Você está na página 1de 45

7.

PENGERASAN DAN PENEMPERAN

7.1. Pengerasan
Pengerasan biasanya dilakukan untuk memperoleh sifat tahan aus yang tinggi, dan/atau
kekuatan dan fatigue limit/strength yang lebih baik. Pengerasan dilakukan dengan memanaskan
baja ke daerah austenit lalu mendinginkannya dengan cepat. Dengan pendinginan cepat ini
terbentuk martensit, yang keras. Setelah Pengerasan baja akan menjadi keras dan getas, karena
itu Pengerasan selalu diikuti dengan Penemperan
Pengerasan biasanya ditujukan untuk memperoleh kekerasan yang maksimum, yaitu
struktur yang sepenuhnya martensitik. Kekerasan maksimum akan tergantung pada kekerasan
martensitnya. Kekerasan martensit tergantung pada kadar karbon dalam austenit pada saat
pemanasan.
Kekerasan yang terjadi pada suatu benda yang dikeraskan akan ditentukan oleh
banyaknya martensit di samping kekerasan martensit sendiri. Banyaknya martensit tentu
tergantung pada banyaknya austenit yang terjadi pada waktu pemanasan dan banyaknya
austenit yang dapat menjadi martensit (ini akan tergantung pada laju pendinginan). Dengan
demikian kekerasan yang dapat terjadi pada suatu benda yang dikeraskan akan tergantung pada
proses austenitisasinya dan proses pendinginannya, di samping juga komposisi bajanya dan
ukuran bendanya.
Tebal bagian penampang yang akan menjadi keras seringkali juga merupakan hal yang
dispespesifikasikan dari hasil pengerasan. Hal ini banyak tergantung pada hardenabiliti, dan
tentunya juga pada proses pengerasan yang dilakukan, terutama laju pendinginan yang terjadi.
Hal ini sudah diuraikan pada Bab terdahulu.

7.1.1. Austenitisasi
Untuk dapat memperoleh martensit yang keras maka pada saat pemanasan harus dapat
terjadi struktur austenit, karena hanya austenit yang dapat bertransformasi menjadi martensit.
Bila pada saat pemanasan masih terdapat struktur lain, misalnya ferrit, maka setelah diquench
akan diperoleh struktur yang tidak seluruhnya terdiri dari martensit, ferrit tidak mengalami
perubahan dengan quenching. Bila struktur lain itu bersifat lunak, sebagaimana halnya ferrit,
maka tentunya kekerasan yang tercapai juga tidak akan maksimum.
Kalaupun struktur lain itu sudah cukup keras, misalnya karbida, mungkin juga
kekerasan maksimum belum tercapai. Bila masih terdapat karbida maka berarti masih belum
seluruh karbon larut dalam austenit, padahal kekerasan martensit sangat tergantung pada kadar
karbon dalam austenit.
Tetapi walaupun sudah tidak lagi terdapat struktur lain selain austenit pada saat
pemanasan, belum tentu kekerasan yang maksimum dapat tercapai karena mungkin dalam
austenit terdapat terlalu banyak karbon sehingga setelah quenching akan mengakibatkan
terdapatnya austenit sisa yang terlalu banyak setelah diquench. Austenit yang lunak ini tentu
akan mengurangi kekerasan.
‐ 122 ‐ 
 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
Untuk baja hypoeutektoid austenitisasi ditujukan untuk merubah seluruh perlit dan ferrit
menjadi austenit. Karena itu temperatur austenitisasi ini biasanya sama dengan temperatur
pemanasan untuk anil sempurna, 30 - 50 oC di atas temperatur kritis A3, sedang untuk baja
hypereutektoid austenitisasi hanya akan merubah perlit saja, sementit jaringan hanya sebagian
saja yang akan dilarutkan, temperatur austenitisasinya 30 - 50 oC di atas temperatur kritis A1
(lihat Gambar 7.1). Dengan temperatur austenitisasi ini kekerasan maksimum dapat tercapai
dan butir kristal cukup halus, tidak getas.

Gambar 7.1. Temperatur austenitisasi untuk pengerasan baja karbon (Water quenching) dan baja paduan (Oil
quenching), tampak berupa garis hitam

Untuk baja paduan, terutama yang hypoeutektoid, temperatur austenitisasi diambil


sedikit lebih tinggi karena unsur paduannya berpengaruh menaikkan temperatur austenit (A1
dan A3), di samping juga menaikkan hardenabiliti, sehingga kebanyakan menjadi oil quench.
Hasil dari austenitisasi ini ditentukan oleh temperatur dan waktu (holding time) , karena
transformasi selama pemanasan ini terjadi dengan diffusi, hasil yang sama dapat diperoleh
dengan pemanasan ke temperatur lebih tinggi dan waktu yang singkat atau temperatur lebih
rendah tetapi waktunya lama. Batas bawah temperatur austenitisasi adalah batas mulai terdapat
kesetimbangan terjadinya austenit yang dimaksud, sedang batas atas ditentukan oleh terjadinya
grain growth dan/atau austenit sisa. Untuk memilih tamperatur dan holding yang tepat perlu
dilakukan percobaan pemanasan dengan rentang temperatur di sekitar pedoman di atas,
kemudian diperiksa kekerasan dan struktumikronya.
‐ 123 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 

a  b

c  d

e  f

Gambar 7.2. Gambar strukturmikro baja karbon 0,45 %C sebelum & sesudah perlakuan dengan pemanasan
dalam salt bath selama 5 menit kemudian diquench dalam air; a. sebelum perlakuan, kekerasan
220 HV; b. perlakuan dengan pemanasan pada 725 oC, kekerasan 215 HV; c. pemanasan pada
735 oC, kekerasan 376 HV; d. pemanasan pada 750 oC, kekerasan 662 HV; e. pemanasan pada
775 oC, kekerasan 738 HV; f. pemanasan pada 825 oC, kekerasan 744 HV

Suatu percobaan austenitisasi dengan baja karbon 0,45 %C dipanaskan dalam salt bath
pada berbagai temperatur pemanasan, masing-masing ditahan selama 5 menit kemudian
diquench dalam air. Hasilnya ditampilkan pada Gambar 7.2.
Strukturmikro sebelum pemanasan tampak berupa butiran ferrit dan perlit,
kekerasannya 220 HV. Setelah perlakuan dengan pemanasan pada 725 oC tampak bahwa tidak
‐ 124 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
banyak perubahan strukturmikro, kecuali ada sedikit spheroid, menandakan bahwa ada sedikit
perlit yang mengalami spheroidisasi, ada sedikit penurunan kekerasan, menjadi 215 HV. Belum
ada transformasi menjadi austenit pada saat pemanasan tsb. Dari Gambar 7.3., Diagram Fase
dan Diagram Transformasi untuk Pemanasan Baja 0,45 %C, tampak bahwa dengan 725 oC
memang belum terjadi transformasi (reaksi eutektoid).

Gamba 7.3. Gambar Diagram Fase Fe-Fe3C disandingkan dengan Diagram Transformasi untuk Pemanasan
dari baja 0,45 %C, untuk memperkirakan struktur yang terjadi pada pemanasan baja tsb.

Dengan pemanasan pada 735 oC, dari Gambar 7.3. tampak bahwa sebagian besar perlit
sudah bertransformasi menjadi austenit yang kemudian setelah diquench menjadi martensit,
sedang ferrit dan sebagian perlit belum sempat bertransformasi. Dari Gambar 7.2.c. tampak
banyak martensit, ferrit dan masih ada sisa perlit. Kekerasan naik menjadi 376 HV. Dengan
pemanasan pada 750 oC semua perlit sudah habis, tetapi masih ada sedikit ferrit, kekerasan naik
cukup tinggi, menjadi 662 HV. Dengan pemanasan pada temperatur ini ferrit tidak akan habis
karena masih di bawah A3. Bahkan dengan pemanasan sampai 775 oC (di A3) sisa-sisa ferrit
masih ada, kekerasan sudah tinggi, 738 HV. Ferrit benar-benar habis setelah pemanasan pada
825 oC, sisa ferrit sudah tidak ada, yang ada adalah sisa sementit (sisa reaksi eutektoid).
Untuk baja hypoeutektoid penentuan temperatur austentisasi tidak begitu kritis,
pengambilan temperatur austenitisasi yang terlalu tinggi tidak mengakibatkan turunnya keke-
rasan yang dicapai (tetapi temperatur yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan terjadinya
pertumbuhan butir). Sedang untuk baja hypereutektoid, temperatur austenitisasi yang terlalu
tinggi akan mengakibatkan tidak tercapainya kekerasan maksimum karena terlalu tingginya
kadar karbon/paduan dalam austenit, sehingga menimbulkan banyak austenit sisa.
Untuk menentukan temperatur austenitisasi yang tepat untuk baja hypereutektoid, perlu
dilakukan suatu percobaan pemanasan dan quenching pada beberapa temperatur dan dianalisis
struktur yang terjadi. Misalnya untuk menentukan temperatur austenitisasi untuk baja SS 2092
(1 % Cr, 1,5 % Si, 0,8 % Mn dan 1 % C) dilakukan austenitisasi pada 800, 825, 850, 870, 920
dan 970 oC, kemudian diquench dan ditemper pada 200 oC, hasil dan strukturmikronya
ditunjukkan pada Gambar 7.4.
‐ 125 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 

Gambar 7.4. Gambar strukturmikro Baja SS 2092 setelah dikeraskan dengan berbagai temperatur
austenitisasi, masing-masing dengan holding time 20 menit, kemudian diquench dan ditemper
pada 200 oC; a. 800 oC, diperoleh kekerasan 55 HRc, JK Fracture Number 10; b. 825 oC,
kekerasan 61,5 HRc, JK Fract. Nr 10; c. 850 oC, kekerasan 66 HRc, JK Fract Nr 10; d. 870 oC,
kekerasan 62,5 HRc, JK Fract. Nr 9, Ret. Aust. 12 %; e. 920 oC, kekerasan 62 HRc, JK Fract. Nr
7, Ret. Aust. 20 %; f. 970 oC, kekerasan 61 HRc, JK Fract Nr 5, Ret. Aust. 28 %.

