Você está na página 1de 13

I.

TUJUAN PERCOBAAN
1. Mengetahui ada atau tidaknya kadar amfetamin melalui pengujian
menggunakan kaset uji
2. Memahami prinsip skrining kandungan psikotropika dengan
menggunakan metode immunoassay
3. Memahami peranan skrining psikotropika untuk mendeteksi
penyalahgunaan psikotropika

II. TEORI DASAR


2.1 Pengertian Amfetamin
Amfetamin adalah senyawa yang mempunyai efek simpatomimetik
tak langsung dengan aktivitas sentral maupun perifer. Strukturnya sangat
mirip dengan katekolamin endogen seperti epinefrin, norepinefrin dan
dopamin. Efek alfa dan beta adrenergik disebabkan oleh keluarnya
neurotransmiter dari daerah presinap. Amfetamin klasik mempunyai efek
menghalangi re-uptake dari katekolamin oleh neuron presinap dan
menginhibisi aktivitas monoaminoksidase, sehingga konsentrasi dari
neurotransmitter terutama dopamin cenderung meningkat dalam sinaps.
Efek tersebut terutama kuat pada neuron dopaminergik yang keluar dari area
tegmental ventralis ke korteks serebral dan area limbik. Jalur tersebut
disebut jalur hadiah (reward pathway) dan aktifasinya kemungkinan
merupakan mekanisme adiksi utama bagi amfetamin. Amfetamine memiliki
waktu paruh (T½) 12-15 jam (Berman et al, 2008; Bramness et al, 2012).

2.2 Mekanisme Kerja Amfetamin


Mekanisme kerja amfetamin pada susunan saraf dipengaruhi oleh
pelepasan biogenik amine yaitu dopamin, norepinefrin, atau serotonin atau
pelepasan ketiganya dari tempat penyimpanan pada persinap yang terletak
pada akhiran saraf. Pada dopamin didapati bahwa amfetamin menghambat
reuptake dopaminergik dan sinapstosom di hipotalamus dan secara langsung

1
melepaskan dopamin yang baru disintesa. Pada norepinefrin, amfetamin
memblok reuptake norepinefrin dan juga menyebabkan pelepasan
norepinefrin baru, penambahan atau pengurangan karbon diantara cincin
fenil dan nitrogen melemahkan efek amfetamin pada pelepasan reuptake
norepinefrin. Sedangkan pada serotonin, devirat amfetamin dengan elektron
kuat yang menarik penggantian pada cincin fenil akan mempengaruhi sistim
serotoninergik Sehingga, dapat disimpulkan bahwa ketiga kerja reseptor
biogenik tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Aktivitas susunan
saraf pusat yang terjadi melalui jaras tersebut dalam otak, masing-masing
menimbulkan aktivitas serta kepribadian pada individu pengguna. Stimulasi
pada pusat motorik di daerap media otak depan (medial forebrain)
menyebabkan peningkatan dari kadar norepinefrin dalam sinaps
menimbulkan euforia dan meningkatkan libido (Japardi, 2002).

Gambar : Struktur Amphetamin

Narkoba (singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif


berbahaya lainnya) adalah bahan/zat yang jika dimasukan dalam tubuh
manusia, baik secara oral/diminum, dihirup, maupun disuntikan, dapat
mengubah pikiran, suasana hati atau perasaan, dan perilaku seseorang.
Narkoba dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi) fisik dan psikologis.
Menurut Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1997 tentang
Narkotika, narkotika merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman
atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan.

2
Menurut Undang-undang RI No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika,
psikotropika adalah zat atau obat, baik lamiah maupun sintetis bukan
Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku.
Menurut WHO penyalahgunaan zat adalah pemakaian terus-
menerus atau jarang tetapi berlebihan terhadap suatu zat atau obat yag sama
sekali tidak ada kaitannya dengan terapi medis. Zat yang dimaksud adalalah
zat psikoaktif yang berpengaruh pada sistem saraf pusat (otak) dan dapat
mempengaruhi kesadaran, perilaku, pikiran, dan perasaan. Sedangkan
Ketergantungan NAPZA adalah keadaan dimana telah terjadi
ketergantungan fisik dan psikis, sehingga tubuh memerlukan jumlah
NAPZA yang makin bertambah (toleransi), apabila pemakaiannya
dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat (withdrawal
symptom). Oleh karena itu ia selalu berusaha memperoleh NAPZA yang
dibutuhkannya dengan cara apapun, agar dapat melakukan kegiatannya
sehari-hari secara “normal”.

