan customer perceived (yang dirasakan pelanggan) atas
suatu pelayanan. Lebih lanjut dijelaskan oleh Tjiptono (2005) bahwa expectation
merupakan tingkat kinerja pelayanan yang seharusnya didapatkan atau harapan dari suatu
pelayanan sedangkan perceived merupakan penilaian terhadap kinerja pelayanan
berdasarkan apa yang dirasakan dari awal proses pelayanan sampai diterimanya produk
pelayanan. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan
merupakan suatu kondisi yang menujukkan sejauh mana pelayanan yang diberikan oleh
instansi penyedia layanan mampu memenuhi harapan/keinginan pengguna layanan.
Kualitas pelayanan dapat diketahui dengan cara membandingkan antara expectation
dengan perceived pengguna layanan.
D. Pajak
Pengertian wajib pajak di kemukakan oleh para ahli yang memberikan batasan
tentang pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A.
Andriani yang telah diterjemahkan oleh R. Santoso Brotodiharjo (dalam Waluyo 2013:2).
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang teruang oleh yang
wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi
kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang
menyelenggarakan pemerintahan’’.
Sedangkan kutipan beberapa pengertian pajak yang dikemukakan para ahli lainya
(dalam Waluyo, 2013:2-3) adalah sebagai berikut :
1. Pengertian pajak menurut Mr. Dr. NJ. Feldman dalam buku de over heidmiddelen van
indonesia (terjemahan) : Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan
terutang kepada pengusaha (Menurut norma norma yang di tetapkanya secara umum),
tanpa adanya kontraprestasi, dan semata mata digunakan untuk menutup pengeluaran
pengeluaran umum.
2. Pengertian pajak menurut Prof. Dr. MJH. Smeets dalam buku de economische
betekenis belastingen (terjemahan) : pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang
terutang melalui norma norma umum dan yang dapat di paksakanya, tanpa adanya
kontraprestasi yang dapat di tunjukan dalam hal yang individual, dimaksudkan untuk
membiayai pengeluaran pemerintah.
3. Pengertian pajak menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang
berjudul “ Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong’’ menyatakan : “Pajak adalah
iuran wajib berupa uang atau barang yang di pungut oleh penguasa berdasarkan
norma norma hukum, guna menutup biaya produksi barang barang dan jasa jasa
kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum’’. Dari definisi di atas tidak tampak
istilah “dipaksakan” karena bertitik tolak pada istilah “iuran wajib’’ sisi lainya yang
berhubungan dengan kontraprestasi menekankan pada mewujudkan kontraprestasi itu
memerlukan pajak.
4. Prof. Dr. Rochmat. Soemitro, SH. Dalam bukunya Dasar Dasar Hukum Pajak dan
Pajak Pendapatan (1990:5) menyatakan: “Pajak adalah iuran kepada kas negara
berdasarkan undang undang (yang dapat dipakasakan) dengan tidak mendapat timbal
(kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan digunakan untuk membayar
pengeluaran umum.
Dari pengertian pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri ciri yang
melekat pada pengertian pajak, adalah sebagai berikut :
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaanya yang
sifatnya dapat dipaksakan.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi
individual oleh pemerintah.
3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
4. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran pengeluaran pemerintah, yang bila dari
pemasukanya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public
invesment.
5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budguter, yaitu mengatur.
Sebagaimana telah diketahui ciri ciri yang melekat pada pengertian pajak dari
berbagai definisi, terlihat adanya dua fungsi pajak menurut Waluyo (2013:6) sebagai
berikut :
1. Fungsi penerimaan (Budgeter)
Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukan bagi
pembiayaan pengeluaran pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh :
dimasukanya Pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri.
2. Fungsi mengatur (Reguler)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
kebijakan dibidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh : dikenakannya
pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras, dapat ditekan,
demikian pula terhadap barang mewah.

