Você está na página 1de 7

Kemampuan dan Pengalaman Plus Memudahkan Masa Depan

Oleh: Marjohan, M.Pd


Guru SMAN 3 Batusangkar

Buat apa kita bersekolah? Mayoritas masyarakat kita percaya bahwa sekolah
berguna untuk mengubah nasib. Masyarakat di lapisan bawah juga berpikiran demikian.
Mereka semua memotivasi anak-anak untuk bersekolah. Belajar dengan sungguh- sungguh
dalam menuntut lmu, agar kelak mereka bisa memperoleh pekerjaan dengan mudah.
Apalagi bila bekerja di tempat yang basah maka hidup akan berubah- menjadi sejahtera.
Sebagai konsekuensi maka sekolah yang berkualitas akan diserbu dan diidolakan, karena
diyakini akan mampu mengubah nasib para siswa. Dan mereka yang sedang menuntut ilmu
di sekolah- di bangku SMA- sangat yakin bahwa sekolah bermutu akan mudah menjebolkan
mereka untuk kuliah di perguruan tinggi yang favorit:
“Kuliah di jurusan favorite dan perguruan tinggi favorit akan bisa membuat kita
menjadi orang yang hebat. Lulusan dari perguruan tinggi favorit akan gampang untuk
mendapatkan pekerjaan, punya kedudukan dan punya uang yang banyak kelak”. Itulah
mimpi-mimpi positif yang memotivasi mereka buat belajar serius. Mimpi ini dipegang teguh
oleh banyak anak sekolah dan juga oleh orangtua mereka.
Untuk merespon mimpi-mimpi positif tersebut, sejak tahap awal pendidikan, banyak
orangtua- terutama orangtua yang berusia muda- telah merancang konsep-konsep but
menyukseskan pendidikan anak-anak mereka. Kebijakan orangtua yang begini sangat tepat
karena mereka bisa dikategorikan sebagai orangtua yang punya tanggungjawab terhadap
pendidikan anak. Mereka telah punya visi dan misi buat masa depan anak-anak mereka.
Jadinya sejak anak-anak kecil mereka telah rajin merangsang kognitif anak. Mereka
mengantarkan anak ke pendidikan prasekolah. Saat belajar di PAUD dan TK, mereka
memberi pujian- tepuk tangan- bila anak- anak mereka bisa menghafal doa-doa,
mengekspresikan angka-angka hingga melafalkan beberapa patah kata dalam bahasa
Inggris. Dan pujian juga akan ditumpahkan bila anak-anak mereka bisa menyanyikan lagu-
lagu berbahasa Inggris.
Saat memasuki pendidikan SD, maka orangtua juga akan mensetting waktu buat
anak-anak agar mereka bisa mengikuti serangkaian kursus, seperti “caslistung (membaca-
menulis dan berhitung), kursus bahasa Inggris, hingga kursus sukses UN (ujian nasional).
Terus begitu anak-anak masuk ke pendidikan di tingkat SMP dan SMA, maka terasa beban
materi pelajaran lebih berat, lebih sulit bagi anak. Namun para orangtua tentang penjurusan
di tingkat SMA. Umumnya para orangtua akan berpendapat bahwa jurusan sains lebih
favorite karena akan memberi peluang yang luas bagi anak-anak kelak bila kuliah di
perguruan tinggi. Maka lagi-lagi para orangtua akan menggiring anak-anak mereka untuk
bisa belajar tambahan pada biro bimbel (bimbingan belajar).
“Ayo belajar yang benar untuk matematika, kimia, fisika dan biologi. Kalau skor-mu
bisa tinggi, maka kamu bisa lulus ujian nasional dan kalau passing grademu tinggi maka
kamu akan bisa buat kuliah di perguruan tinggi favorit yang kamu suka, seperti di UI, ITB,
ITS, UGM, dll. Perguruan tinggi terbaik, lulusannya bakal bisa menempati posisi karir bagus
di tempat yang seperti di perusahaan-perusahaan besar di negara ini”.
Begitulah banyak anak-anak sekarang dibisikan dan dimotivasi buat ke masa depan
kadangkala bukan berdasarkan bakat dan potensi mereka, namun memperturutkan ambisi
orangtua. Anak-anak telah disetting menjadi manusia karbitan dengan karakter “instant”.
