Você está na página 1de 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Autisme, merupakan salah satu gangguan perkembangan yang dimulai
dan dialami pada masa kanak-kanak dan semakin meningkat saat ini,
menimbulkan kecemasan yang dalam bagi para orangtua. Pada awalnya
autisme dipandang sebagai gangguan yang disebabkan oleh faktor psikologis
yaitu pola pengasuhan orangtua yang tidak hangat secara emosional, tetapi
barulah sekitar tahun 1960 dimulai penelitian neurologist yang membuktikan
bahwa autisme disebabkan oleh adanya abnormalitas pada otak.1
Autisme atau autisme infantile (Early Infantile Autism) pertama kali
dikemukakan oleh Dr. Leo Kanner pada 1943 seorang psikiatris Amerika.
Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukkan suatu gejala psikosis pada
anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut Sindrom Kanner. Ciri
yang menonjol pada sindrom Kanner antara lain gangguan ketidakmampuan
untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukan
dengan penguasaan yang tertunda, echolalia (meniru/membeo), mutism
(kebisuan, tidak mempunyai kemampuan untuk berbicara), pembalikan
kalimat dan kata (menggunakan kamu untuk saya), adanya aktivitas bermain
yang repetitive dan keteraturan di dalam lingkungannya, rasa takut akan
perubahan, kontak mata yang buruk, lebih menyukai gambar dan benda mati.1
Setiap tahun di seluruh dunia, kasus autisme mengalami
peningkatan.Awal tahun 1990-an, kasus autisme masih berkisar pada
perbandingan 1:2000 kelahiran. Di Amerika Serikat pada tahun 2000 angka
ini meningkat menjadi 1 dari 150 anak, punya kecenderungan menderita
austism.1
Selama masa-masa sekolah, kelainan anak dalam perkembangan
bahasa (termasuk kebisuan atau penggunaan kata-kata aneh atau tidak tepat),
penarikan diri dari lingkungan sosial, ketidakmampuan untuk bergabung
dengan permainan anak-anak lain, atau perilaku yang tidak sesuai saat

1
bermain, sering membuat guru dan orang lain menilai adanya kemungkinan
jenis gangguan autis. Manifestasi autisme juga dapat berubah selama masa
kanak-kanak, tergantung pada gangguan perkembangan lain, kepribadian, dan
adanya masalah kesehatan medis atau mental lainnya.
Sampai saat ini, belum ada data pasti mengenai jumlah penyandang
autisme di Indonesia. Dari catatan praktek dokter diketahui, dokter
menangani 3-5 pasien autisme per tahun 1980. Data yang akurat dari autisme
ini sukar didapatkan, hal ini disebabkan karena orang tua anak yang dicurigai
mengidap autisme seringkali tidak menyadari gejala-gejala autisme pada
anak. Akibatnya, mereka tidak terdeteksi dan begitu juga keluarga yang
anaknya ada kelainan mencari pengobatan ke bagian THT karena menduga
anaknya mengalami gangguan pendengaran atau ke poli tumbuh kembang
anak karena mengira anaknya mengalami masalah dengan perkembangan
fisik.1,2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Autisme berasal dari kata “autos” yang berarti segala sesuatu yang
mengarah pada diri sendiri. Dalam kamus psikologi umum, autisme berarti
preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih
banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat
kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita
autisme sering disebut orang yang hidup di “alamnya” sendiri. 1,2
Autisme atau autisme infantile (Early Infantile Autism) pertama kali
dikemukakan oleh Dr. Leo Kanner, seorang psikiatris Amerika pada tahun
1943.Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukkan suatu gejala psikosis
pada anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut Sindrom
Kanner. Ciri yang menonjol pada sindrom Kanner antara lain ekspresi wajah
yang kosong seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali
bagi orang lain untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka
berkomunikasi.2

2.2 EPIDEMIOLOGI
Prevalensi biasanya diperkirakan ada 3-4/10.000 anak. Gangguan ini
jauh lebih lazim pada laki-laki dibandingkan dengan wanita (3-4:1). Beberapa
penyakit sistemik, infeksi, dan neurologis menunjukkan gejala-gejala seperti
autistik memberi kecenderungan penderita pada perkembangan gejala
autisme.Juga ditemukan peningkatan yang berhubungan dengan kejang.
Berdasarkan definisi onset gangguan autisme sebelum usia 3 tahun, meskipun
pada beberapa kasus, gangguan ini tidak dikenali hingga anak berusia lebih
tua.2
Penderita autisme di Indonesia setiap tahun terus mengalami
peningkatan. Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari dalam pembukaan

