Você está na página 1de 15

PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN ROLE PLAYING

BERPERSPEKTIF MULTIKULTURAL UNTUK MENUMBUHKAN


SIKAP ANTI KEKERASAN

Oleh:
Murdianto
Dosen IAI Sunan Giri Ponorogo

Abstrak:
Pengembangan model pembelajaran yang relevan, setidaknya
dapat memberikan perspektif baru untuk mampu merespon fakta
pemahaman keagamaan tindakan kekerasan yang seringkali
dilatari tidak adanya kesadaran tentang keragaman pemahaman
keagamaan. Model pembelajaran Role Playing adalah salah satu
model pembelajaran yang diciptakan untuk mengajak siswa
mengeksplorasi masalah-masalah sosial yang mereka hadapi,
relevan untuk menumbuhkan sikap anti kekerasan. Tujuan riset
ini adalah untuk mengetahui praktik pembelajaran Pengetahuan
Agama di Sekolah Dasar, dampak pemahaman dan sikap keagamaan
serta implikasinya terhadap perilaku kekerasan dan konsep
pembelajaran role playing berperspektif multikultural dan
relevansinya untuk menumbuhkan sikap anti kekerasan?

Keyword: Model Role playing, Sikap Anti Kekerasan

A. Latar Belakang
Ada banyak fakta sepanjang sepuluh tahun terakhir, yang memunculkan dugaan tentang
adanya hubungan pemahaman keagamaan dengan aksi-aksi kekerasan. Walaupun ini bukan
penyebab tungggal. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa ketidakadilan, sentimen kelas ikut
memberi andil lahirnya pemahaman dan gerakan keagamaan yang serba mengklaim
kebenaran diri dan memaksakannya kepada orang lain bahkan dalam bentuk kekerasan. Data-
data dibawah ini, yang membuktikan bahwa kekerasan walaupun tidak bermotif agama
berkaitan dengan pemahaman seseorang terhadap ajaran agamanya, selain karena motifasi
yang lain.
Beberapa bisa kita sebutkan pada masa Orde Baru, mulai peristiwa Situbondo,
Tasikmalaya, Pekalongan Banjarmasin, dan banyak lagi peristiwa kekerasan bernuansa agama
yang terjadi sepanjang tahun 1990-an. Era reformasi ditandai dengan peristiwa yang sangat
kekerasan agama paling memilukan yakni Kerusuhan Ambon, mulai tahun 1999, Tragedi
Poso aksi-aksi kekerasan berlatar agama dan menjadi satu episode sejarah paling kelam di
negeri ini. Aksi-aksi kekerasan ini berlanjut dengan berbagai aksi pengeboman terhadap
tempat ibadah dan fasilitas publik, seperti Bom malam Natal 2001 terhadap beberapa gereja,
1
BEJ, Hotel JW Marriot, Kedubes Filipina, Bom Bali 2002, Kedubes Australia, kekerasan
terhadap Jamaah Ahmadiyah dan berbagai bentuk kekerasan berlatar agama. Beberapa
peristiwa ini berlangsung terus menerus dalam rentang 2000-2016. Fakta kemudian terungkap
pihak kepolisian, bahwa pelaku aksi-aksi pengeboman ini adalah kelompok Azahari dan
Noordin M Top yang ternyata berkait dengan jaringan yang menamakan diri sebagai
Ansharul Muslimin.1 Kelompok sejenis dengan menggunakan nama lainnya, juga muncul bersamaan
dengan berbagai konflik di Timur Tengah, misalnya Suriah. Mereka sering disebut sebagai kelompok
takfiri, yang terbiasa menyebut kelompok lain yang berbeda sebagai ‘sesat’, ‘kafir’ dan ‘anthek
zionis’ dengan gampang pula mereka melakukan aksi kekerasan, terhadap kelompok yang di
katakan sebagai sesat dan kafir itu.
Kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang mengatas
namakan agama ternyata tidak berakhir disitu. Sepanjang tahun 2008-2010 berbagai tindak
kekerasan yang dilatarbelakangi motif agama tidak juga reda. Seperti penyerangan terhadap
aset-aset dan masjid kelompok Ahmadiyah, penyerangan fisik terhadap pendeta dan jemaat
HKBP di Tangerang dan teramat banyak peristiwa untuk disebut yang kesemuanya berkaitan
dengan motif-motif dan pemahaman agama. Peristiwa semacam ini menarik untuk dikaji
karena, berali-kali peristiwa serupa terjadi. Dan selalu saja simbol dan ‘motif-motif’ agama
selalu digunakan sebagai alasan. Bahkan beberapa aksi kekerasan bernuansa agama ini
menelan korban jiwa yang relatif besar.
Dalam konteks perkembangan semacam itulah, pendidikan dan didalamnya proses
pembelajaran diuji kemampuannya untuk memberi kontribusi terhadap pengembangan
pemahaman dan sikap keagamaan yang ramah dan toleran serta menghindari bentuk
kekerasan dalam menyikapi setiap perbedaan. Karena para pelaku-pelaku kekerasan tentu
mendapatkan pemahaman keagamaannya dari berbagai sumber, termasuk latar pengetahuan
agama yang didapatkannya.
Pengembangan metode pembelajaran yang relevan, setidaknya dapat memberikan
perspektif baru untuk mampu merespon fakta pemahaman keagamaan tindakan kekerasan
yang seringkali dilatari tidak adanya kesadaran tentang keragaman pemahaman keagamaan.
Model pembelajaran Role Playing adalah salah satu model pembelajaran yang diciptakan
untuk mengajak siswa mengeksplorasi masalah-masalah sosial yang mereka hadapi, dengan
cara memainkan peran dan merefleksikan peran-peran itu. 2 Model role playing dalam