Karakter instant adalah karakter serba ingin serba cepat sukses. Namun ini adalah
fenomena kehidupan, dewasa ini kita dengan mudah bisa menemui cukup banyak tawaran
dengan paket “cepat pintar” yang dirancang oleh beberapa bisnis pendidikan. Cukup banyak
orangtua yang menyerbu tawaran belajar instant tersebut, misal program cepat pintar
berbahasa Inggris. Pada hal yang benarnya bahwa semua pelajaran dan semua pekerjaan
butuh waktu agar terjadi proses pembelajaran yang lebih baik. Kualitas-kualitas berlabel
instant, hasilnya kemungkinan bersifat abal-abal.
Lain generasi dulu dan lain pula dengan generasi sekarang. Generasi dulu lebih
terkenal dengan kemandiriannya. Mereka jadi pintar karena usaha sendiri atau karena
kemandiriannya. Namun generasi muda sekarang, sebagian ada yang suka terjebak
menjadi “generasi servis atau generasi anak mami”.
Generasi servis maksudnya bahwa mereka bisa menjadi cerdas melalui prestasi
kognitif yang tinggi bukan semaa-mata murni oleh kemandiriannya. Kehidupan mereka telah
diprogram dan diberi servis sejak usia dini. Saat masih bayi orangtua mereka mendatangkan
babby-sitter buat mengurus mereka. Kemudian saat sudah bersekolah di SD, dan agar
mereka tidak bermasalah dengan pelajaran maka orang tua menyewa/ membayar guru
privat untuk datang ke rumah buat menemani mereka mengerjakan PR dan menghadapi
ujian-uijian di sekolah lainnya. Itu semua bertujuan agar anak-anak bisa menjadi bintang
pelajar di sekolah.
Sebagian generasi sekarang banyak yang telah menjadi generasi anak mami.
Generasi yang begini maksudnya bahwa “mami atau ibu mereka”, atas nama kasih sayang
dan demi keberhasilan sekolah anak, maka para mami membebaskan mereka dari tuntutan
ikut bekerja di rumah. Mereka tidak boleh ikut merapikan dan mengurus rumah- menyapu,
cuci piring, mensetrika, memasak nasi. Itu semua biar mami yang mengerjakan, dan kalau
mami punya uang lebih maka mami akan menyewa asisten rumah tangga untuk
membereskan semua pekerjaan tersebut.
Pergilah ke rumah-rumah para siswa yang orangtua mereka sangat ambisius agar
anak-anak bisa menjadi sang juara di sekolah. Maka anak-anak dipaksa dan dikondisikan
buat belajar dan belajar sepanjang waktu. Selama berjam-jam anak-anak terbelenggu-
duduk mengerjakan setumpuk PR dari sekolah dan juga dari guru bimbel mereka. Terlihat
bahwa anak-anak hanya terbelenggu untuk urusan kognitif semata-mata. Untuk memenuhi
kebutuhan anak, mereka juga serba dilayani. Kerja anak-anak hanya bagaimana mereka
bisa jadi pinter- kegiatan mereka hanya belajar dan belajar, makan, nonton, dan kemudian
main game- online.
Akibatnya anak-anak mereka tidak punya soft-skill atau kecakapan hidup. Jadinya
mereka jadi manusia yang suka serba bergantung, kurang mandiri, kurang terbiasa
mengurus diri yang benar. Jadinya anak-anak buta dengan pengalaman. Tidak mampu buat
mencuci motor, membersihkan sepatu, menyapu lantai rumah, menstrika pakaian, hingga
mengurus hal-hal kecil lainnya, karena semua pekerjaan sudah diambil alih oleh mami atau
asisten rumah tangga.
“Jadinya sebagian anak-anak sekarang tidak obahnya seorang “raja kecil di rumah”
karena harus dilayani semua kebutuhannya. Mereka jadi manusia instant dan robot, selalu
diprogram agar bisa pintar- pintar yang tidak bsa memberi kebaikannya yang banyak”. Al-
hasil memang anak-anak mampu meraih peringkat 1 atau termasuk peringkat 3 besar di
kelas, tetapi prestasinya bersifat fatamorgana. Bisa dilihat namun tidak terpakai. Atau lagi-
lagi nilai rapornya jadi bagus karena maminya rajin memberi guru di sekolah oleh-oleh
sehingga sang guru jadi merasa berutang budi dan memberikan nilai servis buat anak.
Memang ada para mami yang sukses dalam memprogram pendidikan sang anak
untuk mejadi bintang pelajar di sekolah. Hingga nilainya begitu cemerlang dalam rapor dan
dalam ijazah. Namun nyatanya banyak mami yang juga kurang memahami konsep
parenting yang benar. Para mami terlalu mengambil alih “peran guru dari sekolah” untuk
urusan pengajaran atau teaching. Para orangtua terlalu mendewa-dewakan kecerdasan
otak anak, sayangnya kurang mengerti dalam menumbuhkan anak dengan karakter-karakter
positif lainnya, seperti bagaimana anak-anak bisa “peduli dengan tetangga, bisa beramah
tamah, suka berbagi, bisa bekerja sama dengan sesama, terampil dalam membantu diri
sendiri, tidak berkarakter individu, dll”.