3
rangkaian Expo Peduli Autisme 2008 lalu mengatakan, jumlah autis di
Indonesia di tahun 2004 tercatat sebanyak 475 ribu penderita.2

2.3 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Secara pasti penyebab autisme tidak di ketahui namn autisme dapat
terjadi dari kombinasi berbagai faktor, termasuk faktor genetik yang di picu
faktor lingkungan. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya
autisme:
a. Teori biologis
1. Faktor genetik
Keluarga yang terdapat anak autis memiliki resiko lebih tinggi
daripada populasi keluarga normal. Abnormalitas genetik dapat
menyebabkan abnormalitas pertumbuhan sel- sel saraf dan sel otak.
2. Prenatal, natal, dan post natal
Perdarahan di kehamilan awal, obat-obatan , tangis bayi yang
terlambat, gangguan pernapasan dan anemia merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi autisme
3. Neuro anatomi
Gangguan/fungsi sel sel otak selama dalam kandungan yang
mungkin di sebabkan terjadinya gangguan oksigenasi perdarahan
atau infeksi dapat memicu terjadinya autisme.
4. Struktur dan biokimiawi otak dan darah
Kemungkinan karena kandungan dopamin atau upioid dalam darah.

b. Teori psikososial
Beberapa ahli (kannerdan bruno bettelhm) autisme di anggap sebagai
akibat hubungan yang dingin/ tidak akrab antara orang tua ibu dan anak.
Demikian juga orang yang mengasuh dengan emosional kaku, obsesif
tidak hangat bahkan dingin dapat menyebabkan anak asuhnya menjadi
autisme.

4
c. Autuimun tubuh
Auto imun pada anak dapat merugikan perkembangan tubuhnya sendiri
karena zat-zat bermanfaat justru di hancurkan oleh tubuhnya sendiri.
Imun adalah kekebalan tubuh terhadap virus/ bakteri pembawa penyakit.
Sedangkan autoimun adalah kekebalan yang di kembangkan oleh tubuh
sendiri yang justru kebal terhadap zat zat penting dalam tubuh dan
menghancurkannya.

Secara umum autisme disebabkan adanya gangguan perkembangan


“neurobiologik” yang mengakibatkan adanya gangguan struktur maupun fungsi
otak. Beberapa bagian otak yang diduga terlibat dalam autisme adalah amigdala,
yaitu pusat pengendalian emosional terhadap rangsangan dari luar dan
hipokampus yang penting dalam fungsi memori. Sel-sel saraf yang terdapat di
amigdala ditemukan bentuknya kecil, abnormal dan tampak lebih padat dibanding
sel normal. Dari hasil penelitian juga ditemukan adanya sirkulasi darah yang lebih
lambat pada beberapa bagian lapisan luar otak (korteks), dan menurunnya jumlah
sel yang bertugas meneruskan sinyal-sinyal penghambat gerakan tubuh yang
berpusat di otak kecil (serebelum) ke korteks. Dengan foto MRI didapat gambaran
pengisutan (hipoplasi) serebelum dan sisterna limbik. Tanda-tanda ini
mengarahkan para ahli pada suatu hipotesis, bahwa awal terjadinya autisme
infantil adalah sebelum lahir.7
Akhir-akhir ini ditemukan bahwa pada otak penderita autisme, secara
makroskopis ukuran otaknya lebih besar dibanding normal. Dicurigai pembesaran
ini karena kegagalan proses perampingan/pemangkasan sel-sel saraf (apoptosis)
yang tidak diperlukan lagi pada saat perkembangan otak berlangsung. Jawaban
yang lebih pasti dan rinci atas pertanyaan dimana dan bagaimana bentuk
gangguan otak anak autisme sampai sekarang belumlah ada.7
Pada pemeriksaan menggunakan PET ditemukan penurunan sintesis 5-HT
di korteks dan thalamus. Namun di plasma maupun di platelet ditemukan
peningkatan kadar serotonin yang bisa mencapai 25%. Diperkirakan bahwa
gangguan metabolisme serotonin sangat berperan dalam patologi autisme.

