Você está na página 1de 13

PENGETAHUAN: “AKU DIBUAT ATAU DITEMUKAN?


Bagus Adi Saputro, Muhammad Rifki, Paulus Dharma Putra Mahendra Jaya, Ronald
Gunawan, Siti Azri Ulmi Ramadhanty
Mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Filsafat, Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya, Universitas Indonesia
emailpekerjaaneki@gmail.com, adisaputrobagus7@gmail.com, deadyour12@gmail.com,
Ronaldgunawan123@gmail.com, azriramadhanty@gmail.com

Abstrak
Pengetahuan sebagai hal yang tidak asing lagi bagi manusia disusun oleh kata dasar tahu.
Pengetahuan itu sendiri ada karena adanya manusia sebagai subjek yang memiliki rasa ingin
tahu dan objek sebagai hal yang ingin diketahuinya. Selain itu, pengetahuan ada untuk
menjawab permasalahan hidup manusia dan diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis.
Dengan menggunakan metode kajian pustaka, maka ditemukanlah permasalahan eksistensi
pengetahuan, terutama terkait dengan dibuat atau ditemukannya. Bahkan, hingga saat ini
masih menjadi perdebatan, yakni adanya “perang” antara nalar dan pengalaman indra.
Namun, jika ditelaah lebih dalam lagi, kemudian didorong oleh teori idealisme Berkeley,
pengetahuan adalah sesuatu yang murni dibuat dalam pikiran manusia. Pengalaman indra
hanyalah mengetahui prinsip (pengetahuan) yang dibuat dalam pikiran manusia itu sendiri.

Kata kunci: Pengetahuan, nalar, pengalaman, indra, idealisme

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tidak jarang kita mendapati pertanyaan dari orang-orang di sekitar kita. Pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan itu ada kemungkinan bisa kita jawab atau terkadang tidak bisa kita
jawab. Pertanyaan-pertanyaan yang biasanya bisa kita jawab sebagian besar adalah
pertanyaan-pertanyaan sederhana. Misalnya kita sedang berada di sebuah pusat kota, lalu
datang seorang perantau ke hadapan kita, kemudian dia menanyakan suatu tempat tertentu di
pusat kota itu. Biasanya, naluri sebagai manusia yang suka saling membantu, maka dengan
antusias kita akan menjawabnya secara rinci, sehingga niat kita untuk membantu si perantau
tersebut setidaknya terlaksana. Atau, jika memang kita tidak benar-benar mengetahui tempat
yang dimaksudkan oleh si perantau itu, maka kita hanya akan menjawabnya sepengetahuan
kita. Sepengetahuan inilah yang secara langsung membuat orang lain juga tahu.
Pengetahuan merupakan hal yang tidak asing lagi bagi manusia, terutama manusia yang
bergelut di dalam dunia akademis. Ditambah lagi, kata dasar tahu yang menyusun kata
pengetahuan sudah memperlihatkan gambaran jelas mengenai tahu; kenal, atas suatu hal
tertentu. Pengetahuan sendiri dalam ilmu filsafat diperkenalkan dalam istilah epistemologi
yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme yang berarti pengetahuan, dan logos yang
berarti ilmu.Dalam kajian epistemologi ini, pengetahuan tidak hanya muncul sebagai teori,
tetapi juga sebagai permasalahan yang perlu dikaji dan bahkan dipertanyakan kembali.

1
Pengetahuan sebagai sesuatu yang diketahui, pasti akan eksis jika ada unsur-unsur yang
membuatnya eksis. Sudah tentu dapat diketahui bahwa pengetahuan itu sendiri ada, atau
mungkin dengan istilah lain dikatakan dengan ‘muncul’ karena adanya subjek dan objek.
Subjeknya itu sendiri adalah manusia yang ingin mengetahui, di mana tanpa ada manusia
yang memiliki rasa keingintahuan (dapat juga diberi “aksesoris” menjadi rasa keingintahuan
yang tinggi), dan mencoba untuk mencari tahu, maka pengetahuan itu sendiri tidak akan ada.
Begitu juga dengan adanya subjek yang senantiasa (selalu) ingin tahu, pasti ada objek yang
merupakan sesuatu yang ingin diketahuinya. Tanpa adanya objek, pengetahuan juga tidak
akan ada.
Seperti halnya ‘saya’ yang mengetahui alat-alat tulis, yang kita ketahui terdiri atas pulpen,
pensil, penghapus, buku,penggaris, spidol, dan lain sebagainya yang merupakan cakupan
alat-alat tulis. Atau ‘saya’ yang mengetahui perabot rumah tangga, khususnya perabot dapur
seperti panci, teflon, pisau, wajan, spatula dan lain-lain. ‘Saya’ di sini adalah subjek yang
mengetahui atau yang ingin mengetahui tentang alat-alat tulis atau perabot rumah tangga.
Sedangkan, alat-alat tulis dan perabot rumah tangga itu sendiri adalah objek yang ingin ‘saya’
ketahui. Dengan begitu, jika melirik ke arah yang lain, apakah sesuatu yang ingin diketahui
hewan juga merupakan pengetahuan (bagi hewan itu sendiri)?
Dalam kasus seperti ini, penulis mencoba untuk membatasi bahwa pengetahuan hanya
berlaku untuk manusia saja. Dimana pengetahuan memang membutuhkan subjek dan objek.
Akan tetapi, pengetahuan juga membutuhkan nalar yang berasal dari akal rasional.
Sedangkan, jika kita menilik pada makhluk semisal hewan, maka pengetahuan tidak berlaku
untuk hewan. Hewan mungkin saja memiliki rasa ingin tahu akan sesuatu, juga memiliki
insting atas sesuatu atau ketika menghadapi segala sesuatu yang bahkan belum pernah terjadi
sebelumnya. Di sisi lain, hewan tidak memiliki akal rasional sehingga mereka tidak bisa
bernalar tentang sesuatu yang diketahuinya atau yang ingin diketahuinya.
Kita dapat mengambil contoh pada fenomena bencana alam yaitu tsunami. Ketika ingin
terjadi tsunami, manusia sudah mengetahui apa sesungguhnya bencana alam tsunami itu dan
apa saja gejala-gejala yang mengiringinya sehingga manusia bisa waspada, tetapi tidak
menutup kemungkinan bahwa manusia tidak akan terkena dampaknya, baik besar maupun
kecil. Sedangkan, hewan sudah bisa menyadari sekaligus mengetahui bahwa akan terjadi
tsunami tanpa harus mengetahui apa itu tsunami sesungguhnya dan gejala-gejalanya.
Kembali lagi, hewan dapat mengetahui karena insting yang mereka miliki.
Hal-hal di atas adalah pandangan terkait pengetahuan jika dilihat dari subjek dan objeknya.
Sebenarnya, pengetahuan itu sendiri lebih luas daripada sekadar subjek dan objeknya. Seperti
halnya mencakup nalar (reason), pengalaman indra (sense experience), intuisi (intuition), dan
keyakinan (belief).
Dalam epistemologi sendiri, masalah-masalah krusial atau pertanyaan-pertanyaan besar
tentang pengetahuan adalah apa itu pengetahuan? Dari manakah pengetahuan itu berasal?
Apa yang mendasari pengetahuan? Apa yang dapat kita ketahui? Bagaimana kita dapat
mengetahuinya? Apakah pengetahuan itu sudah pasti sahih? Bagaimana kita dapat
mengetahui bahwa pengetahuan itu benar atau salah?
Pertanyaan-pertanyaan krusial tersebut bahkan hingga saat ini masih menimbulkan
perdebatan, apalagi untuk mencapai suatu kesepakatan (sebagai jawaban atau memang ada
kemungkinan untuk tidak ada jawaban atasnya).
Namun, pertanyaan-pertanyaan yang bersifat krusial tersebut bukan pertanyaan yang
sepenuhnya ingin disinggung atau dibahas secara dalam oleh penulis. Pertanyaan besar yang