Pengelompokan Pajak dalam Mardiasmo (2003:5-6) terdapat 3 golongan yaitu :


1. Menurut golonganya
a. Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak
dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain
Contoh : Pajak Penghasilan
b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan
atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai
2. Menurut Sifatnya
a. Pajak Subyektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subyeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
Contoh : Pajak Penghasilan
b. Pajak Obyektif, yaitu pajak yang berpangkal pada obyeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai
3. Menurut lembaga Pemungutnya
a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai.
b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah Daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
 Pajak Provinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan
Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
 Pajak Kabupaten/Kota Contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak
Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan Jalan.
BAB III

PEMBAHASAN

Banyak orang di negeri ini yang menginginkan profesi sebagai Pegawai Negeri
Sipil (PNS). Hampir setiap tahun pendaftaran CPNS di tiap-tiap daerah selalu dibanjiri
ribuan peserta. Bahkan saking banyaknya pendaftar, mereka berusaha mencari segala
cara meski itu salah atau melanggar aturan atau hukum agar bisa lolos dalam seleksi
CPNS.
PNS yang pada awalnya melakukan praktik curang, maka kebanyakan dalam
perjalanan kariernya juga menyalahgunakan tugas, pangkat dan jabatannya. Banyak
praktik korupsi dilakukan mulai dari PNS rendahan sampai PNS yang duduk di jabatan
tertentu.
Selain itu, budaya atau lingkungan kerja di suatu instansi atau lembaga
pemerintahan yang tidak dilalui dengan semangat atau etos kerja yang tinggi, membentuk
prilaku para pegawai menjadi apatis, pragmatis dan pasif. Mereka praktis tidak memiliki
daya pikir untuk memajukan instansinya. Apalagi hal ini sudah mengakar dan
membudaya dari tahun ke tahun.
Maka tidak heran jika PNS yang selama ini terkenal dengan sendiko dawuh, tanpa
inovasi, bekerja hanya jika ada perintah atasan, santai, bisa keluar seenak hati, melayani
dengan setengah hati, mencari “ceperan” dan lain sebagainya seharusnya sudah bukan
zamannya lagi untuk saat ini.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai salah satu instansi yang dahulunya
terkenal korup, mulai tahun 2002 sudah mereformasi diri untuk lebih baik. Direktorat
Jenderal Pajak sudah melakukan reformasi birokrasi. Reformasi Birokrasi dilakukan
antara lain dengan menambah jam kerja pegawai yang semula 7 jam kerja menjadi 9 jam
kerja.
Selain itu kedisiplinan pegawai juga lebih diperketat dengan cara mengganti
absen manual menjadi absen fingerprint dan deteksi wajah sehingga akan sangat sulit
untuk dimanipulasi.
Disamping itu untuk pegawai yang akan keluar di saat jam kerja harus mengisi
buku izin keluar dengan diketahui dan diparaf oleh pejabat setingkat diatasnya serta harus
mencantumkan waktu pukul berapa pegawai tersebut akan kembali. Kamera CCTV juga
dipasang di setiap sudut ruangan yang berfungsi sebagai pemantau kegiatan pegawai di
ruangan. Server kamera diletakkan di meja pimpinan sehingga dengan mudah pimpinan
mengetahui kegiatan pegawai-pegawainya.
Dalam melayani Wajib Pajak, DJP menerapkan layanan unggulan dan lebih
membuka diri untuk menerima saran dan kritik dari Wajib Pajak. Saran dan kritik
tersebut dapat disampaikan dengan menelpon ke layanan aduan kring pajak atau bisa juga
mengisi kotak saran yang diletakkan di ruangan TPT.
Bagaimana reformasi birokrasi di DJP dan apa yang dilakukannya memang belum
sepenuhnya diketahui masyarakat. Sebagai contoh, masih banyak masyarakat yang
beranggapan bahwa sangat mudah memperoleh “ceperan” di Direktorat Jenderal Pajak.
Anggapan seperti itu sebenarnya tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena
masyarakat trauma dengan pelayanan beberapa instansi lain dimana PNS di dalamnya
yang masih suka mencari “ceperan”. Step terakhir dari reformasi birokrasi adalah
pengawasan. Baik pengawasan internal maupun pengawasan eksternal.