Walau pada akhirnya sang anak mampu memasuki perguruan tinggi favorit, karena
perguruan tinggi juga lebih banyak merekrut calon mahasiswa berdasar skor kognitif itu
sendiri, dan menyingkirkan karakter-karakter positif yang menunjang kehidupan. Proses
perkuliahan mahasiswa masa kini tetap sangat besar fokusnya untuk mencapai target
kognitif. Hingga banyak mereka yang bisa menjadi cerdas dalam ranah kognitif atau sekedar
cerdas dengan kertas. Namun begitu diwisuda dan menjadi seorang sarjana baru, mereka
baru terbangun dari mimpi panjangnya. Sebagian merasakan bahwa pengalaman dari
kampus belum cukup dan mereka jadinya melangkah menatap kehidupan bermasyarakat
dengan penuh rasa gamang.
Persis seperti yang ditulis oleh Ruth Callaghan, dia mengatakan bahwa: “Employers
want graduates with more than just good marks, while good gades may be the only goal for
many students. Employers are looking for much more from graduates”.
Sangat benar, bahwa umumnya mahasiswa berlomba buat mencari nilai akademik
setinggi mungkin dan berharap bisa memperoleh nilai cumlaude buat membuat orangtua
mereka bisa jadi bangga. Kebiasaan ini tidak salah dan sudah menjadi fenomena di dunia
pendidikan. Namun dunia kerja (perusahaan) lebih mencari orang-orang yang tidak sekedar
bagus nilai akademiknya, namun memiliki soft-skill, keterampil dan pengalaman hidup, yang
banyak.
Ruth Callaghan mengatakan bahwa pimpinan perusahan-perusaan ngetop di
Australia telah berbicara pada banyak mahasiswa di sana. Mereka mengatakan bahwa
sebagian mahasiswa berkeyakinan bahwa prestasi akademik hanya sebagai indikator yang
utama yang dicari oleh perusahaan. Ternyata keyakinan ini salah. Memang untuk masuk
universitas yang dicari oleh para mahasiswa adalah bagaimana bisa memperoleh peringkat
nilai akademik yang tinggi, namun untuk masuk ke dalam dunia kerja, setelah mereka
diwisuda, yang dibutuhkan dunia kerja (oleh perusahaan) bukan nilai semata-mata nilai
akademik yang tinggi, namun bagaimana nilai/ kemampuan dibalik nilai akademik tersebut,
yaitu seperti:
“Leadership, communication skill, problem solving and customer service-
keterampilan dalam bidang kepemimpinan, kecakapan berkomunikasi, kemampuan dalam
mengatasi masalah dan kemampuan melayani pelanggan”. Ini semuanya merupakan kriteria
yang direkomendasi agar bisa dimiliki bagi calon pelamar saat mereka ikut dalam proses
rekruitmen di berbagai perusahaan.
Jadi kriteria-kriteria tersebut tidak banyak berhubungan dengan bagaimana tingginya
nilai akademik seseorang yang dia peroleh dari perguruan tinggi. Kalau sebelumnya banyak
pencari kerja yang meyakini bahwa perusahaan akan mencari orang yang cerdas otaknya
dalam belajar, mampu bekerja dan nilai akademis bagus. Ternyata ini merupakan indikator
yang sudah ketinggalan zaman. Karena sekarang banyak perusahaan yang punya kriteria
tersendiri dalam melakukan rekruitmen. Rekruitmen yang dilakukan bukan rekruitmen
tunggal, namun rekruitmen yang bertahap, gunanya untuk mendapatkan personalia yang
sangat cocok bagi atmosfir perusahaan.
Bagaimana dengan faktor-faktor kemampan non-akademik, apakah sangat
berpengaruh atas kesuksesan seseorang ?. Jawaban ini dapat kita temui melalui profil
orang-orang sukses, salah satunya profil singkat Irwan Prayitno, Gubernur Sumatera Barat,
yang mana skor IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) saat wisuda dari jururan psikologi di
Universitas Indonesia tidak begitu menggembirakan. Namun belakangan dia bisa merajut
kesuksesan, hingga menjadi anggota Parlemen RI dan juga terpilih dua kali sebagai
Gubernur Sumatera Barat.
