Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Apa hubungan antara umur dan jenis kelamin dengan keluhan yang dialami
oleh?
Usia
Pada bayi atau anak beresiko terkena infeksi saluran nafas
karena imaturitas anatomik dan imunologi. Dengan kata lain
perkembangan anatomi (lubang pernafasan yang masih sempit)
dan imun pada bayi dan anak masih belum berkembang secara
sempurna sehingga memudahkan terjadinya infeksi Hampir
seluruh kematian karena ISPA pada bayi dan balita disebabkan
oleh Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA), paling
sering adalah pneumonia.
Hasil SDKI pada tahun 2001 menunjukkan bahwa prevalensi
pneumonia paling tinggi terjadi pada anak usia 1-4 tahun yaitu
33,76% dan prevalensi pada anak usia < 1 tahun yaitu sebesar
31%.
Jenis Kelamin
Hasil SDKI (Survei Demografi Kesehatan Indonesia) tahun 1997
menyebutkan bahwa prevalensi pneumonia menurut jenis kelamin
lebih tinggi terjadi pada anak laki-laki 9,4%, sedangkan pada anak
perempuan 8,5%.
Apa penyebab dan bagaimana mekanisme dari gejala? jurgen, maya
Batuk
Penyebab :
Mekanisme batuk
Pada pneumonia: Batuk produktif
Iritasi pada sal nafas bawah iritasi mukosa produksi mukus
yang berlebihan mukus akan dikeluarkan dengan tekanan
intrathorakal dan intraabdominal yang tinggi Dibatukkan,
udara keluar dengan akselerasi yg cepat beserta membawa sekret
mukus.
Sukar Bernafas
o Penyebab
Penumpukan cairan dalam rongga paru
Penyakit obstruksi jalan nafas
Imobilisasi diagfragma
Retriksi volume dada
Kelainan sistem kardiovaskuler
Gangguan fungsi pengangkutan oksigen
Allergen (jamur, serbuk, zat kimia, dll)
Iinhalasi debu, asap
penyakit saluran nafas (asma bronkial, bronkitis, dll)
Penyakit parenkimal
Emboli paru
o Mekanisme
infeksi mikroorganisme :
NURLAILI MAYA RAMADHANTY
Mengiritasi hidung
Iritasi bronkus
[Type text] [Type text] [Type text]
Timbul eksudat
Perlahan bakteri yang mati dan eksudat dibuang dari alveoli dan
paru menjadi normal
Pada MTBS: bisa per os, tetapi pada kasus: pneumonia berat, persiapkan rawat
inap
i. periksa oksigenasi (saturasi oksigen)
ii. bersihkan jalan napas
iii. antibiotika: broad-spectrum (rekomendasi WHO: ampisilin + kloramfenikol
/ ampisilin + gentamisin) berdasarkan tatalaksana MTBS ( Kotrimoksazol
atau amoksisilin) pengobatan diteruskan 4-5 hari.
iv. nutrisi parenteral (IV drip) untuk anak yang sangat sesak nafasnya. jika
baikan, bisa diberikan ASI dan makanan tambahan.jenis cairan yang
digunakan adalah campuran glucose 5% dan NaCl 0,9 % dalam
perbandingan 3:1 ditambah larutan KCL 10 mEq / 500 ml botol infuse.
v. penurunan suhu tubuh (non-medikamentosa): kompres, pakaian longgar
NURLAILI MAYA RAMADHANTY
vi. Untuk pneumonia yang tidak berat, tidak perlu dirawat di rumah sakit. Pada
kasus ini anak masuk kategori severe pneumonia sehingga perlu dirawat
inap di rumah sakit.
Suportif
I Cukupi kebutuhan nutrisi dan cairan
IVFD dekstrose 10% : NaCl 0,9 % = 3:1 + KCl 10 mEq/500 ml cairan.
Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu, dan status hidrasi. Hati-
hati jangan sampai overhidrasi.
Pembersihan jalan napas
Jika sesak nafas tidak terlalu hebat, dapat dimulai makanan enteral
bertahap melalui selang nasogastrik dengan feeding drip, tetapi jika anak
sudah dapat minum per oral maka jangan menggunakan selang
nasogastrik karena risiko tinggi terjadi aspirasi pneumonia.
Jika sekresi lendir berlebihan, dapat diberikan inhalasi dengan salin
normal dan beta agonis untuk memperbaiki transport mukosilier
[Type text] [Type text] [Type text]
Simptomatik
Paracetamol untuk mengatasi demam yang tinggi
Oksigen untuk mengatasi sesak nafas, retraksi, takipnea
3. Bukan pneumonia
Jika anak bernapas dengan frekuensi kurang dari 60 kali per menit
dantidak terdapat tanda pneumonia seperti di atas.