‐ 126 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
Temperatur austenitisasi 800 oC memperlihatkan masih adanya perlit yang
menunjukkan bahwa reaksi eutektoid belum tuntas. Dengan austenitisasi pada 825 oC perlit
habis, karbida sudah mulai larut, tetapi masih belum cukup banyak karbon yang larut dalam
austenit, hardenability belum cukup tinggi, pada pendinginan terjadi bainit, kekerasan yang
terjadi juga belum cukup tinggi. Kekerasan tinggi diperoleh dengan pemanasan pada 850 oC,
yang menghasilkan struktur berupa martensit dengan sisa karbida. Ukuran butir austenit juga
masih halus (JK Fract. Nr 10). Pemanasan pada temperatur yang lebih tinggi akan
menampakkan adanya austenit sisa yang mengakibatkan turunnya kekerasan, dan terjadinya
pertumbuhan butir yang menimbulkan kegetasan.
Dengan pemanasan pada 920 dan 970 oC tampak banyak austenit sisa (berwarna putih),
kekerasanpun lebih rendah. Disamping itu tampak bahwa martensit berbentuk jarum-jarum
yang cukup besar, menunjukkan bahwa telah terjadi pertumbuhan butir yang cukup banyak.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa temperatur pemanasan yang baik untuk pengerasan baja SS
2092 ini sebaiknya antara 850 - 870 oC.
Pada kedua contoh austenitisasi di atas, pemanasan dilakukan dengan cukup cepat (130
o
C/dtk) ke temperatur yang dituju kemudian ditahan beberapa lama, transformasi berlangsung
dalam kondisi isothermal. Austenitisasi juga dapat dilakukan dengan pemanasan kontinyu,
dipanaskan dengan suatu laju pemanasan tertentu ke suatu temperatur untuk memperoleh
struktur austenit yang diinginkan, kemudian diquench. Untuk perancangannya dipergunakan
suatu Diagram Transformasi untuk Pemanasan Kontinyu dari baja yang akan dikeraskan tsb.
Sebagai contoh di bawah ini ditampilkan Diagram Transformasi untuk Pemanasan
Kontinyu dari Baja Cf 53 (0,51% C, 0,38% Si, 0,64% Mn, 0,022% Al, 0,005% N). Dari Gambar
7.5. tampak bahwa dengan pemanasan kontinyu dengan laju 0,22 oC/dt akan dapat diperoleh
austenit yang homogen bila telah mencapai temperatur 860 oC, yaitu setelah pemanasan selama
4000 detik (satu jam lebih). Dengan laju pemanasan 1 oC/dt temperatur yang dituju untuk
memperoleh austenit homogen adalah 880 oC dan lamanya pemanasan yang ditempuh 14 menit.
Dengan 10 oC/dt austenit homogen tercapai bila telah mencapai temperatur 920 oC, dan waktu
yang dibutuhkan untuk mencapai itu adalah 1,5 menit. Dengan laju pemanasan yang lebih
rendah austenit yang homogen dapat dicapai pada temperatur yang lebih rendah, tetapi waktu
pemanasannya akan lebih lama.
Sebenarnya, hal yang penting dalam melakukan austenitisasi bukanlah untuk
memperoleh austenit yang homogen atau tidak homogen, tetapi adalah apakah dengan suatu
proses austenitisasi tsb dapat mencapai kekerasan maksimum.
Dengan contoh Baja Cf 53 juga, dilakukan austenitisasi dengan laju pemanasan tertentu
kemudian setelah mencapai beberapa temperatur tertentu langsung diquenching. Setelah itu
dilakukan lagi dengan laju pemanasan yang berbeda-beda. Hasil pengukuran kekerasan yang
diperoleh setelah quenching diplot pada sebuah salib sumbu Kekerasan vs Temperatur
Pemanasan. Untuk masing-masing laju pemanasan diperoleh satu kurva, sehingga didapatkan
grafik seperti yang ditampilkan pada Gambar 7.6.
Dari Gambar 7.6 tsb tampak bahwa kekerasan maksimum 770 HV diperoleh dengan
quenching dari temperatur 875 oC setelah dipanaskan dengan laju 1 oC/dt. Dari Gambar 7.5
diketahui bahwa temperatur 875 oC diperoleh setelah pemanasan selama 14 menit.
‐ 127 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 

Gambar 7.5. Diagram Transformasi Pemanasan Kontinyu Baja Cf 53 (0,51% C, 0,38% Si, 0,64% Mn, 0,022%
Al, 0,005% N). Kondisi awal fully annealed, pemanasan pada 700 oC, ditahan selama 5 jam,
furnace cooled.

Kekerasan maksimum 770 HV tsb juga dapat diperoleh dengan quenching dari
temperatur sedikit di atas 900 oC setelah pemanasan dengan laju 10 oC/dt. Dari Gambar 7.5
diketahui bahwa untuk memanaskan sampai ke temperatur sedikit di atas 900 oC itu diperlukan
waktu pemanasan selama hampir 100 detik. Dari kedua contoh di atas dapat ditelusuri dari
Gambar 7.5 bahwa kekerasan maksimum tsb dapat terjadi bila austenitisasi menghasilkan
austenit homogen.
‐ 128 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 

Gambar 7.6. Kekerasan setelah diquench sebagai fungsi laju pemanasan dan tem-peratur austenitisasi dari baja
Cf 53, kondisi awal fully annealed.

Kondisi awal juga berpengaruh terhadap temperatur dan waktu-pemanasan. Struktur


yang lebih halus akan cukup dengan temperatur dan waktu-pemanasan yang lebih rendah.
Dengan kondisi awal dikeraskan dan ditemper temperatur austenitisasi dan waktu-
pemanasannya lebih singkat (Gambar 7.7).

Gambar 7.7. Kekerasan setelah diquench sebagai fungsi laju pemanasan dan tem-peratur austenitisasi dari
baja Cf 53, kondisi awal quenched & tempered.

Dari Gambar 7.6 dan Gambar 7.7 tampak bahwa untuk baja tsb kekerasan maksimum
yang dapat dicapai tetap sama, temperatur untuk mencapai kekerasan maksimum itu berbeda.
Misalnya untuk baja dengan kondisi awal fully annealed dengan laju pemanasan 1 oC/dt
kekerasan maksimum dapat tercapai bila quenching dilakukan setelah mencapai temperatur +
875 oC, sedang dengan kondisi awal quenched & tempered kekerasan tsb dapat dicapai setelah
mencapai temperatur 825 oC. Jadi dengan kondisi awal kristal yang lebih halus maka
transformasi perlit-austenit, ferrit-austenit dan kelarutan karbida ke dalam austenit akan terjadi
lebih awal (pada temperatur lebih rendah).
Dari kedua Gambar tsb juga tampak bahwa bila quenching dilakukan dari temperatur
yang lebih tinggi dari yang dibutuhkan kekerasan yang dicapai juga masih maksimum.
‐ 129 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
Baja paduan rendah hypoeutektoid kira-kira memerlukan waktu yang sama singkatnya
dengan baja karbon dengan kadar karbon yang sama. Untuk baja paduan eutektoid dan
hypereutektoid keadaannya agak lebih rumit. Untuk baja ini daerah temperatur pemanasan dan
waktu tahan yang akan menghasilkan kekerasan maksimum itu sangat sempit, bila pemanasan
kurang maka kadar karbon (dan unsur paduan) dalam austenit tidak cukup untuk menghasilkan
kekerasan yang maksimum, tetapi sebaliknya bila pemanasan berlebih akan terlalu banyak
karbon (dan unsur paduan) dalam austenit, dan ini menyebabkan banyak austenit sisa, yang
juga menyebabkan tidak tercapainya kekerasan maksimum.
Gambar 7.8 memperlihatkan hubungan antara kekerasan (setelah pengerasan) dengan
laju pemanasan dan temperatur austenitisasi, untuk baja hyper-eutektoid, baja ball bearing
100Cr6 (1,00 %C, 1,52 %Cr). Dari Gambar tampak bahwa kekerasan maksimum dapat dicapai
bila dipanaskan dengan laju pemanasan 1 oC/dt dan kemudian diquench setelah mencapai
temperatur 900 oC. Bila quenching dilakukan dari temperatur pemanasan lebih rendah maka
kekerasan juga akan lebih rendah, hal ini disebabkan karena belum cukup banyak karbida yang
larut selama pemanasan. Sebaliknya bila quenching dilakukan dari temperatur yang lebih
tinggi, kekerasan juga rendah, karena terlalu banyak karbida yang larut sehingga akan terlalu
banyak austenit sisa. Daerah temperatur ini lebih tinggi bila laju pemanasan lebih tinggi

Gambar 7.8. Kekerasan setelah diquench sebagai fungsi laju pemanasan dan temperatur austenitisasi
(continous heating) dari baja 100Cr6, kondisi awal fully annealed.

Bila pemanasan dilakukan dengan laju yang lebih tinggi, maka temperatur yang harus
dicapai sebelum quenching juga harus lebih tinggi. Dengan laju pemanasan 1 oC/dt quenching
harus dilakukan dari temperatur 900 oC, dengan laju pemanasan 10 oC/dt harus diquench dari
930 oC, dst.
‐ 130 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
Kedua contoh di atas adalah pengerasan dengan pemanasan kontinyu, dimana baja
dipanaskan dengan laju tertetu sampai ke temperatur tertentu kemudian diquench. Pada
austenitisasi dengan transformasi isothermal dilakukan pemanasan cepat ke suatu temperatur
kemudian ditahan pada temperatur tsb selama waktu tertentu sebelum diquench. Hasil
percobaan pengerasan dengan austenitisasi isothermal juga menunjukkan gejala yang sama.
Gambar 7.9 menunjukkan hasil Pengerasan dengan austenitisasi isothermal, pengaruh
temperatur dan waktu-tahanterhadap kekerasan setelah diquench dari baja 100Cr6, kondisi awal
fully annealed.

Gambar 7.9. Kekerasan setelah diquench sebagai fungsi waktu tahan dan temperatur austenitisasi dari baja
100Cr6, kondisi awal fully annealed

Pada percobaan tsb dilakukan pemanasan cepat ke suatu temperatur (laju pemanasan
130 C/detik). Pemanasan ke 950 oC dengan waktu tahan 2 - 4 detik akan menghasilkan
o

kekerasan maksimum. Dengan temperatur 900 oC diperlukan waktu tahan 30 – 60 detik, dengan
850 oC perlu 800 – 1200 detik. Tampak bahwa untuk temperatur pemanasan yang lebih tinggi
daerah waktu tahan lebih sempit, bahkan untuk temperatur yang terlalu tinggi (di atas 1000 oC)
kekerasan maksimum tidak tercapai.
Dengan temperatur pemanasan yang lebih rendah daerah waktu tahan yang dapat
menghasilkan kekerasan yang maksimum lebih lebar, waktu yang diperlukan makin lama.
Dapat diperkirakan juga bahwa dengan temperatur yang terlalu rendah kekerasan maksimum
tidak akan tercapai walaupun sudah dipanaskan dalam waktu yang sangat lama. Ini disebabkan
karena dengan temperatur yang terlalu rendah kelarutan karbida dalam austenit tidak cukup
tinggi.
Tidak seperti baja Cf 53, baja hypo-eutektoid, dimana untuk mendapatkan kekerasan
maksimum austenitisasi harus mandapatkan austenit homogen, pada baja 100Cr6 ini untuk
mencapai kekerasan maksimum austenitisasi untuk baja ini tidak boleh menghasilkan austenit
‐ 131 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
inhomogen, apalagi homogen, sebagian harue tetap berupa karbida. Bila kondisi austenitisasi
yang menghasilkan kekerasan maksimum dari Gambar 7.9 diplot pada Diagram Transformasi
untuk Pemanasan Isothermal dari baja 100Cr6 (Gambar 7.10) tampak bahwa austenitisasinya
berada di daerah Austenit + Karbida, masih jauh dari daerah Austenit Inhomogen.