5
Menurunkan triptofan dengan menginhibisi pengambilan kembali 5-HT adalah
salah satu usaha untuk memperbaiki simptom autisme.3
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa seluruh kadar serotonin
darah memiliki korelasi positif antara autis dan orang tua mereka dan saudara-
saudara. Hal ini jelas bahwa serotonin dalam trombosit yang bertanggung jawab.
Lebih dari 99% dari seluruh darah serotonin yang terkandung dalam trombosit.
Hal ini menunjukkan bahwa pasien dengan autisme menunjukkan peningkatan
penyerapan serotonergik atau penurunan pelepasan serotonergik. Ada bukti untuk
korelasi positif antara kadar serotonin dan tingkat transportasi serotonin.17
Peningkatan opioid endogen ada kaitannya dengan perilaku melukai
sendiri dan ini akan berkontribusi ke simptom lain dari autisme melalui
serotoninergik dan aksis hypothalamic-pituitary adrenal (HPA) secara tidak
langsung sehingga terjadi sekresi proopiomelanokortin, kortisol dan oksitosin.
Defisiensi melatonin menyebabkan gangguan tidur.3

2.4. Klasifikasi
Klasifikasi autisme dapat di bagi berdasarkan pengelompokan kondisi
1. Klasifikasi berdasarkan saat munculnya kelainan
a. Autisme infantil : istilah ini di gunakan untuk menyebut anak autis
yang kelainnanya sudah nampak sejak lahir
b. Autisme fiksasi : adalah anak autis yang padawaktu lahir kondisinya
normal , tanda tanda autisnya muncul setelah umur 2 atau 3 tahun.4

2. Klasifikasi berdasarkan intelektual


a. Anak dengan keterbelakanga mental sedang dan berat (IQ di bawah 50)
Prevalensi 60% dari anak autistik
b. Autis dengan keterbelakangan mental ringan (IQ 50-70)
Prevalensinya 20% dari anak autis
Prevalensi 20% dari anak autis
c. Autis yang tidak mengalami keterbelakangan mental (intelegensi di atas
70%)

6
Prevalensi 20% dari anak autis.4

3. Klasifikasi berdasarkan interaksi sosial


a. Kelompok yang menyendiri : banyak terlihat pada anak yang menarik
diri, acuh tidak acuh dan anak kesal bila di adakan pendekatan sosial
serta menunjukkan prilaku dan perhatian tidak hangat.
b. Kelompok yang pasif, dapat menerima pendekatan sosial dan bermain
dengan anak lainnya jika pola bermainnya disesuaikan dengan dirinya.
c. Kelompok yang aktif tapi aneh: secara spontan akan mendekati anak
yang lain, namun interaksinya tidak sesuai dan sering hanya sepihak.4

4. Klasifikasi berdasarkan prediksi kemandirian


a. Prognosis buruk, tidak dapat mandiri (2/3 dari penyandang autis)
b. Prognosis sedang , terdapat kemajuan di bidang sosial dan pendidikan
walaupun problem prilaku tetap ada (1/4 dari penyandang autis)
c. Prognosis baik : mempunyai kehidupan sosial yang normal atau hampir
normal dan berfungsi dengan baik di sekolah ataupu tempat kerja1/10
dari penyandang autis).5

2.4 MANIFESTASI KLINIS

Gejala-gejala autisme menurut usia anak.4


Usia Gejala-gejala
0-6 Bulan 1) Bayi tampak terlalu tenang (jarang menangis)
2) Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik
3) Gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama
bila mandi
4) Tidak “babbling” (mengoceh)
5) Tidak ditemukan senyum sosial di atas 10
minggu
6) Tidak ada kontak mata di atas umur 3 bulan

7
7) Perkembangan motorik kasar/halus sering
tampak normal
6-12 Bulan 1) Sulit bila digendong
2) Menggigit tangan dan badan orang lain secara
berlebihan
1-2 Tahun 1) Kaku bila digendong
2) Tidak mau bermain permainan sederhana
(“cilukba”)
3) Tidak mengeluarkan kata
4) Memperhatikan tangannya sendiri
5) Terdapat keterlambatan dan perkembangan
motorik kasar dan halus
6) Mungkin tidak dapat menerima makanan cair
2-3 Tahun 1) Tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan anak
lain
2) Melihat orang sebagai “benda”
3) Kontak mata terbatas
4) Tertarik pada benda tertentu

