Você está na página 1de 14

A.

Definisi
Kolitis ulseratif adalah penyakit ulseratif dan penyakit inflamasi kambuhan yang terutama
menyerang usus besar. Lesinya bersifat kontinu dan menyerang mukosa superfisial, yang
menyebabkan kongesti vaskular, dilatasi kapiler, edema, hemoragi,dan ulserasi. Hal ini
menimbulkan hipertrofi muscular dan deposisi jaringan fibrosa dan lemak, yang memberi
tampilan usus “pipa timah” akibat penyempitan usus itu sendiri.Kolitis ulseratif adalah
penyakit inflamasi usus karena penyebab yang tidak diketahui, biasanya mengenai lapisan
mukosa kolon, dapat ringan, kronis, atau akut (Asih, 1998).
B.
Etiologi
Etiologi kolitis ulseratif, tidak diketahui. Faktor genetik tampaknya berperanan dalam
etiologi, karena terdapat hubungan familial yang jelas antara kolitis ulseratif, penyakit crohn,
dan spondilitis ankilosa. Telah dijelaskan beberapa teori mengenai penyebab kolitis ulseratif,
namun tidak ada yang terbukti. Teori yang paling terkenal adalah teori reaksi sistem imun
tubuh terhadap virus atau bakteri yang menyebabkan terus berlangsungnya peradangan
dalam dinding usus. Penderita kolitis ulseratif memang memiliki kelainan sistem imun, tetapi
tidak diketahui hal ini merupakan penyebab atau akibat efek ini; kolitis ulseratif tidak
disebabkan oleh distress emosional atau sensitifitas terhadap makanan , tetapi faktor -faktor
ini mungkin dapat memicu timbulnya gejala pada beberapa orang (Price, 2005).
C.
Gejala Klinis
Kolitis ulseratif memiliki gejala awal seperti diare, perdarahan dari rectum, nyeri abdonmen,
demam, malaise, anoreksia, berat badan turun, dan anemia. Anak - anak pada mulanya
tampak dengan gejala yang tidak jelas seperti pertumbuhan terganggu, anoreksia, demam,
dan nyeri sendi dengan atau tanpa gejala gastrointestinal (Priyanto, 2009).
D.
Patogenesis
Ada bukti aktivasi imun pada (Inflamatory Bowel Disease), dengan infiltrasi lamina propria
oleh limfosit,makrofag dan sel-sel lain,meskipun antigen pencetusnya belum jelas dan
bakteri sudah diperkirakan sebagai pencetus,namun sedikit yang memdukung adanya infeksi
spesifik yang menjadi penyebab IBD. Hipotesis yang kedua adalah bahwa dietary antigen
atau agen mikroba non pathogen yang normal mengaktivasi repon imun yang
abnormal.hasilnya suatu mekanisme penghambat yang gagal. Pada tikus,defek genetic pada
fungsi sel T atau produksi sitokin menghasilkan respon imun yang tidak terkontrol pada flora
normal kolon. Hipotesis ketiga adalah bahwa pencetus IBD adalah suatu autoantigen yang
dihasillakn oleh epitel intestinal. Pada teori ini pasien menghasilkan respon imun melawan
antigen luminal,yang tetap dan diperkuat karena keasaman antara antigen lumenal dan
protein. Hipotesis autoimun ini meliputi pengrusakan sel - sel epithelial oleh sitotoksisitas
seluler antibody - dependent atau sitotoksisitas sel - mediated secara langsung (Damajanti,
2005).
Imun respon cell mediated juga terlibat dalam patogenesis IBD.Ada peningkatan sekresi
antibody oleh sel monomuklear intestinal, terutama IgG dan IgM yang melengkapi
komplemen.Kolitis ulseratf dihubungkan sengan meningkatnya produksi IgG(oleh limfosit
Th2) dan IgG,subtype yang respon terhadap protein dan antigen T-cell-dependent. Ada juga
peningkatan produksi sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6,IL-8, dan tumor necrosis factor)
terutama pada aktivasi makrofag di lamina propria.Sitokin yang lain (IL-10) menurunkan
imun respon. Defek produksi sitokin ini menghasilkan inflamasi yang kronis. Sitokin juga
terlibat dalam penyembuhan luka dan proses fibrosis.aktor imun ynag lain dalam
pembentukan penyakit IBD termasuk produksi superoksida dan spesies oksigen reaktif yang
lain oleh akitivitas netrofil,mediator soluble yang meningkatkan permeabilitas dan
merangsang vasodilatasi, komponen kemotaksis netrofil lekotrien dan nitrit oksida yang
menyebabkan vasodilatasi dan edema

Gambaran foto barium enema pada kasus kolitis ulseratif adalah mukosa kolon yang granuler
dan menghilangnya kontur haustra serta kolon tampak menjadi kaku seperti tabung.