Gambar 7.10. Diagram transformasi untuk pemanasan (isothermal) baja 100Cr6. Laju pemanasan ke
temperatur penahanan 130 oC/detik

Demikian juga bila diperiksa pada austenitisasi dengan pemanasan kontinyu, dimana
kekerasan maksimum dapat diperoleh dengan laju pemanasan 1 oC/dt ke temperatur 900 oC,
dengan laju pemanasan 10 oC/dt ke temperatur 930 oC, dengan laju pemanasan 1000 oC/dt ke
‐ 132 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
temperatur 1070 oC, posisinya pada Diagram Transformasi untuk Pemanasan Kontinyu dari
baja 100Cr6 (Gambar 7.11) berada pada daerah Austenit + Karbida. Demikian juga untuk laju
pemanasan yang lain, semuanya berada di daerah Austenit + Karbida, masih jauh dari daerah
Austenit Inhomogen.

Gambar 7.11. Diagram transformasi untuk pemanasan (kontinyu) baja 100Cr6.


Karakteristik yang serupa dengan yang ditunjukkan oleh baja 100Cr6 di atas juga
dijumpai pada Baja Tahan Karat yang Dapat Dikeraskan (Martensitic Stainless Steel) juga pada
‐ 133 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
Baja Perkakas Pengerjaan Dingin (Cold Work Tool Steel) High Carbon High Chromium D2 (C
= 1,50 %; Cr = 12,00 %, Mo = 1,00 %) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7.12. Pada
Percobaan ini pemanasan dilakukan mirip dengan kondisi dalam praktek sebenarnya,
dipanaskan dalam dapur sampai ke temperatur austenitisasi (980, 1000, 1020 dan 1040 oC lalu
ditahan selama beberapa menit kemudian diquench.

Gambar 7.12. Pengaruh Temperatur Austenitisasi dan Holding Time terhadap kekerasan Baja Perkakas D2.
Diameter spesimen 30 mm, heating-up time 10 menit.

Dari Gambar di atas tampak bahwa austenitisasi untuk Baja D2 ini yang akan
menghasilkan kekerasan tertinggi sebaiknya dilakukan pada temperatur 1020-1040 oC dengan
holding time sekitar 20 menit.
Dalam praktek laju pemanasan suatu benda kerja selalu berubah, bila benda kerja
dimasukkan ke dalam dapur pada saat dapur masih dingin maka pada mulanya laju pemanasan
rendah kemudian meninggi dan pada saat temperatur makin mendekati temperatur yang dituju
maka laju pemanasan melambat lagi. Bila benda kerja masuk ke dalam dapur pada saat dapur
sudah panas maka mulanya laju pemanasan tinggi, kemudian akan melambat setelah temperatur
makin mendekati temperatur yang dituju. Temperatur benda kerja dapat juga diperkirakan dari
warnanya, Tabel Warna untuk Pengerasan dan Penemperan dapat dilihat pada Lampiran.
Setelah temperatur yang dituju tercapai dimulailah penghitungan waktu tahan (holding
time). Holding time ini diperlukan untuk memberi kesempatan berlangsungnya transformasi
sampai tingkat yang diharapkan. Lamanya waktu tahan ini tergantung pada tingkat kelarutan
karbida dan ukuran butir yang diinginkan. Karena jumlah dan jenis karbida ini berbeda antara
‐ 134 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
baja yang satu dengan lainnya maka waktu tahan juga akan tergantung pada jenis bajanya dan
temperatur austenitisasi yang dipakai. Baja yang banyak mengandung unsur paduan penstabil
karbida tentu memerlukan waktu tahan yang lebih lama, dan/atau temperatur austenitisasi yang
lebih tinggi.
Untuk Baja hypoeutektoid pada saat tercapainya temperatur kritis atas Ac3 memang
struktur sudah (hampir) seluruhnya austenit. Tetapi pada saat itu austenit masih berbutir halus
dan kadar karbon dan unsur paduannya masih rendah/belum homogen, karena masih ada sisa-
sisa karbida yang belum larut (ini terjadi karena pemanasan yang tidak ekuilibrium). Untuk itu
biasanya baja perlu ditahan pada temperatur austenitisasi ini beberapa saat untuk memberi
kesempatan larutnya karbida dan lebih homogennya austenit.
Disamping itu laju pemanasan juga ikut mempengaruhi lamanya waktu tahan yang
harus diberikan. Dengan pemanasan yang sangat lambat, baja hypoeutektoid sudah mencapai
struktur austenit yang homogen sesaat setelah mencapai temperatur kritis atas A3, sehingga
dalam hal ini tidak lagi diperlukan waktu tahan, dapat langsung diquench. Ini dapat terjadi
karena selama waktu pemanasan mendekati temperatur austenitisasi sudah terjadi kelarutan
karbida kedalam austenit dan diffusi karbon dan unsur paduannya.
Dengan laju pemanasan yang lebih tinggi, maka waktu tidak cukup panjang untuk
terjadinya kelarutan karbida dan diffusi untuk homogenisasi austenit. Karena itu bila laju
pemanasan makin tinggi perlu diberi waktu tahan yang lebih panjang. Atau temperatur
austenitisasinya dinaikkan.
Lamanya holding time ini lebih singkat bila diambil temperatur austenitisasi lebih
tinggi. Di depan sudah dibahas batas-batas temperatur austenitisasi. Selain temperatur
austenitisasi lamanya holding time juga dipengaruhi oleh beberapa hal lain;
 Komposisi kimia baja, akan menentukan jumlah dan jenis karbidanya, karbida yang
lebih stabil memerlukan holding time lebih lama, misalnya Cr, Mo, W dsb.
 Ukuran penampang benda, benda yang kecil cenderung mengalami pendinginan lebih
cepat, karbidanya lebih halus, holding time dapat diambil lebih singkat.
 Laju pemanasan, laju pemanasan yang lambat memberi kesempatan lebih banyak
untuk terjadinya transformasi selama heating up, holding time lebih singkat
Beberapa hal berikut ini dapat dipakai sebagai acuan dalam menentukan lamanya
holding time:
 Baja konstruksi dari baja karbon dan baja paduan rendah, karbida tidak banyak dan
mudah larut, diperlukan waktu tahan yang singkat, 5 - 15 menit setelah mencapai
temperatur pemanasannya dianggap sudah memadai.
 Baja konstruksi dari baja paduan menengah, karbidanya lebih banyak, perlu waktu
lebih banyak, dianjurkan menggunakan waktu tahan 15 - 25 menit, tidak tergantung
ukuran benda kerja.
 Baja Flame dan Induction Hardening, digunakan temperatur pemanasan yang lebih
tinggi daripada proses pengerasan biasa, sehingga mempersingkat holding time
menjadi beberapa menit, bahkan dalam beberapa kasus sampai satu detik.

‐ 135 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
 Low alloy tool steel (umumnya baja hyper-eutektoid) memerlukan waktu tahan yang
tepat, agar kekerasan yang diinginkan dapat tercapai. Dianjurkan menggunakan 0,5
menit per milimeter tebal benda, sehingga waktunya berkisar antara 10 - 30 menit.
 High alloy chrome steel (termasuk Cold work tool steel D2, D3, D4, D5 dan D7)
membutuhkan waktu tahan yang paling panjang diantara semua baja perkakas, juga
tergantung pada temperatur pemanasannya. Holding time untuk baja ini ditentukan
oleh pilihan temperaturnya, diperlukan kombinasi temperatur dan holding time yang
tepat. Biasanya dianjurkan menggunakan 0,5 menit per milimeter tebal benda,
dengan minimum 10 menit, maksimum 1 jam.
 Hot-work tool steel mengandung karbida yang sulit larut, yang baru akan larut pada
sekitar 1000oC. Pada temperatur ini pertumbuhan butir dapat terjadi dengan sangat
cepat, karena itu waktu tahan harus dibatasi. Untuk pemanasan di dalam salt bath
holding time 15 - 30 menit biasanya sudah memadai. Untuk pemanasan dimana
benda kerja dimasukkan dalam box sebaiknya diambil temperatur pada batas bawah,
dan holding time diambil lebih panjang, maksimum 1 jam..
 High speed steel banyak mengandung unsur paduan pembentuk karbida yang sangat
kuat, Tungsten atau Molybden, karenanya untuk melarutkan karbidanya memerlukan
temperatur pemanasan yang sangat tinggi, 1200 - 1300 oC. Untuk mencegah
terjadinya pertumbuhan butir waktu tahan diambil hanya beberapa menit saja.
Biasanya untuk baja ini dilakukan preheating pada 800 – 1000 oC baru dicelupkan ke
dalam salt-bath (temperatur 1200 – 1300 oC) selama beberapa menit (Tabel 7.1)
kemudian diquench.

Tabel 7.1. Pengaruh tebal penampang terhadap lamanya immersion dalam salt bath,
Pada pengerasan High Speed Steel (HSS)

Pada beberapa literatur, dan juga pada brosur dari pabrik pembuat baja, dapat diperoleh
rekomendasi temperatur austenitisasi untuk pengerasan dari berbagai jenis baja, terutama untuk
baja perkakas. Salah satunya dapat dilihat pada Tabel 7.2, yang menunjukkan rekomendasi
temperatur austenitisasi dan quenching media untuk pengerasan dari beberapa baja perkakas.
Pada Tabel tsb juga dapat dilihat perkiraan kekerasan yang dapat dicapai setelah quenching dan
setelah tempering pada berbagai temperatur.
Tabel 7.3. memperlihatkan komposisi kimia dari beberapa baja perkakas di Tabel 7.2,
dan padanannya dengan baja perkakas dari Standar/Merk lain.

‐ 136 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
Tabel 7.2. Rekomendasi temperatur austenitisasi, quenching media dan kekerasan yang diperoleh setelah
Pengerasan dan tempering dari beberapa jenis baja perkakas.

Tabel 7.3. Komposisi kimia nominal beberapa Baja Perkakas AISI dan padanannya dengan Standar/Merk lain

7.1.2 Pendinginan (Quenching)


Untuk mencapai struktur martensit (yang dituju dalam melakukan pengerasan) maka
austenit yang sudah diperoleh harus didinginkan cukup cepat, setidaknya dapat mencapai laju
pendinginan kritis dari baja yang bersangkutan. Bila laju pendinginan yang terjadi dapat
‐ 137 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
mencapai/melampaui laju pendinginan kritis tsb maka hanya martensit yang akan terjadi dari
austenit, kekerasan akan maksimum. Tetapi bila laju pendinginan lebih kecil daripada laju
pendinginan kritis maka akan muncul struktur lain, bainit, perlit, bahkan mungkin juga ferrit,
sehingga kekerasan tidak lagi maksimum, makin jauh laju pendinginan dari laju pendinginan
kritis makin rendah kekerasan yang akan terjadi, bahkan mungkin tidak terjadi pengerasan,
tidak cukup banyak martensit yang diperoleh.
Untuk melakukan pendinginan ini maka benda kerja biasanya dicelupkan (quench) ke
dalam suatu media pendingin, biasanya berbentuk cairan (liquid) walaupun ada juga jenis baja
yang dapat dikeraskan dengan pendinginan di udara. Selama pencelupan panas dari benda kerja
akan mengalir ke dalam media pendingin, sehingga temperatur benda kerja akan turun.
Seberapa tinggi laju penurunan temperatur ini (=laju pendinginan) ditentukan oleh seberapa
cepat pengaliran panas tsb. Untuk itu perlu difahami bagaimana mekanisme perpindahan panas
selama quenching.
Pada saat benda kerja masuk ke dalam media pendingin (likuid) temperaturnya sangat
tinggi sehingga likuid yang menyentuh permukaannya berubah menjadi uap dan membentuk
film tipis yang menyelimuti benda kerja, tahapan ini dinamakan Vapour blanket stage.