1 nama ini di kenal luas karena tersebar oleh media massa, yang menyebutkan bahwa jaringan ini telah memiliki
situs web di www.anshar-almuslimin.net, namun ketika diakses situs ini tidak lagi aktif
2 Bruce Joyce, Marsha Weil. 1996 (ed 5), Model of Teaching, Boston: Allyn &Bacon, hal. 89
2
kapasitasnya itu tentu memiliki relevansi dalam proses pembelajaran yang menjadi alternatif
solusi untuk turut serta menangani problem sosial yang berbentuk kekerasan bernuansa agama

B. Rumusan Masalah
C. Rumusan masalah penelitian ini adalah: pertama bagaimana praktik
pembelajaran Pengetahuan Agama di Sekolah Dasar, dampak pemahaman dan sikap
keagamaan serta implikasinya terhadap perilaku kekerasan? Kedua, Bagaimana konsep
pembelajaran role playing berperspektif multikultural dan relevansinya untuk menumbuhkan
sikap anti kekerasan?
D.
E. Metode Penelitian
Tulisan ini lebih merupakan kajian pustaka. Yang banyak mengandalkan sumber-sumber
berupa transkrip, majalah, surat kabar, buku dan lain sebagainya.3 Dan berusaha menjadikan
fakta-fakta literer untuk menganalisis berbagai fenomena yang dikaji dalam makalah ini.
Data-data pendukung baik berupa laporan investigasi, opini, dan berita terkait dengan masalah
juga menjadi data yang penting. Fakta-fakta ini yang ditemukan kemudian berusaha di
analisis secara kritis, dan menelisik akar persoalannya dengan menggunakan pisau analisis
teori-teori sosial-budaya dan mendialogkannya dengan persoalan-persoalan pembelajaran
pengetahuan agama di sekolah Dasar. Hasil penelitian ini kemudian ditulis menjadi sebuah
laporan.

3 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Bina Aksara (1993) hal. 149
3
Pembelajaran Pengetahuan Agama di Sekolah, Pemahaman Keagamaan dan Kekerasan
Bernuansa Agama
Pengetahuan agama mempunyai peran penting dalam menanamkan budi pekerti dan
karakter pada diri manusia. Agama yang didalamnya terdapat seperangkat keyakinan, nilai-
nilai serta ajaran tentang perilaku yang baik dalam berhubungan dengan Tuhan (The Supreme
Being) dan berhubungan dengan sesama manusia dan makhluk lainnya. Oleh karena itu dalam
setiap proses pendidikan dinegeri kita, pengetahuan agama menjadi salah satu mata pelajaran
yang diajarkan dalam sekolah kita. Dan pada sekolah berbasis agama misalnya madrasah
dalam agama Islam, mata pelajaran pengetahuan agama dibgi lagi menjadi beberapa mata
pelajaran khusus.
Walaupun demikian dalam prosesnya pembelajaran agama mendapatkan berbagai
kritik. Benny Susetyo, seorang tokoh agama Katolik Malang mengungkap beberapa kritik
yang sering dilontarkan terhadap model pembelajaran agama, yang bisa kita jadikan landasan
untuk melakukan evaluasi pada proses pembelajaran dan materi agama, -pada materi agama
apapun-antara lain:
1. Masih banyak berkisar pada pengaturan hukum-hukum, aturan-aturan,
larangan-larangan dan lain sebagainya. Bukan pada nilai-nilai yang membangun
hukum-hukum itu misalnya keadilan, perdamaian, dan sebagainya
2. Tekanan pengajaran agama masih berpusat pada ‘memiliki agama’ (to have
religion, bukan untuk ‘beragama’ (to be religion). Akhirnya yang muncul adalah
penekanan ‘kesalehan dan moralitas individual’ semata, bukan ‘ moralitas sosial’ yang
memiliki implikasi lebih luas.4

