Você está na página 1de 56

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit batu saluran kemih adalah penyebab nyeri ketiga tersering pada
saluran kemih setelah infeksi dan gangguan patologis pada prostat. Penyakit ini
merupakan penyakit umum yang sering ditemukan baik pada hewan maupun
manusia. Penamaan yang menyangkut penyakit batu saluran kemih dipengaruhi oleh
berbagai disiplin ilmu (Stoller, 2008).

Batu saluran kemih adalah bentuk agregat polycrystalline yang dibentuk oleh
berbagai macam kristaloid dan matriks organik. Terdapat beberapa jenis batu saluran
kemih yang utama berdasarkan komponen pembentuknya yaitu: batu kalsium oksalat,
batu kalsium fosfat, batu struvit, batu asam urat, dan batu sistin. Batu saluran kemih
dapat berada dimanapun dalam saluran kemih seperti di ginjal, ureter dan kandung
kencing (Stoller et al, 2009).

Pembentukan batu dipengaruhi oleh kepekatan urin yang bergantung pada pH


urin, kandungan ion dalam urin, konsentrasi zat terlarut dan lain-lain. Beberapa faktor
lain yang mempengaruhi pembentukan batu pada manusia seperti faktor usia, jenis
kelamin, ras, letak geografis, diet dan konsumsi cairan, penggunaan obat obatan dan
ada tidaknya penyakit penyerta. Riwayat keluarga juga menjadi salah satu faktor
dimana 25% penderita memiliki keluarga dengan riwayat penyakit batu saluran
kemih (Stoller et al, 2009).

Diperkirakan 10% pria dan 5% wanita di Amerika Serikat akan mengalami


penyakit batu saluran kemih dalam hidupnya (Pearle et al, 2007). Prevalensi kejadian
penyakit ini telah bertambah dua kali lipat dari periode 1964 sampai 1972 dan
cenderung stabil sejak tahun 1990an (Romero et al, 2010).
Pada tahun 2000, insiden kejadian batu saluran kemih di Amerika Serikat
dilaporkan 116 individu per 100.000 populasi. Populasi tersebut berusia 18-64 tahun
dari 2 perusahaan asuransi terbesar. Insiden ini cenderung meningkat secara
signifikan dari studi yang dilakukan sebelumnya. (Romero et al, 2010)

Di Jepang, insiden kejadian batu saluran kemih telah meningkat dua kali lipat
dalam periode 40 tahun baik pada pria maupun wanita. Pada tahun 1965, insidennya
berkisar 54 individu per 100.000 populasi. Kenaikan ini terjadi secara signifikan pada
10 tahun terakhir sehingga pada tahun 2005 insiden batu di Jepang mencapai 115
individu per 100.000 populasi. Insiden pada pria meningkat secara drastis sejak tahun
1990an, sementara pada wanita peningkatan terjadi lebih perlahan (Yasui et al, 2005).

Di Indonesia penyakit batu saluran kemih masih menempati porsi terbesar


dari jumlah pasien di klinik urologi. Dari data yang pernah dipublikasi didapatkan
peningkatan jumlah penderita batu ginjal yang mendapat tindakan di RSUPN-Cipto
Mangunkusumo dari tahun ke tahun mulai 182 pasien pada tahun 1997 menjadi 847
pasien pada tahun 2002. Peningkatan ini sebagian besar disebabkan mulai tersedianya
alat pemecah batu ginjal non-invasif Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
yang secara total mencakup 86% dari seluruh tindakan bidang urologi (Rahardjo,
2004).

Terdapat beberapa cara dalam penatalaksanaan batu saluran kemih. Hal ini
bergantung pada ukuran, bentuk, dan lokasi batu serta ada tidaknya edema pada
ureter. Batu dengan ukuran 4-5 mm memiliki kemungkinan 40-50% untuk dapat
keluar secara spontan, sementara batu dengan ukuran diatas 6 mm kemungkinannya
dibawah 5% untuk dapat keluar secara spontan. Modalitas lain yang dapat dilakukan
seperti penggunaan obat yang dapat melarutkan batu, dan tindakan seperti ESWL,
PCNL dan URS (Stoller, 2008).

Penatalaksanaan dengan menggunakan konsep gelombang kejut pada ESWL


diperkenalkan pada tahun 1950an di Rusia. Tindakan ESWL membutuhkan sumber
energi untuk membentuk gelombang kejut, mekanisme coupling untuk mengirimkan
gelombang dari luar ke dalam tubuh, dan moda untuk mengidentifikasi dan
menentukan posisi batu pada sebuah fokus. Perbedaan bergantung pada nyeri dan
anastesi yang digunakan, ukuran, mobilitas dan durability (Stoller, 2008). Tingkat
keberhasilan suatu tindakan ESWL ditentukan oleh jenis kelamin, ukuran dan letak
batu serta pelaksanaan tindakan ESWL (Farrands et al, 2011).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Saluran Kemih

Sistem saluran kemih adalah suatu sistem dimana terjadinya proses


penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh
tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak
dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih).
Sistem saluran kemih terdiri dari ginjal, ureter, kandung kemih (vesika urinaria) dan
uretra. Sistem saluran kemih pada manusia dapat dilihat pada gambar berikut

Gambar 1. Sistem Saluran Kemih Pada Manusia


2.1.1 Ginjal

Masing-masing ginjal mempunyai panjang kira-kira 12 cm dan lebar 2,5 cm pada


bagian paling tebal dan berbentuk seperti kacang. Terletak pada bagian belakang

abdomen. Ginjal kanan terletak lebih rendah dari ginjal kiri karena ada hepar di sisi

kanan.18

Ginjal memiliki tiga bagian penting yaitu korteks, medulla dan pelvis renal.
Bagian paling superfisial adalah korteks renal, yang tampak bergranula. Di sebelah
dalamnya terdapat bagian lebih gelap, yaitu medulla renal, yang berbentuk seperti
kerucut disebut piramid renal, dengan dasarnya menghadap korteks dan puncaknya
disebut apeks atau papilla renal. Di antara piramid terdapat jaringan korteks, disebut

kolum renal (Bertini).18

Ujung ureter yang berpangkal di ginjal, berbentuk corong lebar disebut pelvis
renal. Pelvis renal bercabang dua atau tiga, disebut kaliks mayor yang masing-masing
bercabang membentuk beberapa kaliks minor, yang langsung menutupi papilla renal
dari piramid. Kaliks minor ini menampung urin yang terus-menerus keluar dari
papila. Dari kaliks minor, urin masuk ke kaliks mayor, ke pelvis renal kemudian ke

ureter, sampai akhirnya ditampung di dalam kandung kemih.18

Setiap ginjal terdapat satu juta atau lebih nefron, masing-masing nefron terdiri
atas komponen vaskuler dan tubuler. Komponen vaskuler terdiri atas pembuluh-
pembuluh darah, yaitu glomerulus dan kapiler peritubuler, yang mengitari tubuli.
Komponen tubuler berawal dengan kapsula Bowman (glomerular) dan mencakup tubuli
kontortus proksimal, ansa Henle dan tubuli kontortus distal. Dari tubuli distal, isinya

disalurkan ke dalam duktus koligens (saluran penampung atau pengumpul).18,19


Kedua ginjal menghasilkan sekitar 125 ml filtrat per menit; dari jumlah ini,

124 ml diabsorpsi dan hanya 1 ml dikeluarkan ke dalam kaliks-kaliks sebagai urin.20

Ginjal berfungsi untuk mengatur keseimbangan air dan elektrolit berupa


ekskresi kelebihan air dan elektrolit, mempertahankan keseimbangan asam basa,
mengekskresi hormon, berperan dalam pembentukan vitamin D, mengekskresi beberapa

obat-obatan dan mengekskresi renin yang turut dalam pengaturan tekanan darah.19,21

Berikut ini adalah gambar anatomi ginjal :

Gambar 2. Anatomi Ginjal22


2.1.2 Ureter

Ureter terdiri dari dua saluran pipa yang masing-masing menyambung dari
ginjal ke kandung kemih (vesika urinaria). Panjangnya kira-kira 25-30 cm, dengan
penampang ± 0,5 cm. Ureter sebagian terletak dalam rongga abdomen dan sebagian

terletak dalam rongga pelvis.16

Ureter mempunyai membran mukosa yang dilapisi dengan epitel kuboid dan
dinding otot yang tebal. Urin disemprotkan ke bawah ureter oleh gelombang

peristaltik, yang terjadi sekitar 1-4 kali per menit dan urin memasuki kandung kemih

dalam bentuk pancaran.16,19

2.1.3 Kandung Kemih

Kandung kemih adalah kantong yang terbentuk dari otot tempat urin mengalir
dari ureter. Ketika kandung kemih kosong atau terisi setengahnya kandung kemih
tersebut terletak di dalam pelvis, ketika kandung kemih terisi lebih dari setengahnya
maka kandung kemih tersebut menekan dan timbul ke atas dalam abdomen di atas

pubis.21 Dinding kandung kemih terdiri dari lapisan sebelah luar (peritonium), Tunika

muskularis (lapisan otot), Tunika sabmukosa, dan lapisan mukosa (lapisan bagian

dalam).16

2.1.4 Uretra

Bagian akhir saluran keluar yang menghubungkan kandung kemih dengan


luar tubuh ialah uretra. Uretra pria sangat berbeda dari uretra wanita. Pada laki-laki,
sperma berjalan melalui uretra waktu ejakulasi. Uretra pada laki-laki merupakan tuba
dengan panjang kira-kira 20 cm dan memanjang dari kandung kemih ke ujung penis.
Uretra pada laki-laki mempunyai tiga bagian yaitu : uretra prostatika, uretra

membranosa dan uretra spongiosa.20,21

Uretra wanita jauh lebih pendek daripada pria, karena hanya 4 cm panjangnya
dan memanjang dari kandung kemih ke arah ostium diantara labia minora kira-kira
2,5 cm di sebelah belakang klitoris. Uretra ini menjalar tepat di sebelah depan vagina.
Lapisan uretra wanita terdiri dari Tunika muskularis (sebelah luar), lapisan spongiosa

dan lapisan mukosa (lapisan sebelah dalam).16,21

2.2 Pengertian BSK

Batu saluran kemih adalah penyakit dimana didapatkan batu di dalam saluran
kemih. Batu tersebut dibentuk dalam pelvik ginjal, menetap dan menjadi lebih besar,
atau bergerak turun sepanjang ureter ke dalam kandung kemih atau dapat terbentuk di

dalam kandung kemih itu sendiri. Selain itu, batu dapat juga dibentuk dalam uretra.21