2
ingin penulis bahas lebih dalam adalah “Apakah pengetahuan itu dibuat atau ditemukan?”
Oleh karena itu, pertanyaan yang berkaitan dengan eksistensi pengetahuan itu sendiri sangat
menarik minat dari penulis untuk membahas permasalahan mengenai hal tersebut.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan pengetahuan?


2. Bagaimana pengetahuan dikelompokkan secara umum?
3. Bagaimana pengetahuan diperoleh?

1.3. Teori dan Metode


Teori yang digunakan untuk membuat artikel ini tentunya adalah teori pengetahuan. Di mana
teori ini mengkaji tentang cara dalam memperoleh pengetahuan.Teori pengetahuan ini juga
merupakan cabang dari filsafat ilmu. Berkaitan dengan hal tersebut, teori pengetahuan yang
digunakan dalam artikel ini adalah untuk memberikan justifikasi atas pengetahuan itu dibuat
atau ditemukan.Lebih lanjut, penulis menekankan pada teori idealisme Berkeley.Teori ini
mengatakan bahwa realitas yang ada sesungguhnya berada pada dunia ide. Atau dengan kata
lain, realitas yang ada itu bukanlah sesuatu yang kelihatan, melainkan sesuatu yang justru
tidak kelihatan.
Metode yang digunakan dalam pembuatan artikel ini sendiri yakni metode kajian pustaka,
dimana untuk melakukan metode kajian pustaka ini dibutuhkan kepustakaan yang
memadai.Tentunya, pengumpulan data diperoleh dengan membaca buku-buku rujukan yang
berkaitan dengan pengetahuan. Setelah itu, data yang telah terkumpul dari hasil membaca itu
diklasifikasikan, diolah, dan dianalisis. Penganalisisan data-data yang telah terkumpul
tersebut diiringi dengan pengaitan terhadap kasus-kasus yang ditemukan dalam kehidupan
sehari-hari.Kemudian, setelah proses penganalisisan, dilanjutkan dengan penyusunan
argumen-argumen yang sesuai agar dapat mendukung teori yang dibahas dalam artikel ini.
Kesimpulan, sebagai bagian dari kesepakatan argumen, juga sebagai intisari dari pembahasan
artikel ini, disajikan setelah penyusunan argumen.

2. PEMBAHASAN
2.1. Definisi Pengetahuan
Pernahkah kita membayangkan ketika kita masih berada di masa kanak-kanak? Atau
seberapa sering kita membayangkan ketika kita mungkin masih belum cukup ‘dewasa’ untuk
mengetahui banyak hal? Baik, mungkin tidak terlalu penting menegaskan pada keterangan
waktu seperti sering atau tidaknya. Akan tetapi, pernahkah kita membayangkan masa kecil
kita? Sebagian besar orang pasti pernah mengingat masa kecilnya. Penekanan masa kecil di
sini adalah tentang bagaimana ketika masa kecil dulu kita sering bertanya atau lebih banyak
bertanya dibandingkan bertindak. Apa yang kira-kira mendasari kita untuk bertanya? Apakah
memang kodratnya seorang anak kecil adalah bertanya? Nalurikah? Hanya sekadar hasratkah?
Atau memang ada ‘sesuatu’ yang mendorongnya untuk bertanya? Jika iya, maka apa ‘sesuatu’
yang mendorongnya itu?