2.5 KRITERIA DIAGNOSTIK


Secara detail, menurut DSM IV, kriteria gangguan autistik adalah
sebagai berikut: 5
a. Harus adalah total 6 gejala dari (1), (2), dan (3), dengan minimal 2 gejala
dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari (2) dan (3): 4
(1) Kelemahan kualitatis dalam interaksi sosial, yang termanifestasi
dalam sedikitnya 2 dari beberapa gejala berikut ini:
 Kelemahan dalam penggunaan perilaku nonverbal, seperti
kontak mata, ekspresi wajah, sikap tubuh, gerak tangan dalam
interaksi sosial.
 Kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan teman
sebaya sesuai dengan tingkat perkembangannya.

8
 Kurangnya kemampuan untuk berbagai perasaan dan empati
dengan orang lain.
 Kurang mampu mengadakan hubungan social dan emosional
yang timbal balik.
(2) Kelemahan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada
1 dari gejala berikut ini: 4
 Perkembangan bahasa lisan (bicara) terlambat atau sama sekali
tidak berkembang dan anak tidak menari jalan untuk
berkomunikasi secara non verbal.
 Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak digunakan untuk
berkomunikasi.
 Sering menggunakan bahasa yang aneh, stereotype dan
berulang-ulang.
 Kurang mampu bermain imajinatif (make believe play) atau
permainan imitasi sosial lainnya sesuai dengan taraf
perkembangannya.
(3) Pola perilaku serta minat dan kegiatan yang terbatas, berulang.
Minimal harus ada 1 dari gejala berikut ini: 4
 Preokupasi terhadap satu atau lebih kegiatan dengan focus dan
intensitas yang abnormal/berlebihan.
 Terpaku pada suatu kegiatan ritualistic atau rutinitas.
 Gerakan-gerakan fisik yang aneh dan berulang-ulang seperti
menggerak-gerakkan tangan, bertepuk tangan, menggerakkan
tubuh.
 Sikap tertarik yang sangat kuat/preokupasi dengan bagian-
bagian tertentu dari obyek.
b. Keterlambatan atau abnormalitas muncul sebelum usia 3 tahun minimal
pada salah satu bidang (1) interaksi sosial, (2) kemampuan bahasa dan
komunikasi, (3) cara bermain simbolik dan imajinatif. 4
c. Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa
Anak. 4

9
Dengan kriteria diagnostik tersebut, tidak sulit untuk menentukan
apakah seorang anak termasuk penyandang autism atau gangguan
perkembangan lainnya.Namun kesalahan diagnosis masih sering terjadi
terutama pada autism ringan yang uumnya disebabkan adanya tumpang tindih
gejala.Sebagai contoh, penyandang hiperaktivitas dengan konsentrasi yang
kurang terfokus kadang kala juga menunjukkan keterlambatan bicara dan bila
dipanggil tidak selalu berespon sesuai yang diharapkan. Demikian juga bagi
penderita retardasi mental yang moderate, severe dan profound mereka
menunjukkan gejala yang hampir sama dengan autism seperti keterlambatan
bicara, kurang adaptif dan impulsif. 4

2.6 DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding dari autism infantile adalah gangguan perkembangan
pervasif lainnya, diantara adalah sebagai berikut:3
1) Sindrom Asperger3
Anak yang menderita sindrom Asperger biasanya umur lebih dari 3 tahun
memiliki problem bahasa.Penderita sindrom ini cenderung memiliki
intelegensi rata-rata atau lebih tinggi.Namun seperti halnya gangguan
autistik, mereka kesulitan berinteraksi dan berkomunikasi.
2) Gangguan perkembangan menurun (PDD NOS/Pervasice Developmental
Disorder Not Otherwise Specified) 3
Gejala ini disebut juga non tipikal autisme.Penderita memiliki gejala-
gejala autisme, namun berbeda dengan jenis autisme lainnya.IQ penderita
ini rendah.
3) Sindrom Rett3
Sindrom ini terjadi hanya pada anak perempuan.Mulanya anak tumbuh
normal. Pada usia satu hingga empat tahun, terjadi perubahan pola
komunikasi, dengan pengulangan gerakan tangan dan pergantian gerakan
tangan.