Gambar 7.13. Tiga Tahapan dalam proses pendinginan benda kerja yang diquench.
‐ 138 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
Karena uap bukan penghantar panas yang baik maka laju perpindahan panas dari benda
kerja ke media pendingin (jadi juga pendinginan benda kerja) tidak begitu tinggi, tampak pada
Gambar 7.13, Kurva pendinginan benda yang diquench, pada tahap vapour-blanket ini kurva
agak landai.
Sesaat kemudian temperatur likuid disekitar blanket mencapai titik didih, makin banyak
uap yang terbentuk sehingga blanket tidak lagi mampu menempel di permukaan benda kerja,
akan lepas membentuk gelembung-gelembung (mendidih), mulai memasuki tahapan baru,
Boiling stage. Begitu blanket mulai lepas segera tempatnya diisi likuid baru, yang segera juga
berubah menjadi gelembung uap. Energi pembentukan uap ini tentunya diambil dari panas di
benda kerja, karena itu pada tahapan ini laju pendinginannya tinggi, tampak kurvanya paling
curam.
Tahapan berikutnya, Convection stage, mulai pada saat temperatur benda kerja mencapai
titik didih.likuid, gelembung uap mulai hilang, perpindahan panas terjadi dengan konveksi, dan
selisih temperatur antara benda kerja dengan likuid tinggal sedikit, karenanya laju pendinginan
akan sangat rendah.
Pendinginan dalam media pendingin berupa gas, misalnya udara, lebih sederhana karena
tidak ada perubahan fase dari media pendingin selama proses, tidak ada Vapour-blanket stage
dan boiling stage, langsung Convection stage saja. Laju pendinginan jauh lebih rendah
dibandingkan dengan laju pendinginan dengan media pendingin likuid, koeffisien konveksinya
jauh lebih rendah.

Gambar 7.14. Kurva pendinginan di sumbu sebuah batang baja tahan karat ø ½” panjang 2½” yang
diquench dalam berbagai media, menunjukkan cooling capacity dar media tsb.

‐ 139 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
Kekuatan/kemampuan pendinginan suatu media pendingin (likuid) banyak ditentukan
oleh lamanya Vapour-blanket stage, Vapour-blanket stage yang lebih singkat akan
mempersingkat waktu untuk mencapai temperatur “hidung” diagram transformasi, akan
menunjukkan kekuatan/kemampuan pendinginan yang lebih tinggi.
Ada sejumlah media pendingin yang biasa digunakan dalam proses pengerasan baja,
yaitu air, larutan garam/soda dalam air (brine), minyak, udara dan garam yang dicairkan (fused
salt bath). Gambar 4.14 menunjukkan laju pendinginan sebuah batang baja tahan karat yang
didinginkan dalam berbagai media tsb.
Kekuatan pendinginan dari berbagai media di atas dapat dinaikkan dengan memberikan
sirkulasi/agitasi pada media tsb. Adanya sirkulasi/agitasi ini dapat mempersingkat Vapour-
blanket stage dan bahkan akan menghilangkan tahapan ini sehingga laju pendinginan akan lebih
cepat, seperti yang telah dibahas di Bab 4 pembahasan mengenai Hardenabiliti
Air adalah media pendingin yang paling tua dan murah, dan kebetulan juga mempunyai
kapasitas pendinginan yang tinggi, hanya saja Vapour-blanket stagenya cukup panjang,
sehingga kurva pendinginannya akan dapat memotong kurva transforfasi austenit- ferrit/perlit
dari baja yang hardenabilitinya rendah. Ini dapat diperbaiki dengan menambah sedikit (5-10%)
soda atau garam dapur, brine.
Keburukan dari air dan brine adalah bahwa laju pendinginannya sangat tinggi pada
daerah temperatur pembentukan martensit sehingga akan menyebabkan terjadinya tegangan
akibat transformasi dan gradien thermal. Ini semua akan mendorong terjadinya keretakan pada
saat quenching.
Bahaya terjadinya retak pada saat quenching ke dalam air dapat dihindari/dikurangi
dengan cara mengangkat kembali baja yang diquench tadi pada saat mencapai temperatur Ms
(200 - 400oC) dan dengan cepat memindahkannya ke dalam minyak. Cara ini juga merupakan
suatu cara untuk menambah tebal pengerasan pada oil hardening low alloy steel.
Mengingat kapasitas pendinginannya yang sangat tinggi ini maka air biasanya
digunakan untuk pendinginan dari baja yang hardenabilitinya tidak begitu tinggi, seperti baja
karbon. Untuk baja paduan air sudah terlalu kuat, sehingga dapat menimbulkan retak atau
distorsi. Untuk baja paduan dipakai minyak atau bahkan udara.
Pendinginan dengan minyak akan lebih lambat daripada dengan air. Ada banyak macam
minyak yang dapat dipakai sebagai media pendingin untuk heat treatment, di samping ada
minyak yang memang dibuat khusus sebagai quenching oil, ada juga minyak pelumas/
pendingin yang dapat dipakai sebagai pendingin pada proses heat treatment,.misalnya minyak
mineral dengan kekentalan rendah (spindle oil) dan transformer oil.. Kapasitas pendinginannya
dapat dinaikkan dengan menambahkan beberapa additive.
Pada umumnya minyak mempunyai kapasitas pendinginan tertinggi pada temperatur
sekitar hidung diagram transformasi (± 550oC), dan agak rendah pada daerah temperatur
pembentukan martensit. Minyak biasanya dapat digunakan untuk baja paduan medium dan
rendah hanya untuk benda yang berpenampang kecil.
Cara lain untuk menaikkan kapasitas pendinginan adalah dengan menaikkan temperatur
minyak menjadi 50 - 80 oC, sehingga kekentalannya berkurang dan pengaliran panas akan lebih
baik. Gambar 7.15 memperlihatkan pengaruh temperatur terhadap kurva pendinginan suatu
‐ 140 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
batang baja yang diquench dalam minyak yang dipanaskan ke temperatur 32, 60 dan 80oC.
Tampak bahwa dengan temperatur lebih tinggi kapasitas pendinginan makin baik, hanya saja
untuk minyak standar laju pendinginan pada 500 oC menjadi lebih rendah bila minyak itu
dipanaskan sampai ke 80 oC.

Gambar 7.15. Pengaruh temperatur minyak terhadap laju pendinginan batang baja karbon,  25 mm x 75 mm.

Gambar 7.16. Perbandingan kurva


pendinginan benda yang di-
dinginkan dengan berbagai
media pendingin, air, mi-
nyak dan campuran air-
minyak.

‐ 141 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
Dengan mengemulsikan air dan "water soluable" oil dengan berbagai proporsi dapat
diperoleh media pendingin dengan berbagai kapasitas pendinginan. Tetapi kapasitas
pendinginannya masih lebih jelek daripada minyak sendiri (Gambar 7.16).
Ada juga media pendingin yang sedang dikembangkan berbagai kalangan, yaitu
polymer quenching media berupa campuran air dengan sekitar 10 % water-soluble polymer,
misalnya polyalkylene glycol atau polyvinyl alcohol. Media ini mempunyai kapasitas
pendinginan yang terletak antara air dan minyak. Selain memiliki kelebihan dalam hal kapasitas
pendinginan, media ini juga akan mengurangi ketergantungan akan minyak dan sekaligus juga
menghidari terjadinya bahaya kebakaran yang kadang dapat terjadi dalam penggunaan minyak.
Minyak sedikit banyak masih mengandung sejumlah komponen yang mudah menguap dan
terbakar. Gambar 7.17 menunjukkan perbandingan laju pendinginan dari batang baja Ø70 mm
panjang 150 mm yang diquench dalam polymer quenching media (Aquaquench) dengan
beberapa proporsi dibandingkan dengan air dan minyak.

Gambar 7.17. Kurva pendinginan baja Ø70 mm panjang 150 mm yang diquench dalam air,
Aquaquench 5 %, 10 %, 15 % dan dalam minyak.

Baja paduan tinggi dan baja paduan rendah (yang berpenampang kecil) dapat dikeraskan
dengan pendinginan udara. Udara mempunyai kapasitas pendinginan rendah, sehingga laju
pendinginan yang terjadi juga akan rendah. Tetapi dalam hal baja paduan hal ini justru
menguntungkan karena dengan laju pendinginan yang rendah thermal stress juga akan rendah,

‐ 142 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
sehingga benda kerja terbebas dari kemungkinan retak/distorsi.Di samping itu karena
pendinginannya yang lambat dimungkinkan untuk melakukan straightening selama proses
pendinginan. Salah satu kelemahan dari media ini adalah bahwa ada kemungkinan terjadinya
oksidasi pada permukaan benda kerja. Pada saat ini sudah jarang orang membuat komponen
struktural dari baja air-hardening karena harganya mahal dan dalam proses manufakturnya
cukup merepotkan karena harus diannil setelah penempaan atau rolling harus diaanil sebelum
dimachining.
Media pendingin lain yang sering dipergunakan adalah salt bath (garam yang
dilelehkan). Biasanya garam ini merupakan campuran dari beberapa garam, yang banyak
digunakan adalah sodium nitrite dan potassium nitrite dengan proporsi hampir berimbang,
digunakan untuk temperatur salt bath antara 160 - 500 oC. Ada juga campuran garam lain untuk
temperatur kerja 500 - 600 oC. Salt bath adalah media pendingin yang ideal untuk baja dengan
hardenabiliti cukup tinggi dengan ukuran benda kerja tidak terlalu besar. Salt Bath mempunyai
kapasitas pendinginan yang cukup tinggi untuk temperatur sampai sekitar 500 oC, dan akan
berkurang bila baja mencapai temperatur yang lebih rendah.
Kapasitas pendinginan dari Salt Bath akan lebih tinggi bila temperaturnya lebih rendah
dan/atau agitasi makin kuat (Gambar 7.18).

Gambar 7.18. Pengaruh temperatur Salt Bath agitasi terhadap laju pendinginan batang dari baja tahan karat
Ø 37 mm panjang 100 mm

7.1.3. Methode pemanasan


Pemanasan untuk pengerasan dapat dilakukan dengan berbagai cara, tergantung pada
jenis dapur yang digunakan. Pada proses pemanasan hal yang perlu mendapat perhatian selain
laju pemanasan adalah juga kemungkinan terjadinya oksidasi, karburisasi dan dekarburisasi.
‐ 143 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
Peristiwa ini terjadi karena adanya interaksi antara benda kerja dengan media pemanasannya.
Ada banyak jenis dapur untuk perlakuan panas, berikut ini dibahas beberapa jenis dapur
berkaitan dengan media pemanasannya.
Dapur Salt Bath berupa wadah (pot dari metal/baja atau dari keramik) berisi campuran
garam yang dipanaskan sampai mencair dan mencapai temperatur pemanasan tertentu. Dapur
Salt Bath dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan, selain untuk austenitisasi pada proses
pengerasan, juga untuk pemanasan pada proses tempering, untuk carburizing, cyaniding,
bahkan juga untuk pedinginan pada pengerasan, martempering dan austempering. Untuk
masing-masing keperluan digunakan campuran garam yang berbeda, bahkan juga jenis
dapur/bahan potnya, tergantung pada sifat reaktifitas garam dan juga temperatur kerjanya. Jenis
rancang bangun dari dapur salt bath dapat dilihat pada Gambar 7.19.