4. Pneumonia persisten
Balita dengan diagnosis pneumonia tetap sakit walaupun telah
diobatiselama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang kuat dan
antibiotik yang sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding dada,
frekuensi pernapasan yang tinggi, dan demam ringan.
2. Berdasarkan predileksi
Menurut predileksi, pneumonia dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Pneumonia Lobaris : peradangan pada semua atau sebagian
besarsegmen aru dari satu atau lebih lobus paru.
Bronkopneumonia : sumbatan yang dimulai dari cabang akhir
bronkiolus oleh eksudat mukopurulen dan berkonsolidasi di lobulus.
Pneumonia Interstitial : proses peradangan pada dinding alveolus
(interstitial) dan peribronkial serta jaringan interlobularis.
3. Berdasarkan epidemiologi
Berdasarkan epidemiologi, pneumonia dapat diklasifikasikan sebagaiberikut:
Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia) adalah
pneumonia infeksius pada seseorang yang tidak menjalani rawat inap
di rumah sakit.
Pneumonia nosokomial (hospital-acquired pneumonia) adalah
pneumonia yang diperoleh selama perawatan di rumah sakit atau
sesudahnya karena penyakit lain atau prosedur.
Pneumonia aspirasi disebabkan oleh aspirasi oral atau bahan dari
lambung baik ketika makan atau setelah muntah. Hasil inflamasi pada
paru bukan merupakan infeksi tetapi dapat menjadi infeksi karena
bahan yang teraspirasi mungkin mengandung bakteri anaerobtik atau
penyebab lain dari pneumonia.
Pneumonia pada penderita immunocompromised adalah pneumonia
yang terjadi pada penderita yang mempunyai daya tahan tubuh lemah.
NURLAILI MAYA RAMADHANTY
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme,
keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya
bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh,
sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya
infeksi penyakit.
Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui
berbagai cara, antara lain:
Inhalasi langsung dari udara
Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring
Perluasan langsung dari tempat-tempat lain
Penyebaran secara hematogen
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas
sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan
sekitarnya.Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses
peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu:
A. Stadium I (4-12 jam pertama/kongesti)
[Type text] [Type text] [Type text]
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorbsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
LEARNING ISSUE
MORFOLOGI BRONKOPNEUMONIA
Bronkopneumonia ditandai dengan lokus konsolidasi radang yang menyebar
menyeluruh pada satu atau beberapa lobus. Seringkali bilateral di basal sebab ada
kecenderungan sekret untuk turun karena gravitasi ke lobus bawah. lesi yang telah
berkembang penuh agak meninggi, kering granuler, abu-abu merah, sampai kuning,
dan memiliki batas yang tidak jelas. Ukuran diameter bervariasi antara 3 sampai 4 cm.
pengelompokan fokus ini terjadi pada keadaan yang lebih lanjut (florid) yang terlihat
sebagai konsolidasi lobular total. Daerah fokus nekrosis (abses) dapat terlihat di
antara daerah yang terkena.
Substansi paru di sekelilingi daerah konsolidasi biasanya agak hipermi dan
edematosa, tetapi daerah yang luas diantaranya pada umumnya normal. Pleuritis
fibrinosa atau supuratif terjadi bila fokus peradangan berhubungan dengan pleura,
tetapi ini tidak biasa. Dengan meredanya penyakit, konsolidasi dapat larut bila tidak
ada pembentukan abses, atau dapat menjadi terorganisasi meninggalkan sisa fokus
fibrosis.
Secara histologis, reaksi itu terdiri dari eksudat supuratif yang memenuhi
bronki, bronkioli dan rongga alveolar yang berdekatan. Netrofil dominan dalam
[Type text] [Type text] [Type text]
eksudasi ini dan biasanya hanya didapatkan sejumlah kecil fibrin. Seperti yang
diharapkan, abses ditandai oleh nekrosis dari arsitektur dasar.
ETIOLOGI
Pada umumnya pneumonia disebabkan oleh bakteri, yaitu Streptococcus
pneumoniae dan Haemophillus influenzae. Pada bayi dan anak kecil dapat ditemukan
Staphylococcus aureus sebagai penyebab pneumonia yang berat, serius dan sangat
progresif dengan mortalitas yang tinggi. Pada neonatus penyebab bronchopneumonia
tersering adalah Strptococcus grup B, batang gram negatif dan Chlamidia. Namun
selain bakteri, bronchopneumonia atau pneumonia lobaris yang paling sering
dijumpai pada anak usia kurang dari 2 tahun, biasanya juga disebabkan oleh virus,
antara lain adenovirus, virus parainfluenza virus influenza, dan enterovirus.
