Você está na página 1de 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pertusis adalah suatu infeksi akut saluran nafas yang mengenai setiap pejamu
yang rentan, tetapi paling sering dan serius pada anak-anak. (Behrman, 1992).
Di Negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, sebelum ditemukannya
vaksin, angka kejadian dan kematian akibat menderita pertusis cukup tinggi. Ternyata
80% anak-anak dibawah umur 5 tahun pernah terserang penyakit pertusis, sedangkan
untuk orang dewasa sekitar 20% dari jumlah penduduk total.
Dengan kemajuan perkembangan antibiotic dan program imunisasi maka
mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun.Namun demikian penyakit ini
masih merupakan salah satu masalah kesehatan terutama mengenai bayi- bayi dibawah
umur.
Pertusis sangat infesius pada orang yang tidak memiliki kekebalan. Penyakit ini
mudah menyebar ketika si penderita batuk. Sekali seseorang terinfeksi pertusis maka
orang tersebut kebal terhadap penyakit untuk beberapa tahun tetapi tidak seumur hidup,
kadang – kadang kembali terinfeksi beberapa tahun kemudian.Pada saat ini vaksin
pertusis tidak dianjurkan bagi orang dewasa. Walaupun orang dewas sering sebagai
penyebab pertusis pada anak – anak, mungkin vaksin orang dewasa dianjurkan untuk
masa depan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi pertusis?
2. Bagaimana etiologi terjadinya pertusis?
3. Bagaimana patofisiologi terjadinya pertusis?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari pertusis?
5. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari pertusis?
6. Bagaimana cara penularan dari pertusis?
7. Bagaimana penatalaksanaan klien anak dengan pertusis?
8. Bagaimana pencegahan dari pertusis?
9. Apa komplikasi dari pertusis?
10. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada klien anak dengan pertusis meliputi ,
pengkajian, diagnosis, intervensi ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi pertusis?

2. Mengetahui etiologi terjadinya pertusis?

3. Mengetahui patofisiologi terjadinya pertusis?

4. Mengetahui manifestasi klinis dari pertusis?

5. Mengetahui pemeriksaan penunjang dari pertusis?

6. Mengetahui cara penularan dari pertusis?

7. Mengetahui penatalaksanaan klien anak dengan pertusis?

8. Mengetahui pencegahan dari pertusis?

9. Mengetahui komplikasi dari pertusis?

10. Mengetahui konsep asuhan keperawatan pada klien anak dengan pertusis meliputi ,
pengkajian, diagnosis, intervensi ?
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Pertusis adalah suatu infeksi akut saluran nafas yang mengenai setiap pejamu
yang rentan, tetapi paling sering dan serius pada anak-anak. (Behrman, 1992).
Pertusis lainnya adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang
sangat menular dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat
spasmodic dan paroksismal disertai nada yang meninggi. (Rampengan, 1993).
Penyakit ini ditandai dengan demam dan perkembangan batuk semakin berat.
Batuk adalah gejala khas dari batuk rejan atau pertusis. Seranagn batuk terjadi tiba-tiba
dan berlanjut terus tanpa henti hingga seluruh udara di dalam paru-paru terbuang keluar.
Akibatnya saat napas berikutnya pasien pertusis telah kekurangan udara shingga bernapas
dengan cepat, suara pernapasan berbunyi separti pada bayi yang baru lahir berumur
kurang dari 6 bulan dan pada orang dewasa bunyi ini sering tidak terdengar. Batuk pada
pertusis biasanya sangat parah hingga muntah-muntah dan penderita sangat kelelahan
setelah serangan batuk.