Gambar 7.19. Rancang bangun dapur salt bath dengan pemanasan dari luar pot (atas) a. Gas or oil fired,
b. Electrical Resistance heated; dengan pemanasan dari dalam pot (bawah) c. Electrically
heated, immersed electrode, d. Electrically heated, submerged electrode

Pada umumnya campuran garam untuk salt bath ini dibuat dengan suatu formula tertentu
oleh berbagai supplier, pemakai tinggal mengikuti petunjuk yang diberikan. Untuk keperluan
pemanasan (austenitisasi) harus dipakai campuran garam yang bersifat netral, misalnya dengan
komposisi dasar:
45% NaCl + 55% KC1 temperatur kerja 675-900°C
20% NaCl + 80% BaCl2 temperatur kerja 675-1060°C
100% BaCl2 temperatur kerja 1025-1325 °C
‐ 144 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
Walaupun pada awalnya salt bath bersifat netral, selama pemakaian akan berubah,
karena ada kontak dengan atmosfer maka oksigen dapat larut dalam salt bath, dan ini akan
mengoksidir besi dan oksid besi ini akan bersifat dekarburising terhadap benda kerja. Karena
itu selama pemakaian kondisi salt bath harus selalu dijaga, karenanya harus mengikuti dengan
tepat petunjuk dari pembuat.
Keberadaan oksida besi yang larut dalam salt bath dapat diperiksa dengan mencelupkan
batang grafit ke dalam salt bath, grafit akan mereduksi oksid besi tsb, dan lapisan besi akan
menempel di permukaan grafit. Salt bath yang sudah tercemar oksid besi ini dapat diregenerasi
dengan menambahkan beberapa potongan batu tahan api silika ke dalam salt bath, kemudian
lumpur yang terjadi secara berkala harus dibuang.
Untuk mengetahui apakah salt bath bersifat karburising atau dekarburising dapat
dilakukan dengan mencelupkan lembar foil baja ke dalam salt bath selama beberapa menit
kemudian diquench. Bila foil menjadi lebih getas maka berarti salt bath bersifat karburising,
sedang bila foil menjadi lebih lunak berarti salt bath bersifat dekarburising.
Pada dasarnya pemanasan dengan salt bath cukup aman dari karburisasi/dekarburisasi
dan juga pembentukan kerak selama kondisi salt bath tetap terjaga, petunjuk dari pembuat
diikuti dengan baik. Di samping itu transfer panas ke benda kerja cukup cepat pemanasan
berlangsung lebih singkat, biasanya benda kerja sebelum dimasukkan ke dalam salt bath
memerlukan prekeating, antara lain untuk menghindari laju pemanasan yang terlalu cepat.
Gas/Oil fired muffle furnace terdiri dari sebuah ruang dimana gas hasil pembakaran
minyak/gas dialirkan ke dalamnya untuk memanaskan benda kerja. Dengan mengatur
komposisi gas/udara yang masuk maka akan dapat diperoleh atmosfer dalam dapur yang netral
terhadap jenis baja yang dipanaskan. Dengan pengaturan yang tepat pemanasan dengan dapur
ini cukup aman dari kemungkinan oksidasi, karburisasi/dekarburisasi.
Electrically heated muffle furnace hampir sama dengan muffle furnace di atas, hanya
saja pemanasannya dengan tahanan listrik. Ada type yang atmosfernya dapat dikontrol sehingga
cukup aman baja yang dipanaskan, ada juga yang atmosfernya tidak dikontrol ada kemungkinan
dapat terjadi oksidasi, atau dekarburisasi. Adanya oksida seringkali memang sulit dihindari,
tetapi terjadinya lapisan oksid yang sangat tipis biasanya tidak jadi masalah, tetapi bila cukup
tebal (mencapai 0,005 inch = 0,127 mm) akan menghambat laju pendinginan. Ada beberapa
upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya hal tsb.
Dengan meletakkan benda kerja dalam boks kemudian ditimbun dengan protective
material (packing media) yang bersifat netral terhadap baja yang dilindungi. Sayangnya tidak
ada material yang cocok sebagai pelindung dari semua jenis baja, suatu material tertentu hanya
bersifat netral terhadap baja dengan kadar karbon tertentu, bahkan untuk temperatur pemanasan
tertentu. Salah satu tujuan dari penggunaan bahan pelindung ini adalah untuk mencegah
bereaksinya udara dengan permukaan benda kerja (baja).
Salah satu bahan yang sering dipergunakan untuk keperluan ini adalah cast iron chips
(geram besi tuang). Udara yang ada dalam boks tidak mengoksidir baja tetapi akan mengoksidir
geram besi tuang, baja akan tetap aman. Geram besi tuang cukup inert terhadap baja karbon
dan baja paduan rendah dengan kadar karbon antara 0,6 – 1,0 %. Juga terhadap baja perkakas
high – chromium type D2 dan D6 selama masih dalam temperatur pemanasannya yang biasa.
‐ 145 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
Terhadap baja perkakas pengerjaan panas (type H) yang kadar karbonnya sekitar 0,3 %, geram
besi tuang bersifat sedikit karburising. Geram besi tuang sebaiknya tidak dipergunakan dengan
temperatur pemanasan tinggi, di atas 1050 oC, karena dengan 1000 oC sudah ada gejala terjadi
sintering.

(a)  (b)
Gambar 7.20. Pengaruh packing media terhadap kadar karbon (C), kekerasan (HV) dan austenit sisa (γ) dari
(a) baja perkakas W1, pemanasan 790 oC, dari (b) baja Cr-Ni-Mo, pemanasan 820 oC

Charcoal/Coke fines (Serbuk Arang Kayu/Serbuk Kokas, bukan sebagai carburising


compound) akan bersifat dekarburising terhadap baja karbon dan baja paduan rendah dengan
kadar karbon medium sampai tinggi. Sedang terhadap baja perkakas high chromium dan baja
‐ 146 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
perkakas pengerjaan panas serbuk ini bersifat karburising. Rupanya yang berperan
mempengaruhi sifat karburising/dekarburising ini adalah temperatur pemanasannya, baja
karbon medium/tinggi temperatur pemanasannya lebuh rendah daripada baja perkakas high-
chromium dan baja perkakas pengerjaan panas. Gambar 7.20 sampai 7.21 memperlihatkan
pengaruh packing mediaterhadap kadar karbon, kekerasan dan austenit sisa di permukaan
setelah pemanasan dengan heating-up time 2 jam dan holding time 15 menit, dari beberapa baja
perkakas.

(a)  (b)
Gambar 7.21. Pengaruh packing media terhadap kadar karbon (C), kekerasan (HV) dan austenit sisa (γ) , dari
(a) baja perkakas D6, pemanasan 980 oC, dari (b) baja perkakas H13, pemanasan 1000 oC.

‐ 147 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
Kadang-kadang benda kerja dibungkus dengan kertas sebelum ditimbun dengan cast
iron chips, ini juga dimaksudkan untuk melindungi permukaan benda kerja dari kerusakan
(cacat) karena tergores, disamping perlindungan terhadap reaksi di permukaan.
Dalam beberapa hal boraks juga dapat dipakai untuk melindungi terhadap dekarburisasi,
untuk itu serbuk boraks ditebarkan di permukaan yang akan dilindungi, pada waktu pemanasan
boraks akan melelh dan membentuk lapisan yang akan berfungsi sebagai pelindung. Sebelum
diquench lapisan tersebut harus dibersihkan/disikat lebih dulu. Bila quenching dilakukan dalam
air maka lapisan boraks akan terlepas dan akan meninggalkan warna cerah/mengkilat.
Di pasaran juga ada sejumlah pelindung berbentuk pasta (protective paste), yang
dioleskan ke permukaan benda kerja sebelum pemanasan. Masing-masing pasta tsb
direkomendasikan untuk jenis baja tertentu. Untuk menguji effektifitas suatu pasta terhadap
suatu jenis baja dapat dilakukan pengujian dengan cara mengaplikasikan pasta tsb pada
sebagian dari sekeping baja tsb kemudian baja tsb dipanaskan ke temperatur austenitisasinya,
ditahan selama waktu tertentu kemudian diquench. Setelah itu diukur kekerasannya, baik yang
terlindungi maupun yang tidak terlindungi. Contoh hasil pengujian tsb seperti tampak pada
Gambar 7.22 dan 7.23.

Gambar 7.22. Hasil percobaan dengan pasta pelindung Marcal CR 20 pada baja perkakas H13, dengan
pemanasan pada 1100 oC selama 30 dan 120 menit, dan didinginkan di udara.

Ada juga cara perlindungan dengan menggunakan lembaran tipis baja tahan panas (Heat
resisting steel foil) dimana benda kerja dibungkus dengan foil tsb, sehingga selama pemanasan
benda kerja akan terlindung dari atmosfer dalam dapur. Foil ini tersedia dalam bentuk lembaran
maupun dalam bentuk kantong.
‐ 148 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 

Gambar 7.22. Hasil percobaan dengan pasta pelindung Marcal CR 20 pada baja perkakas D2, dengan
pemanasan pada 1050 oC selama 2 jam, dan didinginkan dalam minyak, ditemper pada 180 oC
selama 2 jam

Controlled atmospheres adalah cara perlindungan dengan mengendalikan suasana


atmosphere ruang pemanasan, ruang pemanasan akan dialiri gas yang berfungsi sebagai
pelindung. Ruang pemanasan ini dapat berupa ruang dapur atau berupa kotak kedap yang ada
saluran masuk dan keluarnya gas pelindung. Gas pelindung ini biasanya dibuat di plant terpisah
kemudian dialirkan ke ruang pemanasan. Ada beberapa jenis gas pelindung:
1. Exothermic Gas, dihasilkan dari pembakaran exothermik dari campuran gas bahan
bakar dengan udara sehingga dihasilkan pembakaran yang tidak sempurna. Sebelum
digunakan gas ini terlebih dulu dibersihkan dari CO2 dan H2O sehingga gas akan
terdiri dari CO, N2 dan H2, tidak bereaksi dengan baja.
2. Endothermic Gas, dihasilkan dari pembakaran endothermik. Campuran gas propan
atau propylene dengan udara (dengan proporsi tertentu) dialirkan ke sebuah reaktor
dimana gas dibakar sehingga menghasilkan carrier gas dengan carbon potential
tertentu (0,40 %), gas ini yang akan dialirkan ke dalam ruang pemanas. Gas ini
cukup aman terhadap baja dengan kadar karbon menengah. Untuk baja dengan kadar
karbon lebih tinggi digunakan carrier gas dengan carbon potential lebih tinggi (lihat
Tabel 7.4). Carbon potential dari gas disesuaikan dengan kadar karbon yang larut
dalam baja pada temperatur pemanasan.
3. Innert Gas, adalah protective gas yang ditinjau terhadap kandungan karbon, oksigen
dan nitrogennya, tidak reaktif terhadap baja.. Sebenarnya yang benar-benar
memenuhi definisi di atas adalah gas mulia seperti argon dsb. Untuk keperluan

‐ 149 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
perlakuan panas biasanya gas yang dipakai sebagai protecrive gas yang dapat
dianggap innert adalah gas nitrogen.
Salah satu cara sederhana adalah menggunakan boks pemanasan (annealing box)
yang akan diletakkan di dalam ruang pemanasan. Gas dialirkan dari tabung nitrogen
ke dalam boks pemanasan yang mempunyai saluran masuk dan keluar. Gas dialirkan
selama pemanasan berlangsung. Ini adalah cara yang cukup murah untuk melakukan
'hardening in a protective atmosphere'.