Perubahan muksa terjadi secara difus dan simetris pada seluruh kolon. Lumen kolon menjadi
lebih sempit akibat spasme. Dapat ditemukan keterlibatan seluruh kolon. Tetapi apabila
ditemukan lesi yang segmental maka rektum dan kolon kiri selalu terlibat, karena awalnya
kolitis ulseratif ini mulai terjadi di rektum dan menyebar ke arah proksimal secara kontinu.
Jadi rektum selalu terlibat, walaupun rektum dapat mengalami inflamasi lebih ringan dari
bagian proksimalnya (Djojoningrat, 2006).

Faktor
genetik berpengaruh pada saluran pencernaan, sehingga
terjadi reaksi inflamasi pada lapisan dan di dinding usus sehingga terjadi
pembengkakan dan ulserasi, sehingga menimbulkan kuman untuk
berkembang biak dan mengeluarkan toksin sehingga motilitas
(pergear
akan) usus dan permeabilitasnya meningkat dan daya absorsinya
kurang.
1.
Nutrisi
kurang dari kebutuhan karena terjadi diare danm absorbs yang
kurang
2.
Gangguan eliminasi BAB sehingga terjadi Diare
3.
Gangguan istirahat tidur
4.
Gangguan aktifitas akibat diare dan
rasa nyeri
Diare yang terjadi secara terus menurus menyebabkan kehilangan
cairan dan elekrolit tubuh sehingga masuk dalam tahap dehidrasi sehingga
volume cairan kurang dari kebutuhan,terjadinya dehidrasi menyebabkan
konsentrasi CES meningkat,tekanan osmot
ic turun shingga CES menurun
yang dapat menimbulkan syok, sehingga timbul gangguan perfusi jaringan.
Diare dapat diklasifikasikan berdasarkan proses patofisiologinya
yaitu osmotik, sekretarik, inflamasi, dan perubahan motilitas. Diare
osmotik terjadi akiba
t asupan dari bahan makanan yang tidak dapat
diarbsobsi dengan baik, tetapi bahan tersebut larut dalam air sehingga akan
menyebabkan retensi air dalam lumen usus. Penyebab terbanyak adalah
intoleransi laktosa dan penyerapan antasida yang mengandung magnesi
um.
Diare sekretorik terjadi akibat peningkat sekresi ion
-
ion dalam
lumen usus sehingga terjadi peningkatan jumlah cairan intralumen. Obat
-
obatan, hormone dan toksin dapat menyebabkan aktivitas sekrotik ini.
Diare inflamasi atau eksudat terjadi akibat, pe
rubahan mukosa
usus sehingga proses absorbsi terganggu dan menyebabkan peningkatan
protein dan zat lain dalam lumen usus disertai retensi cairan. Adanya darah
atau leukosit dalam tinja biasanya mengindikasikan proses inflamasi.
Diare dari peradangan pada u
sus misalnya colitis ulseratif adalah diare
akibat proses inflamasi.
Kolitis ulseratif mempengaruhi mukosa
superfisisal kolon dan dikarakteristikkan dengan adanya ulserasi multiple

6. USG
P
ada pemeriksaan USG kasus dengan kolitis ulseratif didapatkan
penebalan dinding usus yang simetris dengan lumen kolon yang
berkurang. Mukosa kolon yang terlibat tampak menebal dan berstruktur
hipoekoik akibat dari edema. Usus menjadi kaku, berkurangnya
ger
akan peristaltik dan hilangnya haustra kolon. Dapat ditemukan target
sign atau pseudo
-
kidney sign pada potongan transversal atau cross
-
secional. Dengan USG Doppler pada kolitis ulseratif selain dapat
dievaluasi penebalan dinding usus dapat pula dilihat ada
nya
hipervaskular pada dinding usus tersebut (Djojoningrat, 2006).