2.3 Penyebab3,23

Penyebab BSK masih belum diketahui dengan pasti. Pembentukan BSK


merupakan hasil interaksi beberapa proses yang kompleks, merupakan komplikasi
atau salah satu manifestasi dari berbagai penyakit atau kelainan yang mendasarinya.
Beberapa teori terbentuknya BSK, yaitu :

1. Teori Supersaturasi/Kristalisasi
Urin mempunyai kemampuan melarutkan lebih banyak zat yang terlarut bila
dibandingkan dengan air biasa. Dengan adanya molekul-molekul zat organik
seperti urea, asam urat, sitrat dan mukoprotein, juga akan mempengaruhi
kelarutan zat-zat lain. Bila konsentrasi zat-zat yang relatif tidak larut dalam urin
(kalsium, oksalat, fosfat dan sebagainya) makin meningkat, maka akan terbentuk
kristalisasi zat-zat tersebut. Batasan pH urin normal antara 4,5-8. Bila air kemih
menjadi asam (pH turun) dalam jangka lama maka beberapa zat seperti asam urat
akan mengkristal. Sebaliknya bila air kemih menjadi basa (pH naik) maka
beberapa zat seperti kalsium fosfat akan mengkristal. Dengan demikian,
pembentukan batu pada saluran kemih terjadi bila keadaan urin kurang dari atau
melebihi batas pH normal sesuai dengan jenis zat pembentuk batu dalam saluran
kemih.

2. Teori Nukleasi/Adanya Nidus


Nidus atau nukleus yang terbentuk, akan menjadi inti presipitasi yang kemudian
terjadi. Zat/keadaan yang dapat bersifat sebagai nidus adalah ulserasi mukosa,
gumpalan darah, tumpukan sel epitel, bahkan juga bakteri, jaringan nekrotik
iskemi yang berasal dari neoplasma atau infeksi dan benda asing.

3. Teori Tidak Adanya Inhibitor


Supersaturasi kalsium, oksalat dan asam urat dalam urin dipengaruhi oleh adanya
inhibitor kristalisasi. Hal inilah yang dapat menjelaskan mengapa pada sebagian
individu terjadi pembentukan batu saluran kemih, sedangkan pada individu lain
tidak, meskipun sama-sama terjadi supersaturasi. Terbentuk atau tidaknya batu di
dalam saluran kemih ditentukan juga oleh adanya keseimbangan antara zat-zat
pembentuk batu dan penghambat (inhibitor). Ternyata pada penderita batu saluran
kemih, tidak didapatkan zat yang bersifat sebagai inhibitor dalam pembentukan
batu. Magnesium, sitrat dan pirofosfat telah diketahui dapat menghambat
pembentukan nukleasi (inti batu) spontan kristal kalsium. Zat lain yang
mempunyai peranan inhibitor, antara lain : asam ribonukleat, asam amino
terutama alanin, sulfat, fluorida, dan seng.

4. Teori Epitaksi
Epitaksi adalah peristiwa pengendapan suatu kristal di atas permukaan kristal
lain. Bila pada penderita ini, oleh suatu sebab terjadi peningkatan masukan
kalsium dan oksalat, maka akan terbentuk kristal kalsium oksalat. Kristal ini
kemudian akan menempel di permukaan kristal asam urat yang telah terbentuk
sebelumnya, sehingga tidak jarang ditemukan batu saluran kemih yang intinya
terjadi atas asam urat yang dilapisi oleh kalsium oksalat di bagian luarnya.

5. Teori Kombinasi
Teori terakhir mengenai pembentukan BSK adalah gabungan dari berbagai teori
tersebut yang disebut dengan teori kombinasi. Terbentuknya BSK dalam teori
kombinasi adalah sebagai berikut : Pertama, fungsi ginjal harus cukup baik untuk
mengekskresi zat yang dapat membentuk kristal secara berlebihan. Kedua, ginjal
harus dapat menghasilkan urin dengan pH yang sesuai untuk kristalisasi. Dari
kedua hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ginjal harus mampu
melakukan ekskresi suatu zat secara berlebihan dengan pH urin yang sesuai
sehingga terjadi presipitasi zat-zat tersebut. Ketiga, urin harus tidak mengandung
sebagian atau seluruh inhibitor kristalisasi. Keempat, kristal yang telah terbentuk
harus berada cukup lama dalam urin, untuk dapat saling beragregasi membentuk
nukleus, yang selanjutnya akan mengganggu aliran urin. Statis urin yang terjadi
kemudian, memegang peranan penting dalam pembentukan batu saluran kemih,
sehingga nukleus yang telah terbentuk dapat tumbuh.

2.4 Klasifikasi BSK

Umumnya BSK dapat dibagi dalam 4 jenis yaitu :

1. Batu Kalsium

Batu jenis ini adalah jenis batu yang paling banyak ditemukan, yaitu 70-80%
dari jumlah pasien BSK. Ditemukan lebih banyak pada laki-laki, rasio pasien laki-
laki dibanding wanita adalah 3:1, dan paling sering ditemui pada usia 20-50 tahun.
Kandungan batu ini terdiri atas kalsium oksalat, kalsium fosfat atau campuran dari

keduanya.3 Kelebihan kalsium dalam darah secara normal akan dikeluarkan oleh

ginjal melalui urin. Penyebab tingginya kalsium dalam urin antara lain peningkatan
penyerapan kalsium oleh usus, gangguan kemampuan penyerapan kalsium oleh ginjal

dan peningkatan penyerapan kalsium tulang.24

2. Batu Infeksi/Struvit

Batu struvit disebut juga batu infeksi, karena terbentuknya batu ini disebabkan

oleh adanya infeksi saluran kemih.3 Adanya infeksi saluran kemih dapat

menimbulkan gangguan keseimbangan bahan kimia dalam urin. Bakteri dalam


saluran kemih mengeluarkan bahan yang dapat menetralisir asam dalam urin
sehingga bakteri berkembang biak lebih cepat dan mengubah urin menjadi bersuasana
basa. Suasana basa memudahkan garam-garam magnesium, ammonium, fosfat dan
karbonat membentuk batu magnesium ammonium fosfat (MAP) dan karbonat apatit.
Terdapat pada sekitar 10-15% dari jumlah pasien BSK. Lebih banyak pada wanita,
dengan rasio laki-laki dibanding wanita yaitu 1:5. Batu struvit biasanya menjadi batu

yang besar dengan bentuk seperti tanduk (staghorn).24

3. Batu Asam Urat

Ditemukan 5-10% pada penderita BSK. Rasio laki-laki dibanding wanita


adalah 3:1. Sebagian dari pasien jenis batu ini menderita Gout, yaitu suatu kumpulan
penyakit yang berhubungan dengan meningginya atau menumpuknya asam urat. Pada
penyakit jenis batu ini gejala sudah dapat timbul dini karena endapan/kristal asam
urat (sludge) dapat menyebabkan keluhan berupa nyeri hebat (colic), karena endapan
tersebut menyumbat saluran kencing. Batu asam urat bentuknya halus dan bulat

sehingga sering kali keluar spontan. Batu asam urat tidak tampak pada foto polos.3,24
4. Batu Sistin

Jarang ditemukan, terdapat pada sekitar 1-3% pasien BSK. Penyakit batu jenis
ini adalah suatu penyakit yang diturunkan. Batu ini berwarna kuning jeruk dan
berkilau. Rasio laki-laki dibanding wanita adalah 1:1. Batu lain yang juga jarang

yaitu Batu Silica dan Batu Xanthine.24

2.5 Epidemiologi BSK

2.5.1 Distribusi dan Frekuensi

Setiap tahunnya penduduk Amerika Serikat menderita BSK sekitar 250.000

sampai 750.000.11 Penyakit BSK umumnya lebih sering ditemukan pada pria

daripada wanita, biasanya di atas usia 30 tahun sampai 50 tahun.24 Penelitian

Tarihoran YM pada tahun 2001-2002 di RSUP. H. Adam Malik Medan terdapat 105
pasien BSK dengan kelompok umur terbanyak 30-50 tahun yaitu sebesar 46,6% dan

jenis kelamin pria lebih banyak daripada wanita dengan proporsi 64,8%.13

Berdasarkan hasil penelitian Rao di India (2006), ditemukan insidens BSK pada

perempuan lebih rendah (26,6%) daripada laki-laki (73,4%).7

Penelitian yang dilakukan oleh Hardjoeno dkk pada tahun 2002-2004 di RS dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar melaporkan sebanyak 199 pasien penderita BSK
dengan rasio perbandingan pria dan wanita adalah 3-4:1, dan ditemukan jumlah kasus
terbanyak pada umur 31-45 tahun yaitu sebesar 35,7%.

