Você está na página 1de 8

A.

Epidemiologi
1. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab
kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema.
Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab
kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995,
prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis
kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/ 1000 (PDPI,2003).

2. Penelitian Lain
Berbagai penelitian menunjukkan bervariasinya prevalensi asma ,
bergantung kepada populasi target studi, kondisi wilayah, metodologi yang
digunakan dan sebagainya.
 Asma pada anak
Woolcock dan Konthen pada tahun 1990 di Bali mendapatkan prevalensi
asma pada anak dengan hipereaktiviti bronkus 2,4% dan hipereaktiviti
bronkus serta gangguan faal paru adalah 0,7%. Studi pada anak usia SLTP di
Semarang dengan menggunakan kuesioner International Study of Asthma and
Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan hasil dari 402 kuesioner yang
kembali dengan rata-rata umur 13,8 ± 0,8 tahun didapatkan prevalensi asma
(gejala asma 12 bulan terakhir/ recent asthma) 6,2% yang 64% di antaranya
mempunyai gejala klasik. Bagian Anak FKUI/ RSCM melakukan studi
prevalensi asma pada anak usia SLTP di Jakarta Pusat pada 1995-1996
dengan menggunakan kuesioner modifikasi dari ATS 1978, ISAAC dan
Robertson, serta melakukan uji provokasi bronkus secara acak. Seluruhnya
1296 siswa dengan usia 11 tahun 5 bulan – 18 tahun 4 bulan, didapatkan
14,7% dengan riwayat asma dan 5,8% dengan recent asthma. Tahun 2001,
Yunus dkk melakukan studi prevalensi asma pada siswa SLTP se Jakarta
Timur, sebanyak 2234 anak usia 13-14 tahun melalui kuesioner ISAAC
(International Study of Asthma and Allergies in Childhood), dan pemeriksaan
spirometri dan uji provokasi bronkus pada sebagian subjek yang dipilih
secara acak. Dari studi tersebut didapatkan prevalensi asma (recent asthma )
8,9% dan prevalensi kumulatif (riwayat asma) 11,5% (PDPI,2003).
 Asma pada dewasa
Tahun 1993 UPF Paru RSUD dr. Sutomo, Surabaya melakukan penelitian
di lingkungan 37 puskesmas di Jawa Timur dengan menggunakan kuesioner
modifikasi ATS yaitu Proyek Pneumobile Indonesia dan Respiratory
symptoms questioner of Institute of Respiratory Medicine, New South Wales,
dan pemeriksaan arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan alat peak flow
meter dan uji bronkodilator. Seluruhnya 6662 responden usia 13-70 tahun
(rata-rata 35,6 tahun) mendapatkan prevalensi asma sebesar 7,7%, dengan
rincian laki-kali 9,2% dan perempuan 6,6% (PDPI,2003)