3
Ketika masa kanak-kanak—bukan lagi menyinggung masa ‘bayi’—kita mulai belajar
mengenal dunia luar melalui proses sosialisasi. Di mana anak-anak mulai mempelajari pola-
pola tindakan dan interaksi dari apa yang mereka dapatkan di dunia luar atas hubungannya
dengan orang-orang serta lingkungan di sekitarnya. Dunia luar yang ingin dikenalnya
(diketahuinya) memberikan sebuah stimulus (rangsangan) yang menyebabkan timbulnya
sebuah dorongan dan melahirkan sebuah respon yang kita sering sebut dengan rasa ingin
tahu. Rangsangan rasa ingin tahu akan dunia luar itu yang mendorong kita—sebagai anak-
anak—untuk bertanya dan terus bertanya.
Mungkin, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh anak-anak tidak sekrusial pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan oleh orang dewasa. Sebagian besar pertanyaan-pertanyaan itu
adalah pertanyaan-pertanyaan sederhana. Akan tetapi, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
oleh anak-anak tersebut memacu mereka untuk semakin (ingin) tahu dan (ingin) tahu. Hal-hal
yang mereka tahu atas pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan itu mulai mereka
tanamkan dalam diri mereka, bahkan ada yang melekat hingga dewasa. Namun ternyata,
dalam banyak kasus, sebagian besar anak yang mengetahui sesuatu karena pertanyaan yang
mereka ajukan diberikan jawaban atas sesuatu itu, maka mereka tidak hanya sekadar ‘tahu’
sesuatu, tetapi juga mulai meyakini bahwa itu adalah sebuah pengetahuan. Dalam bahasa
filsafat, keyakinan ini disebut dengan “keyakinan filosofis” atas pengetahuan.
Berdasarkan konteks di atas, bukan berarti dapat disimpulkan bahwa pengetahuan itu didapat
hanya dengan bertanya. Ada kemungkinan-kemungkinan lain bagaimana pengetahuan itu
didapat. Berdasarkan hal ini, penulis bermaksud untuk menyinggung problematika
mendapatkan pengetahuan. Yaitu pertama-tama, dengan melalui penggambaran masa kanak-
kanak yang selalu bertanya, menjadi sebuah pengantar untuk menuju kepada tahu itu sendiri,
beserta pengetahuan yang dimaksud. Di samping itu, ilustrasi tersebut juga menggambarkan
bahwa ternyata pengetahuan bermula dari rasa ingin tahu.
Jika berbicara mengenai pengetahuan, tentu akan identik dengan kata ‘tahu’. Kata ‘tahu’
tersebut langsung tertuju pada mindsetbahwa orang yang tahu pasti berbeda dengan orang
yang tidak tahu. Jelas kedua subjek tersebut berbeda karena adanya penegasian terhadap
orang yang tahumenjadi orang yang tidak tahu.
Ada beberapa jenis cara untuk membedakan orang yang tahu dengan orang yang tidak tahu,
pertama berdasarkan tingkat pengetahuan orang tersebut, sedangkan kedua berdasarkan
luasnya wilayah jangkauan sesuatu yang perlu diketahui1.
Berdasarkan tingkat pengetahuan seseorang dapat dibagi empat kriteria, yaitu sebagai
berikut2:
1. Orang yang tahu di tahunya.
Yaitu orang yang sadar bahwa dirinya mengerti, dengan begitu yang bersangkutan dengan
lapang dada menjelaskan kepada orang lain yang tidak tahu. Dalam hal ini, misalnya adalah
seseorang yang memiliki pengetahuan tentang sesuatu, atau dengan kata lain ia benar-benar
tahu, dan ia senantiasa membagi pengetahuannya kepada orang lain yang tidak tahu.
2. Orang yang tahu di tidak tahunya.
Yaitu orang yang sadar bahwa dirinya tidak mengerti, dengan begitu yang bersangkutan akan
belajar agar selanjutnya menjadi tahu. Seperti halnya seorang filsuf bukanlah beranjak dari

1
Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat (Bandung: PT. Refika Aditama, 2004), hlm. 23
2
Ibid.

4
orang yang memiliki pengetahuan (yang luas) tentang sesuatu, melainkan beranjak dari
seseorang yang tidak mengetahui sesuatu dan belajar agar menjadi tahu (mengejar
pengetahuan).
3. Orang yang tidak tahu di tahunya.
Yaitu orang yang tidak sadar bahwa dirinya sebenarnya sudah cukup banyak pengetahuannya,
dengan begitu yang bersangkutan biasanya tidak percaya diri. Dapat diambil contoh seperti
orang yang biasanya merasa rendah diri, namun sebenarnya ia mengetahui sesuatu yang
mungkin sedang dibahas. Ia lebih memilih “tidak tahu” dibandingkan “tahu” karena ada
dorongan rasa tidak percaya dirinya tersebut.
4. Orang yang tidak tahu di tidak tahunya.

Yaitu orang yang tidak sadar bahwa dirinya sebenarnya tidak tahu apa-apa, dengan begitu
yang bersangkutan biasanya sombong dan tidak sadar diri. Biasanya meliputi orang yang
sebenarnya tidak mengetahui apa-apa, namun berbicara seakan-akan ia tahu (sok tahu)
sehingga dapat dikatakann semua yang dibicarakannya hanyalah ‘omong kosong’.

Berdasarkan luas wilayahnya yang perlu diketahui, menurut Joseph Luth dan Harrington
Ingham dalam Joharry Window dibagi atas, sebagai berikut3.

1. Saya tahu orang lain juga tahu


Yaitu pengetahuan masyarakat tentang sesuatu yang bukan lagi rahasia, kita sudah sama-
sama tahu akan sesuatu itu.
2. Saya tahu tetapi orang lain tidak tahu
Yaitu rahasia-rahasia yang oleh seseorang dipertahankan, sehingga orang lain akan terus-
menerus memburunya untuk mencari tahu, seperti guru yang senantiasa menyembunyikan
ilmunya.
3. Saya tidak tahu tetapi orang lain tahu
Yaitu keterlenaan seseorang seperti ketika sedang tertidur, sedang lupa,sedang tidak sadar,
sehingga orang lain dengan leluasa menilainya sedangkan dirinya sendiri tidak tahu apa apa.
4. Saya tidak tahu orang lain juga tidak tahu
Yaitu tidak ada satu orangpun yang tahu, misalnya ide-ide yang hilang tidak mungkin
ditanyakan kepada orang lain karena hanya pernah diketahui diri sendiri dan kemudian
terlupa karena tidak dicatat, orang-orang beragama menyebutnya hanya Tuhan yang tahu.
Pada prinsipnya tahu itu adalah terdiri dari sebagai berikut4:
1. Tahu mengerjakan (know to do)
2. Tahu bagaimana (knowhow)
3. Tahu mengapa (know why)
Berkaitan dengan hal-hal di atas, tentang kata tahu, orang yang tahu, orang yang tidak tahu,
serta jangkauan atau luas wilayah yang perlu diketahuinya, maka tidak terlepas dari