Irwan Prayitno, nama lengkapnya yaitu Prof. Dr. H. Irwan Prayitno, SPsi, MSc. Ia
datang dari keluarga Minangkabau. Irwan menjalani pendidikan menengah di Padang. Irwan
Prayitno adalah anak pertama, memiliki tiga adik, dari orang tua yang sama-sama dosen.
Jadi orang tua yang berpendidikan tinggi biasanya mampu mendidik anak yang juga cerdas
dan berkualitas.
Masa kecilnya yang sering pindah-pindah telah membuat pengalaman geografi dan
pengalaman adaptasi sosialnya semakin kaya. Irwan menjalani pendidikan menengah di
Padang dan mulai berkecimpung di organisasi sejak SMA, menjalani dua kali kepengurusan
OSIS pada tahun kedua dan ketiga di SMA Negeri 3 Padang. Selama di SMA, ia meraih
juara pertama di kelasnya dan selalu dipercayakan sebagai ketua kelas. Jadinya Irwan tidak
sekedar jago akademik, namun ia juga punya soft-skill yang lain , yaitu peduli pada
berorganisasi dan tentunya juga cakap dalam berkomunikasi.
Ternyata anak-anak yang sempat menjadi ketua Osis saat di SMA memiliki
kemampuan leadership yang bagus dan pada umumnya sukses setelah dewasa. Ini
dibuktikan pada beberapa teman. Salah seorang teman saya saat di SMA, namanya Hidayat
Rusdi, pernah menjadi ketua Osis di SMA Negeri 1 Payakumbuh dan setelah dewasa ia
sukses berkarir di Perusahaan Perminyakan- Pertamina. Teman saya yang lain, juga
bernama Rusdi, tetapi Rusdi Thaib. Saat di SMA ia juga pernah menjadi Ketua Osis (di
salah satu SMA di kota Solok), dan setelah dewasa ia berkarir sebagai Dosen Pasca
Sarjana Universitas Negeri Padang dan kemudian menjadi Atase Budaya di Kantor
Kedutaan Besar RI- Kuala Lumpur. Jadi betapa pentingnya para siswa harus memiliki
keterampilan leadership saat masih kecil atau remaja, dengan harapan setelah dewasa
akan lebih mudah meraih sukses dalam kehidupan mereka.
Selanjutnya tentang Irwan Prayitno, bahwa ia sempat berkeinginan melanjutkan
kuliah ke ITB bersama dengan teman-temannya. Namun, karena mempunyai masalah
dengan mata, ia mengalihkan pilihan ke Universitas Indonesia. Setelah tamat SMA pada
1982, ia mendaftar ke Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Selama kuliah, selain
menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan kemahasiswaan, ia banyak menghabiskan
waktu di luar kampus untuk berdakwah, mengajar di beberapa SMA swasta, dan menjadi
konselor di bimbingan belajar- untuk mendapatkan tambahan uang jajan. Ini mengakibatkan
kuliahnya tidak lancar. Namun, menurutnya yang ia cari dalam pendidikan bukanlah nilai
semata, tetapi pengembangan diri.
Saat mulai masuk perguruan tinggi, ia aktif dalam diskusi-diskusi dakwah dan
perhimpunan mahasiswa. Ia pernah bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Jakarta. Akhirnya Irwan mampu menyelesaikan kuliahnya pada jurusan psikologi UI,
sayangnya IPK (Indeks Prestasi Kumulatifnya) cukup rendah. Karena IPK rendah, Irwan
memilih tidak melamar pekerjaan di Jakarta. Ia memutuskan pulang ke Padang untuk
berdakwah dan melanjutkan mengajar kursus. Sebelum mengakhiri kuliahnya, ia telah
berpikir bagaimana merintis yayasan yang bergerak di bidang pendidikan.
Saat itu saya kuliah di jurusan Bahasa Inggris-IKIP Padang (sekarang menjadi UNP)
dan saya juga menyibukan diri sebagai pustakawan sukarela pada Perpustakaan Masjid Al-
azhar di Komplek Pendidikan IKIP dan UNAND. Di sana saya berkenalan dengan Irwan
Prayitno yang sering membawa anak sulungnya. Dan saya mengira itu adalah adiknya,
ternyata adalah anaknya.