Untuk pengawasan internal dimulai dari pengawasan unit sendiri yang dilakukan
Unit Kepatuhan Internal (UKI) di kantor masing-masing. Tugas dari Unit Kepatuhan
Internal selain membantu pimpinan unit kerja dengan pemantauannya, juga membantu
teman-teman di unitnya untuk lebih meningkatkan kedisiplinan.
Pengawasan internal setingkat lebih tinggi dari UKI ialah pengawasan oleh
direktorat tersendiri tetapi masih di bawah naungan Direktorat Jenderal Pajak. Direktorat
tersebut adalah Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Apartur
(KITSDA). Beberapa tugas dari KITSDA antara lain menjaga kedisiplinan pegawai,
memberikan sanksi untuk pegawai yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan SOP
dan pegawai yang melanggar kode etik.
Setingkat lebih tinggi dari direktorat KITSDA adalah Inspektorat Jenderal
(ITJEN). Posisi ITJEN dibawah naungan Kementerian Keuangan dan di luar DJP.
Tugasnya adalah melaksanakan penugasan dari Menteri Keuangan untuk melakukan
pengawasan di lingkungan Kementerian Keuangan melalui audit, reviu, evaluasi,
pemantauan dan pengawasan pegawai.
Selain pengawas internal, ada juga pengawas eksternal yang merupakan
langganan DJP. Salah satunya yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Setiap tahun
BPK selalu melakukan audit keuangan. Berapa anggaran yang telah digunakan, apakah
anggaran tersebut telah sesuai dengan fungsinya, serta apakah ada penyelewengan
anggaran dan lain sebagainya.
Lain halnya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam pengawasan
DJP, KPK lebih menitikberatkan pada penyelidikan dan penyidikan oknum-oknum yang
berindikasi melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Selama ini KPK sudah
mengungkap dan menangkap beberapa oknum DJP yang melakukan penyelewengan.
Bukan korupsi tepatnya tetapi lebih pada penyalahgunaan wewenang.
Dengan adanya beberapa penangkapan ini, maka bisa disimpulkan bahwa DJP
semakin transparan dan semakin bersemangat untuk berbenah. Dan dengan adanya
oknum yang tertangkap tersebut, menandakan bahwa adanya kerjasama yang baik antara
pengawas internal terutama KITSDA dengan pengawas eksternal seperti KPK.
Selain instansi disebut di atas, pengawas lain juga masih ada, di antaranya pihak
media, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan masyarakat sendiri. Jika ingin
dibandingkan dengan instansi lain, dengan sangat yakin DJP akan bangga mengatakan,
saya sudah mereformasi diri. Jika dibandingkan dengan instansi lain, DJP akan bangga
mengatakan, saya sudah tidak menerima ceperan yang bukan hak saya. Jika dibandingkan
dengan instansi lain, DJP akan bangga mengatakan saya bekerja secara professional dan
penuh integritas. Jika dibandingkan dengan instansi lain, DJP akan bangga mengatakan
bahwa saya memberikan pelayanan dengan sepenuh hati.
Usaha mereformasi diri yang dilakukan DJP hendaknya diimbangi dengan
dukungan dari stakeholder. Stakeholder di sini yang dimaksud adalah masyarakat dan
instansi atau kementerian lain yang ada di Indonesia. Dengan adanya kolaborasi ini maka
akan menjadikan Indonesia dapat berevolusi dari Negara berkembang menjadi Negara
maju. Evolusi ini tidak lain diawali dengan terciptanya masyarakat yang sadar pajak dan
amanahnya pemanfaatan pajak oleh instansi terkait.
Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) memiliki tugas mengumpulkan
penerimaan negara dari sektor pajak. Pada tahun 2012 tugas yang diamanatkan kepada
Ditjen Pajak sebesar Rp 885 triliun, dan meningkat sebesar 16% untuk tahun 2013 atau
sebesar Rp 1.031 triliun. Peningkatan penerimaan pajak yang siginifikan itu diharapkan
dapat memperbesar kemampuan membangun, memperluas ruang gerak pendanaan bagi
berbagai program peningkatan kesejahteraan rakyat, dan meningkatkan kemandirian
bangsa. Namun demikian, mampukah Ditjen Pajak melaksanakan tugas mengumpulkan
penerimaan negara tersebut?
Tugas mengumpulkan penerimaan negara yang diamanatkan kepada Ditjen Pajak
membutuhkan manajemenyang baik karena tugasnya yang sangat kompleks. Dalam hal
ini Ditjen Pajak membutuhkan restrukturisasi atau reformasi yang memungkinkan