Tabel 7.4. Pilihan Carbon Potential carrier gas untuk pemanasan berbagai jenis baja

Vacuum hardening , pemanasan dalam kondisi vakum. Ini memerlukan


dapur khusus yang kedap dan dilengkapi dengan pompa vakum. Benda kerja
dimasukkan ke dalam dapur dalam keadaan dingin. Setelah ditutup ruang
divakum, biasanya sampai 10-2 torr (1 torr ~ 1 mmhg = 0.00131578935941 atm)
dapur dipanaskan/diaustenitisasi. Setelah pemanasan itu dapur dan isinya
didinginkan denganaliran nitrogen (dalam beberapa hal khusus, dengan argon).
Pada model yang lebih baru ada fasilitas oil quenching di dalam dapur, quenching
dilakukan dalam keadaan vakum (Gambar 7.23).

Gambar 7.23. Vacuum furnace, pendinginan dapat dengan gas atau dengan minyak.
‐ 150 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
Selain masalah oksidasi, karburisasi/dekarburisasi, yang perlu juga diperhatikan adalah
laju pemanasan. Dalam hal ini yang banyak berpengaruh adalah jenis dan kapasitas pemanasan
dapur, di samping juga beban dapur dan penggunaan annealing box. Salt bath berpotensi
memberikan laju pemanasan tinggi, muffle furnace akan lebih lambat, dan akan lebih lambat
lagi bila menggunakan annealing box (cast iron chips).
Pemanasan dengan salt bath, laju pemanasannya tinggi dapat menimbulkan kerusakan,
terutama untuk benda dengan ukuran penampang berbeda, bagian yang lebih besar mengalami
kenaikan temperatur yang lebih lambat daripada yang kecil, dapat menimbulkan tegangan
/distorsi/keretakan. Untuk menghindari itu dilakukan preheating sampai ke temperatur cukup
tinggi (sampai mendekati A1). Untuk benda dengan penampang sederhana (misalnya berbentuk
silindrik) dan ukurannya kecil/tipis preheating hanya untuk menghilangkan kelembaban yang
menempel di permukaan, tidak perlu temperatur yang tinggi. Sedang pemanasan menggunakan
muffle furnace tidak perlu preheating karena pemanasannya lambat.
Pada umumnya dapur untuk perlakuan panas dilengkapi alat untuk mengontrol
temperatur, setidaknya untuk mengontrol temperatur austenitisasi, agar kenaikan temperatur
berhenti pada temperatur yang diinginkan tsb. Pada awal pemanasan tentunya temperatur di
permukaan akan lebih tinggi daripada di tengah. Pada saat temperatur di permukaan makin
mendekati temperatur yang dituju, selisih temperatur antara di permukaan dan di tengah akan
makin kecil. Pada saat temperatur permukaan telah mencapai temperatur yang dituju temperatur
di tengah dapat dianggap sama, seperti terlihat pada Gambar 7.24 & 7.25.

Gambar 7.24. Kurva pemanasan batang baja yang dipanaskan dalam salt bath 1000 oC. (Garis penuh untuk
permukaan dan garis putus-putus untuk sumbu).

Gambar 7.24 menggambarkan temperatur di permukaan dan di tengah suatu batang baja
Ø 25 mm, 50 mm dan 100 mm yang dipanaskan dalam salt bath sampai ke temperatur
austenitisasi 1000 oC. Tampak bahwa pada awal pemanasan ada selisih temperatur antara di
‐ 151 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
permukaan dan di tengah (selisih ini lebih kecil pada benda yang berukuran lebih kecil, pada
batang Ø 25 mm bahkan tidak tampak ada selisih), makin mendekati temperatur yang dituju
selisih ini makin kecil dan akhirnya akan sama pada ppermukaan mencapai temperatur setting.

Gambar 7.25. Kurva pemanasan batang baja ditimbun dengan geram besi tuang, dipanaskan dalam muffle
furnace 1000 oC. Diameter box masing-masing 50 mm, 75 mm dan 140 mm. (Garis penuh
untuk permukaan dan garis putus-putus untuk sumbu).

Pemanasan dengan muffle furnace dan menggunakan box dengan geram besi tuang akan
menghasilkan laju pemanasan lebih lambat, tampak pada Gambar 7.25 bahwa selisih
temperatur antara permukaan dengan tengah hanya sedikit, dan ukuran benda yang tidak
menampakkan perbedaan temperatur ini menjadi semakin besar.
Laju pemanasan dan lamanya heating-up time tidak hanya tergantung pada ukuran
benda kerja tetapi juga pada kapasitas pemanasan dapur, degree of packing (bila menggunakan
boks) dan beban yang dipanaskan dalam satu dapur. Karenanya perlu pengamatan/pemahaman
tentang tingkah-laku masing-masing dapur terhadap benda kerja dari berbagai macam ukuran.
Laju pemanasan dan heating up time ini ikut menentukan lamanya holding time.
Pemanasan dengan laju pemanasan rendah hampir tidak memerlukan holding time, sedang yang
dipanaskan dengan laju pemanasan tinggi memerlukan holding time lebih panjang, karena
dengan pemanasan yang cepat tidak sempat terjadi diffusi/transformasi dengan sempurna,
sedang dengan pemanasan lambat selama mendekati temperatur austenitisasi sudah terjadi
diffusi/transformasi cukup banyak sehingga pada saat tercapainya temperatur austenitisasi
transformasi/diffusi yang diharapkan sudah berlangusng sempurna.
Perlu juga diingat bahwa selama pemanasan benda kerja berada pada temperatur tinggi,
karenanya kekuatan luluhnya akan rendah, sehingga perlu dijaga agar benda kerja tidak
terdeformasi sebagai akibat dari gaya-gaya baik gaya beratnya sendiri atau gaya dari sebab lain.
Jadi misalnya benda yang berupa batang memanjang jangan ditumpu hanya pada ujung-
‐ 152 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
ujungnya saja karena akan dapat melentur oleh gaya beratnya sendiri, sebaiknya ditumpu di
banyak tempat atau digantung vertikal.

7.1.4. Methode Pendinginan


Pendinginan untuk pengerasan baja, biasanya dengan pencelupan langsung (direct
quenching) sampai ke temperatur kamar, dapat juga dengan pendinginan bertahap (stepped
quenching atau interrupted quenching).
Pencelupan langsung adalah cara pendinginan untuk pengerasan yang mula-mula sekali
dikenal, dilakukan dengan mencelupkan benda kerja ke dalam suatu media pendingin
(quenching), dari temperatur pengerasan langsung sampai ke temperatur kamar. Media
pendingin yang dipergunakan biasanya air, minyak atau udara.
Pendinginan dengan cairan menghasilkan laju pendinginan lebih tinggi daripada dengan
udara. Dengan pendinginan yang cepat ini menyebabkan perbedaan temperatur antara
permukaan dengan bagian tengah pada saat memasuki Ms menjadi lebih besar (Gambar 7.26),
dapat menyebabkan terjadinya tegangan dalam yang dapat menyebabkan terjadinya distorsi
atau bahkan retak (Bab 5 Tegangan Sisa). Untuk mengurangi kemungkinan ini pencelupan
harus dilakukan dengan cermat. Petunjuk di bawah ini dapat membantu :

Gambar 7.26. Kurva pendinginan direct quenching menunjukkan ada perbedaan temperatur antara permukaan
dengan bagian tengah pada saat bertransformasi menjadi martensit.

Benda yang terdiri dari bagian yang tebal dan tipis harus dicelup dengan bagian tebal
tercelup lebih dulu.
Benda yang kurus panjang seperti screw tap, reamer dan sebagainya harus dicelup
dengan arah vertikal.
Benda yang berbentuk pelat tipis harus dicelup ke arah sisinya.
Benda yang cekung jangan menelungkup karena akan menyebabkan udara terperangkap
di bawahnya dan laju pendinginan akan terhambat, kekerasan akan lebih rendah..

‐ 153 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
Gambar 7.27 menunjukkan cara pencelupan benda kerja ke dalam media pendingin
dengan benar, untuk menghindari terjadinya distorsi atau ketidak-seragaman kekerasan

Gambar 7.27. Cara yang benar untuk pencelupan ke dalam media pendingin dari benda dengan bentuk
tertentu.

Selain itu kemungkinan terjadinya distorsi/retak dapat dicegah dengan pendinginan


bertahap (stepped quenching), mendinginkan dari temperatur austenitisasi dan menahan
pendinginan pada temperatur di atas Ms, baru beberapa saat kemudian mendinginkan kembali
dengan laju berbeda. Ada beberapa proses yang melakukan seperti ini, antara lain
martempering, skemanya ditampilkan pada Gambar 7.28.

Gambar 7.28. Diagram yang menunjukkan kurva untuk stepped quenching, martempering..

‐ 154 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
Pada martempering pendinginan dilakukan bertahap, yaitu quenching ke dalam salt bath
sampai ke temperatur sedikit di atas Ms, dibiarkan di sini selama beberapa saat untuk memberi
kesempatan menyamakan temperatur di permukaan dengan di bagian dalam. Tetapi waktu
tahan ini tidak boleh terlalu panjang, bila terlalu lama maka austenit bertransformasi menjadi
bainit, tidak tercapai kekerasan yang maksimum. Waktu tahan biasanya 1 - 3 menit per
milimeter tebal benda. Setelah itu benda kerja dikeluarkan dari salt bath dan didinginkan di
udara.
Martensit terbentuk pada saat pendinginan di udara ini. Karena itu pendinginan ini
relatif lambat dan dimulai dari temperatur yang hanya sedikit di atas temperatur pembentukan
martensit maka transformasi menjadi martensit berlangsung hampir bersamaan pada seluruh
penampang benda, sehingga tegangan akibat perbedaan saat transformasi martensit hampir
tidak ada. Karena struktur yang terjadi adalah martensit maka ini akan memerlukan tempering.
Austempering, mirip dengan martempering, diquench dengan salt bath ke temperatur
sedikit di atas Ms dan dibiarkan sampai transformasi menjadi bainit selesai baru kemudian
diinginkan di udara (Gambar 7.29). Dengan cara ini tidak diperoleh martensit, tetapi bainit
bawah yang cukup keras dan lebih ulet/tangguh daripada martensit (karena itu tidak lagi
diperlukan tempering). Dengan melakukan austempering dimungkinkan untuk memperoleh
ketangguhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang diperoleh dari quench and temper,
pada tingkat kekerasan yang sama. Tidak terjadi tegangan yang besar, karenanya juga
kemunginan terjadinya distorsi makin kecil.