3
Ibid.,24
4
Ibid.,24

5
pengetahuan sebagai bagian dari tahu itu sendiri. Seperti yang telah disinggung sebelumnya,
bahwa tanpa adanya subjek sebagai manusia yang ingin mengetahui sesuatu dan objek
sebagai sesuatu yang ingin diketahui, maka pengetahuan tidak akan ada. Orang yang tahu
akan sesuatu, berarti ia memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang ia ketahui itu secara
sederhana (umum) maupun kompleks.
Dengan demikian, pengetahuan adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjuk kepada
apa yang diketahui oleh seseorang tentang sesuatu5. Semua yang kita ketahui tentang sesuatu
itu adalah pengetahuan 6 . Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita
ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu 7 . Pengetahuan
merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut
memperkaya kehidupan kita8.
Tidak dapat dibayangkan jika seandainya manusia hidup tanpa adanya pengetahuan. Sulit
dibayangkan pula bahwasanya manusia bukanlah makhluk yang penuh dengan rasa penasaran,
bukanlah makhluk yang memiliki rasa keingintahuan (yang tinggi) sehingga mereka hanya
diam, bahkan tidak ada niat sedikitpun untuk menemukan pemecahan, jawaban, ataupun
solusi dalam menyelesaikan permasalahan kehidupannya. Sedangkan, pengetahuan itu sendiri
merupakan sesuatu untuk menjawab atau memberikan pencerahan atas problematika-
problematika kehidupan yang dialami oleh manusia. Kembali lagi, tidak akan pernah bisa
terbayangkan, bagaimana manusia bisa hidup tanpa adanya pengetahuan? Apakah manusia
bisa bertahan dalam kehidupannya?
Pengetahuan sendiri secara etimologi berasal dari bahasa Inggris, knowledge. Sedangkan,
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengetahuan dengan kata dasar tahu, berarti segala
sesuatu yang diketahui; kepandaian; segala sesuatu yang diketahui dengan hal (mata
pelajaran).
Dalam bukunya, Philosophy, Stephen Law menjelaskan, “In the Thaeletus, the Greek
philosopher Plato argued that knowledge is justified true belief: in other words, beliefs must
be both true and supported by strong evidence to qualify as knowledge9.”
Jadi, menurut filsuf besar Plato, pengetahuan adalah sebuah justifikasi dari keyakinan yang
benar. Namun dengan kata lain, keyakinan yang dimaksud itu harus benar dan didukung oleh
bukti yang kuat agar memenuhi syarat sebagai suatu pengetahuan.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa pengetahuan adalah apa (pun) yang diketahui oleh
suatu subjek (manusia) dari suatu objek yang diketahuinya, diiringi dengan bukti sebagai
pembenaran dari objek yang diketahui tersebut.

2.2. Jenis-jenis Pengetahuan secara umum


Secara umum, kita sering mengklasifikasikan pengetahuan hanya menjadi dua jenis, yaitu
pengetahuan yang berkaitan dengan keilmiahan, seperti halnya pengetahuan alam atau
science dan pengetahuan yang mencakup kehidupan sosial masyarakat (pengetahuan sosial).

5
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996), hlm. 37-38
6
Ibid., 38
7
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hlm.
104
8
Ibid.
9
Stephen Law, Philosophy (United States: DK Publishing, 2007), hlm. 49

6
Dalam bukunya yang berjudul Pengantar Filsafat, Jan Hendrik Rapar membagi pengetahuan
ke dalam tiga jenis sebagai berikut10.
1. Pengetahuan biasa (ordinary knowledge). Pengetahuan ini terdiri dari pengetahuan nir-
ilmiah dan pengetahuan pra-ilmiah. Pengetahuan nir-ilmiah adalah hasil pencerapan dengan
indra terhadap objek tertentu yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan termasuk pula
pengetahuan intuitif. Pengetahuan pra-ilmiah merupakan hasil pencerapan indrawi dan
pengetahuan yang merupakan hasil pemikiran rasional yang tersedia untuk diuji lebih lanjut
kebenarannya dengan menggunakan metode-metode ilmiah.
2. Pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang
diperoleh lewat penggunaan metode-metode ilmiah yang lebih menjamin kepastian
kebenaran yang dicapai. Pengetahuan yang demikian dikenal juga dengan sebutan science.
3. Pengetahuan filsafati (philosophical knowledge). Pengetahuan filsafati diperoleh lewat
pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman, penafsiran, spekulasi, penilaian kritis,
dan pemikiran-pemikiran yang logis, analitis, dan sistematis. Pengetahuan filsafati adalah
pengetahuan yang berkaitan dengan hakikat, prinsip, dan asas dari seluruh realitas yang
dipersoalkan selaku objek yang hendak diketahui.
Berdasarkan jenis-jenis pengetahuan yang telah dipaparkan di atas, terutama terhadap
pengetahuan ilmiah, maka kita perlu memahami pengetahuan nonilmiah terlebih dahulu.
Dapat kita ambil contoh pengetahuan nonilmiah yang kita temukan dalam kehidupan sehari-
hari. Salah satu contohnya adalah orang yang mengalami kesurupan. Sudah pasti orang-orang
yang berada di sekitarnya segera mencari bantuan dengan memanggil orang yang (dianggap
oleh masyarakat) pintar dalam bidang spiritual, seperti halnya ustad, syekh, pendeta, pastor,
dan lain sebagainya untuk mengusir roh jahat yang diduga masuk ke dalam tubuh orang yang
kesurupan tersebut.
Akan tetapi, dalam kasus tersebut apabila dinilai dari kacamata kedokteran atau medis, orang
yang mengalami kesurupan tersebut (lebih baik) diberikan suntikan yang berisikan dopamine
karena orang tersebut akan langsung tenang seperti sedia kala. Dopamin adalah hormon yang
terdapat pada otak yang sering disebut sebagai neurotransmitter, yaitu senyawa organik yang
membawa rangsangan dari satu neuron ke neuron lainnya,yang paling mempengaruhi sikap,
emosi, dan perilaku. Dopamin berfungsi untuk pergerakan dan koordinasi tubuh, emosional,
dan penilaian. Implikasinya pada kejiwaan yaitu menurunkan derajat penyakit Parkinson dan
depresi, depresi di sini seperti pada kasus kesurupan.
Dapat diambil sebuah kasus lain, yaitu ketika seseorang mengalami retak tulang (katakan
salah satu penulis pernah mengalami retak tulang beberapa bulan yang lalu). Retak tulang
menyebabkan terjadinya pembengkakan pada kulit sekitar area retak tulang (misalnya retak
tulang pada bagian antara telapak kaki dan jari kaki). Jika terjadi fraktur (retak tulang) di area
tersebut, maka akan terjadi pembengkakan pada kulit di sekitar area itu. Masyarakat awam
pada umumnya ketika menghadapi kasus seperti ini lebih memilih untuk diobati dengan cara
membawanya ke tukang pijat karena diduga akan lebih cepat mendapatkan pemulihan. Akan
tetapi, dalam dunia medis sendiri, ketika tubuh mengalami cedera semisal retak tulang,
sebaiknya tidak dibawa ke tukang pijat. Retak tulang yang tidak terlalu parah (ringan) dapat
sembuh sendiri dengan seiring berjalannya waktu dan dibantu dengan perawatan secara
ringan, bisa dengan perawatan sendiri di rumah, seperti dikompres dengan air dingin dan
tidak banyak melakukan aktivitas yang berhubungan dengan bagian tulang tubuh yang retak
tersebut untuk sementara waktu. Atau jika retak tulang cukup parah, maka akan lebih baik