2.5.2 Faktor yang Mempengaruhi Kejadian BSK

a. Usia
Lebih sering ditemukan pada usia 30-50 tahun.3

b. Jenis kelamin
Jumlah penderita laki-laki lebih banyak tiga kali dibandingkan dengan
perempuan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan struktur anatomi saluran kemih
antara laki-laki dan perempuan serta faktor hormone estrogen yang mencegah

terjadinya agregasi garam kalsium.3

c. Pekerjaan
Pekerja-pekerja keras yang banyak bergerak, misalnya buruh dan petani akan
mengurangi terjadinya BSK bila dibandingkan dengan pekerja-pekerja yang lebih

banyak duduk.3,24

d. Air minum
Memperbanyak diuresis dengan cara banyak minum akan mengurangi
terbentuknya batu, sedangkan bila kurang minum menyebabkan kadar semua
substansi dalam urin akan meningkat dan akan mempermudah pembentukan batu.
Kejenuhan air yang diminum sesuai dengan kadar mineralnya terutama kalsium

diperkirakan mempengaruhi terbentuknya BSK.25,26

e. Makanan
Konsumsi makanan tinggi protein yang berlebihan dan garam akan meningkatkan
pembentukan BSK. Diet banyak purin (kerang-kerangan, anggur), oksalat (teh,
kopi, cokelat, minuman soda, bayam), kalsium (daging, susu, kaldu, ikan asin dan
jeroan) mempermudah terjadinya penyakit BSK. Makan-makanan yang banyak
mengandung serat dan protein nabati mengurangi risiko BSK dan makanan yang

mengandung lemak dan protein hewani akan meningkatkan risiko BSK.3,26


f. Riwayat Keluarga/keturunan
Riwayat anggota keluarga sebelumnya yang pernah menderita BSK akan
memberikan resiko lebih besar timbulnya gangguan/penyakit BSK pada anggota
keluarga lainnya. Lebih kurang 30-40% penderita kalsium oksalat mempunyai
riwayat keluarga yang positif menderita BSK. Namun sampai saat ini bagaimana
peranan faktor keturunan dalam terjadinya BSK masih belum diketahui dengan

jelas.25,26

g. Infeksi Saluran Kemih


Infeksi saluran kemih dapat menyebabkan nekrosis jaringan ginjal dan akan
menjadi inti pembentukan BSK. Infeksi oleh bakteri yang memecah ureum dan
membentuk amonium akan mengubah pH urin menjadi alkali dan akan
mengendapkan garam-garam fosfat sehingga akan mempercepat pembentukan

batu yang telah ada.25

h. Iklim dan temperatur/suhu


Individu yang menetap di daerah beriklim panas dengan paparan sinar ultraviolet
tinggi akan cenderung mengalami dehidrasi serta peningkatan produksi vitamin D
(memicu peningkatan ekskresi kalsium dan oksalat), sehingga insiden BSK akan
meningkat. Tempat yang bersuhu panas misalnya di daerah tropis, di kamar
mesin, menyebabkan banyak mengeluarkan keringat, akan mengurangi produksi

urin dan mempermudah pembentukan BSK.3,26

i. Geografi
Pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian BSK yang lebih tinggi

daripada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stone belt (sabuk batu).3
2.6 Gejala Klinis/Keluhan BSK

Batu dalam saluran kemih bagian atas (ginjal dan ureter), biasanya akan
menyebabkan keluhan sakit. Keluhan yang timbul tergantung dari lokasi batu, dan

besar batu.3 Gejala klinis/keluhan yang ditimbulkan antara lain demam, nausea

(mual), vomiting (muntah) dan sakit atau nyeri disekitar pinggang, nyeri sewaktu
buang air kecil (BAK) bahkan susah BAK, BAK berdarah (hematuria), BAK berpasir
(kristaluria) dan pembengkakkan daerah punggung bawah.

1. Rasa Nyeri

Biasanya penderita mengeluhkan rasa nyeri yang berulang (kolik) tergantung


dari letak batu. Batu yang berada di ginjal akan menimbulkan dua macam nyeri, yaitu
nyeri kolik ginjal dan nyeri ginjal bukan kolik. Kolik ginjal biasanya disebabkan oleh
peregangan urinary collecting system (system pelviokalises), sedangkan nyeri ginjal
bukan kolik disebabkan distensi dari kapsul ginjal. Batu ureter akan memberi gejala
kolik ureter, nyeri hebat di daerah punggung atau fosa iliaka yang letaknya lebih
rendah daripada kolik ginjal, dapat menyebar ke atas ke daerah ginjal atau ke bawah

sampai ke testis atau labia mayor.23,26

2. Demam

Timbulnya demam merupakan tanda-tanda adanya kuman yang beredar di


dalam darah. Biasanya gejala yang timbul selain demam adalah jantung berdebar-
debar, tekanan darah rendah dan pelebaran pembuluh darah di kulit. Demam akibat

obstruksi saluran kemih memerlukan dekompresi secepatnya.26,27


3. Hematuria dan Kristaluria

Hematuria adalah adanya darah yang keluar bersama urin. Namun lebih
kurang 10-15% penderita BSK tidak menderita hematuria. Kristaluria adalah urin

yang disertai dengan pasir atau batu.3,26

4. Nausea dan Vomiting

Obstruksi saluran kemih bagian atas sering menimbulkan mual dan muntah.26

5. Pembengkakkan daerah punggung bawah

Penyumbatan saluran kemih bagian atas yang akut ditandai dengan rasa sakit
punggung bagian bawah. Pada sumbatan yang berlangsung lama, kadang-kadang

dapat diraba adanya pembengkakkan ginjal yang membesar (Hidronefrosis).28

6. Infeksi

Biasanya dengan gejala-gejala menggigil, demam, nyeri pinggang, nausea


serta muntah dan disuria. Secara umum infeksi pada batu struvit (batu infeksi)

berhubungan dengan infeksi dari Proteus sp, Pseudomonas sp, Klebsiella sp.26

2.7 Pemeriksaan dan Diagnosis BSK

2.7.1 Fisik26,27

Hasil pemeriksaan fisik antara lain :

a. Kadang-kadang teraba ginjal yang mengalami hidronefrosis/obstruktif.


b. Nyeri tekan/ketok pada pinggang.
c. Batu uretra anterior bisa di raba.
d. Pada keadaan akut paling sering ditemukan adalah kelembutan di daerah
pinggul (flank tenderness), ini disebabkan oleh hidronefrosis akibat obstruksi
sementara yaitu saat batu melewati ureter menuju kandung kemih.

2.7.2 Laboratorium

Pada urin biasanya dijumpai hematuria dan kadang-kadang kristaluria. Hematuria


biasanya terlihat secara mikroskopis, dan derajat hematuria bukan merupakan ukuran
untuk memperkirakan besar batu atau kemungkinan lewatnya suatu batu. Tidak adanya
hematuria dapat menyokong adanya suatu obstruksi komplit, dan ketiadaan ini juga
biasanya berhubungan dengan penyakit batu yang tidak aktif. Pada pemeriksaan sedimen
urin, jenis kristal yang ditemukan dapat memberi petunjuk jenis batu. Pemeriksaan pH
urin < 5 menyokong suatu batu asam urat, sedangkan bila terjadi peningkatan pH (≥7)
menyokong adanya organisme pemecah urea seperti Proteus sp, Klebsiella sp,

Pseudomonas sp dan batu struvit. 23,26

2.7.3 Radiologis 3,23,27

Ada beberapa jenis pemeriksaan radiologis yaitu :

a. Foto polos abdomen


Foto polos abdomen dapat menentukan besar, macam dan lokasi batu
radiopaque. Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat
radiopaque dan paling sering dijumpai diantara batu jenis lain, sedangkan batu
asam urat bersifat radiolusen.

b. Intravenous Pyelogram (IVP)


IVP dapat menentukan dengan tepat letak batu, terutama batu-batu yang
radiolusen dan untuk melihat fungsi ginjal. Selain itu IVP dapat mendeteksi
adanya batu semi opaque ataupun batu non opaque yang tidak dapat terlihat
oleh foto polos abdomen.

c. CT Scan
CT Scan (Computerized Tomography) adalah tipe diagnosis sinar X yang
dapat membedakan batu dari tulang atau bahan radiopaque lain.

d. Retrograte Pielografi (RPG)


Dilakukan bila pada kasus-kasus di mana IVP tidak jelas, alergi zat kontras,
dan IVP tidak mungkin dilakukan.

e. Ultrasonografi (USG)
USG dilakukan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan IVP, yaitu
pada keadaan-keadaan : alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang
menurun dan pada wanita yang sedang hamil. USG ginjal merupakan
pencitraan yang lebih peka untuk mendeteksi batu ginjal dan batu radiolusen
daripada foto polos abdomen. Cara terbaik untuk mendeteksi BSK ialah
dengan kombinasi USG dan foto polos abdomen. USG dapat melihat
bayangan batu baik di ginjal maupun di dalam kandung kemih dan adanya
tanda-tanda obstruksi urin.

f. Radioisotop
Untuk mengetahui fungsi ginjal secara satu persatu, sekaligus adanya
sumbatan pada gagal ginjal.