B. Etiologi
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan, terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, netrofil dan
sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai
penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada pasien asma. Inflamasi
terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma
persisten. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif
(hipereaktifitas) jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang
berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada
malam dan/atau dini hari. Episodik tersebut berkaitan dengan sumbatan
saluran napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan
atau tanpa pengobatan (Depkes RI, 2007).
Terdapat tiga proses yang menyebabkan pasien mengalami asma yaitu
sensitisasi, inflamasi dan serangan asma. Ketiga proses ini dipengaruhi oleh
dua faktor yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan.
a. Sensitisasi
Individu dengan risiko genetik (alergik/atopi, hipereaktivitas bronkus,
jenis kelamin dan ras) dan lingkungan (alergen, sensitisasi lingkungan
kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status
sosioekonomi dan besarnya keluarga) apabila terpajan dengan pemicu
(inducer/sensitisizer) maka akan menimbulkan sensitisasi pada dirinya.
Faktor pemicu tersebut adalah alergen dalam ruangan: tungau, debu
rumah, binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), jamur, ragi dan pajanan
asap rokok.
b. Inflamasi
Individu yang telah mengalami sensitisasi, belum tentu menjadi asma.
Apabila telah terpajan dengan pemacu (enhancer) akan terjadi proses
inflamasi pada saluran napas. Proses inflamasi yang berlangsung lama atau
proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan
hipereaktivitas. Faktor pemacu tersebut adalah rinovirus, ozon dan
pemakaian β2 agonis.
c. Serangan asma
Setelah mengalami inflamasi maka bila individu terpajan oleh pencetus
(trigger) maka akan terjadi serangan asma (Depkes RI, 2009).
Sampai saat ini etiologi dari Asma Bronkhial belum diketahui. Suatu
hal yang yang menonjol pada penderita Asma adalah fenomena
hiperaktivitas bronkus. Bronkus penderita asma sangat peka terhadap
rangsangan imunologi maupun non imunologi. Adapun rangsangan atau
faktor pencetus yang sering menimbulkan Asma adalah:
1. Faktor ekstrinsik (alergik) : reaksi alergik yang disebabkan oleh
alergen atau alergen yang dikenal seperti debu, serbuk-serbuk, bulu-
bulu binatang.
2. Faktor intrinsik(non-alergik) : tidak berhubungan dengan alergen,
seperti common cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi, dan
polutan lingkungan dapat mencetuskan serangan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik
dari bentuk alergik dan non-alergik (Smeltzer & Bare, 2002).
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan Asma Bronkhial yaitu :
a. Faktor predisposisi
1) Genetik
Faktor yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita
dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga
menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini,
penderita sangat mudah terkena penyakit Asma Bronkhial jika
terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu hipersensitivitas saluran
pernapasannya juga bisa diturunkan.
b. Faktor presipitasi
1) Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
a) Inhalan : yang masuk melalui saluran pernapasan
Contoh : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur,
bakteri dan polusi
b) Ingestan : yang masuk melalui mulut. Contoh : makanan
dan obat-obatan
c) Kontaktan : yang masuk melalui kontak dengan kulit
Contoh : perhiasan, logam dan jam tangan
2) Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi Asma. Atmosfir yang mendadak dingin
merupakan faktor pemicu terjadinya serangan Asma.
Kadangkadang serangan berhubungan dengan musim, seperti
musim hujan, musim kemarau.
3) Stres
Stres atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan
Asma, selain itu juga bisa memperberat serangan Asma yang
sudah ada. Disamping gejala Asma yang timbul harus segera
diobati penderita Asma yang mengalami stres atau gangguan
emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi maka gejala
belum bisa diobati.
4) Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya
serangan Asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja.
Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri
tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada
waktu libur atau cuti.
5) Olah raga atau aktifitas jasmani
Sebagian besar penderita Asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktifitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari
cepat paling mudah menimbulkan serangan Asma. Serangan
asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai
aktifitas tersebut (Smeltzer & Bare, 2002).
C. Patofisiologi
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran
napas yang akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan
epitel saluran napas, gangguan saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot
polos bronkus juga diduga berperan pada proses hipereaktivitas saluran napas.
Peningkatan reaktivitas saluran nafas terjadi karena adanya inflamasi kronik
yang khas dan melibatkan dinding saluran nafas, sehingga aliran udara
menjadi sangat terbatas tetapi dapat kembali secara spontan atau setelah
pengobatan. Hipereaktivitas tersebut terjadi sebagai respon terhadap berbagai
macam rangsang. Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut.
Jalur imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom.
Asma timbul karena sesorang yang atopi terpapar dengan alergen yang ada
dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk immunoglubolin E (IgE).
Alergen yang masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan, kulit, saluran
pencernaan, dan lain-lain akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai
antigen presenting cells (APC). Setelah allergen diproses dalam sel APC,
selanjutnya oleh sel tersebut, allergen dipresentasikan ke sel th. Sel th
memberikan signal kepada sel B dengan dilepaskannya Interleukin 2 (IL-2)
untuk berpoliferasi menjadi sel plasma dan membentuk immunoglubolin E
(IgE). IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan
dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Bila proses ini terjadi pada seseorang
maka orang itu sudah desentisasi atau baru menjadi rentan. Bila orang yang
sudah rentan ini terpapar kedua kali atau lebih dengan allergen yang sama,
allergen tersebut akan diikat oleh IgE yang sudah ada dalam permukaan
mastosit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel
dan perubahan di dalam sel yang menurunkan kadar cAMP. Penurunan kadar
cAMP menimbulkan degranulasi sel yang menyebabkan dilepaskannya
mediator-mediator kimia yang meliputi: histamin, Slow Releasing Suptance of
Anaphylaksis (SRS-A), Eosinophilik Chomotetik Faktor of Anaphylaksis
(ECF-A), trypase dan kinin. Hal ini akan menyebabkan timbulnya tiga reaksi
utama yaitu: kontraksi otot-otot polos baik yang besar maupun yang kecil,
yang akan menimbulkan bronkospasme, peningkatan permiabilitas kapiler
yang berperan dalam terjadinya edema mukosa yang menambah semakin
menyempitnya saluran napas, peningkatan sekresi kelenjar mukosa dan
peningkatan produksi mucus. Proses ini akan menimbulkan sesak, napas
berbunyi (wheezing), dan batuk yang produktif. Asma non alergik terjadi
bukan karena pemaparan allergen tetapi terjadi akibat beberapa faktor
pencetus seperti infeksi saluran pernapasan bagian atas, olah raga atau
kegiatan jasmani yang berat dan tekanan jiwa atau stress psikologi. Serangan
asma ini terjadi akibat gangguan saraf otonom terutama gangguan saraf
simpatis yaitu blockade adrenergik beta dan hiperaktifitas adrenergik alfa.
Dalam keadaaan normal aktifitas adrenergik beta lebih dominan daripada
adrenergik alfa. Pada sebagian penderita asma aktifitas adrenergik alfa diduga
meningkat sehingga mengakibatkan bronkokonstriksi dan menimbulkan sesak
napas (Muttaqin, A.2008).
DAFTAR PUSTAKA

Bare & Smeltzer.2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &


Suddart (Alih bahasa Agung Waluyo) Edisi 8 vol.3. Jakarta :EGC
Depkes RI., 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma
Depkes RI., 2009. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma

Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistim

Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis dan

Penatalaksanaan Asma di Indonesia.

Você também pode gostar