10
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996), hlm.38

7
dibawa ke dokter untuk memperoleh penanganan ortopedi, yaitu pengembalian tulang seperti
posisi semula.
Dari kedua kasus di atas, dapat diketahui bahwa pengetahuan ilmiah ditemukan setelah
adanya pengetahuan-pengetahuan nonilmiah yang berkembang di masyarakat. Pengetahuan-
pengetahuan nonilmiah yang berdasarkan pada spekulasi-spekulasi tersebut kemudian diuji
kembali menggunakan metode-metode ilmiah sehingga menjadi pengetahuan ilmiah.
Namun, berbeda dengan pengetahuan filsafati seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Jika
pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah lebih mengarah pada suatu definite object, maka
pengetahuan filsafati lebih mengarah pada pembahasan objek secara tidak terbatas.
Pengetahuan filsafati lebih menekankan pada hakikat, prinsip dan asas dari suatu realitas
dengan mendasarkannya pada spekulasi-spekulasi yang rasional. Objek yang tidak terbatas
ini maksudnya tidak hanya mencakup hal-hal yang konkret, tetapi juga hal-hal yang abstrak.
Hal-hal yang bersifat metafisik. Misalnya, Tuhan.
Dari tiga jenis pengetahuan menurut Jan Hendrik Rapar yang telah dipaparkan di atas, bukan
berarti menutup kemungkinan bahwa ada pengklasifikasian pengetahuan yang lain, seperti
pengetahuan moral, pengetahuan keagamaan, pengetahuan budaya, pengetahuan kemampuan,
dan lain sebagainya.

2.3. Pemerolehan Pengetahuan: Dibuat atau Ditemukan


Teori-teori mengenai bagaimana pengetahuan dapat diperoleh hingga saat ini masih menjadi
perdebatan. Baik menurut filsuf-filsuf masa silam atau ahli-ahli filsafat masa kini masih
memperdebatkan bahwa mungkin sebenarnya pengetahuan itu diperoleh dari indra, nalar,
intuisi, atau bahkan testimoni.Namun, belum ada teori yang sepenuhnya meyakinkan bahwa
pemerolehan pengetahuan adalah melalui salah satu di antara tiga hal tersebut. Di sini,
penulis bukan berarti menutup kemungkinan-kemungkinan lain dalam memperoleh
pengetahuan. Namun, yang ingin penulis tekankan adalah apakah pengetahuan itu hanya
berasal dari akal, indra, atau kombinasi dari keduanya.
Kita mungkin seringbertanya-tanya mengenai bagaimana kita bisa tahu akan objek-objek
yang ada di sekitar kita. Seperti hal sederhana, misalnya ketika malam hari tiba dan kebetulan
malam itu diterangi oleh Bulan Purnama. Kita melihat jalan yang tidak diterangi lampu
menjadi cukup terang karena cahaya dari Bulan Purnama tersebut. Mungkin, bisa dengan
refleks kita menatap ke atas (ke arah bulan purnama itu) dan segera membenarkan bahwa
jalan yang sedang kita lihat terang karena bulan purnama. Kita tahu bahwa itu adalah Bulan
Purnama, berarti kita memiliki pengetahuan tentang bulan yang bulat sepenuhnya dan terang
(di malam hari). Namun, pernahkah kita berpikir bagaimana kita tahu bahwa itu bulan(yang
Purnama)? Lantas, apakah pengetahuan kita tentang Bulan (yang purnama) itu sebagai
pengetahuan yang kita temukan karena Yang Maha Mencipta telah menghadirkan
(menyediakan) bulan sebagai objek dari pengetahuan untuk kita tangkap? Atau pengetahuan
kita tentang bulan purnama semata-mata hanyalah konsep yang kita buat sendiri dalam
pikiran rasional kita atas benda bulat yang bersinar terang di langit malam? Ataukah,
gabungan di antara keduanya, yaitu kita tangkap dengan pancaindra tentangBulan Purnama
yang sengaja Tuhan ‘sediakan’ sebagai objek untuk diketahui, lalu kita membuat
pengetahuan bahwa Bulan Purnama itu adalah benda bulat yang bersinar terang di langit
malam?