2.3 Metode Pemeriksaan Amfetamin


a) Uji penapisan “screening test”
Uji penapisan untuk menapis dan mengenali golongan senyawa
(analit) dalam sampel. Analit digolongkan berdasarkan baik sifat
fisikokimia, sifat kimia maupun efek farmakologi yang ditimbulkan. Obat
narkotika dan psikotropika secara umum dalam uji penapisan
dikelompokkan menjadi golongan opiat, kokain, kanabinoid, turunan
amfetamin, turunan benzodiazepin, golongan senyawa anti dipresan tri-
siklik, turunan asam barbiturat, turunan metadon. Pengelompokan ini
berdasarkan struktur inti molekulnya. Sebagai contoh, disini diambil
senyawa golongan opiat, dimana senyawa ini memiliki struktur dasar
morfin, beberapa senyawa yang memiliki struktur dasar morfin seperti,
heroin, monoasetil morfin, morfin, morfin-3-glukuronida, morfin-6-

3
glukuronida, asetilkodein, kodein, kodein-6-glukuronida, dihidrokodein
serta metabolitnya, serta senyawa turunan opiat lainnya yang mempunyai
inti morfin.
Uji penapisan seharusnya dapat mengidentifikasi golongan analit
dengan derajat reabilitas dan sensitifitas yang tinggi, relatif murah dan
pelaksanaannya relatif cepat. Terdapat teknik uji penapisan yaitu: 1) Thin
Layer Chromatography (TLC) / kromatografi lapis tipis (KLT) yang
dikombinasikan dengan reaksi warna, 2) teknik immunoassay. Teknik
immunoassay umumnya memiliki sifat reabilitas dan sensitifitas yang
tinggi, serta dalam pengerjaannya memerlukan waktu yang relatif singkat,
namun teknik ini menjadi relatif tidak murah.

b) Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


KLT adalah metode analitik yang relatif murah dan mudah
pengerjaannya, namun KLT kurang sensitif. Untuk meningkatkan
sensitifitas KLT sangat disarankan dalam analisis toksikologi forensik, uji
penapisan dengan KLT dilakukan paling sedikit lebih dari satu sistem
pengembang dengan penampak noda yang berbeda. Dengan menggunakan
spektrofotodensitometri analit yang telah terpisah dengan KLT dapat
dideteksi spektrumnya (ultraviolet atau fluoresensi). Kombinasi ini tentunya
akan meningkatkan derajat sensitifitas dan spesifisitas dari uji penapisan
dengan metode KLT. Secara simultan kombinasi ini dapat digunakan untuk
uji pemastian.

c) Teknik Immunoassay
Teknik immunoassay adalah teknik yang sangat umum digunakan
dalam analisis obat terlarang dalam materi biologi. Teknik ini menggunakan
“anti-drug antibody” untuk mengidentifikasi obat dan metabolitnya di dalam
sampel (materi biologik). Jika di dalam matrik terdapat obat dan
metabolitnya (antigentarget) maka dia akan berikatan dengan “antidrug
antibody”, namun jika tidak ada antigentarget maka “anti-drug antibody”

4
akan berikatan dengan “antigen-penanda”. Terdapat berbagai metode atau
teknik untuk mendeteksi beberapa ikatan antigen-antibodi ini, seperti
“enzyme linked immunoassay” (ELISA), enzyme multiplied immunoassay
technique (EMIT), fluorescence polarization immunoassay (FPIA), cloned
enzyme-donor immunoassay (CEDIA), dan radio immunoassay (RIA).
(Krisna, 2012)

d) Uji pemastian “confirmatory test”


Uji ini bertujuan untuk memastikan identitas analit dan menetapkan
kadarnya. Konfirmatori test paling sedikit sensitif dengan uji penapisan,
namun harus lebih spesifik. Umumnya uji pemastian menggunakan teknik
kromatografi yang dikombinasi dengan teknik detektor lainnya, seperti:
kromatografi gas-spektrofotometri massa (GC-MS), kromatografi cair
kinerja tinggi (HPLC) dengan diode-array detektor, kromatografi cair –
spektrofotometri massa (LC-MS), KLT-Spektrofotodensitometri, dan
teknik lainnya. Meningkatnya derajat spesifisitas pada uji ini akan sangat
memungkinkan mengenali identitas analit, sehingga dapat menentukan
secara spesifik toksikan yang ada.