10
4) Gangguan Disintergrasi Anak3
Pada gejala austisme ini, anak tumbuh normal hingga tahun kedua.
Selanjutnya anak akan kehilangan sebagian atau semua kemampuan
komunikasi dan keterampilan sosialnya.

2.7 TERAPI
Tujuan terapi untuk anak dengan gangguan autistik adalah untuk
meningkatkan perilaku psikososial dan perilaku yang secara social dapat
diterima, untuk mengurangi gejala perilaku yang aneh, dan untuk
memperbaiki komunikasi verbal serta non verbal.5
Berikut ini merupakan beberapa jenis terapi utama yang dilakukan pada
anak, yaitu:
1) Terapi Perilaku5
Anak autis seringkali merasa frustrasi.Teman-temannya seringkali
tidak memahami mereka, mereka merasa sulit mengekspresikan
kebutuhannya, mereka banyak yang hipersensitif terhadap suara, cahaya
dan sentuhan.Tidak heran bila mereka sering mengamuk. Seorang terapis
perlaku terlatih akan mencari latar belakang dari perilaku negatif tersebut
dan mencari solusinya dengan merekomendasikan perubahan lingkungan
dan rutin anak tersebut untuk memperbaiki perilakunya.5
Terapi perilaku (behavior therapy) adalah terapi yang dilaksanakan
untuk mendidik dan mengembangkan kemampuan perilaku anak yang
terhambat dan untuk mengurangi perilaku-perilaku yang tidak wajar dan
menggantikannya dengan perilaku yang bisa diterima dalam masyarakat.
Terpai perilaku ini merupakan dasar bagi anak-anak autis yang belum
patuh (belum bisa kontak mata dan duduk mandiri) karena program
dasar/kunci terapi perilaku adalah melatih kepatuhan, dan kepatuhan ini
sangat dibutuhkan saat anak-anak akan mengikuti terapi-terapi lainnya
seperti terapi wicara, terapi okupasi, fisioterapi, karena tanpa kepatuhan
ini, terapi yang diikuti tidak akan pernah berhasil.5

11
Terapi perilaku yang dikenal di seluruh dunia adalah Applied
Behavioral Analysis (ABA) yang diciptakan oleh O. Ivar Lovaas, PhD
dari University of California Los Angeles (UCLA).Dalam terapi
perilaku, focus penanganan terletak pada pemberian reinforcement positif
setiap kali anak berespons benar sesuai instruksi yang diberikan. Tidak
ada hukuman (punishment) dalam terapi ini, akan tetapi bila anak
berespons negate (salah/tidak tepat) atau tidak berespons sama sekali
maka ia tidak mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai tersebut.
Perlakuan ini diharapkan meningkatkan kemungkinan anak untuk
berespons positif dan mengurangi kemungkinan ia berespons negative
(atua tidak berespons) terhadap instruksi yang diberikan.5
Secara lebih teoritisk, prinsip dasar terapi ini dapat dijabarkan
sebagai A-B-C; yaknik A (antecedent) yang diikuti dengan B (behavior)
dan diikuti dengan C (consequence). Antecedent (hal yang mendahului
terjadinya perilaku) berupa instruksi yang diberikan oleh seseorang
kepada anak autis. Melalui gaya pengajarannya yang terstruktur, anak
autis kemudian memahami behavior (perilaku) apa yang diharapkan
dilakukan olehnya sesudah instruksi tersebut diberikan, dan perilaku
tersebut diharapkan cenderung terjadi ladi bila anak memperoleh
consequence/akibat (konsekuensi perilaku, atau kadang berupa imbalan)
yang menyenangkan.5
Tujuan penanganan ini terutama adalah untuk meningkatkan
pemahaman dan kepatuhan anak terhadap aturan. Terapi ini umumnya
mendapatkan hasil yang signifikan bila dilakukan secara intensif, teratur
dan konsisten pada usia dini.5
Dalam ABA disarankan waktu yang dibutuhkan adalah 40
jam/minggu, tetapi keberhasilan terapi ini dipengaruhi beberapa faktor:
a. Berat ringannya derajat autisme.5
b. Usia anak saat pertama kali ditangani/terapi
c. Intensitas terapi
d. Metode terapi