7. CT Scan dan MRI
Kelebihan CT scan dan MRI yaitu dapat mengevaluasi langsung
keadaan intralumen dan ekstralumen. Serta mengevaluasi sampai sejauh
mana komplikasi ekstralumen kolon yang te
lah terjadi. Sedangkan
kelebihan MRI terhadap CT sacn adalah mengevaluasi jaringan lunak
karena terdapat perbedaan intensitas (kontras) yang cukup tinggi antara
ja
ringan lunak satu sama lainnya
(Djojoningrat, 2006).
Gambaran CT scan pada kolitis ulseratif,
terlihat dinding usus menebal
secara simetris dan kalau terpotong secara cross sectional maka terlihat
gambaran target sign. Komplikasi di luar usus dapat terdeteksi dengan
baik, seperti adanya abses atau fistula atau keadaan abnormalitas yang
melibatkan
mesenterium. MRI dapat dengan jelas memperlihatkan
fistula dan sinus tract
-
nya (Djojoningrat, 2006).
H.
Terapi Lama
Ada dua tujuan dari terapi yaitu menghentikan serangan akut dan
simptomatik dan mencegah serangan kambuhan.
Menghentikan serangan akut dan
simptomatik
1.Asam 5
-
aminosalisilat
Asam 5
-
minosalisilat atau yang dikenal sebagai sulfasalazine menjadi
obat pilihan utama dalam pengobatan kolitis ulseratif yang ringan sampai
sedang. Sedikit penelitian yang menerangkan adanya obat baru yang lebih
baik
dari sulfasalazine dalam mengontrol inflamasi. 20 dari 30% pasien
mengalami intoleansi terhadap sulafasalazine atau dapat dikatakan alergi
terhadap obat ini (McQuaid, 2005).
2.Kortikosteroi
d
Prednison dengan dosis 40
-
60 mg/ hari secara oral terbukti
dapat
menyembuhkan 75
-
90% pasien dengan kolitis ulseratif. Seperti pada
penyakit crohn, pengunaan kortikosteroid jangka panjang tidak dianjurkan.
Pasien yang diterapi dengan kortikosteroid harus diterapi berbarengan
dengan asam 5
-
aminosalisilat untuk mend
apatkan keuntungan obat
tersebut yaitu ”steroid sparing effect”. Setelah terlihat adanya perbaikan,
maka kortikosteroid di turunkan dngan cara ”tappering off” dalam jangka
waktu 6
-
8 minggu.
Pasien yang tidak responsif terhadap asam 5
-
aminosalisilat, kemuda
n
diterapi dengan hidrocortisone enema (100mg) satu sampai dua kali sehari.
Kortikosteroid foam dan suppositoria dapat digunakan untuk pengobatan
ulseratif proktitis. Tetapi absorbsi sistemik yang signifikan preparat
tersebut dapat menyebabkan Cushing’s si
ndrome yang cepat (McQuaid,
2005).
3.Obat imunosupresant
Ada bukti yang mendukung keuntungan penggunaan analog purin, 6
-
mercaptopurine dan azathioprine untuk terapi kolitis ulseratif. Penggunaan
imunosupresant diindikasikan jika pasien tidak respon atau k
etergantungan
terhadap kortikosteroid. Masih dimungkinkan untuk penggunaan 6
-
mercaptopurin dalam tahap awal penyakit pada beberapa pasien, tetapi
penggunaannya jangan menunda keempatan untuk operasi pada kolitis
yang ekstensif yang juga beresiko untuk mend
erita kanker. Penggunaan
cyclosporin pada terapi kolitis ulseratif yang refrakter terhadap
kortikosteroid intravena dapat dicoba. Pada kelompok pasien ini
cyclosporin intravena tampaknya menginduksi remisi cepat pada lebih
80% pasien. Toksisitas berkaitan
dengan cyclosporin berupa kejang,
hipertensi, nefrotoksik, dan juga resiko infeksi. Adanya efek samping
tersebut harus dipertimbangkan untuk penggunaan jangka lama pada
pasien yang gagal dengan terapi 6
-
mercaptopurin (McQuaid, 2005).