2.8 Penatalaksanaan Medis BSK


Berhasilnya penatalaksanaan medis BSK ditentukan oleh lima faktor yaitu :
ketetapan diagnosis, lokasi batu, adanya infeksi dan derajat beratnya, derajat
kerusakan fungsi ginjal, serta tata laksana yang tepat. Terapi dinyatakan berhasil bila:
keluhan menghilang, kekambuhan batu dapat dicegah, infeksi telah dapat dieradikasi

dan fungsi ginjal dapat dipertahankan.23

2.8.1 Terapi Konservatif

Batu kecil dalam ginjal yang tidak memberi tanda (silent stone) dapat diobati
secara konservatif dengan menunggu sampai batu dapat keluar dengan sendiri. Pasien
diberikan air minum minimal 2-3 liter per hari. Selain itu juga dilakukan pembatasan

diet kalsium, oksalat, natrium, fosfat dan protein tergantung pada penyebab batu.28

2.8.2 Pengobatan Medik Selektif dengan Pemberian Obat-obatan

Pemberian obat-obatan pada penderita BSK bertujuan mengurangi rasa sakit


yang hebat, mengusahakan agar batu keluar spontan, disolusi batu dan mencegah
kambuhnya batu. Beberapa jenis obat yang diberikan antara lain spasmolitika yang

dicampur dengan analgesik untuk mengatasi nyeri, kalium sitrat untuk meningkatkan
pH urin, selulosa fosfat untuk menghambat absorbsi usus, antibiotika untuk

mencegah infeksi, tiazid untuk diuresis dan sebagainya.23

2.8.3 Tanpa Operasi


1. Medikamentosa
Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5
mm, karena diharapkan batu dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan
bertujuan untuk mengurangi nyeri, memperlancar aliran urin dengan
pemberian diuretikum, dan minum banyak supaya dapat mendorong batu

keluar dari saluran kemih.3

2. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)


Alat ESWL adalah pemecah batu yang diperkenalkan pertama kali oleh
Caussy pada tahun 1980. Alat ini dapat memecah batu ginjal, batu ureter
proksimal atau batu kandung kemih tanpa melalui tindakan invasif dan tanpa
pembiusan. Batu dipecah menjadi fragmen-fragmen kecil sehingga mudah
dikeluarkan melalui saluran kemih. Tidak jarang pecahan-pecahan batu yang
sedang keluar menimbulkan perasaan nyeri kolik dan menyebabkan

hematuria.3,28

Persyaratan BSK yang dapat ditangani dengan ESWL :

a. Batu ginjal berukuran mulai dari 5 mm hingga 20 mm.


b. Batu ureter berukuran 5 mm hingga 10 mm.
c. Fungsi ginjal masih baik.
d. Tidak ada sumbatan distal dari batu.

3. Endourologi
Tindakan endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk mengeluarkan
BSK yang terdiri atas memecah batu, dan mengeluarkannya dari saluran
kemih melalui alat yang dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih. Alat
itu dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit (perkutan).
Proses pemecahan batu dapat dilakukan secara mekanik, dengan memakai

energi hidroulik, energi gelombang suara atau energi laser.3

2.8.4 Tindakan Operasi3

1. Bedah Laparoskopi
Pembedahan laparoskopi untuk mengambil BSK saat ini sedang berkembang.
Cara ini banyak dipakai untuk mengambil batu ureter.

2. Bedah Terbuka
Di klinik-klinik yang belum mempunyai fasilitas yang memadai untuk
tindakan-tindakan endourologi, laparoskopi maupun ESWL, pengambilan
batu masih dilakukan melalui pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka itu
antara lain adalah : pielolitomi atau nefrolitotomi untuk mengambil batu pada
saluran ginjal, dan ureterolitotomi untuk batu di ureter. Tidak jarang pasien
harus menjalani tindakan nefrektomi atau pengambilan ginjal karena ginjalnya
sudah tidak berfungsi dan berisi nanah (pionefrosis), korteksnya sudah sangat
tipis atau mengalami pengkerutan akibat BSK yang menimbulkan obstruksi
dan infeksi yang menahun.

2.9 Pencegahan BSK.3,26,27,29

2.9.1 Pencegahan Primer


Tujuan pencegahan primer adalah untuk mencegah agar penyakit tidak terjadi,
dengan mengendalikan faktor penyebab suatu penyakit. Kegiatan yang
dilakukan meliputi promosi kesehatan, pendidikan kesehatan dan
perlindungan kesehatan. Pencegahan primer penyakit BSK seperti minum air
putih yang banyak. Konsumsi air putih minimal 2 liter per hari akan
meningkatkan produksi urin. Konsumsi air putih juga akan mencegah
pembentukan kristal urin yang dapat menyebabkan terjadinya batu. Selain itu,
dilakukan pengaturan pola makan yang dapat meningkatkan risiko
pembentukan BSK seperti, membatasi konsumsi daging, garam dan makanan
tinggi oksalat (sayuran berwarna hijau, kacang, coklat), dan sebagainya.
Aktivitas fisik seperti olahraga juga sangat dianjurkan, terutama bagi yang
pekerjaannya lebih banyak duduk.

2.9.2 Pencegahan Sekunder


Pencegahan sekunder bertujuan untuk mengurangi keparahan penyakit dengan
melakukan diagnosis dan pengobatan dini. Untuk jenis penyakit yang sulit
diketahui kapan penyakit timbul, diperlukan pemeriksaan teratur yang dikenal
dengan pemeriksaan “Check-up”. Pemeriksaan urin dan darah dilakukan
secara berkala, bagi yang pernah menderita BSK sebaiknya dilakukan setiap
tiga bulan atau minimal setahun sekali. Tindakan ini juga untuk mendeteksi
secara dini apabila terjadi pembentukan BSK yang baru. Untuk pengobatan,
pemberian obat-obatan oral dapat diberikan tergantung dari jenis gangguan
metabolik dan jenis batu. Pengobatan lain yang dilakukan yaitu melakukan
kemoterapi dan tindakan bedah (operasi).

2.9.3 Pencegahan Tersier


Pencegahan tersier mencakup pembatasan terhadap segala ketidakmampuan
dengan menyediakan rehabilitasi saat penyakit, cedera atau ketidakmampuan
sudah terjadi dan menimbulkan kerusakan. Kegiatan yang dilakukan meliputi
rehabilitasi (seperti konseling kesehatan) agar orang tersebut lebih berdaya
guna, produktif dan memberikan kualitas hidup yang sebaik mungkin sesuai
dengan kemampuannya.

2.2 ANESTESI

2.2.1 Definisi Anestesi

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Kata anestesi diperkenalkan oleh
Oliver Wendell Holmes pada tahun 1846 yang menggambarkan keadaan tidak sadar
yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan
nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien. Anestesi yang sempurna harus
memenuhi 3 syarat (Trias Anestesi), yaitu.17

a. Hipnotik, hilang kesadaran

b. Analgetik, hilang perasaan sakit

c. Relaksan, relaksasi otot-otot


2.2.2 Anestesi Umum

Anestesi umum atau general anesthesia merupakan suatu keadaan dimana


hilangnya kesadaran disertai dengan hilangnya perasaan sakit di seluruh tubuh akibat
pemberian obat-obatan anestesi dan bersifat reversible. Anestesi umum dapat
diberikan secara intravena, inhalasi dan intramuskular.17

Indikasi anestesi umum17 :

 Pada bayi dan anak-anak


 Pembedahan pada orang dewasa di mana anestesi umum lebih disukai oleh
ahli bedah walaupun dapat dilakukan dengan anestesi lokal
 Operasi besar
 Pasien dengan gangguan mental
 Pembedahan yang lama
 Pembedahan yang dengan lokal anestesi tidak begitu praktis dan
memuaskan
 Pasien dengan obat-obatan anestesi lokal pernah mengalami alergi.