Akibat dua hal, ini pengajaran agama kita pada prinsipnya berusaha menjadikan
siswanya sebagai seorang yang saleh, tetapi sering mementigkan diri sendiri, bahkan
5
arogan dan picik. Dalam konteks ntuk menjelaskan karakter ini, penulis mengutip
beberapa renungan Mustofa Bisri dalam sebuah kolomnya berjudul Ietsaar:

Ketika memberi sedekah, yang teringat olehku pertama kali dan paling utama
bukan hajat orang yang aku sedekahi, tapi balasan yang akan aku terima. Kadang-
kadang malah, balasan itu aku harapkan secepatnya di dunia ini. Ketika aku
berpuasa, aku hanya memikirkan lapar dan hausku sendiri, seraya membayangkan
dan mengharapkan surga Rayyan. Sengatan haus dan lapar yang sangat sementara,
tidak membuatku teringat kepada saudara-saudaraku yang haus dan laparnya

4 Argumentasi yang sering di pakai adalah, bahwa ritus-ritus individual lebih penting dan pasti berimplikasi
secara sosial, tidak dilihat kenyataan yang terjadi bahwa problem sosial, seringkali membuat individu tidak soleh
(lihat Beny Susetyo, Telaah Kurikulum Bidang Studi Agama (Yang Dipentingkan Agama atau Komunikasi
Iman?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Averoes Press (2002)
5 Beny Susetyo, Ibid, hal. 137
4
nyaris permanen. Ketika berhaji aku hanya memikirkan ke-mabrur-an hajiku
sendiri, tanpa memikirkan saudara-saudaraku yang ingin haji mereka mabrur.
Seringkali aku mendesak dan menyikut kanan-kiri demi ke-makbul-an ibadahku
sendiri...6

6 Mustofa Bisri (12 April 2004) Iestar, diakses dari www.dutamasyarakat.com, tanggal 30 Desember 2004
5
Sikap mementingkan diri sendiri ini, adalah salah satu efek dari pembelajaran agama
yang terlalu menekankan pada aspek-aspek pengaturan hukum dan moralitas serta ritus yang
berpusat pada individu. Dalam konteks inilah, kita harus mengambil beberapa pandangan
(asumsi) mendasar tentang manusia (dalam hal ini peserta didik) dan tentang pembelajaran
agama, untuk menjawab dua pertanyaan di atas : Pertama, Peserta didik adalah subyek yang
hidup pada satu ruang dan waktu sosial maupun kebudayaan. Dia tidak lah berada diruang
hampa nilai. Dalam konteks ini semua pengetahuan dan nilai yang akan disajikan tentu harus
di sajikan dalam dimensi fakta itu, bukan sekedar dogma-doktrin yang lepas ruang dan waktu.
Kedua, Peserta didik, adalah subyek yang menghadapi ruang dan waktu akan
menemukan berbagai kontradiksi dan masalah dalam ruang dan waktu sosial tersebut. Oleh
karena itu pengetahuan agama harus lebih di orientasikan dalam memberi kemampuan
menghadapi problem itu.
Upaya menempatkan pembelajaran agama dalam konteks sosio-kultural sebagai
sesuatu yang tak bisa di tolak bila keinginan untuk membangun suasana damai penuh
persaudaraan dalam arti kemanusiaan, kebangsaan dan keagamaan. Pendekatan sosio-
kultural dalam mencerap pemahaman ini akan mampu membangun pribadi yang mampu
bersinergi dan berdialog dalam perbedaan-perbedaan.7
Dalam fakta, bila kita sekedar menginternalisasi peserta didik pada teks-teks normatif
ajaran agama tanpa melihat konteks sosio-kultural masyarakat kita akan menghasilkan
pribadi-pribadi yang hidup dalam baying-bayang ideologis yang tak kunjung mendarat di
bumi. Makin gigih memperjuangkan agama makin terasing, dan mengasingkan diri karena
tidak ada kelonggaran berdialog dengan segala keragaman yang ada. 8
Padahal pribadi-pribadi ini akan hidup dalam realitas kehidupan diaman keragaman
adalah fakta yang tak bisa dihindari. Salah satunya adalah fenomenon agama. Dimana dalam
agama manusia selalu berupaya untuk membentuk kosmos yang kudus (suci). Kosmos adalah
keteraturan semesta, demikian sosiolog agama Peter L Berger memberikan dasar analisisnya
tentang realitas sosial agama. Agama bisa berubah, sebagaimana juga masyarakat, namun
agama tidak akan pernah lenyap.

