Você está na página 1de 15

SHARING JOURNAL

Evaluation of a Pain Management Education Program and Operational Guideline on


Nursing Practice, Attitudes, and Pain Management
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Kepaniteraan Klinik
Departemen Manajemen

Diususun Oleh :

Raudatusn Sholehah 170070301111112


Emy Rahmawati 170070301111119
Riska Paska K 170070301111121
Dwi Kurnia 170070301111122
Ahmad Alfian Zein M 170070301111130
Moh Yusron 170070301111133

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 IDENTITAS JURNAL


Judul jurnal Evaluation of a Pain Management Education Program and
Operational Guideline on Nursing Practice, Attitudes, and Pain
Management
Penulis Sara L. Bonkowski, DNP, FNP-C; Jennie C. De Gagne, PhD,
DNP, RN-BC, CNE, ANEF, FAAN; Makia B. Cade, MSN, RN,
OCN; and Sally A. Bulla, PhD, RN
Tahun penerbitan 2018

1.2 LATAR BELAKANG


Manajemen nyeri merupakan komponen penting dalam perawatan pasien pasca-
operasi yang pulih di unit rawat inap bedah. Di amerika, 43 juta pasien bedah mengalami
nyeri pasca operasi setiap tahunnya dengan peningkatan 40% pasien melaporkan nyeri
berat selama hospitalisasi. Berdasarkan survei yang melibatkan pasien pasca operasi,
80% pasien melaporkan nyeri pasca operasi, kurang dari 50% pasien yang nyerinya
berkurang, dan 10-50% pasien pasca operasi mengalami nyeri kronik. Manajemen nyeri
yang tidak adekuat dapat menyebabkan masalah, seperti nyeri kronik, keterlambatan
mobilitas yang mengakibatkan penyembuhan luka yang lama, merasa terisolasi, dan
peningkatan resiko komplikasi seperti pneumonia, ulkus dekubitus, dan emboli pulmoner.
Mahasiswa keperawatan sering kali menerima edukasi manajemen nyeri yang tidak
adekuat dan menyebabkan kurangnya pengetahuan mengenai dasar manajemen nyeri,
seperti bagaimana obat-obatan nyeri bekerja, rute pemberian yang ada, dan masalah
yang mungkin muncul seperti efek sedatif. Kurangnya edukasi manajemen nyeri yang
adekuat dapat menyebabkan ketakutan, kurangnya pengetahuan tentang farmakologi,
dan keyakinan yang salah tentang pengobatan nyeri. Hambatan praktik manajemen nyeri
yang berkualitas adalah pengetahuan yang kurang, takut menyebabkan pasien
mengalami kecanduan, dan kurangnya pengetahuan praktik berbasis bukti yang
berkontribusi menyebabkan manajemen yang nyeri yang tidak adekuat. Perawat juga
memiliki pengetahuan yang sedikit mengenai teknik manajemen nyeri non-farmakologis
dan melaporkan bahwa mereka tidak yakin dengan kemampuannya untuk mengatur nyeri
pasien. Di unit bedah onkologi, memberikan manajemen nyeri yang adekuat merupakan
tantangan bagi perawat karena ada berbagai layanan bedah onkologi, pengetahuan
keperawatan dan praktik manajemen nyeri yang rendah, tingkat pergantian pasien yang
tinggi, edukasi berkelanjutan yang minimal, dan kurangnya pengalaman perawat di unit
tersebut menyebabkan kepuasan pasien terhadap manajemen nyeri rendah dan banyak
pasien yang mengalami masalah nyeri ketika pulang.