Teknik anestesi umum ada 3, yaitu17 :

a. Anestesi umum intravena merupakan salah satu teknik anestesi umum yang
dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke
dalam pembuluh darah vena.
b. Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang
dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang
berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap dengan obat-obat pilihan
yaitu N2O, Halotan, Enfluran, Isofluran, Sevofluran, Desfluran dengan kategori
menggunakan sungkup muka, Endotrakeal Tube nafas spontan, Endotrakeal
tube nafas terkontrol.
c. Anestesi berimbang merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan
kombinasi obat-obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi
inhalasi atau kombinasi teknik anestesi umum dengan analgesia regional untuk
mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang.
Sebelum dilakukan tindakan anestesi, sebaiknya dilakukan persiapan pre-
anestesi.Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum
pasien menjalani suatu tindakan operasi. Persiapan-persiapan yang perlu dilakukan
adalah sebagai berikut17:

1. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya sangatlah
penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian
khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan keadaan gigi, tindakan buka mulut, lidah yang relatif besar sangat
penting untuk mengetahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu
tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua
sistem organ tubuh pasien.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai.Pemeriksaan laboratorium rutin yang
sebaiknya dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap (Hb, leukosit, masa
perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis.Pada pasien yang berusia di
atas 50 tahun sebaiknya dilakukan pemeriksaan foto toraks dan EKG.
4. Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang ialah
yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA):
 ASA 1 : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
 ASA 2 : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
 ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas
 ASA 4 : pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap
saat
 ASA 5 : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
kehidupannya tidak akan lebih dari 24 jam.
 ASA 6 : Pasien dengan kematian batang otak
 Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat (E: EMERGENCY), misalnya ASA IE atau
IIE.
2.2.3 Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya17:

 Meredakan kecemasan dan ketakutan


 Memperlancar induksi anestesi
 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
 Meminimalkan jumlah obat anestetik
 Mengurangi mual muntah pasca bedah
 Menciptakan amnesia
 Mengurangi isi cairan lambung
 Mengurangi reflek yang membahayakan

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada situasi


yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun
kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan
diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesi. Jika disertai nyeri
karena penyakitnya dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.17

Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam.


Untuk meminimalkan kejadian di atas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin
misalnya simetidin 600 mg atau oral ranitidin 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal
operasi. Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intramuskular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau
ondansetron 2-4 mg.17

Sebelum dilakukan anestesi, pasien diberikan premedikasi berupa pemberian


injeksi Metoclopramide 10mg dan injeksi Ranitidine 50mguntuk profilaksis dari
PONV (postoperative nausea and vomiting). Metoclopramide digunakan sebagai anti
emetik dan untuk mengurangi sekresi kelenjar. Pemilihan metokloperamide
dikarenakan obat ini mempunyai efek menstimulasi asetilkolin pada otot polos
saluran cerna, meningkatkan tonus sfingter esofagus bagian bawah, mempercepat
pengosongan lambung dan menurunkan volume cairan lambung sehingga efek-efek
ini akan menimalisir terjadinya pnemonia aspirasi.17

Metokloperamide juga mempunyai efek analgesik pada kondisi-kondisi yang


berhubungan dengan spasme otot polos (seperti kolik bilier atau ureter, kram uterus,
dll). Selain itu metokloperamide juga berefek memblok receptor Dopamine pada
chemoreceptor trigger zone pada sistem saraf pusat sehingga sangat berguna untuk
pencegahan muntah pasca operasi.17

Obat premedikasi lain yang digunakan adalah ranitidin. Pemilihan ranitidin


dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2 sehingga dapat
mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat mengurangi risiko.

Yang banyak digunakan18:


Analgetik opium :

 Morfin 0,15 mg/kgbb, intramuskuler


 Petidin 1,0 mg/kgbb, intramuskuler
Sedatif :

 Diazepam 0,15 mg/kgbb, oral/intramuskuler


 Pentobarbital 3 mg/kgbb per oral atau, 1,5 mg/kgbb intramuskuler
 Prometazin 0,5 mg/kgbb per oral
 Kloral hidrat sirup 30 mg/kgbb
Vagolitik antisialogog :

 Atropin 0,02 mg/kgbb, intramuskuler atau intravena pada saat induks


maksimal 0,5 mg
Antasida :

 Ranitidine 150 mg per oral setiap 12 jam dan 2 jam sebelum operasi
 Omeprazole 40 mg, 3-4 jam sebelum operasi
 Metoclopramide 10 mg per oral sebelum operasi
Sebelum induksi anastesi

Sebelum memulai, periksalah jadwal pasien dengan teliti. Tanggung jawab


untuk pemeriksaan ulang ini berada pada ahli bedah dan ahli anatesi. Periksalah
apakah pasien sudah dipersiapkan untuk operasi dan tidak makan/minum sekurang-
kurangnya 6 jam sebelumnya, meskipun bayi yang masih menyusui hanya
dipuasakan 3 jam (untuk induksi anastesi pada operasi darurat, lambung mungkin
penuh). Ukurlah nadi dan tekanan darah dan buatlah pasien relaks sebisa mungkin.
Asisten yang membantu induksi harus terlatih dan berpengalaman. Jangan
menginduksi pasien sendirian saja tanpa asisten.18

 Pemeriksaan Alat
Penting sekali bila kita memeriksa alat-alat sebelum melakukan anastesi,
karena keselamatan pasien tergantung pada hal ini. Kita harus mempunyai daftar hal-
hal yang harus diperiksa dan gantungkan pada alat anastesi yang sering digunakan.
Pertama yakinlah bahwa alat yang akan dipergunakan bekerja dengan baik. Jika kita
menggunakan gas kompresi, periksalah tekanan pada silinder yang digunakan dan
silinder cadangan. Periksalah apakah vaporizer sudah disambung dengan tepat tanpa
ada yang bocor, hilang atau terlepas, sistem pernapasan dan aliran gas ke pasien
berjalan dengan baik dan aman. Jika kita tidak yakin dengan sistem pernapasan,
cobalah pada diri kita (gas anastesi dimatikan). Periksalah fungsi alat resusitasi (harus
selalu ada untuk persiapan bila terjadi kesalahan aliran gas), laringoskop, pipa dan
alat penghisap. Kita juga harus yakin bahwa pasien berbaring pada meja atau kereta
dorong yang dapat diatur dengan cepat ke dalam posisi kepala dibawah, bila terjadi
hipotensi mendadak atau muntah. Persiapkan obat yang akan digunakan dalam spuit
yang diberi label, dan yakinkan bahwa obat itu masih baik kondisinya. Sebelum
melakukan induksi anastesi, yakinkan aliraninfus adekuat dengan memasukkan jarum
indwelling atau kanula dalam vena besar, untuk operasi besar infus dengan cairan
yang tepat harus segera dimulai.17

2.2.4 Durate operation

1. Induksi Anestesi

Induksi anestesi ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Sebelum
memulai induksi anestesi, selayaknya disiapkan peralatan dan obat- obatan yang
diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih
cepat dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya kita ingat kata
STATICS18:

 S = Scope
Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope, pilih
bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup
terang
 T = Tubes
Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia< 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5
tahun dengan balon (cuffed)
 A = Airway
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-
tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan nafas
 T = Tape
Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut
 I = Introducer
Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan
 C = Connector
Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi
 S = Suction
Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

 Induksi intravena

Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah


terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya
dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan lembut dan terkendali. Obat induksi bolus
disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan
pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi
cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif. Tiopental (tiopenton, pentotal)
diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5% dan dosis antara 3-7 mg/kgBB.17
Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak dan manula digunakan dosis rendah dan
dewasa muda sehat dosis tinggi. Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan
kepekatan 1% menggunakan dosis 2-3 mg/kgBB. Ketamin intravena dengan dosis 1-
2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena
itu sebelumnya dianjurkan menggunakan sedative seperti midazolam. Ketamin tidak
dianjurkan pada pasien dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah >160 mmHg).
Ketamin menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka.18

 Induksi Intamuskular

Sampai sekarang hanya ketamine yang dapat diberikan secara intramuskular


dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.17

 Induksi inhalasi

Teknik ini merupakan pilihan bila jalan napas pasien sulit ditangani. Jika
induksi intravena, pada pasien seperti itu dapat menimbulkan kematian akibat
hipoksia jika kita tidak dapat mengembangkan paru. Sebaliknya, induksi inhalasi
hanya dapat dilakukan apabila jalan napas bersih sehingga obat anestesi dapat masuk.
Jika jalan napas tersumbat, maka obat anestesi tidak dapat masuk dan anestesi
didistribusikan ke seluruh tubuh sehingga anestesi akan dangkal. Jika hal ini terjadi,
bersihkan jalan napas. Induksi inhalasi juga digunakan untuk anak-anak yang takut
pada jarum.17

 Intubasi Endotrakeal

Yang dimaksud dengan intubasi endotrakeal ialah memasukkan pipa


pernafasan yang terbuat dari portex ke dalam trakea guna membantu pernafasan
penderita atau waktu memberikan anestesi secara inhalasi.17
Gambar 2.1 Intubasi Endotrakeal

Indikasi intubasi endotrakeal18 :

1. Menjaga jalan nafas yang bebas oleh sebab apapun


2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
4. Operasi-operasi pada kepala, leher, mulutm hidung dan tenggorokan
5. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan
tak ada ketegangan
6. Pada operasi intrathorakal, supaya jalan nafas selalu terkontrol
7. Untuk mencegah kontaminasi trakea
8. Bila dipakai controlled ventilation maka tanpa pipa endotrakeal dengan
pengisian cuffnya dapat terjadi inflasi ke dalam gaster
9. Pada pasien-pasien yang mudah timbul laringospasme
10. Pada pasien-pasien dengan fiksasi vocal cord

Keberhasilan intubasi tergantung pada 3 hal penting yaitu18 :

 Anestesi yang adekuat dan relaksasi otot-otot kepala, leher dan laring yang
cukup
 Posisi kepala dan leher yang tepat
 Penggunaan apparatus yang tepat untuk prosedur tersebut

