Você está na página 1de 3

Fase Kronis

85% pasien dengan CML berada pada tahapan fase kronik pada saat mereka
didiagnosa dengan CML. Selama fase ini, pasien selalu tidak mengeluhkan gejala atau
hanya ada gejala ringan seperti cepat lelah dan perut terasa penuh. Lamanya fase
kronik bervariasi dan tergantung sebearapa dini penyakit tersebut telah didiagnosa dan
terapi yang digunakan pada saat itu juga. Tanpa adanya pengobatan yang adekuat,
penyakit dapat berkembang menuju ke fase akselerasi.

Fase Akselerasi

Pada fase akselerasi hitung leukosit menjadi sulit dikendalikan dan abnormalitas
sitogenik tambahan mungkin timbul. Kriteria diagnosa dimana fase kronik berubah
menjadi tahapan fase akselerasi bervariasi. Kriteria yang banyak digunakan adalah
kriteria yang digunakan di MD Anderson Cancer Center dan kriteria dari WHO.
Kriteria WHO untuk mendiagnosa CML, yaitu :

 10-19% myeloblasts di dalam darah atau pada sum-sum tulang.

 >20% basofil di dalam darah atau sum-sum tulang.

 Trombosit <100.000, tidak berhubungan dengan terapi.

 Trombosit >100.000, tidak respon terhadap terapi.

 Evolusi sitogenik dengan adanya abnormal gen yaitu kromosom philadelphia.

 Splenomegali atau jumlah leukosit yang meningkat.

Pasien diduga berada pada fase akselerasi berdasarkan adanya tanda-tanda yang telah
disebutkan di atas. Fase akselerasi sangat signifikan karena perubahan dan perubahan
menjadi krisis blast berjarak berdekatan.

Krisis blast

Krisis blast adalah fase akhir dari CML, dan gejalanya mirip seperti leukemia
akut, dengan progresifitas yang cepat dan dalam jangka waktu yang pendek. Krisis
blast didiagnosa apabila ada tanda-tanda sebagai berikut pada pasien CML :

 >20% myeloblasts atau lymphoblasts di dalam darah atau sum-sum tulang.

 Sekelompok besar dari sel blast pada biopsi sum-sum tulang.

 Perkembangan dari chloroma.

GEJALA DAN TANDA


Pada umumnya gejala CML pada anak-anak, biasanya tidak spesifik, seperti
fatigue, malaise dan penurunan berat badan. Abdominal discomfort, yang disebabkan
oleh splenomegali, biasanya juga dijumpai. Gejala biasanya tidak nyata, dan diagnosis
sering ditegakkan bila pemeriksaan darah dilakukan atas alasan lain. Penderita
mungkin datang dengan splenomegali (yang dapat masif) atau dengan gejala
hipermetabolisme, termasuk kehilangan berat badan, anoreksia, dan keringat malam.
Gejala leukostasis seperti gangguan pengelihatan atau priapismus, jarang terjadi.
Pasien sering asimptomatik pada saat pemeriksaan, hanya ditemukan peningkatan
leukosit pada pemerikasaan jumlah leukosit dalam pemeriksaan darah. Pada keadaan
ini CML harus dibedakan dari reaksi leukemoid, yang mana pada pemeriksaan darah
tepi memiliki gambaran yang serupa. Gejala dari CML adalah malaise, demam, gout
atau nyeri sendi, meningkatnya kemungkinan infeksi, anemia, trombositopenia,
mudah lebam, dan didapatnya splenomegali pada pemerikasaan fisik.2

Tabel. 1. Gambaran Klinis Diagnosis Chronic Myeloid Leukemia

Umum Jarang

Fatigue Nyeri tulang

Berat badan turun Perdarahan

Abdominal discomfort Demam

Asimtomatik Berkeringat

Leukositosis

Gout

Spleen Infark

Mayoritas anak-anak dijumpai splenomegaly, namun penemuan lain biasanya tidak


spesifik. Hepatomegaly teraba (1-2 cm) tetapi hepatomegali hebat dan limfadenopati
sangat tidak umum, kecuali penyakit itu sudah fase lanjut atau blast krisis. Tanda
leukositosis (e.g. retinal hemoragik, papil edema, priapismus). Biasanya hanya
keliatan jika leukosit sangat tinggi (>300×10 9/L). Beberapa laporan menduga bahwa
tanda-tanda CML lebih umum pada anak-anak daripada dewasa, walaupun dari 40
anak-anak hanya 3 (7,5%) yang mengalami leukositosis. Nodul di kulit akibat deposit
leukemic (chloromas) jarang dijumpai, biasanya dihubungkan dengan fase lanjut atau
blast krisis.