2.2 Etiologi
Pertusis biasanya disebabkan diantaranya Bordetella pertussis (Hemophilis
pertusis). Suatu penyakit sejenis telah dihubungkan dengan infeksi oleh bordetella para
pertusis, B. Bronchiseptiea dan virus.
Adapun ciri-ciri organisme ini antara lain :
1. Berbentuk batang (coccobacilus)
2. Tidak dapat bergerak
3. Bersifat gram negative.
4. Tidak berspora, mempunyai kapsul
5. Mati pada suhu 55 º C selama ½ jam, dan tahan pada suhu rendah (0º- 10º C)
6. Dengan pewarnaan Toluidin blue, dapat terlihat granula bipolar metakromatik
7. Tidak sensitive terhadap tetrasiklin, ampicillin, eritomisisn, tetapi resisten terhdap
penicillin
8. Menghasilkan 2 macam toksin antara lain :
a. Toksin tidak yahan panas (Heat Labile Toxin)
b. Endotoksin (lipopolisakarida)
2.3 Patofisiologi
Peradangan terjadi pada lapisan mukosa saluran nafas. Dan organisme hanya
akan berkembang biak jika terdapat kongesti dan infiltrasi mukosa berhubungan dengan
epitel bersilia dan menghasilkan toksisn seperti endotoksin, perttusinogen, toxin heat
labile, dan kapsul antifagositik, oleh limfosist dan leukosit untuk polimorfonuklir serta
penimbunan debrit peradangan di dalam lumen bronkus. Pada awal penyakit terjadi
hyperplasia limfoid penbronklas yang disusun dengan nekrosis yang mengenai lapisan
tegah bronkus, tetapi bronkopnemonia disertai nekrosis dan pengelupasan epitel
permukaan bronkus. Obstruksi bronkhiolus dan atelaktasis terjadi akibat dari penimbunan
mucus. Akhirnya terjadi bronkiektasis yang bersifat menetap.
Penyakit ini dapat ditularkan penderita kepada orang lain melalui percikan-
percikan ludah penderita pada saat batuk dan bersin. Dapat pula melalui sapu tangan,
handuk dan alat-alat makan yang dicemari kuman-kuman penyakit tersebut. Tanpa
dilakukan perawatan, orang yang menderita pertusis dapat menularkannya kepada orang
lain selama sampai 3 minggu setelah batuk dimulai.
2.4 PATHWAY
2.5 Manifestasi Klinis
Pada Pertusis, masa inkubasi 7-14 hari, penyakit berlangsung 6-8 minggu atau
lebih dan berlangsung dalam 3 stadium yaitu :
1. Stadium kataralis / stadium prodomal / stadium pro paroksimal
a. Lamanya 1-2 minggu
b. Gejala permulaannya yaitu timbulnya gejala infeksi saluran pernafasan bagian
atas, yaitu timbulnya rinore dengan lender yang jernih:
1) Kemerahan konjungtiva, lakrimasi
2) Batuk dan panas ringan
3) Anoreksia kongesti nasalis
c. Selama masa ini penyakit sulit dibedakan dengan common cold
d. Batuk yang timbul mula-mula malam hari, siang hari menjadi semakin hebat,
sekret pun banyak dan menjadi kental dan lengket
2. Stadium paroksimal / stadium spasmodic
a. Lamanya 2-4 minggu
b. Selama stadium ini batuk menjadi hebat ditandai oleh whoop (batuk yang
bunyinya nyaring) sering terdengar pada saat penderita menarik nafas pada
akhir serangan batuk. Batuk dengan sering 5 – 10 kali, selama batuk anak tak
dapat bernafas dan pada akhir serangan batuk anak mulai menarik nafas denagn
cepat dan dalam. Sehingga terdengar bunyi melengking (whoop) dan diakhiri
dengan muntah.
c. Batuk ini dapat berlangsung terus menerus, selama beberapa bulan tanpa adanya
infeksi aktif dan dapat menjadi lebih berat.
d. Selama serangan, wajah merah, sianosis, mata tampak menonjol, lidah terjulur,
lakrimasi, salvias dan pelebaran vena leher.
e. Batuk mudah dibangkitkan oleh stress emosional missal menangis dan aktifitas
fisik (makan, minum, bersin dll).
3. Stadium konvaresens
a. Terjadi pada minggu ke 4 – 6 setelah gejala awal
b. Gejala yang muncul antara lain : Batuk berkurang
c. Nafsu makan timbul kembali, muntah berkurang
d. Anak merasa lebih baik
e. Pada beberapa penderita batuk terjadi selama berbulan-bulan akibat gangguan
pada saluran pernafasan.
2.6 Pemeriksaan Penunjang

a. Pembiakan lendir hidung dan mulut.


b. Pembiakan apus tenggorokan.
c. Pembiakan darah lengkap (terjadi peningkatan jumlah sel darah putih
yang ditandai sejumlah besar limfosit, LEE tinggi, jumlah leukosit antara
20.000-50.000 sel / m³darah.
d. Pemeriksaan serologis untuk Bordetella pertusis.
e. Tes ELISA (Enzyme – Linked Serum Assay) untuk mengukur kadar secret Ig A.
f. Foto roentgen dada memeperlihatkan adanya infiltrate perihilus, atelaktasis atau
emphysem