Alat-alat yang digunakan dalam intubasi endotrakeal :

a. Pipa endotrakea
Berfungsi mengantar gas anestesik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat
dari bahan standar polivinil-klorida.Ukuran diameter lubang pipa trakea dalam
milimeter. Karena penampang trakea bayi, anak kecil dan dewasa berbeda,
penampang melintang trakea bayi dan anak kecil di bawah usia 5 tahun hampir bulat
sedangkan dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi dan anak kecil digunakan tanpa
cuff dan untuk anak besar dan dewasa dengan cuff supaya tidak bocor. Pipa
endotrakea dapat dimasukkan melalui mulut atau melalui hidung.18

Cara memilih pipa endotrakea untuk bayi dan anak kecil :

Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4 + ¼ umur (thn)

Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (thn)

Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (thn)

b. Laringoskop

Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop ialah alat
yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan
pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua macam laringoskop
17
:

 Bilah lurus (straight blades/ Magill/ Miller)


 Bilah lengkung (curved blades/ Macinto

Penilaian Mallampati

Dalam anestesi, skor Mallampati digunakan untuk memprediksi kemudahan


intubasi. Hal ini ditentukan dengan melihat anatomi rongga mulut, khusus, itu
didasarkan pada visibilitas dasar uvula, pilar faucial. Klasifikasi tampakan faring
pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut
Mallampati dibagi menjadi 4 grade18:

 Grade I : Pilar faring, uvula dan palatum mole terlihat jelas


 Grade II : Uvula dan palatum mole terlihat sedangkan pilar faring tidak
terlihat
 Grade III : Hanya palatum mole yang terlihat
 Grade IV : Pilar faring, uvula dan palatum mole tidak terlihat.
Kesulitan dalam teknik intubasi18:

 Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap


 Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi
 Gigi incisivum atas yang menonjol (rabbit teeth)
 Kesulitan membuka mulut
 Uvula tidak terlihat (mallampati 3 dan 4)
 Abnormalitas pada daerah servikal
 Kontraktur jaringan leher
Komplikasi pada intubasi endotrakeal18 :
 Memar & oedem laring
 Strech injury
 Non specific granuloma larynx
 Stenosis trakea
 Trauma gigi geligi
 Laserasi bibir, gusi dan laring
 Aspirasi, spasme bronkus

Obat-Obat Anestesi Umum

Obat-obat yang sering digunakan dalam anestesi umum adalah17:

I. Gas Anestesi

Dalam dunia modern, anestetik inhalasi yang umum digunakan untuk praktek
klinik ialah N2O, Halotan, Enfluran, Isofluran, Desfluran, dan Sevofluran.
Mekanisme kerja obat anestetik inhalasi sangat rumit, sehingga masih menjadi
misteri dalam farmakologi modern.

Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditentukan oleh sifat fisiknya :

1) Ambilan oleh paru


2) Difusi gas dari paru ke darah
3) Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya.
Berikut adalah jenis gas anestetik inhalasi, diantaranya:

1. N2O

N2O merupakan salah satu gas anestetim yag tak berwarna, bau manis, tak
iritasi, tak terbakar, dan pemberian anestesi dengan N2O harus disertai oksigen
minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesinya kuat. Pada akhir
anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli,
sehingga terjadi pengenceran oksigen dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk
menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan oksigen 100% selama 5-10 menit.

2. Halotan

Halotan merupakan gas yang baunya enak dan tak merangsang jalan napas,
maka sering digunakan sebagai induksi anestesi kombinasi dengan N2O. Halotan
merupakan anestetik kuat dengan efek analgesia lemah, dimana induksi dan tahapan
anestesi dilalui dengan mulus, bahkan pasien akan segera bangun setelah anestetik
dihentikan. Pada napas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol % dan pada napas
kendali sekitar 0,5-1 vol% yang tentunya disesuaikan dengan klinis pasien. 17

3. Isofluran

Isofluran berbau tajam, kadar obat yang tinggi dalam udara inspirasi
menyebabkan pasien menahan napas dan batuk. Setelah premedikasi, induksi dicapai
dalam kurang dari 10 menit, di mana umumnya digunakan barbiturat intravena untuk
mempercepat induksi.Tanda untuk mengamati kedalaman anestesi adalah penurunan
tekanan darah, volume dan frekuensi napas, serta peningkatan frekuensi denyut
jantung. Menurunkan laju metabolisme pada otak terhadap oksigen, tetapi
meningkatkan aliran darah otak dan tekanan intrakranial.17

4. Desfluran

Merupakan cairan yang mudah terbakar tapi tidak mudah meledak, bersifat
absorben dan tidak korosif untuk logam.Karena sukar menguap, dibutuhkan vaporiser
khusus untuk desfluran.Desfluran lebih digunakan untuk prosedur bedah singkat atau
bedah rawat jalan.Desfluran bersifat iritatif sehingga menimbulkan batuk, spasme
laring, sesak napas, sehingga tidak digunakan untuk induksi.Desfluran bersifat ¼ kali
lebih poten dibanding agen anestetik inhalasi lain, tapi17 kali lebih poten dibanding
N2O.17
5. Sevofluran

Sama halnya dengan desfluran, sevofluran terhalogenisasi dengan fluorin.


Peningkatan kadar alveolar yang cepat membuatnya menajdi pilihan yang tepat untuk
induksi inhalasi yang cepat dan mulus untuk pasien anak maupun dewasa. Induksi
inhalasi 4-8% sevofluran dalam 50% kombinasi N2O dan oksigen dapat dicapai
dalam 1-3 menit. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas,
sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan. Setelah
pemberian dihentikan, sevofluran cepat dieliminasi dari tubuh.17

II. Obat-obat Anestesi Intravena

Yang dimaksud dengan intravenous anestesi adalah anestesi yang diberikan


dengan cara suntikan zat (obat) anestesi melalui vena17

A. Hipnosis

1. Golongan barbiturat (pentotal)

Suatu larutan alkali dengan kerja hipnotiknya kuat sekali dan induksinya cepat
(30-40 detik) dengan suntikan intravena tetapi dalam waktu singkat kerjanya habis,
seperti zat anestesi inhalasi, barbiturat ini menyebabkan kehilangan kesadaran dengan
jalan memblok kontrol brainstem.

Cara pemberiannya dimulai dengan test dose 25-75 mg, kemudian sebagai
induksi diteruskan dengan pemberian 150-300 mg selang waktu pemberian 15-20
detik (untuk orang dewasa)

2. Benzodiazepin

Keunggulan benzodiazepine dari barbiturate yaitu rendahnya tingkat toleransi


obat, potensi penyalahgunaan yang rendah, margin dosis aman yang lebar, dan tidak
menginduksi enzim mikrosom di hati. Benzodiazepin telah banyak digunakan sebagai
pengganti barbiturat sebagai premedikasi dan menimbulkan sedasi pada pasien dalam
monitorng anestesi Efek farmakologi benzodiazepine merupakan akibat aksi gamma-
aminobutyric acid (GABA) sebagai neurotransmitter penghambat di otak.
Benzodiazepine tidak mengaktifkan reseptor GABA A melainkan meningkatkan
kepekaan reseptor GABA A terhadap neurotransmitter penghambat. Dosis :
Diazepam : induksi 0,2 – 0,6 mg/kg IV, Midazolam : induksi : 0,15 – 0,45 mg/kg IV.

3. Propofol

Propofol (diprivan, recofol) dikemas dalam cairan emulsi lemak bewarna


putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml= 10 mg). Suntikan intravena
sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya diberikan lidokain 1-
2 mg/kgBB intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2.5 mg/kgBB, dosis rumatan
untuk anestesi intravena total 4-12 mg/kgBB/jam dan dosis sedasi untuk perawatan
intensif 0.2 mg/kgBB. Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Pada
manula dosis harus dikurangi, pada anak < 3 thn dan pada wanita hamil tidak
dianjurkan.

4. Ketamin

Ketamin mempunyai sifat analgesik, anestestik dan kataleptik dengan kerja


singkat. Efek anestesinya ditimbulkan oleh penghambatan efek membran dan
neurotransmitter eksitasi asam glutamat pada reseptor N- metil-D-aspartat. ifat
nalgesiknya angat uat ntuk istem omatik, tetapi lemah untuk sistem viseral.
Ketamin tidak menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan kadang-kadang tonusnya
sedikit meninggi. Dosis ketamin adalah 1-2 mg/kgBB IV atau 3-10 mg/kgBB IM.
Anestesi dengan ketamin diawali dengan terjadinya disosiasi mental pada 15 detik
pertama, kadang sampai halusinasi. Keadaan ini dikenal sebagai anestesi disosiatif.
Disosiasi ini sering disertai keadaan kataleptik berupa dilatasi pupil, salivasi,
lakrimasi, gerakan-gerakan tungkai spontan, peningkatan tonus otot. Kesadaran
segera pulih setelah 10-15 menit, analgesia bertahan sampai 40 menit, sedangkan
amnesia berlangsung sampai 1-2 jam.

B. Analgetik

1. Morfin

Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif, yakni
tidak begitu mempengaruhi unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi),
penglihatan dan pendengaran ; bahkan persepsi nyeripun tidak selalu hilang setelah
pemberian morfin dosis terapi. Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3
mekanisme18 ;

a. Morfin meninggikan ambang rangsang nyeri


b. Morfin dapat mempengaharui emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang
timbul di korteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri
dari thalamus
c. Morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri
meningkat.

Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang adalah 0,1-0,2
mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang
sesuai yamg diperlukan.