12
e. IQ anak
f. Kemampuan berbahasa
g. Masalah perilaku
h. Peran serta orang tua dan lingkungan
2) Terapi Wicara5
Terapi wicara (speech therapy) merupakan suatu keharusan, karena
anak autis mempunyai keterlambatan bicara dan kesulitan
berbahasa.Tujuannya adalah untuk melancarkan otot-otot mulut agar
dapat berbicara lebih baik.Hampir semua anak dengan autisme
mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa.
3) Terapi Okupasi5
Terapi okupasi dilakukan untuk membantu menguatkan,
memperbaiki koordinasi dan keterampilan otot pada anak autis dengan
kata lain untuk melatih motoric halus anak. Hampir semua anak autis
mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motoric halus. Gerak-
geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pensil
dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap
makanan kemulutnya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi
sangat penting untuk melatih mempergunakan otot-otot halusnya dengan
benar.
5. Terapi bermain
Untuk melatih dab mengajarkan anak melalui belajar sambing bermain.
Bermain denga teman sebaya berguba ubtuk belajar bicara, komunikasi
dan interaksi sosial. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam
hal tehnik-tehnik tertentu. Terapi bermain bertujuan bersosialisasi juga
bertujuan untuk terapi prilaku dan bermain sesuai aturan.

6. Terapi anggota keluarga


Memberi perhatian yang penuh , bisa dengan menggunakan konseling
kognitif prilaku.

13
7. TERAPI MEDIKAMENTOSA
Obat hanyalah terapi pendamping, bukan yang utama. Perlu dinyatakan
bahwa belum ada obat yang dapat menyembuhkan autisme.7 Obat dibutuhkan
hanya untuk membantu mengatasi masalah-masalah yang timbul yang tidak dapat
diatasi dengan metoda non obat, seperti hiperaktivitas, agresivitas, menyakiti diri
dan insomnia.8 Atau bila metoda intervensi non obat dikombinasikan dengan obat,
diharapkan intervensinya dapat maksimal.7 Obat-obat yang sering dipakai adalah:

III.2.1. STIMULAN
Inatensi mungkin merupakan satu gejala yang mengganggu proses belajar.
Harus dibedakan antara inatensi yang merupakan bagian dari gejala autisme
dengan inatensi sebagai gejala gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas
(ADHD).
 Deksamfetamin dan Levoamfetamin.
 Metilfenidat.
Dapat meningkatkan atensi dan mengurangi distraktibilitas. Dosis: 0,3 mg/kg.

III.2.2. AGONIS RESEPTOR ALPHA ADRENERGIK10,15


Agonis reseptor alpha adrenergik (Klonidin) dilaporkan dapat menurunkan
agresivitas, temper tantrum, impulsivitas dan hiperaktivitas. Mulai dengan dosis
rendah: 0,025-0,05 mg 2 kali/hari dinaikkan secara bertaap sampai dosis
maksimum 0,3-0,6 mg/hari dalam 3-4 kali/hari.

III.2.3. BETA ADRENERGIK BLOCKER10,15


Beta adrenergik blocker (Propanolol) dipakai dalam mengatasi agresivitas
terutama yang disertai dengan agitasi dan anxietas. Dosis: 1-5 mg/kg/hari atau
lebih.

III.2.4. POTENT LONG ACTING OPIOID ANTAGONIST10,15


Potent long acting opioid antagonist (Naltrekson) memiliki potensi untuk
mengatasi perilaku melukai diri sendiri dan ritual, dosis: 0,5-2 mg/kg/hari.

14
III.2.5. SPESIFIK SEROTONIN REUPTAKE INHIBITOR (SSRI)7
SSRI digunakan untuk mengatasi perilaku stereotipik seperti perilaku yang
melukai diri sendiri, resisten terhadap perubahan hal-hal rutin, ritual obsesif
dengan anxietas yang tinggi. Pemberian SSRI dimulai dari dosis terkecil dan
secara bertahap dinaikkan sampai mencapai dosis terapeutik.
 Fluoxetine.
 Fluvoksamin.