2.7 Penatalaksanaan
Anti mikroba Pemakai obat-obatan ini di anjurkan pada stadium kataralis yang
dini. Eritromisin merupakan anti mikroba yang sampai saat ini dianggap paling efektif
dibandingkan dengan amoxilin, kloramphenikol ataupun tetrasiklin. Dosis yang
dianjurkan 50mg/kg BB/hari, terjadi dalam 4 dosis selama 5-7 hari. Kortikosteroid:
1. Betametason oral dosis 0,075 mg/lb BB/hari
2. Hidrokortison suksinat (sulokortef) I.M dosis 30 mg/kg BB/ hari kemudian diturunkan
perlahan dan dihentikan pada hari ke-8
3. Prednisone oral 2,5 – 5 mg/hari Berguna dalam pengobatan pertusis terutama pada
bayi muda dengan seragan proksimal.Salbutamol

2.8 Pencegahan
Diberikan vaksin pertusis yang terdiri dari kuman bordetella pertusis yang
telah dimatikan untuk mendapatkan imunitas aktif. Vaksin ini diberikan bersama vaksin
difteri dan tetanus. Dosis yang dianjurkan 12 unit diberikan pada umur 2 bulan. Kontra
indikasi pemberian vaksin pertusis :
1. Panas lebih dari 33ºC
2. Riwayat kejang
3. Reaksi berlebihan setelah imunisasi DPT sebelumnya misalnya: suhu tinggi dengan
kejang, penurunan kesadaran, syok atau reaksi anafilatik lainnya.
2.9 Komplikasi
1. Pada saluran pernafasan
a. Bronkopnemonia
Infeksi saluran nafas atas yang menyebar ke bawah dan menyebabkan
timbulnya pus dan bronki, kental sulit dikeluarkan, berbentuk gumpalan yang
menyumbat satu atau lebih bronki besar, udara tidak dapat masuk kemudian
terinfeksi dengan bakteri. Paling sering terjadi dan menyebabkan kematian pada
anak dibawah usia 3 tahun terutama bayi yang lebih muda dari 1 tahun. Gejala
ditandai dengan batuk, sesak nafas, panas, pada foto thoraks terlihat bercak-
bercak infiltrate tersebar.
b. Otitis media / radang rongga gendang telinga
Karena batuk hebat kuman masuk melalui tuba eustaki yang menghubungkan
dengan nasofaring, kemudian masuk telinga tengah sehingga menyebabkan
otitis media. Jika saluran terbuka maka saluran eustaki menjadi tertutup dan jika
penyumbat tidak dihilangkan pus dapat terbentuk yang dapat dipecah melalui
gendang telinga yang akan meninggalkan lubang dan menyebabkan infeksi
tulang mastoid yang terletak di belakang telinga.
c. Bronkhitis
Batuk mula-mula kering, setelah beberapa hari timbul lender jernih yang
kemudian berubah menjadi purulen.
d. Atelaktasis
Timbul akibat lender kental yang dapat menyumbat bronkioli.
e. Emphisema Pulmonum
Terjadi karena batuk yang hebat sehingga alveoli pecah dan menyebabkan
adanya pus pada rongga pleura.
f. Bronkhiektasis
Terjadi pelebaran bronkus akibat tersumbat oleh lender yang kental dan disertai
infeksi sekunder.
g. Aktifitas Tuberkulosa
h. Kolaps alveoli paru akibat batuk proksimal yang lama pada anak-anak sehingga
dapat menebabklan hipoksia berat dan pada bayi dapat menyebabkan kematian
mendadak.
2. Pada saluran pencernaan
a. Emasiasi dikarenakan oleh muntah-muntah berat.
b. Prolapsus rectum / hernia dikarenakan tingginya tekanan intra abdomen.
c. Ulkus pada ujung lidah karena tergosok pada gigi atau tergigit pada saat batuk.
d. Stomatitis.
3. Pada system syaraf pusat Terjadi karena kejang :
a. Hipoksia dan anoksia akibat apneu yang lama
b. Perdarahan sub arcknoid yang massif
c. Ensefalopat, akibat atrof, kortika yang difus
d. Gangguan elektrolit karena muntah
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
a. Identitas klien
Nama
Usia
Jenis Kelamin
Agama
Status perkawinan
Alamat
b. Identitas penanggung jawab
Nama
Umur
Agama
Pekerjaan
Hubungan dengan klien
Alamat
c. Riwayat penyakit
1. Keluhan utama :
Klien biasa mengatakan batuk secara terus menerus yang disertai dengan secret.
2. Riwayat penyakit sekarang :
Keluhan lain yang menyertai keluhan utama.
3. Riwayat penyakit dahulu :
Penyakit yang pernah atau sedang dialami klien.
4. Riwayat penyakit keluarga :
Penyakit keturunan yang di derita oleh keluarga klien missal, hipertensi, diabetes
mellitus, asma, dll.
5. Riwayat imunisasi :
Tanyakan pada keluarga apakah anak mendapat imunisasi lengkap.
a) Usia <7 hari anak mendapat imunisasi hepatitis B,
b) Usia 1 bulan anak mendapat imunisasi BCG dan Polio I,
c) Usia 2 bulan anak mendapat imunisasi DPT/HB I dan Polio 2,
d) Usia 3 bulan anak mendapat imunisasi DPT/HB II dan Polio 3,
e) Usia 4 bulan anak mendapat imunisasi DPT/HB III dan Polio 4,
f) Usia 9 bulan anak mendapat imunisasi campak.
d. Pola aktifitas
1. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Meliputi pengetahuan pasien atau keluarga tentang penyakit yang di derita dan
perawatan pada pasien.