1.3 Literature Review


Program edukasi manajemen nyeri bagi perawat efektif untuk menangani kasus nyeri.
Program yang akan dijalankan harus memberikan edukasi mengenai patofisiologi nyeri ,
dampak obat-obatan nyeri, tujuan dan keuntungan manajemen nyeri non-farmakologis.
Intervensi penanganan nyeri harus memberi panduan mengenai keterampilan pengkajian
nyeri, parameter untuk observasi nyeri, protokol manajemen nyeri di rumah sakit, dan
metode edukasi mengenai nyeri pada pasien. Program yang efektif memberikan
pengarahan dalam berbagai model manajemen nyeri, meliputi pendekatan opioid dan
non-opioid serta pendekatan non-farmakologis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
program edukasi manajemen nyeri akut memberi pengaruh positif pada kontrol nyeri dan
kepuasan pasien. Namun, tetap saja kurangnya pengetahuan keperawatan, praktik, dan
sikap karena edukasi manajemen nyeri yang tidak adekuat. Dengan demikian, edukasi
manajemen nyeri yang ditargetkan berpotensi meningkatkan manajemen nyeri dan
keyakinan dan mengatasi nyeri.
Selain edukasi berkelanjutan, manajemen nyeri dapat ditingkatkan melalui
pengembangan dan implementasi pathway klinis (panduan operasional) yang
dikombinasikan dengan edukasi kesehatan. Panduan operasional merupakan cara untuk
mempertahankan praktik perawatan terstandar yang meningkatkan outcome pasien dan
efisiensi staf serta menurunkan biaya perawatan dan meningkatkan kualitas. Meskipun
ada sedikit informasi mengenai definisi panduan operasional terstandar, kebanyakan
peneliti setuju pada 4 komponen kunci: (a) rencana perawatan multi-displiner yang
terstruktur; (b) penerjemahan penelitian ke bahasa lokal; (c) “inventaris kegiatan” yang
berisi susunan rinci mengenai langkah-langkah yang dibutuhkan untuk rencana
perawatan; (d) tujuan untuk memberi perawatan terstandar pada populasi tertentu.
Tujuan dari program peningkatan kualitas (quality improvement/QI) adalah untuk
merancang, mengimplementasikan, dan mengevaluasi program edukasi manajemen
nyeri berkelanjutan dan panduan operasional untuk perawat bedah onkologi yang
berfokus pada peningkatan praktik, sikap, dan manajemen nyeri.

1.4 TUJUAN
1.4.1 Tujuan umum
Tujuan dari penelitian jurnal adalah untuk menilai keefektifan program edukasi
manajemen nyeri di ruang perawatan bedah onkologi.
1.3.2 Tujuan khusus
1) Perbedaan praktik dan perilaku perawat terhadap manajemen nyeri setelah
mengikuti edukasi manajemen nyeri untuk pasien bedah onkologi
2) Kepuasan perawat terhadap program edukasi dan standart operasional.
3) Perubahan (jumlah) pemberian obat-obatan nyeri via intra vena (IV) selama 24
jam sebelum kepulangan pasien.
4) Perubahan (jumlah) pasien yang kembali ke rumah sakit karena nyeri yg tidak
terkontrol
5) Perubahan tingkat kepuasan pasien bedah onkologi mengeani nyeri
berdasarkan nilai Hospital Consumer Assessment of Healthcare Providers and
Systems (HCAHPS)
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Metode Penelitian Jurnal


Pengumpulan dan analisis data yang digunakan dalam jurnal ini adalah pre/postest
design dengan menggunakan survei dan bagan untuk menilai keefektifan dari program
edukasi dan pedoman manajemen nyeri. Sampel penelitian dalam jurnal menggunakan
pasien unit bedah onkologi yaitu terdiri dari pasien THT, kolorektal, gastrointestinal,
urologi, dan kardiotoraks.
Penelitian menggunakan 40 bed ruang bedah onkologi dengan melibatkan 35 perawat
di unit onkologi dengan rata-rata pasien 1054 setiap bulannya. Untuk menjawab tujuan
penelitian 1 dan 2, peneliti hanya merekrut sample dari ruang onkologi. Perekrutan sample
dilakukan dengan tatap muka langsung antara perekrut (koordinator penelitian) dengan
staf perawat ruang onkologi. Untuk menjawab tujuan 3,4, dan 5 peneliti menilai hasil
penelitian selama 3 bulan sebelum intervensi dan 3 bulan setelah itervensi.
Kriteria inklusi sampel penelitian yaitu pasien tidak memiliki riwayat sakit kronis,
penyakit sel sabit atau kecanduan narkoba, dan pasien yang dirawat dengan bedah THT,
kolorektal, gastrointestinal, kardiotoraks, atau bedah urologi.