8
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian Pendahuluan, pengetahuan juga berkaitan dengan
pengalaman indra (sense experience), nalar (reason), intuisi (intuition), dan keyakinan
(belief). Keempat hal tersebut juga disebut sebagai ‘alat’ dalam proses mengetahui
(memperoleh pengetahuan). Pengalaman indra (sense experience) di sini adalah bahwa
pengetahuan diperoleh melalui tangkapan pancaindra seperti halnya kita tahu buku karena
kita melihatnya. Kita tahu kulkas dingin karena kulit kita merasakannya. Kita tahu parfum itu
wangi karena kita menciumnya, dan hal lainnya yang berkaitan dengan indra. Sedangkan,
nalar (reason) adalah bahwa pengetahuan diperoleh dengan menggunakan akal budi atau
rasio (berpikir secara rasional) tentang objek yang diketahui. Misalnya, kita tidak ingin dekat-
dekat dengan ular kobra karena ular kobra memiliki bisa (racun) yang dapat mematikan.
Di sisi lain, intuisi (intuition) merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses
penalaran tertentu 11 . Dapat diambil contoh ketika kita sedang menghadapi suatu
permasalahan (anggap saja kita adalah orang yang dituntut untuk menemukan pemecahan
suatu masalah). Kita memilih untuk pergi ke tempat yang tenang agar bisa lebih berpikir
dengan jernih. Ketika sampai di tempat yang tenang tersebut, kita termenung beberapa saat,
tiba-tiba sebuah jawaban muncul di dalam kepala kita. Jawaban tersebut muncul begitu saja
tanpa kita harus bernalar secara berlika-liku. Atau, ketika kita dituntut untuk menyelesaikan
sebuah tugas kuliah misalkan, kita sulit untuk menentukan topik, kemudian lebih memilih
meninggalkannya sejenak ketika pikiran sudah buntu. Bisa saja ketika kita sedang makan di
kantin, tiba-tiba muncul begitu saja ide atas topik yang sebelumnya kita pikirkan. Namun,
terkadang kita belum bisa menjelaskan bagaimana kita bisa mencapai ide tersebut. Itulah
yang disebut dengan intuisi.
Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun
pengetahuan secara teratur maka intuisi ini tidak bisa diandalkan. Pengetahuan intuitif dapat
dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya
pernyataan yang dikemukakannya12.
Kemudian dari sisi pengetahuan yang berkaitan dengan keyakinan (belief). Pengetahuan
diperoleh dengan adanya keyakinan dalam diri. Misalnya, kita percaya bahwa bunga melati
itu berwarna putih. Kita percaya itu karena kita melihatnya. Dan melati yang kita lihattampak
berwarna putih. Atau, bisa jadi ketika ‘saya’ melewati rumah Ronald, ‘saya’ melihat seekor
kucing. ‘Saya’ menyimpan memori tentang kucing itu di dalam otak ‘saya’. Kemudian, ‘saya’
melewati rumah Bagus, ‘saya’ melihat kucing lagi. Kembali, ‘saya’ menyimpan memori
tentang kucing. Sekarang, ‘saya’ percaya bahwa kucing itu adalah hewan mamalia yang
berambut, memiliki kaki empat, dan sebagainya, tanpa ‘saya’ menunjuk kucing yang ada di
dekat rumah Ronald, atau kucing yang ada di dekat rumah Bagus. Yang ‘saya’ tekankan
adalah ‘saya’ hanya percaya bahwa kucing adalah hewan yang seperti itu, tanpa menunjuk
pada kucing tertentu.
Akan tetapi, dalam hal ini, keyakinan (kepercayaan) tidak bisa menjamin bahwa apa yang
kita percaya adalah sebuah pengetahuan. Di sisi lain, kita bisa memiliki, katakanlah, sebuah
keyakinan yang benar tanpa perlu menyiapkan pembuktian atau pembenaran atas
kepercayaan yang benar tersebut. Misalnya, ketika kita makan di sebuah restoran, kita
melihat chef dan kita percaya bahwa ia adalah seorang chef karena topi dan baju yang
dikenakannya. Namun, ketika mungkin kita ditanya, bagaimana kita bisa menganggap bahwa
ia adalah seorang chef? Lantas, kita menjawab bahwa kita tahu dan percaya ia adalah seorang
chefkarena topi dan baju yang dikenakannya memperlihatkan ciri dari seorang chef.

11
Sumariasumantri, op. cit., 53
12
Ibid.

9
Sebenarnya, keyakinan (kepercayaan) kita terhadap seseorang bahwa ia adalah seorang chef
dengan mengklaim topi dan baju yang dikenakannya, tidak bisa menjadi bukti untuk
membenarkan (menjustifikasi) keyakinan kita. Alasan tersebut tidak dapat pula dibenarkan.
Pengetahuan tidak hanya sekadar keyakinan (kepercayaan), namun juga membutuhkan
alasan-alasan rasional yang kuat untuk membenarkan keyakinan kita tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai ‘alat’ dalam proses mengetahui (memperoleh
pengetahuann) tersebut, ternyata memang masih banyak perdebatan, terutama apakah
pengetahuan diperoleh hanya melalui akal budi atau rasio sebagai sumber utama, atau
pengetahuan semata-mata hanya bisa didapatkan dengan pengalaman indra, atau gabungan di
antara keduanya (pengalaman indra yang berdominasi dengan mengggunakanakal budi atau
rasio)?
Plato, Descartes, Spinoza, dan Leibniz mengatakan bahwa akal budi atau rasio adalah sumber
utama bagi pengetahuan, bahkan ada yang secara ekstrem menekankan bahwa akal budi
adalah satu-satunya sumber bagi pengetahuan 13 . Mereka yang menekankan bahwa
pengetahuan bersumber dari akal budi atau rasio ini disebut juga dengan kaum rasionalis.
Kaum rasionalis ini mempergunakan metode deduktif dalam penyusunan pengetahuannya.
Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya
jelas dan dapat diterima14. Namun, ide yang didapat ini bukanlah suatu ciptaan dalam pikiran
manusia. Ide-ide ini telah ada jauh sebelum manusia memikirkannya. Peran pikiran manusia
terhadap ide-ide ini hanyalah sebagai pengolah terhadap ide-ide yang telah ada itu; atau
dengan kata lain ide-ide itu bersifat apriori. Sedangkan pengalaman hanyalah ‘penangkap’
dari ide-ide yang telah diolah oleh pikiran manusia tersebut. Jadi, pengalaman tidak
membuahkan ide-ide.
Di samping itu, beberapa filsuf lainnya, seperti Bacon, Hobbes, dan Locke, menyatakan
bahwa bukan akal budi, melainkan pengalaman indrawilah yang menjadi sumber utama bagi
pengetahuan 15 . Mereka berpendapat bahwa pengetahuan manusia bergantung pada
pengalaman-pengalaman yang konkret. Mereka yang memiliki pendapat bahwa pengetahuan
manusia bersumber dari pengalaman disebut juga dengan kaum empiris.
Gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris adalah bersifat konkret dan dapat
dinyatakan lewat tangkapan pancaindra manusia 16 . Gejala-gejala alamiah tersebut diikuti
dengan adanya pola-pola yang teratur. Seperti halnya besi yang dipanaskan akan memuai,
gempa bumi di bawah laut diikuti dengan terjadinya tsunami, gunung meletus diikuti dengan
keluarnya lahar panas, abu vulkanik, dan substansi-substansi lainnya yang keluar dari gunung
meletus tersebut, dan hal-hal lainnya yang mengikuti pola sedemikian rupa. Dapat diketahui
bahwa pengetahuan-pengetahuan yang didapat tersebut adalah hasil tangkapan pancaindra
dengan mengikuti pola-pola yang teratur.
Lantas, dengan mengetahuipandangan filusuf terkait sumber-sumber pengetahuan tersebut
(menurut kaum rasionalis dan kaum empiris), bagaimanakah kita mengetahui bahwa
pengetahuan itu dibuat atau ditemukan?
Menurut teori pengetahuan John Locke (1632-1704), seorang filsuf asal Inggris yang
menganut pendekatan empirisme, ia mengajukan argumen terkait tesis-tesis materialisme
yang meyakini bahwasanya terdapat hubungan kausal antara objek dan data indrawi yang
13
Jan Hendrik Rapar, op. cit., 39
14
Suriasumantri, op. cit., 50
15
Jan Hendrik Rapar, op. cit., 39
16
Suriasumantri, op. cit., 51