Penggunaan methotrexat
e pada terapi kolitis ulseratif yang refrakter juga
dapat dicoba. Hal yang terpenting adalah penggunaan obat imunosupresant
harus dipikirkan kemanjuran dan toksisitasnya dibandingkan dengan
outcome operasi (McQuaid, 2005).
Mencegah kekambuhan
Pasien yang
gagal mencapai remisi harus diprogramkan untuk terapi
rumatan dengan 5
-
asam aminosalisilat (Asacol, 800 mg
-
2.4 g/hari). Untuk
penyakit yang ekstensif, sulfasalazine (1 g oral 2x1) atau olsalazine (500
mg atau 1 g 2x1) dapat digunakan. Pasien dengan lesi te
rbatas dapat
diterapi dengan preparat rektal setiap 3 hari sekali. Dosis optimal untuk
semua pasien harus diindividualisasikan
(McQuaid, 2005).
I.
Terapi B
aru
Pembedahan
Secara umum indikasi terapi pembedahan adalah klitis ulseratif disertai
perforasi,
perdarahan hebat, displasia atau kanker, dan tidak respon
terhadap 7
-
10 hari terapi kortikosteroid ataupun cyclosporin. Peran
proktokolektomi pada pasien dengan pen
y
akit ekstensif yang lama masih
kontroversial. Di masa lalu operasi standar untuk kolitis ulseratif adalah
proctokolectomy
baik disertai dengan ileostomy (Brooke) atau teknik yang
lebih sulit continent ileostomy (Koch). Pada 15 tahun terakhir ilmu
pembedahan modern telah menggantikan pro
sedur proctokolectomy
sebelumnya. Prosedur ini adalah abdominal colectomi yang dilakukan
dengan membuat anastomosis antara kantong (
pouch
) distal ileum dengan
rektum distal (cuff). Biasanya diverting ileostomy dilakukan juga untuk
memungkinkan pouch dan an
astomosis menyembuh dalam beberapa
bulan. Operasi ini disebut
ileoanal pullthrough
atau ileal pouch
-
anal
anastomosis. Modifikasi terbaru dari operasi ini dilakukan dengan rectal
mucosectomy dimana anastomosis dari ileal pouch ke rectum distal
mendekati bag
ian atas linea dentate (1
-
4 cm). anastomosis ileal pouch
-
distal rectum ini lebih mudah dikerjakan terkadang tanpa harus dilakukan
lagi diverting ileostomy (McQuaid, 2005).
J.
Komplikasi
Komplikasi yang bisa terjadi pada kolitis ulseratif adalah ‘dilatasi toks
ik’,
yang lebih sering terjadi pada serangan pertama, perdarahan berat, dan
selanjutnya, kanker kolon merupakan resiko terbesar aetelah 30 tahun sebesar
20% penderita (Davey, 2006).
Komplikai yang sering terjadi pasca operasi adalah pouchitis yang ditandai
dengan frekuensi defekasi yang meningkat, urgensi, kram, dan malaise. Hal
tersebut berhubungan dengan adanya stasis dalam puoch. Gejala beres
pon
baik terhadap metronidazol
(McQuaid, 2005).
1. Kanker Kolon
Colorectal Cancer atau dikenal sebagai Ca. Colon atau Kanker
Usus Besar adalah suatu bentuk keganasan yang terjadi pada kolon,
rektum, dan appendix (usus buntu). Di negara maju, kanker ini menduduki
peringkat ke tiga yang paling sering terjadi, dan menjadi
penyebab
kematian yang utama di dunia barat. Untuk menemukannya diperlukan
suatu tindakan yang disebut sebagai kolonoskopi,.Beberapa faktor
resikonya usia, adanya polip pada kolon, riwayat kanker, faktor keturunan,
penyakit kolitis (radang kolon) ulserati
f yang tidak diobati, dan kebiasaan
merokok. Kolitis Ulseratif termasuk dalam salah satu faktor resikonya dan
untuk terapinya adalah melalui pembedahan
diikuti kemoterapi (Sylvia,
2005
).