2.1.1 Kerangka teori


Kerangka penelitian ini menggunakan kerangka teori Knowledge to Action
(KTA). Kerangka teori Knowledge to Action (KTA) merupakan suatu proses
peningkatan pemahaman suatu ilmu dengan tujuan menciptakan intervensi yang
sesuai dengan literature dan dapat dipertanggung jawabkan. Terdapat 2 komponen
penting pada kerangkan teori Knowledge to Action (KTA) yaitu menyusun teori dan
aksi (action cycle). Peneliti menggunakan satu orang sebagai koordinator. Komponen
penyusun teori pada Knowledge to Action (KTA) diantaranya pengetahuan dasar,
penyaringan informasi, penyusunan alat dan penyesuaian teori sesuai kasus.
Komponen dari aksi (action cycle) yaitu identifikasi masalah, menyelesi teori yang
akan digunakan, adaptasi teori sesuai situasi/kasus, pengkajian pembatasan teori,
seleksi dan implementasi dari intervensi, mengobservasi teori yang dipakai dan hasil
evaluasi.
Koordinator penelitian menyusun teori dengan cara memberikan pertanyaan
tentang manajemen nyeri pasca operasi dari staf perawat sebagai dasar informasi
pemahan perawat tentang penanganan nyeri. Informasi yang didapatkan diseleksi dan
sesuaikan untuk menemukan teori yang tepat sesuai dengan kebutuhan ruang
perawatan bedah onkologi. Koordinator peneliti menggunakan aksi (action cycle)
ketika peneliti mengindentifikasi defisiensi pengetahuan, adaptasi pengetahuan baru,
dan menyeleksi pendekatan yang sesuai dengan kasus, program edukasi dan standar
opersional.
2.1.2 Inovasi
Koordinator QI bekerja sama dengan seorang perawat pendidik, dalam
mengembangkan standar opersional penanganan nyeri berdasarkan kebijakan rumah
sakit. Komponen penting kebijakan yang digunakan untuk membuat standar
operasional adalah panduan yang mudah diikuti untuk manajemen nyeri, dan dibagi
menjadi beberapa bagian, yaitu
1. Pendidikan untuk pasien dan keluarga
2. Pengkajian nyeri
3. Pemberian obat anti nyeri
4. Evaluasi tingkat nyeri
5. Dokumentasi
6. Manajemen nyeri dengan teknik nonfarmakologis
7. Discharge planning
Hasil pengkajian ditempatkan di papan ruang keperawatan sebagai acuan untuk
menajemen nyeri
Staf perawat diminta untuk menyelesaikan preintervention praktek manajemen
nyeri dan survei sikap sebelum melihat dan membaca modul pendidikan nyeri yang
disajikan secara online selama 20 menit. Topik materi yang diberikan mencakup
penyebab terjadinya nyeri, dampak pemberian obat terhadap, opioid dan penggunaan
obat non-opioid, penilaian nyeri dan observasi, intervensi nonfarmakologis, standart
operasional tindakan rumah sakit, dan pengenalan standart operasional manajemen
nyeri. Kemudian dilanjutkan dengan edukasi secara langsung selama 30 menit
tentang standart operasional penanganan nyeri. Sesi edukasi secara langsung