2. Fentanyl

Dosis fentanyl adalah 2-5 mcg/kgBB IV. Fentanyl merupakan opioid sintetik
dari kelompok fenilpiperidin dan bekerja sebagai agonis reseptor μ. Fentanyl banyak
digunakan untuk anestetik karena waktu untuk mencapai puncak analgesia lebih
singkat, efeknya cepat berakhir setelah dosis kecil yang diberikan secara bolus, dan
relatif kurang mempengaruhi kardiovaskular.18
3. Meridipin

Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa


keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek
daripada morfin. Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik
dan sebagai obat preanestetik, untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan
dengan morfin, meperidin kurang karena menyebabkan depresi nafas pada janin.
Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50
mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien
tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg
BB.

C. Pelumpuh Otot (Muscle Relaxant)

Obat pelumpuh otot adalah obat/ zat anestesi yang diberikan kepada pasien
secara intramuskular atau intravena yang bertujuan untuk mencapai relaksasi dari
otot-otot rangka dan memudahkan dilakukannya operasi.17

 Pelumpuh otot depolarisasi

Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah saraf


otot tidak dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup lama berada di celah sipnatik,
sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul relaksasi otot
lurik. Yang termasuk golongan ini adalah suksinilkolin, dengan dosis 1-2 mg/kgBB
IV.17

 Pelumpuh otot non-depolarisasi

Pelumpuh otot non-depolarisasi berikatan dengan reseptor nikotinik-


kolinergik, etapi ak enyebabkan epolarisasi, anya enghalangi asetilkolin
menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja.18
III. Terapi Cairan

Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular
weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga
mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer
besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian
besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan dan
mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.18

Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan. Untuk
kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan hipotonik, juga
disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik air dan elektrolit,
penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut cairan jenis replacement.18

Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan


jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan
adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100
mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium serum 130 mEq/L,
Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi cairan
ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume
besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan
cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang.18

Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan darah


adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual
memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon ukuran
4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap 100-150 cc
darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap tersebut
ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah.18

IV. Monitoring

Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi


adalah18:

 Frekuensi napas, kedalaman, dan karakter


 Heart rate, nadi, dan kualitasnya
 Warna membran mukosa, dan capillary refill time
 Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek
palpebra)
 Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
 Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

2.2.5 Postoperatif

a. Pemindahan Pasien dari Kamar Operasi ke Recovery Room

Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia care


unit(PACU), biasa disebut dengan recovery room. Di tempat ini, pasien akan
diobservasi dengan ketat, termasuk vital sign dan level nyerinya. Pemindahan pasien
dari kamar operasi ke PACU memerlukan pertimbangan-pertimbangan khusus.
Pertimbangan ini di antaranya ialah letak insisi bedah. Letak insisi bedah harus selalu
dipertimbangkan setiap kali pasien pasca operasi dipindahkan. Banyak luka ditutup
dengan tegangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya dilakukan untuk mencegah
regangan sutura yang lebih lanjut. Selain itu, pasien diposisikan sehingga tidak
berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan selang drainase.18

Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari satu
posisi ke posisi yang lain. Bahkan memindahkan pasien yang telah dianestesi ke
brankard dapat menimbulkan masalah vaskular juga. Untuk itu pasien harus
dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera setelah pasien dipindahkan ke
brankard atau tempat tidur, pakaian pasien yang basah (karena darah atau cairan
lainnya) harus segera diganti dengan pakaian yang kering untuk menghindari
kontaminasi. Selama perjalanan transportasi tersebut pasien diselimuti.

Selang dan peralatan drainase harus ditangani dengan cermat agar dapat
berfungsi dengan optimal. Pasien ditransportasikan dari kamar operasi ke PACU. Jika
PACU terletak jauh dari kamar operasi, atau jika kondisi umum pasien jelek,
monitoring adekuat terhadap pasien sangat diperlukan. Dokter anestesi bertanggung
jawab untuk memastikan bahwa proses transfer tersebut berjalan dengan lancar.18

b. Perawatan Post Anestesi di Recovery Room

Recovery dari anestesi terjadi ketika efek obat-obatan anestesi hilang dan
fungsi tubuh mulai kembali. Perlu beberapa waktu sebelum efek anestesi benar-benar
hilang. Setelah anestesi, sejumlah kecil obat masih terdapat dalam tubuh pasien,
tetapi efeknya minimal.

Waktu recovery dari anestesi bergantung pada jenis anestesi, usia pasien, jenis
operasi, durasi operasi, pre-existing disease, dan sensitivitas individu terhadap obat-
obatan. Perkiraan waktu recovery yang tepat dapat ditentukan jika semua spesifikasi
pembedahan, riwayat pasien dan jenis anestesi diketahui.18

Observasi ketat harus terus dipertahankan hingga pasien benar-benar pulih


dari anestesia. Observasi klinis harus dilakukan dengan pemantauan seperangkat alat
berikut :

a. Pulse oximeter
b. Non-invasive blood pressure monitor
c. Elektokardiograf
d. Nerve stimulator
e. Pengukur suhu.

Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien untuk


dikeluarkan dari PACU adalah:

a. Fungsi pulmonal yang tidak terganggu


b. Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat
c. Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah
d. Orientasi pasien terhadap tempat, waktu, dan orang
e. Produksi urin tidak kurang dari 30 ml/jam
f. Mual dan muntah dalam control
g. Nyeri minimal

Kontrol nyeri postoperatif, mual dan muntah, dan mempertahankan


normotermia sebelum pasien di-discharge sangat dibutuhkan. Sistem skoring untuk
discharge digunakan secara luas. Sebagian besar kriteria yang dinilai adalah SpO2
(atau warna kulit), kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktivitas motorik. Sebagian
besar pasien memenuhi kriteria discharge dalam waktu ± 60 menit di PACU. Sebagai
tambahan dari kriteria diatas, pasien dengan general anestesi seharusnya juga
menunjukkan adanya resolusi dari blokade sensoris dan motoris.
Postoperative nausea and vomiting (PONV) merupakan masalah yang sering
terjadi setelah prosedur general anestesi, terjadi pada sekitar 20-30% pasien. Bahkan,
PONV bisa terjadi ketika pasien di rumah 24 jam setelah discharge (postdischarge
nausea and vomiting).18

Terjadi peningkatan insiden mual setelah pemberian opioid selama anestesi,


setelah pembedahan intraperitoneal (umumnya laparoskopi), dan operasi strabismus.
Insidensi tertinggi terjadi pada wanita muda. Meningkatnya tonus vagal
bermanifestasi sebagai sudden bradikardi yang seringkali mendahului atau bersamaan
dengan emesis.

c. Pemindahan Penderita dari Kamar Operasi

Ada banyak pedoman untuk menentukan kapan penderita dapat dipindahkan


dari kamar operasi. Di RSUP Dr. Kariadi memakai Aldrette Score yaitu penlaian
yang didasarkan atas respirasi, kesadaran, sirkulasi, akfititas dan warna kulit. Hasil
penjumlahan ke-5 faktor tersebut, yang mempunyai nilai maksimal 10 menentukan
dapat tidaknya penderita dipindahkan. Penderita dengan nilai Aldrette Score 8, dapat
dipindahkan ke ruang perawatan.18
BAB III
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS
 Nama : Asmidar
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Umur : 53 tahun
 Agama : Islam
 Alamat : Dusun IX Desa Percut Sei Tuan Deli Serdang
 Pekerjaan : IRT
 Status Perkawinan : Sudah Menikah
 No RM : 26.05.87

2. ANAMNESA
 Keluhan Utama : Buang Air Kecil Tidak Lancar
Telaah : Pasien perempuan datang ke IGD RS Haji diantar oleh anaknya dengan
keluhan buang air kecil tidak lancar, warna seperti susu yang dialami kurang lebih 1
minggu ini, pasien juga mengeluhkan nyeri pinggang sebelah kiri dan mual muntah
yang dialami kurang lebih 1 tahun ini. Nyeri kepala (+), mual (+), muntah (+).
Riwayat operasi sebelumnya tidak ada. Tidak ditemukan adanya riwayat penyakit
diabetes mellitus dan Asma.BAK sedikit dan berwarna keruh, BAB (+) Normal.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat keluar batu dengan ukuran 1,1 cm dan hipertensi
Riwayat Penyakit Keluarga:
- Tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien

Riwayat Alergi :
- Alergi makanan disangkal oleh pasien
- Alergi obat disangkal oleh pasien
Riwayat Pengobatan:
- Anti nyeri tapi pasien tidak tahu nama obatnya
Riwayat Psikososial
- Merokok (-)
- Alkohol (-)

3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
 Keadaan Umum : Tampak sakit
Vital Sign
 Sensorium : Compos Mentis
 Tekanan Darah : 170/90 mmHg
 Nadi : 92x/menit
 RR : 20x/menit
 Suhu : 370C
 Tinggi Badan : 151cm
 Berat Badan : 72 kg
Pemeriksaan Umum
Kepala - Leher
 Kulit : Sianosis (-), Ikterik (-), Turgor (-)
 Kepala : Normocephali
 Mata : Anemis -/-, Ikterik -/-, Edema palpebra -/-
 Hidung : Tidak ada secret/bau/perdarahan pada hidung
 Telinga : Tidak ada secret/bau/perdarahan pada telinga.
 Mulut : Hiperemis pharing (-), Pembesaran tonsil (-)
 Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax
Paru
 Inspeksi :Pergerakan nafas simetris, tipe pernafasan
torakalabdominal, retraksi costae -/-
 Palpasi : Stem fremitus kiri = kanan
 Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
 Auskultasi : Vesikuler seluruh lapang paru
Abdomen
 Inspeksi : Datar, Simetris
 Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar dan Lien tidak teraba
 Perkusi : Nyeri Ketok (+) di pinggang sebelah kiri
 Auskultasi : Peristaltik (+) normal
 Ekstremitas : Edema -/-

Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan


Extremitas Atas-Axilla

1. Dingin (-), edema (-).


2. Deformitas (-)
3. Motorik dan sensibilitas baik

Extremitas Bawah

1. Dingin (-), edema (-)


2. Deformitas (-)
3. Motorik dan sensibilitas baik
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium
Darah Rutin
 Hb : 11,6 g/dl (13 – 18 g/dl)
 HT : 33,8 % (40 – 54 %)
 Eritrosit : 3,5 x 106/µL (4.5 – 6.5 x 106/µL)
 Leukosit : 11.200 / µL (4000 – 11.000 / µL)
 Trombosit : 479.000/µL (150.000 – 450.000 / µL)

Hitung Jenis Leukosit


 Eosinofil : 1% (1-3 %)
 Basofil : 0% (0-1 %)
 N. Stab : 0% (2-6 %)
 N. Seg : 67% (53-75 %)
 Limfosit : 27% (20-45 %)
 Monosit : 5% (4-8 %)
Metabolik
 KGDS : 155 mg/dl (<140 mg/dl)
Fungsi Ginjal
 Ureum : 64 mg/dl (20 – 40 mg/dL)
 Kreatinin : 2,20 mg/dl (0.5 – 1.1 mg/dL)
 Asam urat : 4,6 mg/dl (3,4 – 7,0 mg/dl)
Fungsi Hati
 AST (SGOT) : tidak dilakukan pemeriksaan (< 40 U/I)
 ALT (SGPT) : tidak dilakukan pemeriksaan (< 40 U/I)

Diagnosis : batu staghorn kiri ( nefrolithiasis sinistra )


5. RENCANA TINDAKAN
 Tindakan : PYELOLITOTOMI
 Anesthesi : GA-ETT
 PS-ASA :2
 Posisi : Lateral
 Pernapasan :Ventilator

6. KEADAAN PRA BEDAH


Pre operatif
B1 (Breath)
 Airway : Clear
 RR : 20x/menit
 SP : Vesikuler ka=ki
 ST : Ronchi (-), Wheezing (-/-)
B2 (Blood)
 Akral : Hangat
 TD : 170/90 mmHg
 HR : 92x/menit
B3 (Brain)
 Sensorium : Compos Mentis
 Pupil : Isokor, ka=ki 3mm/3mm
 RC : (+)/(+)
B4 (Bladder)
 Urine Output : -
 Kateter : Tidak Terpasang
B5 (Bowel)
 Abdomen : Soepel
 Peristaltik : (+) Normal
 Mual/Muntah : (-)/(-)
B6 (Bone)
 Oedem : (-)

7. PERSIAPAN OBAT GA-ETT


Intravena
 Propofol : 100mg
 Fentanyl : 200 mcg
 Atracurium : 25 mg
Jumlah Cairan
 PO : RL 300 cc
 DO : RL 800 cc
 Produksi Urin : 250 ml

Perdarahan
 Kasa Basah : 11 x 10 = 110 cc
 Kasa 1/2 basah :1 x5 = 5 cc
 Suction : = 500 cc
 Jumlah : 615 cc
 EBV : 65 x 72 = 4680 cc
 EBL 10 % = 468 cc
20 % = 936 cc
30 % = 1404 cc
Durasi Operatif
 Lama Anestesi = 14.30 – 16.36 WIB
 Lama Operasi = 14.50 – 16.18 WIB
Teknik Anastesi : GA - ETT
 Premedikasi : Analgetik + Midazolam
Induksi Propofol  O2 Relaxant  Oxygenasi
Intubasi : ETT 7.0 Cuff (+)
Maintenance : Sevoflurance + O2

8. POST OPERASI
 Operasi berakhir pukul : 16.18 WIB
 Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan darah,
nadi dan pernapasan dipantau hingga kembali normal.
 Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 9
o Pergerakan :2
o Pernapasan :2
o Warna kulit :2
o Tekanan darah :2
o Kesadaran :2

PERAWATAN POST OPERASI


 Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah dipastikan
pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta vital sign stabil,
pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk bedrest 24 jam, head up
30 derajat

9. TERAPI POST OPERASI


 Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang
 IVFD RL 35 gtt/menit
 Minum sedikit-sedikit bila sadar penuh dan peristaltic (+) Normal
 Inj. Ketorolac 30mg/8jam IV
 Inj. Ondansetron 4mg/8 jam IV bila mual/muntah
DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI, 2004. Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Jakarta.

2. Bustan, MN, 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Rineka Cipta,


Jakarta.

3. Purnomo, BB, 2003. Dasar-Dasar Urologi. Penerbit CV Sagung Seto,


Jakarta.

4. American Urologic Association (AUA), 2007. Urologic Disease in America.


http://kidney.niddk.gov/statistic/uda/Urologic_Disease_in_America.pdf.

5. Pilasri Chutigarn, 2007. Epidemiology Study of Urolithiasis in South of


Northteast Thailand. http://cmp.ubu.ac.th

6. Stamatiou KN, dkk, 2006. Prevalence of Urolithiasis in Rural Thebes,


Greece. http://rrh.deakin.edu.au

7. Rao, dkk, 2006. Epidemiology of Urolithiasis and Chemical Composition


of

8. Urinary Stones in Purnia Division of Bihar.


http://medind.nic.in/iaj/t06/i2/iajt0612p76.pdf

9. WHO, 2005. Country Health Information Profile.


http://www.wpro.who.int.

10. Depkes RI, 2005. Distribusi Penyakit Sistem Kemih Kelamin Pasien
Rawat Inap Menurut Golongan Sebab Sakit Indonesia Tahun 2004.
Jakarta. http://www.yanmedik-depkes.net/statistik_rs_2005
11. Depkes RI, 2007. Distribusi Penyakit-Penyakit Sistem Kemih Kelamin
Pasien

12. Rawat Inap Menurut Golongan Sebab Sakit, Indonesia Tahun 2006.
13. Jakarta. http://www.yanmedik-depkes.net/statistik_rs_2007

14. Hardjoeno, dkk, 2006. Profil Analisis Batu Saluran Kemih Di


Laboratorium Patologi Klinik. Indonesian Journal of Clinical Pathology and
Medical Laboratory, Vol 12, No 3, Makasar. http://www.journal.unair.ac.id.

15. Manuputty David (2003). Air Putih Kurangi Risiko Penyakit Batu Ginjal.
http://www.sinarharapan.co.id/berita

16. Tarihoran, YM, 2003. Karakteristik Penderita Batu Saluran Kemih Rawat
Inap Di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2001-2002. Skripsi
Mahasiswa FKM-USU.

17. Sinaga, Dewi, KM, 2005. Karakteristik Penderita Batu Saluran Kemih
Rawat Inap Di Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2000-2004. Skripsi
Mahasiswa FKM-USU.

18. Suwarni, 2007. Karakteristik Penderita Batu Saluran Kemih (BSK) Yang

19. Rawat Inap Di Rumah Sakit Martha Friska Medan Tahun 2006-2007.
20. Skripsi Mahasiswa FKM-USU.

21. Syaifuddin, 1996. Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat. Edisi Revisi,
EGC, Jakarta.

22. University of Wisconsin Hospitals and Clinics Authority, 2005. The Urinary
System. http://www.uwhealth.org.

23. Tambayong Jan, 2001. Anatomi dan Fisiologi Untuk Keperawatan.


Cetakan I, EGC, Jakarta.
24. Gibson John, 1995. Anatomi dan Fisiologi Modern Untuk Perawat. Edisi
2, EGC, Jakarta.

25. Junqueira Luis C, Jose Carneiro, 1991. Histologi Dasar, Edisi 3, EGC,
Jakarta.

26. Gibson John, 1996. Mikrobiologi dan Patologi Modern Untuk Perawat.
27. Cetakan I, EGC, Jakarta.

28. Clemente C, 1986. Anatomy, a Regional Atlas of The Human Body. Edisi
3, Urban and Schwarzenberg Publishing, Urban and Schwarzenberg
Publishing, Germany.

29. Alatas Husein, dkk, 2002. Buku Ajar Nefrologi Anak, Edisi 2, Penerbit
FKUI, Jakarta.

30. Wenryanto Robertus, Asep Purnama, 2006. Batu Saluran Kencing.


http//:www.rsudtchillers.com.

31. Waspadji Sarwono, Soeparman, 1990. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta.

32. Bahdarsyam, 2001. Spektrum Bakteriologik Pada Berbagai Jenis Batu


Saluran Kemih Bagian Atas. Bagian Patologi Klinik FK USU, Medan.

33. Nursalam, 2006. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan


Sistem Perkemihan, Edisi 1, Salemba Medika, Jakarta.
34. Dobson, Michael B. 1994. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta : EGC
35. Boulton T., Blogg C. 1994. Komplikasi dan Bahaya Anestesi: Anestesiologi.
EGC. Jakarta. pp:229-231

Você também pode gostar