III.2.6. NEUROLEPTIK7
 Neuroleptik tipikal potensi rendah (Thioridazine).
Dapat menurunkan agreivitas dan agitasi. Dosis: 0,5-3 mh/kg/hari,
dibagi dalam 2-3 kali/hari.
 Neuroleptik tipikal potensi tinggi (Haloperidol dan Pimozide).
Dalam dosis kecil: 0,25-3 mg/hari, dapat menurunkan agresivitas,
hiperaktivitas, iritabilitas dan stereotipik.
 Neuroleptik atipikal (Risperidon).
Bila digunakan dalam dosis yang direkomendasikan: 0,5-3 mg/hari
dibagi dalam 2-3 kali/hari, dapat dinaikkan 0,25 mg setiap 3-5 hari
sampai dosis inisial tercapai 1-2 mg/hari dalam 4-6 minggu, akan
tampak perbaikan pada hubungan sosial, atensi dan gejala obsesif.

III.2.7. ANTI EPILEPSI7


Anti epilepsi (Asam valproat) digunakan bila penderita autisme
mengalami epilepsi (1/3 kasus autisme mengidap epilepsi).

III.2.8. NOOTROPIK7
Nootropik (Pirasetam) digunakan untuk memperbaiki gangguan
perkembangan bahasa, karena terbukti obat ini mampu memperbaiki fungsi
hemisfer kiri otak.

15
2.8 PROGNOSIS
Gangguan autistik/autisme infantile umumnya merupakan gangguan
seumur hidup dengan prognosis yang terbatas, anak autistik dengan IQ di atas
70 dan mereka menggunakan bahasa komunikatif saat usia 5 hingga 7 tahun
cenderung memiliki prognosis baik.5

16
BAB III
KESIMPULAN

1. Autisme infantile merupakan gangguan psikosis yang dialami oleh anak-anak


dan terjadi sebelum usia 3 tahun. Kelainan ini ditandai dengan gangguan
kualitatif pada komunikasi verbal dan nonverbal, pada aktivitas imajinatif, dan
pada interaksi social timbal balik.
2. Penyebab austisme adalah spekulatif. Sebab-sebab genetik dilibatkan dan
beberapa faktor berikut ini:
a. Faktor psikososial dan keluarga
b. Faktor biologis
c. Faktor imunologis
d. Faktor perinatal
e. Faktor neuroanatomis
f. Faktor biokimia
3. Diantara gejala-gejala dan tanda-tanda yang paling penting adalah kemampuan
komunikasi verbal dan nonverbal yang tidak atau kurang berkembang, kelainan
pada pola berbicara, gangguan kemampuan mempertahankan percakapan,
permainan sosial yang abnormal, tiadanya empati, dan ketidakmampuan untuk
berteman.
4. Kriteria diagnosis didasarkan pada DSM IV. Autisme memiliki diagnosa
banding lainnya yaitu sindrom Asperger, sindrom Rett, gangguan
perkembangan menurun, dan gangguan disintegrasi anak.
5. Terapi utama pada autisme infantil adalah terapi perilaku, terapi wicara dan
terapi okupasi

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Shibghatullah, M. 2013. Aplikasi Terapi Untuk Anak Autis. Fakultas Psikologi


Universitas Gunadarma Depok. Diakses tanggal 2 November 2016 <
http://www.gunadarma.ac.id/>
2. Yayasan Pendidikan Anak Autis. 2010. Buku Penanganan dan Pendidikan
Anak Autis. Diakses tanggal 2 November 2016 <http://www.ypac-
nasional.org>
3. Puspaningrum. 2010. Tinjauan Autisme dan Pusat Terapi Anak Autis. Pusat
Terapi Anak Autis Yogyakarta. Diakses tanggal 2 November 2016
<http://www.e-journal.uajy.ac.id>
4. Behram, Kliegman, dan Arvin. 2007. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15
Volume 1. Jakarta: EGC
5. Kaplan dan Saddock. 2012. Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Jakarta: EGC
6. Departemen Psikiatrik FK-UI. 2010. Deteksi Dini Gangguan Jiwa pada Anak.
Jakarta
7. Hartono B, Rahmawati D, Muhartomo H. Masalah-Masalah
Neurobehaviour pada Infantil. Dalam: Seminar dan Workshop on Fragile-X,
Mental Retardation, Autism and Related Disorders. Semarang. 2002: 104-112.

18
REFERAT april 2018

“AUTISME”

Nama : Ni komang Suryani Dewi


No. Stambuk : N 111 16 060
Pembimbing : dr.Kartin Akune Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2018

19

Você também pode gostar