Penelitian mengenai etiologi bronchopneumonia pada anak yang dilakukan
pungsi paru ( Nugroho et al., 1971 ), menemukan bahwa terdapat kuman
staphylococcus sebanyak 63,6 % dan diplococcus tidak ditemukan. Menurut suction
Auger ( Auger, 1939; Lydia, 1968 ) menunjukan terdapat infeksi staphylococcus 17
% dan diplococcus sebanyak 13 %. Sementara Crofton ( 1966 ) pada penelitiannya
menemukan infeksi staphylococcus sebanyak 1 % dan diplococcus 30,9 % sebagai
etiologi bronchopneumonia. Penelitian ini menunjukan bahwa infeksi staphylococcus
pada bayi lebih tinggi ( 13 kasus atau 36,1 % ) dibandingkan dengan anak – anak
yang berusia di atas 1 tahun ( 1 kasus atau 4,8 % ) seperti yang terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil tes sensitivitas dan kultur pada 57 anak penderita bronchopneumonia.
Anak usia < 1 tahun Anak usia > 1 tahun
Jumlah % Gagal Jumlah % Gagal
kasus kasus
S. anhemolyticus + 4 11,1 - - - -
S. aureus
S anhemolyticus + 1 2,1 - 1 4,8 -
S. albus
S. anhemolyticus + 1 2,8 1 - - -
S. pyogenes
Diplococcus pneumoniae - - - 2 9,5 -
D. pneumoniae + S 3 8,3 1 1 4,8 -
anhemolyticus
Miscellaneous :
- B. alkaligenes 1 2,8 1 1 4,8 -
- B. lactoaurogens 1 2,8 1 2 9,5 -
- B. paracoli - - - 1 4,8 -
Negatif 4 11,1 - 5 23,7 -
Total 36 100 7 21 100 2
Kebanyakan kasus yang diselidiki oleh Mimica et al ( 1971 ) dan Nugroho et
al ( 1971 ) merupakan tingkatan menengah dan parah dari keluarga sosial ekonomi
lemah.
EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan hasil SKRT 2001, angka prevalensi ISPA 2% dari lima penyakit
yang disurvei (ISPA, infeksi saluran nafas kronik, hipertensi, kulit, dan sendi),
dengan prevalensi tinggi pada golongan bayi (39%) dan balita (42%). ISPA
merupakan penyebab utama kematian pada bayi dan balita dengan CFR masing-
masing (27,6%), dan (22,8%). Angka kematian bayi dan balita menjadi indikator
derajat kesehatan masyarakat.
Prevalensi ISPA di Indonesia berdasarkan Surkesnas (Survei Kesehatan
Nasional) 2001 masih sangat tinggi yaitu 38,7% pada umur dibawah 1 tahun dan
42,2% umur 1-4 tahun. Cause Specific Death Rate (CSDR) pneumonia pada anak
umur <1 tahun laki-laki 940 per 100.000 penduduk dan perempuan 652 per
100.000 penduduk, pada anak umur 1-4 tahun laki-laki 44 per 100.000 penduduk
dan perempuan 40 per 100.000 penduduk. Proporsi kematian balita akibat ISPA
28% artinya dari 100 balita yang meninggal 28 disebabkan oleh penyakit ISPA.
[Type text] [Type text] [Type text]
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, prevalensi ISPA tinggi pada perempuan
(24%) daripada laki-laki (23%).12 Menurut hasil penelitian Taisir (2005) di
Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapak Tuan Aceh Selatan dengan
menggunakan desain Cross Sectional, berdasarkan jenis kelamin IR ISPA balita
pada laki-laki (43,3%) lebih tinggi daripada perempuan (33,7%).
Menurut hasil penelitian Barus (2005) di tiga Kelurahan Kecamatan Medan Baru
dengan menggunakan desain Cross Sectional, diketahui bahwa kelompok
umur>19 tahun merupakan anggota rumah tangga terbanyak yaitu 568 jiwa
(66,7%), demikian juga kasus ISPA terbanyak pada kelompok umur ini, yaitu
280 kasus (65,6%). Namun bila dihitung angka Age Specific Morbidity Rate
tertinggi adalah pada kelompok ≤5 tahun (79,4%).