meliputi kesimpulan modul online, diskusi tentang standart operasional dan skenario
penanganan nyeri sesuai standart di ruang bedah onkologi. Materi edukasi diadaptasi
dari American Pain Society Postoperative Pain Guidelines, 6 minggu setelah dilakukan
sesi edukasi, perawat diharuskan mengisi lembar kuosioner post-intervensi tentang
manajemen nyeri, perilaku dan tingkat kepuasan.
2.1.3 Pengumpulan Data
Data demografi yang dalam penelitian ini meliputi usia, jenis kelamin, suku, tingkat
pendidikan, lama pengalaman dan lama bekerja di unit rawat inap. Untuk menjawab
tujuan khusus k-1, peneliti memberikan kuosioner dengan 19 pertanyaan dengan
skala Likert 5 poin (1 = tidak pernah, 5 = selalu) digunakan untuk mengukur tingkat
nyeri. Kuosioner untuk mengukur perilaku terhadap penanganan nyeri menggunakan
14 pertanyaan, perawat diharuskan memberikan penilaian dengan skala Likert 5 poin
(1 = sangat tidak setuju, 5 = sangat setuju). Pertanyaan-pertanyaan digunakan untuk
mengevaluasi perilaku perawat dalam manajemen nyeri pasien sesuai usia dan jenis
kelamin dan pemberian obat nyeri. Rumah sakit tempat penelitian ini menyetujui untuk
menggunakan penilaian ini dalam penilaian-penilaian selanjutnya. Dengan
menggunakan penilaian survei ini, data dapat dibandingkan dengan data sebelumnya
sehingga dapat digunakan oleh rumah sakit sebagai uji validitas dan mutu pelayanan.
Untuk menjawab tujuan penelitian ke-2, tingkat kepuasan keperawatan diukur
dengan 11 pertanyaan yang disusun oleh koordinator penelitian ini. Survei ini
didasarkan pada Pain Management RN Needs Assessment dibuat oleh University of
Wisconsin (1996). Kuosioner tingkat kepuasan berisi tentang edukasi penangan nyeri
dan standart operasional Perawat memberikan penilaian dengan skala Likert 5 poin (1
= sangat tidak setuju, 5 = sangat setuju). Untuk menjawab tujuan penelitian ke-3, data
manajemen nyeri dikumpulkan dengan menampilkan chart yang berisi tanggal dan
waktu, usia, jenis kelamin, layanan bedah, dan pemberian obat narkotik via IV line.
Untuk menjawab tujuan penelitian ke-4, pasien bedah onkologi yang datang kembali
ke tenaga kesehatan dikarenakan nyeri dievaluasi menggunakan formulir sesuai
nomor rekam medis pasien, juga alasan mereka kembali, tanggal kepulangan, dan
tanggal pendaftaran kembali. Sedangkan untuk menjawab tujuan penelitian ke-5,
kepuasan pasien diukur dengan skor Hospital Consum¬er Assessment of Healthcare
Providers and Systems (HCAHPS) pada pertanyaan “Selama tinggal di rumah sakit
ini, seberapa sering nyeri Anda terkontrol dengan baik? ”. Data untuk Tujuan 3, 4, dan
5 dikumpulkan selama 3 bulan sebelum intervensi dan 3 bulan setelah intervensi.