Gambar 7.29. Diagram yang menunjukkan kurva untuk stepped quenching, austempering..

Baja untuk martempering (juga austempering) ini harus mempunyai hardenabiliti cukup
tinggi dan benda kerja tidak boleh terlalu besar agar dapat dipastikan bahwa permukaan dan
inti dapat diquench tanpa memotong hidung diagram transformasinya. Benda kerja juga jangan
terlalu besar agar waktu untuk menyamakan temperatur di inti dengan permukaan tidak terlalu
panjang (tidak memasuki transformasi bainit, pada martempering). Karena itu baja untuk
martempering biasanya adalah dari jenis oil-hardening atau air-hardening steel.
‐ 155 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
Tabel 7.2 memperlihatkan temperatur austenitisasi, temperatur martempering dan
diameter benda kerja maksimum untuk martempering dari beberapa baja perkakas.

Tabel 7.2. Temperatur austenitisasi dan temperatur martempering untuk berbagai baja perkakas.

Kekerasan yang dihasilkan tergantung pada temperatur salt bath pendi-nginnya. Makin
tinggi temperaturnya makin rendah kekerasan yang diperoleh.
Baja yang dapat dimartempering juga dapat diaustempering dengan tebal/ diameter
maksimum yang sama. Juga beberapa jenis low alloy steel (sampai diameter 10 mm) dan carbon
steel (sampai diameter 5 mm) dapat diaustempering. Sedang high alloy steel biasanya jarang
diaustempering karena waktu untuk transformasi menjadi bainit sangat panjang, tidak
ekonomis.
Patenting, dapat dianggap sebagai suatu varian dari austempering, biasanya dilakukan
pada proses pembuatan kawat dari baja karbon atau baja paduan rendah dengan kadar karbon
cukup tinggi. Patenting dilakukan terhadap wire rod sebelum didrawing. Pemanasan
menggunakan dapur berbentuk tube dimana wire rod dipanaskan saat melewati tube. Keluar
dari tube furnace wire rod didinginkan dengan melewati bak berisi molten lead (Timbal cair)
dengan temperatur sekitar 500 oC. Keluar dari molten lead wire rod didinginkan di udara, baru
kemudian mulai masuk ke drawing dies. Skemanya ditunjukkan pada Gambar 7.30.

Gambar 7.30. Diagram yang menunjukkan kurva untuk stepped quenching, patenting
‐ 156 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
Transformasi austenit berlangsung pada temperatur sekitar 500 oC (temperatur sekitar
hidung diagram transformasi), sehingga struktur yang terjadi adalah perlit halus, yang
mempunyai keuletan sangat tinggi, cocok untuk diproses dengan wire drawing.

7.2. Penemperan
Baja yang dikeraskan dengan pendinginan celup menjadi martensit akan sangat keras
tetapi juga getas. Dengan memanaskan kembali martensit ini akan bertransformasi menjadi
berbagai produk transformasi, yang lebih ulet/tangguh (lihat Bab 2).
Penemperan harus segera dilakukan, biasanya sebelum baja mencapai temperatur
kamar, sekitar 50 - 75 oC. Penemperan dilakukan dengan memanaskan kembali martensit ke
suatu temperatur dan menahan pada tempertur tersebut selama beberapa saat (1 – 2 jam untuk
tiap inch tebal benda) kemudian didingin-kan kembali. Tingginya temperatur pemanasan dan
lamanya waktu tahan (tempering time) sangat menentukan kekerasan yang terjadi setelah
penemperan.
Dengan melakukan penemperan pada berbagai temperatur (dengan waktu temper
tertentu) diperoleh variasi kekerasan setelah penemperan. Temperatur temper dan kekerasan
yang terjadi diplot dalam suatu grafik kekerasan-temperatur temper diperoleh suatu kurva
temper (tempering curve) seperti pada Gambar 7.31. Gambar itu menunjukkan hubungan antara
kekerasan yang terjadi setelah penemperan (hardness after tempering) dengan temperatur
temper. Pada Gambar itu juga diperlihatkan kurva untuk penemperan dengan berbagai waktu
temper (0,1, 1, 10 dan 100 jam).

Gambar 7.31. Kurva temper dari baja H 13, dengan berbagai waktu temper.
‐ 157 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
7.2.1. Parameter temper (tempering parameter)
Ternyata bahwa kekerasan sesudah penemperan tidak hanya dipengaruhi oleh
temperatur, tetapi juga waktu penemperan. Holomon dan Jaffe menyatakan hubungan ini
dengan suatu parameter temper (tempering parameter). Kekerasan yang sama akan diperoleh
bila penemperan dilakukan dengan parameter temper yang sama. Parameter temper dinyatakan
sebagai :
P = T ( k + log t )
dimana
P = parameter temper
T = temperatur temper (absolut, oK atau oR)
k = konstanta (20 untuk temperatur oK, literatur lain menggunakan k = 18 untuk T
dalam oR)
t = waktu temper (jam)
Hubungan antara parameter temper, temperatur temper (oF) dan waktu temper
ditunjukkan dalam grafik pada Gambar 7.32.

Parameter = (F+460)(18+log time in hour)x103

Gambar 7.32. Hubungan antara parameter temper (oF) dengan temperatur dan waktu temper
Dari kurva temper, untuk setiap titik dapat dicari harga parameter temper dan kekerasan
setelah temper untuk titik tersebut. Selanjutnya dari hasil perhi-tungan itu diplot suatu kurva
yang menggambarkan kekerasan setelah temper sebagai fungsi dari parameter temper, kurva
ini dinamakan master curve.
Dengan master curve dapat dicari berapa parameter tempernya bila diinginkan suatu
kekerasan tertentu. Selanjutnya dengan parameter temper tersebut dapat dicari temperatur dan
waktu tempernya dengan menggunakan formula di atas (dengan menetapkan salah satu).
‐ 158 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 

Gambar 7.33. Master curve untuk penemperan dari baja H 13

Akan lebih mudah lagi bila kurva temper digabungkan dengan grafik parameter temper,
seperti terlihat pada Gambar 7.34. Bila diketahui kekerasan yang diinginkan maka dapat dilihat
temperatur tempernya. Dengan menarik garis ke bawah hingga memotong garis temperatur
(garis miring), dapat dipilih temperatur yang diinginkan, dari perpotongan itu ditarik garis ke
kiri untuk melihat waktu tempernya.

7.2.2. Kekerasan setelah temper


Unsur paduan, selain mempermudah terjadinya martensit juga menghambat
dekomposisi martensit pada saat penemperan. Jaffe dan Gordon membuat suatu formula untuk
memperhitungkan temperatur temper bila diinginkan harga kekerasan setelah tempering
tertentu berdasarkan komposisi kimia dari baja tersebut. Rumus ini berlaku dengan asumsi
bahwa dengan pengerasan diperoleh struktur martensitik. Rumusnya :
TF = 30 (Hc – Ha) atau TC = 16,67 (Hc – Ha) – 17,8
Dimana:
TF (TC) = temperatur temper dalam oF (oC)
Hc = kekerasan Rc dihitung berdasarkan komposisi kimia diper-oleh dari
Gambar 7.35 dan 7.36)
Ha = kekerasan Rc setelah tempering, yang diinginkan
Rumus ini berlaku untuk waktu temper 4 jam
Ukuran butir juga berpengaruh terhadap Hc , butir yang halus menaikkan ketahanan
terhadap pelunakan dengan harga sebagai berikut:
Nomor ukuran butir ASTM 4 6 8 10
Kenaikan Hc 0,6 0,9 1,2 1,5
‐ 159 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 

Gambar 7.34. Kurva temper baja H 13 dan grafik parameter temper

Contoh:
Berapa temperatur temper bila diinginkan kekerasan setelah temper dari baja SS 2541
(0,33 %C; 0,25 %Si; 0,60 %Mn; 1,30 %Cr; 1,20 %Ni; 0,15 %Mo; dengan ukuran butir austenit
ASTM no.6), adalah 40 RC. Harga Hc yang diperoleh dari komposisi kimia baja yang dicari dari
Gambar 7.35 dan 7.36:

Unsur C Si Mn Cr Ni Mo ASTM No. Total


Kadar (%) 0,33 0,25 0,60 1,30 1,20 0,15 6
Hc 62 0,15 0,95 3,30 0,20 0,20 0,90 67,70
Maka temperatur temper Tc = 16,67 ( 67,70 – 40 ) – 17,8 = 444 oC

‐ 160 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 

Gambar 7.35. Kenaikan kekerasan Hc berdasarkan kadar karbon, dan kekerasan setelah subzero treatment dan
temper 100 oC

Gambar 7.36. Kenaikan kekerasan Hc sebagai pengaruh unsur paduan


‐ 161 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
Grange, Hribal dan Porter mempelajari pengaruh berbagai unsur paduan terhadap
kekerasan martensit setelah ditemper dengan waktu temper 1 jam. Mula-mula dibuat kurva
kekerasan setelah temper dari baja tanpa paduan dengan berbagai kadar karbon, ditempering
pada berbagai temperatur temper dan waktu temper 1 jam (Gambar 7.37). Gambar ini
menunjukkan pengaruh kadar karbon terhadap kekerasan setelah temper dari baja karbon.

Gambar 7.37. Kekerasan baja karbon setelah temper 1 jam (HVC), sebagai fungsi kadar karbon
dan temperatur temper.

Adanya unsur paduan akan merubah bentuk grafik kekerasan setelah temper dari
Gambar 7.37 itu, pada umumnya terjadi kenaikan kekerasan. Grange Hribal dan Porter
selanjutnya menggambarkan pengaruh berbagai unsur paduan terhadap kenaikan kekerasan
seperti pada Gambar 7.38. Ini digambarkan dalam sejumlah grafik, yang masing-masing untuk
suatu temperatur temper tertentu dan waktu temper 1 jam.
Dengan menggunakan hasil penelitian tersebut dapat dibuat estimasi keke-rasan setelah
temper (dengan temperatur temper tertentu dan waktu temper 1 jam) berdasarkan komposisi
kimia dari baja.
Estimasi kekerasan setelah penemperan (dalam HV) :
Estimated HV = HVC + HVMn + HVP + HVSi + HVNi + HVCr + HVMo + HVV
dimana
‐ 162 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
HVC = kekerasan karena kadar karbon (Gambar 7.37)
HV.. = tambahan kekerasan karna pengaruh unsur paduan (Gambar 7.38)

Gambar 7.38. Kenaikan kekerasan setelah temper karena pengaruh unsur paduan. Waktu temper 1 jam,
temperatur temper (a) 316 oC, (b) 427 oC, (c) 538 oC, (d) 592 oC.