III. ALAT DAN BAHAN


Alat Bahan
1. Alat kaset uji / kit 1. Specimen urin
2. Container specimen urin
3. Pipet untuk meneteskan urin
4. Timer

IV. PROSEDUR
Ditempatkan kaset uji pada permukaan yang agak tinggi dan bersih,
pipet dipegang diatas lubang tempat spesimen secara vertikal dan diteteskan
3 tetes penuh urin ( kira –kira 100 μL) kedalam lubang tersebut. Jangan
sampai ada gelembung udara dalam lubang tempat specimen.

5
Kemudian ditempatkan kaset uji pada permukaan non-absorben
yang datar, timer lalu dinyalakan dan ditunggu hingga muncul garis merah.
Hasil dapat dibaca pada menit ke 5, dan hasil pengujian stabil hingga 4
(empat) jam.

V. HASIL PENGAMATAN

Kaset uji / kit menunjukkan hasil negatif mengandung amfetamin


karena terdapat garis merah pada strip kontrol dan strip tes.

VI. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dilakukan uji skrining kandungan amfetamin
dalam urin menggunakan metode immuoassay. Prinsip dari metode
immunoassay adalah ikatan antibodi kompetitif kandungan obat yang
mungkin terdapat dalam sampel urin berkompetisi dengan konjugat obat
masing-masing berikatan dengan tempat pengikatan pada antibodi.
Pemeriksaan kadar amfetamin ini menggunakan sampel yang
berbeda-beda pada tiap kelompok, sehingga tidak dilakukan pengulangan
percobaan, sehingga mempersempit tidak dapat dilakukan perbandingan
hasil pengulangan, dimana pengulangan yang satu dan yang lain hasil yang
diperoleh tidak boleh berbeda signifikan.
Metode immunoassay adalah metode yang sangat umum digunakan
dalam analisis obat terlarang dalam materi biologi. Metode ini
menggunakan “anti-drug antibody” untuk mengidentifikasi obat dan
metabolitnya didalam sampel. Jika didalam matrik terdapat obat dan

6
metabolitnya maka akan berikatan dengan “anti drug antibody” akan
berikatan dengan “antigen penanda” (Kee. J, 1997).
Immunoassay merupakan uji untuk mengidentifikasi keberadaan
suatu obat maupun metabolitnya dalam sampel biologis. Tujuannya
untuk memonitor penyalahgunaan obat maupun terapi suatu obat pada
pasien (Stanley, 2002).
Pada praktikum ini dilakukan metode immunoassay ELISA
(Enzyme-linked immunosorbent assay). Mekanisme ELISA adalah
sejumlah antigen yang tidak dikenal ditempelkan pada suatu permukaan,
kemudian antibodi spesifik dicucikan pada permukaan tersebut, sehingga
akan berikatan dengan antigennya. Antibodi ini terikat dengan suatu enzim,
dan pada tahap terakhir, ditambahkan substansi yang dapat diubah oleh
enzim menjadi sinyal yang dapat dideteksi (Krisna, 2012).
Kelebihan dari metode immunoassay mudah dilakukan, relatif
murah untuk pengujian tiap sampel, cepat, dan dapat mengidentifikasi
suatu golongan obat. Namun perlu diperhatikan adanya senyawa yang
mirip dengan senyawa target dapat mengganggu pengukuran dan
memberikan hasil positif yang tidak diharapkan atau hasil positif yang
salah (Stripp, 2007).
Sampel yang digunakan pada praktikum kali ini adalah urin. alasan
digunakan urin karena immunoassay lebih sering menggunakan sampel
urin karena dibutuhkan sampel bebas protein. Keberadaan protein akan
mengganggu analisis yang terjadi (Stripp, 2007).
Urin yang diambil pada saat dilakukan praktikum ditampung
dengan menggunakan pot. Selanjutnya diuji dengan menggunakan kaset uji.
Kaset uji ini ditempatkan pada permukaan yang agak tinggi dan bersih.
kemudian urin dipipet dengan pipet khusus dan kemudian urin yang
terambil diteteskan sebanyak 3 tetes ( kira-kira 100 μL ) diatas tempat
spesimen secara vertikal kedalam lubang tersebut dan jangan sampai
terdapat gelembung udara karena akan mempengaruhi naiknya sampel urin

7
pada kaset uji sehingga bercak garis yang dihasilkan tidak dapat teramati
dengan jelas atau invalid.