2. Pola nutrisi
Perbandingan antara pola makan dan pola mium saat di rumah dan di Rumah Sakit.
3. Pola Eliminasi
Perbandingan antara buang air kecil dan buang air besar saat di rumah dan di
Rumah Sakit.
4. Pola istirahat dan tidur
Pengkajian yang meliputi durasi tidur, gangguan tidur klien.
5. Pola aktifitas dan latihan
Meliputi pengkajian perbandingan kemampuan perawatan diri klien saat di rumah
dan di Rumah Sakit.
6. Pola perceptual
Meliputi pengkajian tentang penglihatan, pendengaran, pengecapan, dan sensasi
pada klien.
7. Pola persepsi
Mengkaji bagaimana cara pandang klien tentang sakit, dan kecemasan yang
sedang di alami.
8. Pola peran hubungan
Pengkajian yang meliputi hubungan klien dengan orang lain, cara berkomunikasi
klien dalam sehari-hari.
e. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum : lemah, pucat
Kesadaran : composmentis
Vital sign : Tekanan darah :
Nadi :
Suhu :
Pernafasan :
2. Pemeriksaan head to toe
a) Kepala
Inspeksi : warna rambut, bersih/tidaknya
Palpasi : ada benjolan/tidak, nyeri tekan/tidak
b) Wajah
1) Mata
Inspeksi : konjungtiva anemis, simetris kanan dan kiri, pupil isokor.

2) Telinga
Inspeksi : simetris kanan dan kiri, tidak ada lesi.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
3) Hidung
Inspeksi : simetris/tidaknya kanan dan kiri, tidak/ adanya secret.
4) Mulut
Inspeksi : mukosa bibir kering/lembab, tidak/ adanya stomatitis.
5) Leher
Inspeksi : tidak/ adanya lesi
Palpasi : tidak/ adanya bendungan vena jugularis, dan ada/ tidak ada
pembengkakan kelenjar tiroid
c) Dada
Inspeksi : simetris kanan/kiri, tidak ada lesi
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Perkusi : sonor
Auskultrasi : tidak ada wheezing dan ronchi
d) Abdomen
Inspeksi : tidak ada lesi
Palpasi : tidak ada pembesaran hepar
e) Ekstremitas atas
Inspeksi : ada/tidak adanya lesi
f) Ekstremitas bawah
Inspeksi : ada/tidak adanya lesi
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pembiakan lendir hidung dan mulut.
b. Pembiakan apus tenggorokan.
c. Pembiakan darah lengkap (terjadi peningkatan jumlah sel darah putih yang
ditandai sejumlah besar limfosit, LEE tinggi, jumlah leukosit antara
20.000-50.000 sel / m³darah.

3.2 Diagnosa keperawatan


1. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d banyaknya mucus
2. Pola napas tidak efektif b/d tidak adekuatnya oksigen dalam paru.
3.3 Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
1. Bersihan Jalan Nafas tidak NOC NIC
Efektif  Status Pernafasan: Airway Management
Ventilasi  Buka jalan nafas, guanakan
Definisi: Ketidakmampuan  Status Pernafasan: teknik chin lift atau jaw thrust
untuk membersihkan Pertukaran gas bila perlu
sekresi atau obstruksi dari  Kontrol Gejala  Posisikan pasien untuk
saluran pernafasan untuk memaksimalkan ventilasi
mempertahankan Kriteria Hasil :  Identifikasi pasien perlunya
kebersihan jalan nafas. Status Pernafasan: pemasangan alat jalan nafas
Ventilasi buatan
 Frekuensi pernafasan  Lakukan fisioterapi dada jika
(5) perlu
 Irama pernafasan (5)  Keluarkan sekret dengan batuk
Status Pernafasan: atau suction
Pertukaran gas Airway suction
 Keseimbangan 1. Lakukan tindakan cuci tangan.
ventilasi dan perfusi 2. Pastikan kebutuhan oral /
(5) tracheal suctioning.
 Dipsnea saat istirahat 3. Auskultasi suara nafas
(5) sebelum dan sesudah
Kontrol Gejala suctioning.
 Memantau munculnya 4. Informasikan pada klien dan
gejala (1) keluarga tentang suctioning.