KLASIFIKASI
Pembagian pneumonia sampai saat ini belum ada yang dapat memuaskan
semua pihak. Pada umumnya klasifikasi ditetapkan berdasarkan klasifikasi anatomi
dan etiologi. Pembagian berdasarkan anatomi adalah sebagai berikut :
1. Pneumonia lobaris
2. Pneumonia lobularis atau bronchopneumonia
3. Pneumonia interstitial atau bronkiolitis
Sementara pembagian berdasarkan etiologi dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini :
Tabel 2. Klasifikasi pneumonia pada anak menurut etiologi
Jenis Mikroorganisme
Bakteri Pneumococcus, Streptococcus,
Staphylococcus, Haemophillus influenzae,
Pseudomonas aeruginosa.
Virus atau kemungkinan virus Respiratory syncitial virus, adenovirus,
sitomegalovirus, virus influenza
Pneumonitis interstitial dan Pneumocystis carinii pneumonia, Q fever,
bronkiolitis Mycoplasma pneumoniae pneumonia,
Klamidia, dll
Infeksi lain :
- Jamur Aspergilus,Koksidioidomikosis, Histoplasma
- Aspirasi Cairan amnion, makanan, cairan lambung,
NURLAILI MAYA RAMADHANTY
PATOGENESIS BRONKOPNEUMONIA
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru.
Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan
tubuh sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya
infeksi penyakit. Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat
melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli
dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu
proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :
Stadium I/Hiperemia (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Pada stadium I, disebut hyperemia karena mengacu pada respon peradangan
permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai
dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast
setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut
mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal
ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga
terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di
antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)
Pada stadium II, disebut hepatisasi merah karena terjadi sewaktu alveolus terisi
oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host)sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah dan
[Type text] [Type text] [Type text]
pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat
minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat
singkat, yaitu selama 48 jam.
Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3 – 8 hari)
Pada stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi
di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini
eritrosit di alveoli mulai di reabsorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan
leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti.
Stadium IV/Resolusi (7 – 11 hari)
Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorpsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.
MANIFESTASI KLINIS
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas
selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39–40°C dan
mungkin disertai kejang karena demam yag tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu,
pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di
sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai di awal penyakit, anak akan
mendapat batuk setelah beberapa hari, dimana pada awalnya berupa batuk kering
kemudian menjadi produktif.
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya
daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan. Pada
auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang.Bila
sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi terdengar
suara yang meredup dan suara pernafasan pada auskultasi terdengar mengeras. Pada
stadium resolusi ronki dapat terdengar lagi. Tanpa pengobatan biasanya proses
penyembuhan dapat terjadi antara 2-3 minggu.
FAKTOR RESIKO
Umur
NURLAILI MAYA RAMADHANTY
ISPA merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada anak di negara
sedang berkembang. ISPA ini menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan kematian
pada anak berusia di bawah 5 tahun setiap tahunnya, sebanyak dua pertiga kematian
tersebut adalah bayi (khususnya bayi muda). Hampir seluruh kematian karena ISPA
pada bayi dan balita disebabkan oleh Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut
(ISPbA), paling sering adalah pneumonia.
Tingginya kejadian pneumonia terutama menyerang kelompok usia bayi dan
balita.4 Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko kematian pada bayi dan balita
yang sedang menderita pneumonia.27Menurut hasil penelitian Taisir (2005) di
Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapak Tuan Aceh Selatan dengan
menggunakan desain Cross Sectional, IR ISPA balita pada kelompok umur 0-11
bulan (59,1%) lebih tinggi daripada kelompok umur 12-59 bulan (33,7%).
Jenis kelamin
Berdasarkan konsep epidemiologi, secara umum setiap penyakit dapat terjadi pada
laki-laki maupun perempuan. Selain umur, jenis kelamin merupakan determinan
perbedaan kedua yang paling signifikan di dalam peristiwa kesehatan atau dalam
faktor risiko suatu penyakit.
Menurut penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan desain
Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan jenis kelamin berhubungansecara
bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,001) dan diperoleh nilai
OR=1,524 (CI 95%=1,495-4,261), maka balita yang mengalami pneumonia
kemungkinan 1,524 kali lebih besar pada perempuan dibandingkan laki-laki.
Status gizi
Kelompok umur yang rentan terhadap penyakit-penyakit kekurangan gizi adalah
kelompok bayi dan balita.30 Masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap
pertumbuhan dan perkembangan dipengaruhi oleh : umur, keadaan fisik, kondisi
kesehatannya, kesehatan fisiologis pencernaannya, tersedianya makanan dan
aktivitasnya.