Pada gambar tersebut, terdapat dua tanda yaitu tanda T yang merupakan
tanda untuk Test dan tanda C yang merupakan tanda untuk kontrol. Ketika
sampel urin diteteskan pada lubang tempat spesimen, maka sampel akan
merambat naik karena pengaruh daya kapilaritas. Dalam kaset dengan garis
tanda C (kontrol) dilapisi oleh antibodi poliklonal kambing yang berikatan
dengan konjugat emas-protein dan bantalan pewarna yang mengandung partikel
koloidal emas yang dilapisi monoklonal antibodi tikus yang spesifik untuk
amfetamin. Sedangkan pada garis uji dilapisi oleh obat yang terkonjugasi
protein (bovin albumin murni).
Ketika sampel urin naik ke atas karena pengaruh kapilaritas, maka
amfetamin yang ada pada urin akan berkompetisi dengan konjugat protein obat
untuk berikatan dengan antibodi. Adapun ilustrasi dari reaksi ini digambarkan
seperti dibawah ini:

8
C T
Urin

Antibodi
Konjugat Protein
YY obat Amfetami

OO

Y Y Y Y

Gambar pembentukan warna pada strip

Ketika di dalam urin terdapat amfetamin dengan kadar dibawah batas


konsentrasi, maka antibodi yang spesifik untuk amfetamin tidak akan
dijenuhkan oleh amphetamin yang ada pada sampel, sehingga antibodi yang
spesifik dengan amfetamin akan berikatan dengan konjugat protein obat yang
terdapat pada strip T sehingga akan timbul warna pada strip tersebut akibat
ikatan antara antibodi dengan konjugat protein obat ketika terbasahi oleh urin.
Sedangkan apabila dalam sampel terdapat amfetamin dengan kadar diatas
konsentrasi, maka antibodi yang spesifik untuk amfetamin akan dijenuhkan
oleh amfetamin yang ada pada sampel, sehingga antibodi yang spesifik untuk

9
amfetamin akan terjenuhkan dan afinitas ikatannya tinggi, akibatnya tidak ada
antibodi yang spesifik amfetamin yang akan berikatan dengan konjugat protein
obat. Karena tidak adanya ikatan antibodi yang spesifik yang berikatan dengan
konjugat protein obat pada strip T, maka tidak akan timbul warna pada strip
tersebut ketika terbasahi oleh urin. Pada strip C atau kontrol, berisi antibodi
yang spesifik untuk amfetamin dan konjugat emas-protein dan bantalan
pewarna yang akan menimbulkan warna pada strip ini ketika terbasahi urin
ketika dalam urin tersebut mengandung atau tidak mengandung amphetamin,
jadi strip C berfungsi sebagai kontrol yang mengindikasikan bahwa volume
spesimen telah tepat dan sampai pada ujung kaset dengan hasil yang akurat.
Pada praktikum ini, hasil pengujian menunjukkan bahwa urin yang
dianalisis tidak mengandung amfetamin diatas batas konsentrasi yang
ditunjukkan dengan munculnya warna pada strip Control dan strip Test.
Seharusnya untuk meyakinkan hasil dari uji strip selanjutnya dilakukan uji
konformasi dengan menggunakan GC-MS. Mass chromatografi (MS)
digunakan karena sensitifitas lebih tinggi karena mengukur intensitas ion zat.
Sedangkan gas chromatografi (GS) digunakan karena memiliki spesifitas lebih
tinggi karena dapat membedakan berbagai jenis zat sampai tingkat intensitas
ion, hambatan waktu dan bentuk kromatografinya. Tetapi pada saat pengujian
hanya dilakukan skrining amfetamin saja dengan menggunakan uji strip, tanpa
dikonfirmasi lanjut dengan GC atau MS.