Saya masih ingat bahwa pada awal karirnya, ia sempat memberi bimbingan
konsultasi gratisan bagi mahasiswa yang mau kuliah melalui kegiatan amal yang
diselenggarakan oleh Yayasan Amal Shaleh di Air Tawar- Padang. Yayasan ini dibimbing
oleh Dr Muchtar Naim, seorang sosiolog dari Unand. Akhirnya Irwan mendirikan kegiatan
bimbingan belajar dan juga menjadi aktivitas sosial yang lebih professional. Ia dan teman-
teman membuat kelas-kelas kursus.
Pada 1988, kelas kursus berpindah ke Komplek PGAI, Jati. Bermula dari kursus
bimbingan belajar, Irwan membentuk Yayasan Pendidikan Adzkia yang secara bertahap
mewadahi taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Secara bertahap sejak 1994, Adzkia
membuka jenjang perguruan tinggi, selain taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah
menengah, dan sekolah kejuruan. Dalam pembinaan anak didik, ia mencurahkan ilmu
psikologi yang ditimbanya di bangku kuliah.
Perkembangan Yayasan Pendidikan Adzkia berpengaruh pada kemapanan
hidupnya, mendorongnya untuk melanjutkan pendidikan. Pada tahun 1995, Irwan
mengambil kuliah di Selangor, Malaysia sambil membawa serta istri dan anaknya. Namun,
karena IPK rendah, lamarannya sempat beberapa kali ditolak. Teman sesama aktivis
dakwah di Selangor mempertemukannya dengan Pembantu Rektor UPM (Iniversity Putra
Malaysia). Kepada Prof. Hasyim Hamzah, Irwan menyatakan kesanggupan menyelesaikan
studi dalam tiga semester. Ia mengambil kuliah S-2 bidang pengembangan SDM (Human
Resource Development) di UPM- Selangor. Tamat satu setengah tahun lebih awal dari
waktu normal tiga tahun pada 1996, ia melanjutkan kuliah S-3 di kampus yang sama.
Sehari-hari di Selangor, ia harus bekerja keras mengurus keluarga. Saat itu, ia telah
memiliki lima anak. Dengan istri, ia berbagi tugas karena tak ada pembantu. Irwan mengaku,
di antara kegiatannya, dirinya hanya mengalokasikan sekitar 10 sampal 20 persen untuk
kuliah. Kegiatan dakwahnya tetap berlanjut. Bahkan, ia menunaikan dakwah sampai ke
London, Inggris dan harus mengerjakan tugas-tugas perkuliahan dalam perjalanan di dalam
mobil, pesawat, atau kereta api.
Move on yang dilakukan oleh Irwan Prayitno sangat pesat. Hidupnya mengalir, ia
selalu melakukan proses hingga ia bisa menjadi Ketua Partai Keadilan propinsi Sumatra
Barat, menjadi anggota DPR RI, dan terus menjadi Gubernur Sumatra Barat. Namun
beberapa catatan awal hanya bertujuan bahwa Irwan Prayitno kuliah ke Universitas
Indonesia bukan untuk mencari pekerjaan, namun untuk mematangkan pribadi,
mengembangkan pemikiran, intelektual, mengawas leadership, kemampuan komunikasinya
serta keberanian enterpreurship-nya.
Jadi para anak muda- siswa, mahasiswa, dan orang yang baru wisuda- perlu tahu
bahwa betapa pentingnya memiliki keterampilan-keterampilan plus, selain nilai akademik,
seperti “kerjasama, ketabahan, ketangguhan, kepemimpinan/ leadership, keampuan
berkomunikasi, kemampuan memecahkan masalah dan pelayanan pada pelanggan”. Inilah
yang dibutuhkan oleh perusahaan (dunia kerja). Juga mereka perlu tahu bahwa setiap
perusahaan memiliki iklimnya sendiri-sendiri. Ada perusahaan yang bersifat sangat formal
dan menerapkan konsep hirarki, dan juga ada perusahaan yang suasananya lebih rileks dan
informal.
Dunia kerja tetap selalu mencari/ membutuhkan orang yang attraktif dan punya
keterampilan serta pengalaman yang spesifik. Untuk mengetahui ini dunia kerja akan
memberikan penilaian melalui: “action oriented, willing to speak up, willing to brainstorming,
and willing to have the opinion”. Jadi dari paparan di atas dapat disimpulan, sekali lagi,
bahwa kemampuan dan pengalaman plus akan memudahkan jalan bagi kita dalam
mendapatkan karir di masa depan.
(Catatan: 1. Ruth Callaghan dalam http://www.afr.com bahwa: “Employers want
graduates with more than just good marks, while good gades may be the only goal for many
students. Employers are looking for much more from graduates”.
2. Profil Irwan Prayitno, Gubernur Sumatera Barat

Você também pode gostar