2.2 Hasil
Tingkat signifikan yang dipakai pada penelitian ini adalah α= 0,05 yang dianalisa
menggunakan SPSS versi 24.0. Data demografi yang disajikan pada penelitian ini adalah
usia, lama pekerjaan, pengalam kerja dibidang bedah onkologi. Sebanyak 26 staff
keperawatan yang sudah mengisi kuosioner pre test yang berisi tentang penilaian pre
edukasi dan perilaku, sebanyak 25 perawat yang mengisi post test. Rata-rata usia perawat
onkologi adalah 36,76 tahun. Tingkat pendidikan keperawatan diploma adalah 13 orang
(52%) dan 11 orang sarjana (44%). Berdasarkan lama bekerja didapatkan 20% perawat
telah bekerja kurang dari 1 tahun, 28% telah bekerja selama 1-5 tahun, dan 20% telah
bekerja selama 11-15 tahun. Berdasarkan pengelaman bekerja dibidang keperawatan
bedan onkologi didapatkan 36% perawat telah bekerja selama kurang dari 1 tahun, 56%
telah bekerja selama 1-5 tahun, dan 8% telah bekerja selama 5-10 tahun. Berdasarkan
jenis kelamin didapatan jenis kelamin perempuan sebanyak 7 (25%) dan 19 orang laki-
laki (75%).
1. Pembahasan tujuan khusus ke-1 tentang praktek dan perilaku menejemen nyeri di
analisa menggunakan pendekatan deskriptif dan paired t-test. Pada tabel 1
menampilkan tentang praktek keperawatan manajemen nyeri, menunjukkan nilai
peningkatan skor yang signifikan pada pertanyaan 2, 4, 5, 6, 7, 14 dan 19. Pada tabel
2 tentang perilaku, tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan.
2. Pembahasan tujuan khusus yang k-2 tentang edukasi dianalisa menggunakan
pendekatan deskriptif, rata-rata, frekuensi dan persentase. Rata-rata tingkat kepuasan
perawat selama edukasi tentang intervesni dan informasi pedoman manajemen nyeri
sebesar 4,48 (Std= 0,510). Rata-rata tingkat dukungan perawat terhadap penerapan
manajemen nyeri sesuai dengan standart operasional sebesar 4,40 (Std= 0,577).
Rata-rata skor hasil penerapan edukasi sebesar 4.40 ( Std = 0,500). Rata-rata skor
pedoman manajemen nyeri yang sesuai dengan keadaan pasien sebesar 4,08 (Std=
0,862).
3. Pembahasan tujuan khusus yang k-3 tentang pemberian obat narkotik (IV) 24 jam
sebelum pasien pulang dianalisa menggunakan Fisher’s exact test. Pasien yang
menerima terapi sebanyak 44 pasien sebelum dilakukan intervensi dengan 6 pasien
(13,6%) menerima 1 dosis obat narkotik, 2 pasien (4,5%) menerima 3 dosis obat
narkotik, 1 pasien (2,2%) menerima 6 dosis obat narkotik. Setelah dilakukan intervensi
didapatkan 3 pasien (6,8%) menerima 1 dosis obat narkotik dan 1 pasien (2,2%)
menerima 3 dosis obat narkotik 24 jam sebelum keluar rumah sakit. Pada uji Fisher’s
didapatkan p = .008 (std= -0,306 dan 95% CI) yang berarti terdapat perbedaan nyeri
yang signifikan setelah diberikan obat narkotik (IV) 24 jam sebelum keluar rumah sakit.
4. Pembahasan tujuan khusus yang k-4 tentang kembalinya pasien karena kasus nyeri
diukur menggunakan Fisher’s exact test. Pada periode 3 bulan sebelum dilakukan
intervensi edukasi manejemen nyeri, didapatkan 16 responden yang teridentifikasi
kembali karena nyeri sebanyak 9 responden (56%) menunjukkan penanganan nyeri
postoperatif yang sangat rendah. Pada 3 bulan setelah dilakukan intervensi
teridentifkasi sebanyak 33 responden dengan 8 responden (24%) mendapatkan
penanganan nyeri yang rendah. Hasil uji Fisher’s didapatkan p = 0,053 (Std= - 0,053
dan 95% CI) yang berarti tidak ada perbedaan yang bermakna tetapi hal tersebut tidak
mengindetifikasikan bahwa 1 variabel mengalami kenaikan dan variable lain
mengalami penurunan.
5. Pembahasan pada tujuan khusus yang k-5 tentang kepuasan klien terhadap
penangan nyeri di ruang bedah onkologi menggunakan analisa deskripsi dan Mann-
Whitney U test untuk mengukur skor Hospital Consumer Assessment of Healthcare
Providers and Systems (HCAHPS) terutama pada item “selama perawat dirumah
sakit, seberapa sering nyeri anda tertangani?”. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan
hasil p = 0,200 dengan pre (median 70,4) dan post (median 65,25) yang berarti tidak
menunjukkan adanya pengaruh atau perbedaan.
2.3 Pembahasan
Meskipun tidak ada perubahan yang signifikan dari skor sebelum dan sesudah
intervensi dalam hal perilaku perawat terhadap penanganan nyeri, beberapa item