 Memantau frekuensi 5. Minta klien menarik nafas


gejala (1) sebelum suction dilakukan.
6. Gunakan alat yang steril setiap
melakukan tindakan.
2. Pola Nafas tidak efektif NOC NIC

Definisi : Pertukaran udara  Status Pernafasan: Airway Management


inspirasi dan/atau ekspirasi ventilasi 1. Buka jalan nafas, guanakan
tidak adekuat
 Status Pernafasan: teknik chin lift atau jaw thrust
Pertukaran Gas bila perlu
Kriteria Hasil : 2. Posisikan pasien untuk
Status pernafasan: memaksimalkan ventilasi
ventilasi 3. Identifikasi pasien perlunya
1. Frekuensi Pernafasan pemasangan alat jalan nafas
(5) buatan
2. Dispnea saat istirahat 4. Lakukan fisioterapi dada jika
(5) perlu
3. Gangguan ekspirasi 5. Keluarkan sekret dengan batuk
(5) atau suction
Status Pernafasan: 6. Monitor respirasi dan status
Pertukaran Gas O2
1. Tekanan parsial
oksigen di darah arteri Terapi Oksigen
(5) 1. Bersihkan mulut, hidung dan
2. Tekana parsial secret trakea
karbondioksida di 2. Pertahankan jalan nafas yang
darah arteri (5) paten
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor aliran oksigen
5. Pertahankan posisi pasien

Vital sign Monitoring


1. Monitor TD, nadi, suhu, dan
RR
2. Monitor frekuensi dan irama
pernapasan
3. Monitor suara paru
4. Monitor pola pernapasan
abnormal
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat kami ambil dari penjelasan isi makalah diatas adalah sebagai
berikut :
1. Pertusis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Bordotella
pertusis.
2. Pertusis dapat mengenai semua golongan umurdan terbanyak mengenai anak 1-5
tahun Tiga tahapan dari penyakit pertusis adalah tahap kataralis, paroksimal dan
konvelesensi.
3. Asuhan keperawatan pada penderita pertusis secara garis besar adalah menjaga
kebersihan jalan napas agar terbebas dari bakteri pertusis.

4.2 Saran

Sebagai perawat diharapkan mampu untuk melakukan asuhan keperawatan


terhadap penderita pertusis dan diftei. Karena seringkali pada penderita pertusis dan
difteri disertai dengan komplikasi. Keadaan ini akan menyebabkan penderitaan yang
berkepanjangan. Oleh karena itu, penyakit batuk rejan dan difteri perlu dicegah. Cara
yang paling mudah adalah dengan pemberian imunisasi bersama vaksin lain yang biasa
disebut DPT dan polio.
Perawat juga harus mampu berperan sebagai pendidik. Dalam hal ini melakukan
penyuluhan mengenai pentingnya imunisasi dan imunisasi akan berdaya guna jika
dilakukan sesuai dengan program. Selain itu perawat harus memberikan pengetahuan
pada orang tua mengenai penyakit pertusis secara jelas dan lengkap.Terutama mengenai
tanda-tanda, penanganan dan pencegahannya.
DAFTAR PUSTAKA

Rudolph M.Abraham,dkk.2006.buku ajar pediatri rudolph,Edisi 20.volume 1.jkarta : egc


Nursalam,dkk.2005.asuhan keperawatan bayi dan anak.jakarta : salemba medika
Richard E.Berham.1999.ilmu kesehatan anak nelson.volume 2.jakarta :egc
Manjoer,arif.2000.kapita selekta kedokteran,Edisi 3,jilid 2.jakarta : media aesculapius
Doenges,marilynn,E.dkk.2001.rencana asuhan keperawatan,Edisi 3.jakarta : egc
Craven, R. F., dan Hirnle, C. J. (2003). Vital sign assessment. In Fundamentals of nursing:
Human health and function (4th ed., pp. 443-476). Philadelphia: Lippincott Williams
dan Wilkins.

Você também pode gostar