10
dipersepsi. Materialisme juga masih menganggap adanya subtansi mandiri yang
menyebabkan saya menyerap apa saja yang data-data indrawi sodorkan17. John Locke juga
mengatakan bahwa seluruh ide manusia berasal secara langsung dari sensasi dan refleksi
terhadap ide-ide sensitif itu sendiri18. Jadi, ia ingin mengatakan bahwa semua yang ada dalam
akal budi attau rasio manusia berasal dari pengalaman indrawi (sense experience).
Misalnya ada sebuah kasus seperti lemari yang ‘saya’ lihat melalui common sense selalu
sama pada setiap orang,menghasilkan karakteristik sebagai berikut, panjang dua meter, tinggi
empat meter, dan lebarsatu meter, berwarna coklat, padat, dan kuat.Atau, kembali lagi pada
kucing yang pernah ‘saya’ lihat ketika melewati rumah Ronald atau rumah Bagus. Kucing
yang ‘saya’ lihat (maksud) melalui commonsense selalu sama pada setiap orang,
menghasilkan karakteristik kucing yang berambut, berkaki empat, memiliki kelenjar susu,
bersuara dengan mengeong, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, pengalaman indrawi yang
dimaksud oleh John Locke itu yakni mental image merupakan hasil refleksi dari ide-ide yang
kita tangkap dengan indra.
Lantas, apakah dengan begitu kita dapat langsung mengklaim bahwa pengetahuan yang kita
peroleh ini sejatinya ditemukan karena segala sesuatu yang berada di sekeliling kita ini telah
‘disediakan’ dan kita sebagai pencari menemukannya dengan pengalaman-pengalaman
indrawi kita?
Jika menilik lebih dalam lagi, pengetahuan yang kita peroleh dari hal-hal yang berada di
sekeliling kita ditangkap oleh pancaindra kita sehingga misalnya, kita tahu bahwa apel itu
berwarna merah. Lantas, apakah benar-benar indra yang mengklaim bahwa apel itu berwarna
merah? Bukankah warna merah itu sendiri adalah prinsip yang kita olah dalam pikiran secara
rasional?
Kita tidak dapat mengklaim bahwa apel itu berwarna merah tanpa adanya prinsip warna
merah itu sendiri yang telah ada dan kita kenali (prinsip warna merah itu) melalui pikiran
rasional kita. Indra mungkin saja bisa ‘menangkap’ hal-hal yang berada di sekeliling kita.
Namun, siapa yang mengklaim bahwa misalnya rumput itu hijau, atau kembali lagi bahwa
apel itu merah? Kita mengklaim bahwa apel itu berwarna merah karena prinsip yang kita buat
di dalam pikiran kita tentang warna apel yang merah itu. ‘Saya’ dapat mengetahui
bahwawarna langit ketika di malam hari adalah hitam (gelap) karena prinsip hitam itu ‘saya’
buat dalam pikiran rasional ‘saya’. Mudahnya, kita tidak akan tahu bahwa apel itu merah,
langit pada malam hari itu hitam (gelap) jika kita tidak membuatnya dengan
mempersepsikan(prinsip) dalam pikiran kita. Jadi, sebenarnya pengetahuan yang kita peroleh
ini adalah pengetahuan yang dibuat.
Jika kita meyakini bahwa pengetahuan itu sejatinya ditemukan karena pengalaman
pancaindra kita yang menemukannya, lantas bagaimana kita bisa berpikir bahwasanya apel
itu berwarna merah atau rumput berwarna hijau, atau langit pada malam hari berwarna hitam
(gelap)? Sangat ekstrem jika ternyata pengetahuan itu ditemukankarena bagaimana mungkin
kita mendapatkan pengetahuan bahwa ternyata apel itu andaikan bukan berwarna merah?
Bahkan kita akan menjadi bingung untuk menentukan warnanya, backgroundnya, atau yang
lebih mengerikan, apakah apel itu ternyata adalah sebuah hologram yang transparan (bahkan
kita sendiri pun sulit untuk menentukan apa itu hologram jika hanya mengandalkan bahwa
pengetahuan itu ditemukan)?