Status gizi pada balita berdasarkan hasil pengukuran antropometri dengan melihat
kriteria yaitu : Berat Badan per Umur (BB/U), Tinggi Badan per Umur (TB/U), Berat
Badan per Tinggi Badan (BB/TB).
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk
terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan antara gizi
[Type text] [Type text] [Type text]
buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat
pneumonia. Disamping itu adanya hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak
dan infeksi virus berat lainnya serta menurunnya daya tahan tubuh balita terhadap
infeksi.
Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan
balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit
infeksi akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan danmengakibatkan
kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang “ISPA berat”
bahkan serangannya lebih lama.
Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan
desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan status gizi berhubungan
secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,013) dan diperoleh
nilai OR=6,041 (CI 95%=1,067-22,713), maka balita yang mengalami pneumonia
kemungkinan 6,04 kali lebih besar mempunyai riwayat gizi kurang dibandingkan gizi
baik atau sedang. Status gizi berhubungan dengan daya tahan tubuh, makin baik status
gizi makin baik daya tahan tubuh, sehingga memperkecil risiko pneumonia.
Status imunisasi
Imunisasi merupakan salah satu cara menurunkan angka kesakitan dan angka
kematian pada bayi dan balita. Dari seluruh kematian balita, sekitar 38% dapat
dicegah dengan pemberian imunisasi secara efektif. Imunisasi yang tidak lengkap
merupakan faktor risiko yang dapat meningkatakan insidens ISPA terutama
pneumonia.
Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan sembuh akan mendapat
kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar
kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak. Peningkatan cakupan
imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi
faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi
danbalita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA diharapkan
perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.
Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan
desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan status imunisasi
berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,009), dan
diperoleh nilai OR=1,758 (CI 95%=1,375-2,883), maka balita yang mengalami
NURLAILI MAYA RAMADHANTY
pneumonia kemungkinan 1,76 kali lebih besar mempunyai status imunisasi yang tidak
lengkap dibandingkan yang lengkap.
Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan dengan menggunakan
desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan imunisasi campak
berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita umur 9-59
bulan (OR = 2,307; p=0,003), dapat dikatakan bahwa balita yang mengalami
pneumonia kemungkinan 2,3 kali lebih besar tidak diimunisasi campak dibandingkan
yang telah diimunisasi campak.
Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan menteri kesehatan nomor
829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, dua orang minimal
menempati luas kamar tidur 8m². Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat
mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas.
Di daerah perkotaan, kepadatan merupakan salah satu masalah yang dialami
penduduk kota. Hal ini disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan penduduk kota dan
mahalnya harga tanah di perkotaan. Salah satu kaitan kepadatan hunian dan kesehatan
adalah karena rumah yang sempit dan banyak penghuninya, maka penghuni mudah
terserang penyakit dan orang yang sakit dapat menularkan penyakit pada anggota
keluarga lainnya.
Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan dengan menggunakan
desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan kepadatanhunian
berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita umur 9-59
bulan (OR=3,247; p=0,0005), dapat dikatakan bahwa balita yang mengalami
pneumonia kemungkinan 3,25 kali lebih besar tinggal di rumah yang memiliki
kepadatan hunian tidak memenuhi syarat dibandingkan yang memenuhi syarat.
2. MEKANISME KELUHAN-KELUHAN
Batuk
Penyebab :
Alergi
Asma atau tuberculosis
Benda asing yang masuk kedalam saluran napas
Tersedak akibat minum susu
Menghirup asap rokok dari orang sekitar
Batuk Psikogenik. Batuk ini banyak diakibatkan karena
masalah emosi dan psikologis.
Bases paru
Kelainan cardiovascular
Pneumonia
Penyakit parenimal
Penyakit interstitial
Mekanisme batuk
Pada pneumonia: Batuk produktif
Iritasi pada sal nafas bawah iritasi mukosa produksi mukus
yang berlebihan mukus akan dikeluarkan dengan tekanan
intrathorakal dan intraabdominal yang tinggi Dibatukkan,
udara keluar dengan akselerasi yg cepat beserta membawa sekret
mukus.
Sukar Bernafas
o Penyebab
Penumpukan cairan dalam rongga paru
Penyakit obstruksi jalan nafas
Imobilisasi diagfragma
Retriksi volume dada
Kelainan sistem kardiovaskuler
Gangguan fungsi pengangkutan oksigen
Allergen (jamur, serbuk, zat kimia, dll)
Iinhalasi debu, asap
penyakit saluran nafas (asma bronkial, bronkitis, dll)
Penyakit parenkimal
Emboli paru
NURLAILI MAYA RAMADHANTY
o Mekanisme
infeksi mikroorganisme :