7 Mohamad Sobary, “Dialog Intern Umat Islam: Ukhuwah Islamiyah” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad
Gaus AF (ed), Passing Over: Melintas Batas Agama, Jakarta: Gramedia dan Yayasan Wakaf Paramadina, 1998,
hal. 68
8 Mohamad Sobary, Ibid, hal 72
Peter L. Berger 1967, The Social Reality of Religion, Harmondsworth, Midlesex: Penguins Books, hal 17

6
Individu-individu akan hidup dalam kehidupan dimana agama sebagai realitas sosial
memiliki banyak variabel dan aspek yang menyusunnya. Khoirun Niam melihat di dalam
agama, yang didalamnya tidak hanya terkandung aspek normatif-doktrinal melainkan juga
terdapat variabel pemeluk, tafsir ajaran, lembaga keagamaan, tempat suci serta bangunan
ideologi yang dibangun dan dibela pemeluknya. 9 Dalam kasus kekerasan bernuansa agama,
berbagai pemahaman, ideologi dan tafsir pemeluk agama, institusi agama saling berkelindan
satu sama lain
Eric Fromm memandang perilaku kekerasan seringkali muncul akibat dorongan psikis
dan pada umumnya seringkali berpusat pada pribadi manusia. Fromm mengungkap kekuatan
yang memotivasi manusia untuk bertindak berasal dari eksistensi manusia itu sendiri. 10
Pemahaman manusia terhadap agama adalah salah satunya. Limas Sutanto menguatkan
pernyataan Fromm ini dengan menjelaskan bahwa dalam syaraf otak seseorang memang ada
area yang bisa menghasilkan impuls-impuls yang mendorong orang berbuat kekerasan. Jadi
memang dorongan untuk melakukan kekerasan memang telah menjadi satu dalam diri
manusia sebagaimana layaknya rasa cinta.11
Pemahaman keagaman memperkuat impuls utuk melakukan kekerasan bila didalam
diri individu memeiliki kecenderungan untuk melakukan glorifikasi. Glorifikasi secara
harfiah, berarti menganggap suci diri sendiri. Bentuknya bisa beragam, yang sering kali
muncul adalah truth claim, menganggap benar ajaran sendiri, sembari memberi legitimasi
dengan ayat-ayat Tuhan. Kecenderungan menganggap suci, ajaran atau keyakinan diri sendiri
ini kemudian melahirkan apa yang di namakan dehumanisasi dan demonisasi.
Dehumanisasi dalam konteks ini berarti, pandangan yang melihat orang lain sebagai -
bukan manusia, atau yang selain manusia. Mereka yang tidak sama dengan pandangan yang
sucikan tadi lantas di posisikan dalam tingkat kemkhlukan yang lebih rendah dari manusia.
Oleh karena itu di anggap wajar bila kemudian mereka harus di manusiawikan, baik dari segi
prilaku, maupun pemikiran. Dalam konteks inilah rupanya sebagian orang yang menganggap
pandangan dirinya suci, seringkali melakukan pemaksaan agar orang lain seperti dirinya.

9 Khoirun Niam, “Kekerasan Bernuansa Agama di Indonesia dan Konsekuensi Pilihan Materi Pendidikan
Agam” dalam Jurnal NIZAMIA, vol. 8 No 1/2005, Surabaya: fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya,
hal. 91
10 Erich Fromm 195), The Sane Society, New York: Rinehart&Company Inc Publisher, hal 3
11 ceramah yang disampaikan Limas Sutanto dalam Workshop Rencana Aksi Advokasi terhadap Kekerasan
bernuansa Agama, diselenggarakan Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) di Wisma Erni Lawang Malang, 7-
9 Oktober 2005 (Lih. juga Agus Effendi, 2005, Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ,
AQ,&Suscessful Intelegence atas IQ, Bandung: Alfabeta hal 103 – 134 yang mengupas tentang “Otak 3-Pound
Universe”, menjelaskan bahwa impuls otak sangatlah kompleks, ada bagian otak yang mampu memproduksi
impuls-impuls intuisi, emosi dan lain sebagainya)
Limas Sutanto, Ibid