strategi, struktur organisasi, sistem, dan skill sumber daya manusianya dapat digerakan
dengan cepat, sehingga memiliki kemampuan yang tanggap terhadap perubahan.
Kualitas tata kelola sebuah organisasi tergantung pada seberapa besar struktur
organisasinya memadai untuk mengemban tugas. Dengan kata lain, struktur
organisasi harus mencerminkan tujuan utama organisasi dan pada saat bersamaan juga
harus fleksibel menanggapi perubahan strategi organisasi. Sejak dilaksanakan reformasi
birokrasi di Ditjen Pajak pada tahun 2002, telah dilakukan penyempurnaan struktur
organisasi Ditjen Pajak dengan menerapkan organisasi berbasis fungsi pada Kantor
Pelayanan Pajak (KPP), yaitu seperti fungsi pelayanan, pengawasan dan konsultasi, serta
fungsi pemeriksaan agar tugas pengumpulan penerimaan pajak menjadi lebih efektif.
KPP ini dikelola oleh Kantor Wilayah (Kanwil) yang tersebar di setiap provinsi di
seluruh Indonesia. Kemudian seiring dengan dinamika yang terjadi pada dunia usaha,
Ditjen Pajak juga membentuk KPP Khusus untuk Wajib Pajak tertentu. Unit kerja ini
menangani Wajib Pajak Besar Nasional, Wajib Pajak Besar Wilayah, Penanaman Modal
Asing, Badan dan Orang Asing, Perusahaan Masuk Bursa, Badan Usaha Milik Negara,
Perusahaan Tambang, serta Perusahaan Minyak Bumi dan Gas. Untuk menjangkau
wilayah Indonesia yang begitu luas, Ditjen Pajak juga memiliki Kantor Penyuluhan,
Pelayanan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang tersebar di berbagai wilayah
pelosok Indonesia. Secara keseluruhan, saat ini Ditjen Pajak memiliki 31 Kanwil, 331
KPP dan 207 KP2KP.
Ditjen Pajak telah melakukan pembenahan internal organisasi, yaitu dengan
menerapkan sistem pengukuran kinerja, penegakan disiplin dan pemberian remunerasi.
Ditjen Pajak juga membangun sistem yang bisa mendeteksi secara dini dan cepat
berbagai bentuk penyimpangan, yaitu dengan membangun unit pengawasan internal,
mengembangkan whistleblowing system, serta mengembangkan budaya korektif dimana
sesama pegawai saling mengoreksi apabila ada rekannya yang melakukan penyimpangan.
Dalam pembenahan internal organisasi, Ditjen Pajak juga telah
melakukan kerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengefektifkan dan
memaksimalkan fungsi pengawasan internal.
Ditjen Pajak bertekad secara sungguh-sungguh dalam gerakan reformasi birokrasi
yang digalakkannya. Sejak tahun 2002, penerapan hukuman disiplin kepada pegawai
yang menyalahgunakan wewenang terus diberlakukan dengan tegas. Dalam lima tahun
terakhir, jumlah pegawai yang terkena sanksi disiplin meningkat signifikan. Pada tahun
2007, jumlah pegawai yang terkena sanksi disiplin sebanyak 196 orang. Angka itu
bertambah pada tahun 2008 menjadi 406 orang. Pada tahun 2009 dan 2010 berturut-turut
Ditjen Pajak memberikan sanksi disiplin kepada 516 dan 657 pegawai. Sedangkan sejak
awal tahun 2012 ini, sudah ada 39 pegawai yang dijatuhkan sanksi.
Reformasi birokrasi adalah tugas besar yang tidak dapat ditanggung oleh Ditjen
Pajak sendiri, namun dibutuhkan dukungan dan partisipasi seluruh masyarakat.
Reformasi birokrasi merupakan proses panjang dan terus-menerus karena harus
mengubah cara pandang dan budaya kerja. Reformasi birokrasi yang bertujuan
menjadikan Ditjen Pajak sebagai institusi terpercaya dalam memungut pajak tidak akan
sukses tanpa diimbangi dengan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak. Dengan
sistem perpajakan yang menganut sistem self assessment, kesadaran Wajib Pajak untuk
memenuhi kewajiban perpajakannya secara sukarela adalah kunci sukses dari
pelaksanaan sistem perpajakan nasional
Reformasi birokrasi terbukti sudah membuahkan hasil. Tren peningkatan
penerimaan pajak adalah buktinya. Realisasi penerimaan pajak yang pada tahun 2002
hanya sebesar Rp 176 triliun, pada tahun 2007 meningkat menjadi Rp 571 triliun dan
kemudian pada tahun 2011 menjadi Rp 742 triliun. Hasil reformasi birokrasi pada
akhirnya juga akan dinikmati oleh rakyat berupa peningkatan kesejahteraan dan
perbaikan layanan umum. Mari dukung Ditjen Pajak dalam mengemban tugas
mengumpulkan pajak negara. Bayar dan laporkan pajak Anda dengan jujur dan benar
sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.
BAB IV
KESIMPULAN SARAN