menunjukkan perubahan penting . Satu pertanyaan yang penting adalah pertanyaan no
14, mengalami peningkatan tetapi tidak terlalu siknifikan yaitu tentang persepsi klien
dalam manajemen nyeri. Hal tersebut mungkin berhubungan dengan penyebab nyeri dan
penggunaan opioid, manajemen nyeri menggunakan nonopioid, dan penggunaakan
teknik nonfarmakologis. Perilaku tentang penanganan nyeri sulit diubah dan mungkin
membutuhkan sesuatu yang lebih, tidak hanya edukasi dan pemaparan standar prosedur
penanganan. Namun, perbaikan dibidang praktik keperawatan tentang penanganan nyeri
mungkin dapat meningkatkan cara perawat memanajemen nyeri melalui pendidikan yang
lebih lanjut dan penyesuaian pendidikan untuk populasi pasien tertentu atau area fokus
yang melibatkan perawat.
Meskipun kurangnya perubahan dalam perilaku perawat, skor praktik keperawatan
meningkat dari pra-pasca intervensi, terutama yang berkaitan dengan edukasi kepada
pasien, penilaian nyeri, dan penggunaan obat analgesik. Hal ini menunjukkan staf
keperawatan merasa lebih terdidik tentang konsep manajemen nyeri pada pasien pasca
operasi. Peningkatan ini dalam praktiknya mirip dengan penelitian kuasi-eksperimental
perawat bedah di sebuah rumah sakit pendidikan di Yordania yang menunjukkan
peningkatan dalam pengetahuan dan perilaku perawat setelah menghadiri sesi
pendidikan (Abdalrahim, Majali, Stomberg, & Bergbom, 2011). The Abdalrahim et al.
(2011) studi, seperti proyek peningkatan mutu (quality improvement/QI) ini menunjukkan
bahwa meskipun terdapat perbaikan tetapi defisiensi pengetahuan perawat terhadap
materi masih ada. Hasil ini bisa menunjukkan bahwa dengan edukasi, dapat membentuk
sikap dan kesalah pahaman tentang manajemen nyeri yang cukup kuat tentang
pemahaman konsep nyeri.
Meskipun penelitian berfokus pada edukasi untuk meningkatkan pengetahuan,
sesuatu yang lebih besar dapat diubah yaitu tentang sikap/perilaku terhadap penanganan
manajemen nyeri yang berkualitas. Penanganan nyeri tidak hanya dilakukan oleh spesialis
keperawatan manajemen nyeri tetapi juga semua tenaga kesehatan keperawatan dapat
melaksanakanya juga, mulai dari perawat hingga pemberi asuhan juga memiliki peran dan
tanggung jawab. Ketika tenaga kesehatan profesional melihat manajemen nyeri yang
diberikan berkualitas tinggi, lingkungan kerja yang terdiri dari tenaga kesehatan
profesional, pasien, dan pembuat kebijakan dapat menyerukan bahwa pengetahuan yang
berasaskan praktek, kemampuan yang berasaskan kebiasaan dan mutu asuhan
berasaskan norma dapat dilakukan (Ellis, Johnson, & Taylor, 2012, hlm. 57).
Meskipun Abdalrahim dkk. (2011) studi menunjukkan peningkatan dalam praktik
keperawatan tetapi peningkatan praktik keperawatan yang meningkatkan bukanlah pada
poin penanganan nyeri. Dalam proyek peningktan mutu (Quality Improvementl) saat ini,
pemberian obat narkotika via intravena (IV) dalam 24 jam sebelum pasien pulang dapat
menurukan tingkat nyeri yang signifikan dan tetapi tidak dapat menurunkan angkat
kembali pasien ke tenaga kesehatan karena nyeri. Peningkatan pengetahuan dalam
praktik penangan nyeri setelah edukasi, meminimalkan penggunaan obat narkotik (IV) dan
angka kejadian kembali pasien ke tenaga kesehatan karena nyeri, ketiga hal tersebut
mungkin berhubungan dengan sasaran edukasi, standart operasional, peningkatan
kemampuan praktek dan manajemen nyeri yang sudah ada.
Meskipun tidak ada perubahan dalam skor HCAHPS dalam proyek QI (Quality
Improvementl) ini, penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya tentang
penanganan nyeri pasca operasi pada pasien bedah, yang menunjukkan bahwa 66%
pasien selalu menjawab pertanyaan “Selama masa rawat inap di rumah sakit ini, seberapa
sering nyeri anda dapat dikendalikan? "pada survei HCAHPS (Buvanendran et al., 2015).
.
2.4 Keterbatasan jurnal
1. Sample peneltian yang terlalu sedikit. Pada penelitian ini terlalu responden perempuan
lebih banyak
2. Pasien THT tidak dimasukkan dalam kategori penangnan nyeri dikarenakan tidak
adanya literature penanganan nyeri pada pasien THT
3. Pada penelitian ini penilaian tentang pratek dan sikap perawat tidak seperti penilaian
pada penelitian lain sehingga peneliti susah untuk membandingkan dengan penelitian
sebelumnya
BAB III
APLIKASI JURNAL