7
Sedang demonisasi, sering berarti pen-setanan, melihat orang lain sebagai setan. Demonisasi
ini berujung pada sikap ingin menghabisi apa yang di sebutnya sebagai ‘setan’. Upaya
menghabisi ‘setan’ dengan kekerasan ini sering dilegitimasi dengan beberapa pernyataan
dalam sebuah kitab suci
Glorifikasi, dehumanisasi dan demonisasi inilah yang kemudian melihat other,”yang
lain” sebagai harus di takhukkan sesuai dengan “apa yang diyakinnya”. Yang terjadi
kemudian kecenderungan untuk melakukan agresi. Kecenderungan agresi bila tidak dikelola
secara baik akan berubah menjadi destruktif dan merusak. Oleh karena yang terpenting adalah
menempatkan kecenderungan tetap saling menghidupi kecenderungan yang sama yang
muncul dari pihak lain. Dan kemudian lahir apa yang dinamakan sebagai kontrak sosial, yang
membatasi kecenderungan untuk mengurangi kekerasan itu.
Dibagian lain, globlalisasi telah mendorong lahirnya situasi sosial dimana berbagai
manusia dengan berbagai pandangan hidup dan agama serta keyakinan berada dalam ruang
sosial tertentu.12 Terjadilah interaksi atar manusia dengan berbagai gagasan dan nilai yang ada
dalam dirinya. Masalah interaksi ini mulai mengkhawatirnya dengan fakta adanya hegemoni
nilai-nilai yang dianut oleh mayoritas yang dominan selalu berupaya dalam ruang imajinasi
publik. Fakta ini kemudian memancing resistensi kelopok sosial atau komunitas kebudayaan
yang tergusur akibat proses hegemoni tersebut. Dalam konteks ini globalisasi tentunya akan
terjadi defferesiasi secara horizontal, dalam arti akan lahir lapisan-lapisan budaya yang plural
dalam masyarakat. Pluralitas yang disatu sisi indah tapi disisi lain memungkinkan terjadinyab
tribalisasi, sikap memangsa sesama, yang tidak lain berbentuk tindakan kekerasan. 13
Pemahaman keagamanan memiliki kecenderungan glorifikasi, demonisasi dan dehumanisasi
dalam, jika diletakkan dalam konteks kehidupan yang multikultur semacam ini akan
menimbulkan berbagai konflik dan bahkan kekerasan, dalam hal ini kekerasan bernuansa
agama.
Dan fakta pembelajaran pengetahuan agama yang terlalu berpusat pada aturan-aturan,
hukum-hukum yang bersifat individual, sebagaimana disebut Beny Susetyo dan Mustofa Bisri
diatas akan memiliki kecenderungan menciptakan glorifikasi dalam diri seseorang, yang
disebut dengan nama lain yakni arogan dan picik saat dipertemukan dalam kehidupan yang
multikultur.

12 Robert C Hilton, Globalization and The Nation State, New York: MacMillan Press, (1998) hal. 24
13 pandangan yang banyak kita temukan fakta yang membuktikannya bahwa globalisasi modernitas salah
satunya akan mengakibatkan kembalinya tribalisme- pandangan bahwa yang kuat menindas yang lemah-),
misalnya keberadaan mall/supermarket telah sebegitu rupa menggilas bisnis eceran kelas tradisional (Lihat
Sugiharto, I Bambang, Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius, (1999), hal 29

8
Model Pembelajaran Role Playing berperspektif Multikultural untuk Menumbukan
Sikap Anti Kekerasan

9
Pembelajaran model role playing sebagaimana disebut dimuka adalah model
pembelajaran yang diciptakan untuk mengajak siswa mengeksplorasi masalah-masalah sosial
yang mereka hadapi, dengan cara memainkan peran dan merefleksikan peran-peran itu.
Secara bersama-sama siswa bisa mengungkapkan perasaan, tingkah laku, nilai dan strategi
dalam memberikan pemecahan atas berbagai masalah yang dihadapinya.14
Dalam konteks pembahasan ini role playing diletakkan pada posisi dalam konteks
kehidupan pembelajaran yang mengadopsi fakta multikultural. Pembelajaran dengan
pendekatan multukultural menurut Gay (2004) sebagaimana dikutip dalam Psychology of
Classroom Learning mengharus adanya content utama, yakni iklim kelas dan lingkungan
kelas yang pluralistik; sikap dan ekspektasi guru terhadap keberbedaan (diversity);
membangun komunitas yang menyatukan para pembelajar yang beragam; saling merawat
antar budaya; menggunakan berbagai tekhnik pembelajaran yang sesuai dengan latar belakang
kultural, nilai dan pengalaman serta tujuan dari beberapa etnik/agama yang berbeda,
mengembangkan self effifacy dan semangat untuk mencapai kesuksesan, dan menggunakan
informasi yang bersifat kultural untuk mengendalikan kebutuhan belajar, penguasaan
pengetahuan, dan keterampilan.15
Dalam konteks multikultural, model pembelajaran Role Playing relevan digunakan
karena model ini berasal dari rumpun pembelajaran yang bersifat individu maupun sosial.
Dalam model ini individu siswa ditempatkan dalam posisinya berinteraksi dan membangun
makna dalam kehidupan sosialnya. Selain itu model ini memungkinkan individu saling
bekerjasama dalam menganalisis masalah sosial secara bersama-sama. Kehidupan
multkultural adalah fakta sosial, dimana individu akan diajak menyelami keragaman sebagai
kenyataan hidup yang mereka temui sehari-hari.
Rangkaian tindakan dalam model ini adalah sebagai berikut: dimulai dengan
menguraikan masalah, dianjutkan dengan memeragakan dan mendiskusikan masalah tersebut.
Dalam model pembelajaran ini sebagian siswa bertugas memainkan peran, sebagian yang lain
bertindak sebagai peneliti. Dalam situasi bermain peran seperti ini, siswa dituntut melibatkan
semua rasa empati, simpati, kemarahan, kasih sayang seperti saat mereka hidup dialam nyata.
Setelah proses ini peneliti mulai mendalami berbagai hal misalnya: sumber konflik, keputusan
individu dalam menghadapi konflik, dan relevansi metode itu untuk menyelesaikan suatu
masalah. Model role playing ini berperan dalam mengeksplorasi perasaan siswa, mentransfer