2. Fistula Rektovaginalis
Didefinisikan sebagai saluran yang dibatas
i jaringan epitel
menghubungkan rektum dengan vaginal. Fistula ini sangat jarang terjadi.
Perlukaan usus yang meliputi proktitis dan ulserasi yang menyebabkan
komplikasi akut maupun kronik. Daerah yang mengalami perlukaan dapat
menimbulkan terjadinya fistu
la karena jaringan mengalami penurunan
kemampuan regenerasi dan tidak dapat memperbaiki dirinya sendiri
(Sylvia. 2005).
K.
Prognosis
Setelah serangan pertama, 5% meninggal dalam waktu <1 tahun, 10%
mengalami penyakit aktif berkelanjutan, 75% penyakit aktif in
termitten, dan
10% mengalami remisi yang berlangsung lama sekitar >15 tahun (Davey,
2006).
KESIMPULAN
1.
Kolitis ulseratif adalah penyakit ulseratif dan penyakit inflamasi
kambuhan yang terutama menyerang usus besar
(
Asih
, 1998).
2.
Etiologi kolitis ulseratif, tidak diketahui. Faktor genetik tampaknya berperanan
dalam etiologi, karena terdapat hubungan familial yang jelas antara kolitis
ulseratif, penyakit
crohn, dan spondilitis ankilosa
(Price, 2005)
.
3.
Kolitis ulseratif memiliki
gejala awal seperti diare, perdarahan dari
rectum, nyeri abdonmen, demam, malaise, anoreksia, berat badan turun,
dan anemia
(Priyanto, 2009).
4.
Penegakkan diagnosis kolitis ulseratif adalah dengan
anamnesis,
pemeriksaan fisik dan beberapa pemeriksaan penunj
ang seperti :
Biopsi
Rektu
m,
Sigmoidoskopi fleksibel dan kolonoskopi
, foto polos abdomen,
kultur tinja, barium enema, USG, CT scan dan MRI
(Glickman, 2000).
5.
Ada dua tujuan dari terapi
dari kolitis ulserative
yaitu menghentikan
serangan akut dan simptomatik
dan mencegah serangan kambuhan
(McQuaid, 2005).
6.
Komplikasi dari kolitis ulseratif adalah dilatasi toksik dan
kanker kolon
(Davey, 2006)
DAFTAR PUSTAKA
Basson
,
MD.
2012.
Collitis
Ulcerative.
Available
at
:
http://emedicine.medscape.com
Betz, C. L., Linda A. S. 2009.
Buku Saku Keperawatan Pediatri, Ed.5.
Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Damajanti V, dkk.2005. Inflammatory Bowel Diseease,colitis Ulseratif dan
Penyakit Crohn. Jakarta : Pusat informasi dan penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses
-
Proses
Penyakit. Jakarta: EGC
Davey, Patrick. 2006. At A Glance Medicine. Jakarta. Erlangga Medical Series.
Djojoningrat D. 2006. Inflammatory Bowel Disease : Alur
Diagnosis dan
Pengobatannya di Indonesia. Dalam Sudoy AW dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakot Dalam Jilid 1. Jakarta : FKUI.
Glickman RM. 2000. Penyakit Radang Usus (Kolitis Ulseratif dan Penyakit
Chron). Dalam : Asdie AH,editor. Harrison Prinsip Prinsip Ilmu Pen
yakit
Dalam Volume 4 Edisi 13. Jakarta :EGC.
FK USU. 2008. Kolitis Ulseratif Ditinjau dari Aspek Etiologi, Klinik dan
Patogenesa. Medan. USU e
-
Repository.
McQuaid, K. R, Alimentary Tract in Current Medical Diagnosis & Treatment,
44th ed. 2005. Mc Graw
-
Hi
ll companies.
Priyanto, A, Sri L. 2009.
Endoskopi Gastrointestinal
.
Jakarta : Penerbit Salemba
Medika
Purwono, H.
2005.
Referat Kolitis Ulseratif.
Yogyakarta : FK UII bagian Ilmu
Penyakit Dalam

Você também pode gostar