Hasil-hasil yang akan diperoleh pada pengujian :


 Bila Sampel Urin Positif
Di zone S narkoba urin positif akan langsung berikatan dan menjenuhi
IgG anti-narkoba-substrat, sehingga waktu didifusikan ke zone T tidak bisa
mengikat (bercelah) narkoba-enzimnya (KNE), tidak terjadi reaksi enzim-
substrat dan karenanya tidak muncul reaksi warna. Sebaliknya di zone C
tetap terjadi reaksi warna (pita pink) sebab narkoba urin tidak spesifik
untuk dapat berikatan dengan IgG goat. (Suwarso, 2002)

10
 Bila Sampel Urin Negatif
Pada sampel urin yang tidak mengandung NAPZA atau narkoba, maka
jika urin ini diteteskan di area S, urin hanya mendifusikan IgG anti-narkoba-
substrat dan IgG goat-substrat dari area S ke area T dan area C. Di area T
IgG anti-Narkoba akan berikatan dengan narkoba-enzimnya (KNE);
sementara di area C IgG goat akan berikatan dengan IgG anti-IgG goat-
enzim (KAGE), sehingga baik di area T maupun area C terjadi reaksi
enzim-substrat berupa pita warna mera muda atau merah. (Suwarso, 2002)

 Bila sampel urin invalid


Apabila dalam pengujian kaset uji hasilnya menunjukkan invalid maka
bisa disebabkan oleh kurangnya volume pada saat penetesan ke kaset uji,
yang mengakibatkan sampel hanya menunjukkan garis merah pada tes saja.
Reaksi ini hanya membutuhkan H2O urin, karenanya tidak tergantung pada
ada tidaknya narkoba, hasil reaksi pada strip Control (C) ini akan selalu
muncul warna. Jika warna ini muncul berarti test dikatakan valid dan
dengan demikian hasil test dapat dipercaya dan siap diberikan ke yang
berkepentingan. Sebaliknya jika warna tidak muncul ini berarti test
tidak valid, dan harus diulang dengan test kit yang baru, dan dilakukan
pengujian kembali. (Suwarso,2002)

11
VII. KESIMPULAN
1) Hasil skrining amfetamin pada urin hasilnya negative ditandai
dengan adanya garis warna merah pada strip control dan strip
test
2) Mengetahui metode atau prinsip dari metode immunoassay
yakni adanya ikatan antibodi kompetitif kandungan obat yang
mungkin terdapat dalam sampel urin berkompetisi dengan
konjugat obat masing-masing berikatan dengan tempat
pengikatan pada antibodi.
3) Skrining psikotropika pada pengujian ini menggunakan sampel
urin untuk mengetahui seseorang menggunakan amfetamin atau
tidak yang dilakukan dengan menggunakan kaset uji.

12
DAFTAR PUSTAKA

1) Berman S, O’Neill J, Fears S, et al, 2008. Abuse of Amphetamine and Structural

Abnormalities in Brain. Ann N Y Acad Sci. 1141:195-220

2) Bramness JG, Gundersen OH, Guterstam J, et al, 2012. Amphetamine- Induced

Psychosis – a Separate Diagnostic Entity or Primary Psychosis Triggered in the

Vulnerable. BMC Psychiatry.

3) Dirjen Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan, Kepmenkes pedoman

penatalaksanaan medik gangguan penggunaan NAPZA, Departemen

kesehatan RI,Jakarta, 2010, Hal ; 4

4) Japardi, Iskandar. (2002). Efek neurologis dari ectasy dan shabu-shabu.

Sumatera Utara : Universitas Sumatera Utara

5) Krisna, Arini. 2012. Test ELISA. (Enzyme Linked Immunoaassay) Sumatera

Utara: Universitas Sumatera Utara

6) Suwarso, Manajemen Laboratoris Penyalahgunaan Obat dan

Komplikasinya,Bagian Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas

Gadjah Mada, Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito, Yogyakarta, 2002 hal ;

6,7,8,9,10

7) Stanley, J., 2002, Essentials of Immunology and Serology, 162 , Thomson

Learning Inc., USA.\

8) Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia No.5 tahun 1997. Tentang

Psikotropika. DEPKES RI : Jakarta

9) Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia No.22 tahun 1997. Tentang

Narkotika. DEPKES RI : Jakarta

13

Você também pode gostar