14 Bruce Joyce, Marsha Weil. 1996 (ed 5), Model of Teaching, Boston: Allyn &Bacon, hal. 89
15 Anderman, Erich M&Anderman, Linley. 2009. Psychology of Classroom Learning, New York: Macmillan
Refference, part of Gale, Cengage Learning, hal 632

10
pemahaman mengenai perilaku, nilai dan persepsi siswa, mengembangkan skill pemecahan
masalah, dan melakukan eksplorasi materi pembelajaran dengan cara berbeda.16
Sesungguhnya role playing ini mengandaikan bahwa realitas kehidupan, dapat
dihadirkan secara ‘apa adanya’ dalam sebuah analogi permainan peran didalam kegiatan
belajar mengajar. Penghadiran realitas ini akan memancing respon emosional dan karakter
dasar setiap siswa. Konsep peran (roles) yang merujuk pada rangkaian perasaan, kata-kata,
dan tindakan yang lazim dipakai seseorang dalam hubungannya dengan orang lain. Dalam
model pembelajaran role playing seseorang akan didorong untuk memainkan ‘peran’ orang
lain, dan oleh karena itu individu siswa harus memaksimalkan kemampuannya berempati,
untuk mendapatkan posisi perasaan, pemahaman terhadap peran yang dijalaninya.
Shaftels sebagaimana dalam Joyce&Weil (2009) menyatakan setidaknya ada sembilan
langkah dalam model pembelajaran role playing yakni: pertama, memanaskan suasana
kelompok, kedua, memilih partisipan, ketiga, mengatur setting tempat kejadian, keempat,
menyiapkan peneliti, kelima, pemeranan, keenam, diskusi dan evaluasi, ketujuh, memerankan
kembali, kedelapan, berdiskusi dan mengevaluasi, kesembilan saling berbagai dan
mengembangkan pengalaman. 17
Dalam tulisan ini role playing dipilih dalam perspektif situasi keragamam
sosiokultural. Pilihan masalah berkisar pada masalah interaksi-interaksi antar kelompok dan
individu yang beragam agama yang berujung pada aksi kekerasan yang melibatkan sentimen-
sentimen agama. Penulis melihat beberapa hal yang harus di perhatikan dalam
mengkonstruksi model pembelajaran role playing pengetahan agama, yang berperspektif sosio
kultural, seharusnya bertumpu pada asumsi dasar:
Dalam bentuknya yang lebih konkrit, penulis melihat beberapa hal yang harus di
perhatikan dalam mengkonstruksi model pembelajaran agama, dengan model yang
berperspektif sosio kultural, seharusnya bertumpu pada asumsi dasar:
Pertama, Pengalaman keberagamaan peserta didik. Seorang manusia pasti mengalami
situasi religius yang berawal dari pertanyaan-pertanyaan sehari-harinya. Misalnya : “dari
mana aku berasal dan mengapa kakek mati, pergi tak kembali. Kemana?” pertanyaan-
pertanyaan ini bisa menjadi dasar seperti apa materi yang akan disampaikan, bagaimana
metode, media dan lain sebagainya.