3.1 Aplikasi jurnal di Unit Rawat Inap D


Pengaplikasian jurnal diruang rawat inap D dapat diterapkan dengan cara melakukan
pelatihan tentang penanganan nyeri dengan cara farmakologis dan on farmakologis yang
disuaikan dengan keadaan ruang rawat inap D. Penerapan manajemen nyeri di Ruang
Rawat D menggunakan 2 metode, yaitu dengan metode farmakologi dan metode
nonfarmakologi. Dimana metode farmakologi diberikan ketika pasien-pasien yang pasca
operasi mengalami rasa nyeri berat dan sangat mengganggu, maka akan diberikan obat
khusus pereda nyeri secara IV untuk meredakan nyerinya, sedangkan pasien-pasien
yang mengalami nyeri sedang-ringan cukup dengan diajarkan metode nonfarmakologi
yaitu tarik nafas dalam. Selanjutnya pasien sendiri yang akan mempraktekkan secara
mandiri metode non farmakologis tersebut untuk mengurangi rasa nyeri yang dialami.
Tingkat nyeri yang dirasakan setiap pasien berbeda, dengan demikian perawat
ruangan RID sudah memiliki kemampuan dasar untuk mengkaji dan mengobservasi
tingkat nyeri yang dirasakan oleh setiap pasien dengan menggunakan skala. Sehingga
pemilihan metode yang diberikan kepada pasien berbeda sesuai dengan nyeri yang
dialami oleh pasien-pasien pasca operasi.
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Proyek Quality Improvement ini penting sebagai implikasi untuk melanjutkan pendidikan
keperawatan dan pengembangan praktik profesional. Kekuatan penelitian ini adalah peneliti
tidak hanya menilai praktik keperawatan dan sikap/perilaku perawat terhadap penganan nyeri,
tetapi juga pasien yang kembali dirawat inap pasien dikarenakan nyeri, pemberian terapi
narkotika (IV) 24 jam sebelum pasien pulang dan penilaian skor HCAHPS. Dengan adanya
poin tersebut, pembaca mendapatkan gambaran yang jelas dan dapat digunakan sebagai
acuan dalam penyusunan kerangka teori dan media untuk edukasi termasuk penyusunan
standart operasional dan peningkatan praktek manajemen nyeri.

Você também pode gostar