DIAGNOSIS
Kelainan laboratorium biasanya mula-mula terbatas pada kenaikan hitung
leukosit, yang dapat melebihi 100.000/mm3, dengan semua bentuk sel myeloid
tampak di apus darah. CML sering didapat diagnosanya berdasarkan pemeriksaan
darah, yang mana menunjukkan peningkatan granulosit dari berbagai jenis, termasuk
sel myeloid yang matur. Basofil dan eosinofil biasanya meningkat. Peningkatan ini
dapat menjadi indikasi untuk membedakan CML dari reaksi leukemoid. Biopsi sum-
sum tulang sering dilakukan sebagai evaluasi dari CML.2 Pada pemeriksaan sum-sum
tulang CML ditandai dengan hipercellular di dalam semua fase. Pada fase kronis
terjadi peningkatan terutama hiperplasia dari sel granulocytic (Roberts, dkk, 2006).
Diagnosa utama dari CML diperoleh dari ditemukannya kromosom philadelphia.
Kromosom abnormal yang khas ini dapat didetekesi dari pemerikasaan sitogenetik
rutin, dengan hibridisasi fluoresen in situ atau dengan PCR untuk gen bcr-abl yang
menyatu.

TERAPI

Pada fase kronis CML diterapi dengan inhibitor tyrosine kinase, yang pertama
adalah imatinib mesylate (Gleevec, Glivec). Sebelumnya digunakan antimetabolit
(cytarabine, hydroxyurea), alkalysis agent, interferon alfa 2b, dan steroid, tetapi obat-
obat ini sekarang telah digantikan oleh imatinib. penggunaan Imatinib telah disetujui
oleh FDA Amerika Serikat dan dikhususkan untuk bcr-abl, yang mengaktifkan
penyatuan protein tyrosine kinase yang disebabkan oleh translokasi kromosom
philadelphia. Imatinib ini dapat ditolerir lebih baik dan lebih efektif dibandingkan
terapi sebelumnya. Transplantasi sum-sum tulang juga digunakan sebagai terapi
pilihan untuk CML.

Pada sindrom tumor lysis diberikan hidrasi, alkalinisasi, dan allopurinol. Pada
hiperleukositosis pada CML yang ditandai dengan jumlah leukosit
>200.000/mm3 mulai diberikan hydroxyurea 50-75 mg/kgBB/hari. Imatinib mulai
diberikan setelah diagnosis dari Ph-positif CML telah ditegakkan. Bila terdapat respon
yang kurang memuaskan terhadap Imatinib maka digunakan IFN-α atau IFN-α dan
Ara-C 5×106 unit/m2 per hari secara subcutan atau intramuskular. Hydroxyurea
digunakan untuk menurunkan jumlah leukosit menjadi 10.000-20.000 /mm 3 dan dapat
diturunkan dosisnya secara bertahap dan tidak dilanjutkan kembali (Lawnkowsky,
2006).

Respon terhadap pengobatan dapat diketahui berdasarkan beberapa kriteria,


diantaranya kriteria secara hematologi. Apabila leukosit kurang dari 9000/mm 3, tidak
dijumpai splenomegali dan morfologi normal maka hal ini menunjukkan adanya
respon pengobatan secara keseluruhan (complete response). Bila leukosit kurang dari
20.000/mm3, dijumpai splenomegali maka terdapat respon pengobatan parsial (partial
respon). Dikatakan pengobatan gagal apabila leukosit lebih dari 20.000/mm3 dan
dijumpai splenomegali (Lawnkowsky, 2006).

Você também pode gostar