16 ibid
17 Ibid, hal. 94
11
Kedua, guru harus memiliki kemampuan sebagai ‘komunikator’ berbagai pengalaman
keberagamaan peserta didik, dan menjadi fasilitator bagi berlangsungnya model pembelajaran
Role Playing. Guru adalah fasilitator, dan dalam pembelajaran agama, guru lebih dari sekedar
fasilitator, ia adalah jembatan komunikasi antar pengaaman keberagamaan peserta didik, dan
juga teks-teks normatif agama yang di miliki. Dalam konteks ini guru harus memiliki skill
sebagai pendamping (fasilitator), pemahaman ajaran keagamaan, kemampuan dialog, serta
kecerdasan membangun imajinasi abstrak terkait peran yang dimilikinya. Ketiga, tersedianya
bahan-bahan baik pustaka, visual dan atau audio-visual yang memungkinkan guru dan peserta
didik mencerap realitas sosio-kultural keberagamaan masyarakat. Berbagai fakta yang di
dapatkan ini, nantinya akan memperkaya ruang refleksi, dan mendalami berbagai peran yang
akan dilakukan oleh perserta didik.
Koheren dengan apa yang dikemukan Joyce&Weil terkait langkah-langkah role
playing yang pertama-tama harus diperhatikan guru adalah nuansa multikultural dalam semua
langkahnya, dan masalah kekerasan yang menjadi pijakan pertama. Misalnya pada langkah
pertama, memanaskan suasana kelompok. Guru memancing sensitifitas kelompok dengan
mengungkapkan masalah, dan menempatkan mereka dalam situasi bersahabat. Masalah yang
dipilih ini adalah masalah kekerasan bernuansa agama, misalnya adanya konflik disebuah
masyarakat terkait pendirian rumah ibadah agama lain ditempat itu. kedua, memilih
partisipan, dalam konteks multikultural sebisa mungkin adalah mereka yang terlibat langsung
dengan kehidupan yang multikultur dalam kehidupan sehari-harinya. ketiga, mengatur setting
tempat kejadian sesuai dengan fakta yang multikultur. Demikian juga pada langkah
selanjutnya misalnya pemilihan peneliti dan pemeranan, masing-masing individu partisipan
distimulasi agar mampu menghayati perannya dengan penuh empatik. Setelah proses ini
berlangsung dibuatlah secara berangkai kegiatan merefleksikan apa yang dimainkan melalui
diskusi dan evaluasi, memainkan kembali serta berbagi pengalaman melalui sharing bersama.

12
Dari situasi ini diharapkan akan muncul pemahaman bahwa sikap mensucikan
pemahaman agama sendiri (glorifikasi) akan berakibat pada tindakan kekerasan yang menista
kemanusiaan. Peserta didik diharapkan mendiskusikan kembali tafsir keagamaan yang
berkencederungan glorifikasi, karena dalam banyak fakta tafsir keagamaan memainkan
peranan penting dalam konflik-konflik dan kekerasan yang menista kemanusiaan. 18 Karena
begitu signifikansi posisinya inilah, maka proses evaluasi menjadi perlu untuk selalu
digerakkan jika kita tidak ingin peradapan kita hancur justru karena klaim-klaim normatif
agama.
Dari proses ini diharapkan terjadi proses dialog yang nyaman tentang masalah-
masalah keberbedaan agama yang biasanya sangat sensitif untuk disentuh. Dalam kondisi ini
peserta didik diajak memahami agama dari sudut pandang yang berbeda. Memahamai agama
tidak dapat sekedar diukur dari cara individu menilai orang lain yang berbeda berdasar
idealitas yang dipahami individu yang bersumber dari agama kita sendiri. Diharapkan dari
sana muncul kesadaran multikultural mengacu pada pemahaman dan sikap yang
menempatkan keragaman dan pluralitas sebagai kenyataan tak terbantahkan dalam realitas
sosial kita. Keberbedaan ras, etnis, bahasa dan agama diletakkan sebagai kenyataan faktual
dalam kehidupan individu.19
Dari model ini juga diharapkan peserta didik menguasai keterampilan berkomunikasi
dalam kehidupan keagamaan yang beragam, dan kemampuan melakukan negosiasi-negosiasi
dalam mengatasi kecenderungan melakukan kekerasan atas nama agama. Model pembelajaran
role playing dalam pembelajaran pengetahuan agama akan menunjukkan pada tiap anak
bahwa praktek pemahaman keberagamaan, sering terdapat situasi dimana seorang individu
menyuguhkan kepada pikiran sendiri untuk suatu ruang yang akrab yang disebut “daerah kita
(we)” dengan ruang lain yang lain yang asing yang disebut “daerah mereka (other)”.
Pemahaman seperti inilah yang perlu digeser, agar eksistensi “yang lain” dan “mereka”
mendapat tempat pada fikiran “kita”. Kesimpulan akhirnya, mengandaikan ‘kita’ dan ‘mereka’
adalah berbeda secara dalam etnis, ras dan agama dan sekian pemahamannya, tidak berarti
kita menegasikan-eksistensi atau menganggap “mereka” tidak ada. “Kita” tetap menghargai
mereka dalam kacamata bahwa ‘kita’ dan ‘mereka’ adalah sama manusia. Kesadaran inilah
yang akan mampu memberi warna keberagamaan yang santun, tanpa harus menganggap ‘kita’
selalu lebih dari ‘mereka’. Pada titik ini tidak ada lagi klaim kebenaran keyakinan. Inilah yang

18 kita bisa melihat pada kasus Iraq pasca invasi Amerika tahun 2005, kekerasan dan konflik antar Sunni – Syii
menjadi salah satu isu sentral
19 Berry, J Kingdom. Marshall, H Seagal. Kagitcibasi, Cigdem (ed). 1997. Handbook of Cross Cultural
Psichology, Boston: Allyn&Bacon, hal 345-347

13
kemudian terwujud sebagai kesadaran multikultural (multicultural awareness) yang akan
menjadi salah satu penjaga kedamaian dalam kehidupan masyarakat yang semakin plural
dalam memahami agama, dan dari sinilah segala tindak kekerasan akan dapat diminimalisir
dalam kehidupan sosial kita.