A. Kesimpulan

Reformasi birokrasi adalah tugas besar yang tidak dapat ditanggung oleh Ditjen
Pajak sendiri, namun dibutuhkan dukungan dan partisipasi seluruh masyarakat.
Reformasi birokrasi merupakan proses panjang dan terus-menerus karena harus
mengubah cara pandang dan budaya kerja. Reformasi birokrasi yang bertujuan
menjadikan Ditjen Pajak sebagai institusi terpercaya dalam memungut pajak tidak
akan sukses tanpa diimbangi dengan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak.
Dengan sistem perpajakan yang menganut sistem self assessment, kesadaran Wajib
Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya secara sukarela adalah kunci sukses
dari pelaksanaan sistem perpajakan nasional
Reformasi birokrasi terbukti sudah membuahkan hasil. Tren peningkatan
penerimaan pajak adalah buktinya. Realisasi penerimaan pajak yang pada tahun 2002
hanya sebesar Rp 176 triliun, pada tahun 2007 meningkat menjadi Rp 571 triliun dan
kemudian pada tahun 2011 menjadi Rp 742 triliun. Hasil reformasi birokrasi pada
akhirnya juga akan dinikmati oleh rakyat berupa peningkatan kesejahteraan dan
perbaikan layanan umum. Mari dukung Ditjen Pajak dalam mengemban tugas
mengumpulkan pajak negara. Bayar dan laporkan pajak Anda dengan jujur dan benar
sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.

B. Saran
Tugas mengumpulkan penerimaan negara yang diamanatkan kepada Ditjen Pajak
membutuhkan manajemenyang baik karena tugasnya yang sangat kompleks. Dalam
hal ini Ditjen Pajak membutuhkan restrukturisasi atau reformasi yang memungkinkan
strategi, struktur organisasi, sistem, dan skill sumber daya manusianya dapat
digerakan dengan cepat, sehingga memiliki kemampuan yang tanggap terhadap
perubahan
DAFTAR PUSTAKA

Jurnal Keberlanjutan Reformasi Birokrasi oleh Riris Katharina. Vol. IV, No.
05/I/P3DI/Maret/2012
Jurnal Reformasi Birokrasi dan Pelayanan Publik Oleh : Komarudin. Jurnal
Sekretariat Negara RI | No. 20 | Tahun 2011

Cyrus Sihaloho. 2002. Modul Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Jakarta :
RajaGrafindo Persada.
Erly Suandy. 2002. Perpajakan. Jakarta : Salemba Empat

Sinambela, Lijan Poltak. 2008. Reformasi Pelayanan Publik Teori Kebijakan dan
Implementasi. Jakarta : Bumi Aksara.
Moenir, H.A.S., 2000. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta : Bumi
Aksara.
Ratminto dan Atik Septiwinarsi. 2005. Manajemn Pelayanan. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.

Você também pode gostar