Rumus di atas tidak dapat digunakan untuk memperhitungkan kekerasan setelah temper
dari baja paduan yang mengandung banyak unsur paduan yang memberikan secondary
hardening (unsur pembentuk karbida yang kuat).
Selanjutnya bila diinginkan temperatur dan waktu temper yang berbeda maka dapat
dipilih dengan mengingat bahwa kekerasan yang sama akan terjadi bila parameter tempernya
sama.

7.2.3. Temper ganda (double tempering)


Dari Bab terdahulu diketahui bahwa kadar karbon dan unsur paduan akan menurunkan
temperatur Ms dan Mf, sedang penemperan hendaknya segera dilakukan sebelum benda kerja
mencapai temperatur kamar (75 – 50 oC), sehingga ada kemungkinan penemperan sudah
dimulai sebelum semua austenit bertransformasi menjadi martensit, transformasi austenit
terhenti, dan austenit sisa baru akan bertransformasi menjadi martensit pada saat pendinginan
setelah penemperan. Sehingga struktur akhir akan mengandung martensit yang belum ditemper.

‐ 163 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
Bila hal ini terjadi maka perlu dilakukan penemperan lagi, sehingga dilakukan temper
ganda. Temper ganda ini seringkali perlu dilakukan pada baja dengan kadar karbon agak tinggi
(> 0,40%) dengan temperatur Ms sekitar 300 oC atau lebih dan juga pada proses laku panas
dimana penemperan dimulai pada temperatur terlalu tinggi.
Pada baja paduan tinggi chrom (high-alloy chrome steel) dan baja kecepatan potong
tinggi (high speed steel) austenit sisanya bertransformasi menjadi martensit pada saat
pendinginan dari temperatur temper 500 oC, karenanya baja ini harus ditemper kembali agar
martensit yang terbentuk pada saat penemperan pertama menjadi lebih tangguh. Bila kekerasan
yang diinginkan sudah tercapai pada penemperan pertama maka temperatur temper kedua harus
diambil lebih rendah 10 – 30 oC dari temperatur temper pertama.
Sebaliknya untuk baja dengan Ms sekitar 400 oC atau lebih (misalnya pada baja dengan
kadar karbon < 0,30 %) martensit yang mula-mula terjadi akan mengalami “penemperan” pada
saat pendinginan berikutnya, sehingga baja ini tidak lagi mempunyai kecenderungan untuk
retak bila langsung didinginkan ke temperatur kamar. Dalam hal ini baja itu dikatakan
mengalami self tempering, sehingga tidak lagi perlu ditemper. Apalagi bajanya mempunyai Mf
di atas 100 oC

7.2.4. Penggetasan temper


Bila baja ditemper ia akan mengalami berbagai tahapan transformasi yang tidak saja
mempengaruhi kekerasan tetapi juga ketangguhan. Pada umumnya makin tinggi temperatur
temper makin rendah kekerasan yang terjadi makin tinggi ketangguhannya. Tetapi pada
beberapa daerah temperatur temper dapat terjadi penurunan kekerasan sekaligus juga
ketangguhan, terjadi penggetasan temper (temper brittleness).
Pada berbagai baja dapat dijumpai berbagai daerah temperatur temper yang
mengakibatkan penggetasan temper ini, yaitu:
1. sekitar 350 oC
2. sekitar 500 oC
3. sekitar 475 oC
4. sekitar 500 – 570 oC

Penggetasan yang terjadi pada penemperan 350 oC biasanya dijumpai pada baja karbon
dan baja paduan rendah, baik baja konstruksi maupun baja perkakas, yang mengalami
penemperan pada daerah temperatur antara 250 – 400 oC. Daerah temperatur ini adalah juga
daerah temperatur transformasi austenit menjadi bainit, karenanya sangat mungkin transformasi
ini yang merupakan penyebab terjadinya penggetasan. Di samping itu phosphor juga ikut
mendorong terjadinya penggetasan ini.
Penggetasan pada penemperan 500 oC biasanya terjadi pada baja paduan konstruksi
(alloy constructional steel). Penggetasan ini selain tergantung pada temperatur dan waktu
temper, juga tergantung pada laju pendinginan setelah temper. Pendinginan yang lambat
cenderung mengakibatkan penggetasan, karena itu untuk benda dengan penampang besar yang
ditemper dapat mengalami penggetasan. Untuk menghindari penggetasan ini dilakukan
pendinginan cepat setelah temper, dengan pendinginan minyak atau air.
‐ 164 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
Penggetasan pada penemperan 475 oC, seiring dengan terjadinya kenaikan kekerasan,
tampak pada baja chrom feritik maupun semi-feritik, dengan kadar Cr lebih dari 13 %.
Penggetasan ini karena terbentuknya presipitasi senyawa kompleks kaya Cr. Ini juga
mengakibatkan menurunnya kadar Cr dalam larutan padat, mengurangi sifat tahan korosi.
Gejala penggetasan ini tidak muncul bila pemanasan melampaui 600 oC.
Penggetasan pada penemperan 500 – 570 oC terjadi pada baja paduan tinggi, seperti baja
perkakas pengerjaan panas (hot work tool steel) dan baja perkakas kecepatan potong tinggi
(high speed steel), dengan terbentuknya presipitat karbida selama pemanasan pada daerah
temperatur itu dan selama pendinginan. Penggetasan ini hilang pada pemanasan ke temperatur
lebih tinggi.
Pemilihan temperatur temper perlu memperhatikan daerah temperatur yang mungkin
akan menimbulkan penggetasan pada baja yang bersangkutan.

7.3. Pertanyaan
1. Suatu baja dengan kadar C = 0,4 % akan dikeraskan. Bila austenitisasi dilakukan pada 825
o
C, apakah ini sudah memadai untuk mendapatkan kekerasan maksimum? Bila ternyata
baja juga mengandung Cr, apakah temperatur itu masih memadai juga? Jelaskan.
2. Bila baja karbon 0,36 %C akan dikeraskan berapa kekerasan maksimum yang dapat
terjadi? Sebenarnya dengan pemanasan pada 825 oC dapat memberikan kekerasan
maksimum, apa akibat yang ditimbulkan bila pemanasan dilakukan pada 925 oC. Jelaskan
3. Bila baja tsb mengandung 1 %C, apakah temperatur 825 oC akan memberikan kekerasan
yang maksimum. Bila tidak, apakah temperaturnya harus lebih tinggi atau lebih rendah.
Jelaskan.
4. Sebuah benda dari suatu baja 0,4 %C dikeraskan dengan austenitisasi pada 850 oC
menghasilkan kekerasan 56 HRc. Suatu benda lain (dari baja yang sama) diaustenitisasi
pada temperatur yang sama ternyata menghasilkan kekerasan 52 HRc. Apa saja yang
mungkin menjadi sebab adanya perbedaan ini? Jelaskan.
5. Sebuah benda dari suatu baja diaustenitisasi pada 850 oC dan holding time 20 menit dengan
menggunakan muffle furnace dan cast iron chips. Apabila pemanasan dilakukan dengan
salt bath (dengan temperatur dan holding time yang sama) apakah akan memberikan hasil
yang sama? Jelaskan.
6. Apakah pada pemanasan untuk pengerasan selalu harus ada holding time? Bagaimana
menentukan holding time, faktor apa saja yang harus diperhatikan? Jelaskan.
7. Apa akibat yang mungkin terjadi bila holding time terlalu singkat (ditinjau dari struktur
dan sifat yang diperoleh)? Kalau terlalu panjang? Jelaskan
8. Apa tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan normalising pada benda sebelum
dipanaskan untuk diquench. Apa yang mungkin terjadi bila normalising tidak dilakukan?
Jelaskan
9. Selama pemanasan benda kerja dalam dapur pemanas dapat terjadi reaksi antara benda
kerja dengan lingkungannya, reaksi apa saja yang mungkin terjadi? Apa saja akibat
terhadap hasil pengerasan yang mungkin terjadi? Apa saja upaya yang dapat dilakukan
untuk mencegah/menghindari terjadinya reaksi tsb?

‐ 165 ‐ 
Jur. Tek. Material dan Metalurgi FTI-ITS Perlakuan Panas
 
10. Apa kelebihannya pemanasan dengan menggunakan salt bath dibandingkan dengan
menggunakan muffle furnace (electrical resistance). Mengapa untuk pemanasan dengan
salt bath biasanya perlu preheating?
11. Pada pendinginan dengan air terjadi vapour blanket stage yang cukup panjang yang dapat
mengakibatkan kurva pendinginan memotong kurva transformasi austenit-ferrit/perlit. Apa
saja upaya yang dapat dilakukan untuk mempersingkat/menghilangkan vapour blanket
stage tsb. Jelaskan.
12. Laju pendinginan pada umumnya akan makin tinggi bila temperatur media pendingin lebih
rendah, tetapi minyak akan memberikan laju pendinginan lebih tinggi bila temperaturnya
sedikit lebih tinggi. Mengapa? Jelaskan.
13. Apakah pendinginan dengan salt bath akan menghasilkan martensit? Bila tidak, untuk apa
dilakukan pendinginan dengan salt bath? Jelaskan.
14. Apa bedanya martempering dengan pengerasan biasa (direct quenching) ditinjau dari cara
pendinginan, media pendingin, struktur yang terjadi, sifat yang diperoleh, ukuran benda
kerja, dll.
15. Apa persamaan dan perbedaannya martempering dengan austempering ditinjau dari cara
pendinginan, media pendingin, struktur yang terjadi, sifat yang diperoleh, ukuran benda
kerja, treatment yang mengikutinya, dll.
16. Apa tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan tempering pada benda kerja yang
dikeraskan? Apa akibat yang mungkin terjadi bila tidak segera ditemper. Jelaskan.
17. Perubahan apa saja yang terjadi selama tempering, jelaskan pengaruh temperatur tempering
terhadap strukturmikro dan sifat setelah tempering.
18. Suatu batang terbuat dari baja dengan komposisi kimia: 0,4 %C; 0,8 %Mn; 0,3 %Si;
2,0 %Ni; 0,95 %Cr dan 0,30 %Mo. Setelah dikeraskan akan ditemper. Bila diinginkan
kekerasan setelah temper menjadi 50 HRc berapa temperatur tempernya untuk holding time
1 (satu) jam.
19. Bila batang pada soal 18 ditemper 316 oC selama 1 jam, berapa kekerasan yang diperoleh?
Bila kekerasan yang sama ingin diperoleh dengan waktu ½ jam, berapa temperatur temper
yang harus dipakai.
20. Bila tempering dilakukan pada 700 oC selama 12 jam, bagaimana struktur yang terjadi?
Gambarkan. Bagaimana sifatnya? Jelaskan.
21. Dalam beberapa hal benda yang telah dikeraskan tidak perlu ditemper. Dalam hal
bagaimana saja tempering tidak diperlukan. Jelaskan.
22. Dalam beberapa hal lain diperlukan double tempering, dalam bagaimana double tempering
ini diperlukan. Jelaskan.

‐ 166 ‐ 

Você também pode gostar