Simpulan
Pertama, Praktik pembelajaran agama ditemukan fakta: masih banyak berkisar pada
pengaturan hukum-hukum, aturan-aturan, larangan-larangan dan lain sebagainya. Bukan
pada nilai-nilai yang membangun hukum-hukum itu misalnya keadilan, perdamaian, dan
sebagainya. Tekanan pembelajaran agama masih berpusat pada ‘memiliki agama’ (to have
religion, bukan untuk ‘beragama’ (to be religion). Akhirnya yang muncul adalah penekanan
‘kesalehan dan moralitas individual serta fanatisme keagamaan’ semata, bukan ‘ moralitas
sosial’ yang memiliki implikasi lebih luas. Kedua, Upaya memberikan perspektif
multikultural pada pembelajaran pengetahuan agama, akan memberikan kontribusi dalam
mengatasi problem-problem keberagamaan kontemporer kita. Inovasi pembelajaran
pengetahuan agama dengan menggunakan model role playing akan mendorong individu
mendialogkan berbagai pemahaman keagamaan, dalam fakta keberbedaan kultural dan agama
serta fakta sosial kecenderungan untuk melakukan kekerasan atas nama agama. Dari sana
diharapkan munculnya sikap anti-kekerasan (non violence) dalam menyikapi berbagai
perbedaan antar individu.

DAFTAR PUSTAKA

Anderman, Erich M&Anderman, Linley. 2009. Psychology of Classroom Learning, New


York: Macmillan Refference, part of Gale, Cengage Learning
Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Bina
Aksara
Berger, Peter L. 1967, The Social Reality of Religion, Harmondsworth Midlesex: Penguins
Books
Berry, J Kingdom. Marshall, H Seagal. Kagitcibasi, Cigdem (ed). 1997. Handbook of Cross
Cultural Psichology, Boston: Allyn&Bacon
Bisri, Mustofa 2002, Ietsaar, di akses dari situs www.dutamasyarakat.com, tanggal 26
Desember 2004
Effendi, Agus. 2005, Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, AQ,&Suscessful
Intelegence atas IQ, Bandung: Alfabeta
Fromm, Erich. 1952, The Sane Society, New York: Rinehart&Company Inc Publisher

14
Hilton, Robert C. 1998. Globalization and The Nation State, New York: MacMillan Press
Joyce, Bruce. Weil, Marsha. 1996 (ed 5), Model of Teaching, Boston: Allyn &Bacon
Jurnal Nizamia. 2005. “Kekerasan Bernuansa Agama di Indonesia dan Konsekuensi Pilihan
Materi Pendidikan Agam” Suarabaya: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel
Surabaya.
Murdianto an Nawie, Strukturalisme Budaya dan Transformasi Sosial, Makalah disampaikan
dalam Pelatihan Linguistik PBA STAIN Tulungagung, Biro Penerbitan STAIN
30 Mei 2001
Mursanto, R.B. Riyo. 1993. “Peter Berger Realitas Sosial Agama” dalam Diskursus
Kemasyarakatan dan Kemanusiaan (peny. Tim Driyarkara), Yogyakarta:
Kanisius.
Sobary, Mohamad. “Dialog Intern Umat Islam: Ukhuwah Islamiyah” dalam Hidayat,
Komaruddin dan Gaus AF, Ahmad (ed). 1998. Passing Over: Melintas Batas
Agama, Jakarta: Gramedia dan Yayasan Wakaf Paramadina
Sugiharto, I Bambang, Postmodernisme, Jogjakarta: Kanisius, 1999
Susetyo, Beny. 2002, Membuka Mata Hati Indonesia, Yogyakarta: Averoes Press & Pustaka
pelajar
Transkrip ceramah Limas Sutanto (7 Oktober 2005) dalam Workshop Rencana Aksi Advokasi
terhadap Kekerasan bernuansa Agama, diselenggarakan Jaringan Islam Anti
Diskriminasi (JIAD) di Wisma Erni Lawang Malang
Wahid, Abdurrahman. et all. (ed. Komariddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF). 1998, Passing
Over; Melintasi Batas Agama, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan
Paramadina
Wahono, Francis.2001. Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan Keadilan, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar

15

Você também pode gostar