17
Donny Gahral Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume Sampai Thomas Khun
(Bandung: TERAJU,2002), hlm. 199
18
Jan Hendrik Rapar, op. cit., 39

11
Kita tidak tahu apakah pancaindra kita ini benar-benar menemukan pengetahuan. Kita juga
tidak tahu apakah pancaindra kita ini benar-benar memberikan keyakinan kepada kita, atau
sejatinya sedang memanipulasi kita. Apakah pengetahuan yang kita peroleh dari apa yang
kita lihat, kita dengar, kita cium, dan kita rasa (dengan kulit atau dengan indra pengecap)
benar-benar pengetahuan yang nyata? Atau bahkan tubuh kita sendiri juga merupakan bagian
dari manipulasi pancaindra atas pengetahuan?
Seperti halnya Ronald yang memegang kening Bagus ketika Bagus mengalami demam.
Ronald mengklaim bahwa tubuh Bagus terasa panas. Rasa panas itu sendiri merupakan
prinsip (pengetahuan) yang dibuat dalam pikiran kita. Pengalaman indra peraba Ronald
hanyalah sebagai perantara, namun sebenarnya yang dapat mengetahui tubuh Bagus panas
atau tidak adalah prinsip yang dibuat dalam pikirannya. Pengalaman tidaklah membuahkan
prinsip dan justru sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran
rasional itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar
kita 19 . Jadi sebenarnya, pengalaman-pengalaman indrawi itu didapatkan dari pemikiran-
pemikiran rasional manusia. Pengetahuan-pengetahuan yang manusia peroleh bukan
ditemukan, namun dibuat.
Begitu juga, pengetahuan jika disimpulkan dari pemikiran George Berkeley adalah dibuat.
Dimana sebelumnya, Locke menyimpulkan bahwa suatu benda untuk dapat diketahui atau
sederhananya “ada” haruslah memenuhi dua syarat yaitu, kualitas primer dan kualitas
sekunder. Kualitas primer dari suatu benda adalah kualitas yang sudah ada pada benda itu
sendiri (sudah merupakan properti dari benda itu). Misalnya, kualitas primer dari apel tadi
adalah kepadatannya, massanya, mobilitasnya, dan sebagainya. Lalu ada kualitas sekunder
yaitu kualitas yang dibuat oleh pikiran kita. Misalnya warna apel tersebut, tekstur, suara yang
ditimbulkan ketika terjatuh, dan sebagainya. Berkeley lalu berpikir bahwa kita tidak bisa
mengetahui atau sederhananya mendapat informasi atau pengetahuan dari suatu benda tanpa
melibatkan kualitas sekunder benda itu di dalamnya dan sejak kualitas sekunder hanya ada di
dalam pikiran kita maka semua informasi atau pengetahuan yang didapat murni dibuat oleh
akal kita.
Berkeley juga ingin menegaskan bahwasanya segala sesuatu yang ditangkap oleh pancaindra
kita, segala sesuatu yang dihasilkan dari pengalaman-pengalaman indrawi kita hanyalah
bayangan dari yang sesungguhnya, yang berada di dalam dunia ide (prinsip pengetahuan
yang dibuat oleh pemikiran-pemikiran rasional kita). Atau kembali lagi bahwa pengetahuan
yang kita peroleh adalah pengetahuan yang kita buat.
Seperti halnya pada bola. Pancaindra kita menangkap mobilitas bola yang menggelinding.
Namun, untuk mengetahui seputar bentuk, warna, tekstur atau untuk menghitung volume,
massa, kepadatan dan luas permukaan bola tersebut, yakni dengan pembuatan konsep-konsep
atau ide-ide dalam pemikiran rasional kita.Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh
adalah murni kita yang membuat konsep-konsepnya dari hasil rasio yang kita miliki terhadap
titik tolak hal-hal yang empiris.

3. PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pengetahuan adalah apa (pun) yang diketahui oleh suatu subjek (manusia) dari suatu objek
yang diketahuinya, diiringi dengan bukti sebagai pembenaran dari objek yang diketahui
19
Suriasumantri, op. cit., 51

12
tersebut. Pengetahuan tidak akan ada jika subjek yang ingin mengetahui dan objek yang ingin
diketahui juga tidak ada. Namun, pengetahuan tidak hanya sekadar melibatkan subjek dan
objek, tetapi juga berkaitan erat dengan pengalaman indra (sense experience), nalar (reason),
intuisi (intuition), dan keyakinan (belief).
Tidak dapat dibayangkan jika tidak adanya pengetahuan, padahal pengetahuan itu sendiri
adalah jawaban dari problematika-problematika kehidupan kita. Perihal pengetahuan sebagai
jawaban dari segala permasalahan hidup kita, maka pengetahuan diklasifikasikan ke dalam
beberapa jenis, yaitu pengetahuan biasa (pengetahuan nonilmiah), dari pengetahuan-
pengetahuan nonilmiah yang berkembang di masyarkat itu diuji kembali kebenarannya
melalui metode-metode ilmiah sehingga menjadi pengetahuan ilmiah, juga pengetahuan
filsafati yang lebih luas jangkauannya dibandingkan pengetahuan ilmiah karena tidak hanya
mencakup realitas yang konkret, tetapi juga hal-hal yang bersifat metafisik. Di samping itu,
ada juga pengklasifikasian lain terkait pengetahuan, yakni pengetahuan agama, pengetahuan
moral, pengetahuan kemampuan, dan lain sebagainya.
Terkait dengan hal pengetahuan itu dibuat atau ditemukan, jika menilik lebih dalam lagi,
maka sebenarnya pengetahuan itu murni dibuat oleh manusia.Hal itu ditunjukkan dengan
beberapa kasus yang sudah dicontohkan pada pembahasan di atas, seperti menentukan warna
apel, warna rumput, warna langit ketika malam hari, suhu tubuh seseorang atau bagaimana
menentukan isi dan luas permukaan sebuah bola.Semua pengetahuan itu didapat karena
konsep-konsep yang dibuat di dalam pikiran rasional kita.Kita pun tidak tahu jika
pengetahuan itu memang ditemukan, apakah menjamin jika pengalaman indrawi tidak sedang
memanipulasi kita? Pengalaman indrawi hanyalah bayangan dari apa yang kita pikirkan.
Pengalaman indrawi hanyalah sebagai ‘penangkap’ prinsip yang kita olah dalam pikiran kita.
Dengan demikian, segala sesuatu apapun yang ada dan menjadi pengetahuan kita itu adalah
bentuk dari pikiran kita itu sendiri.

4. DAFTAR PUSTAKA
Suriasumantri, Jujun S. 2005. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan)

Rapar, Jan Hendrik. 1996. Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius)

Adian, Donny Gahral. 2002. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume
Sampai Thomas Khun (Bandung: TERAJU)

Law, Stephen. 2007. Philosophy (United States: DK Publishing)

Syafiie, Inu Kencana. 2004. Pengantar Filsafat (Bandung: PT. Refika Aditama)

Robinson, Dave & Judy Groves. 1999. Introducing Philosophy (UK: Icon Books)

13

Você também pode gostar