Você está na página 1de 8

A.

BERITA
Bocor Data Facebook, Strategi Donald Trump, dan Pilpres 2019

Jakarta, CNN Indonesia -- Kebocoran data pengguna Facebook jadi perbincangan


seantero dunia, tak terkecuali di Indonesia. Ada sekitar 87 juta data pengguna aplikasi
media sosial besutan Mark Zuckerberg itu bocor ke pihak ketiga untuk berbagai
kepentingan. Di Indonesia, tercatat 1.096.666 data pribadi pemilik akun Facebook
yang bocor.

Pengamat Teknologi Informasi Teguh Prasetya mengamini data pribadi Facebook


yang bocor tersebut dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Mulai dari
kepentingan bisnis sampai politik.

Pasalnya, data tersebut memuat berbagai informasi pribadi yang dimiliki oleh sang
empunya akun. Dari tanggal lahir, jenis kelamin, tempat tinggal, lokasi, kebiasaan,
lingkaran pertemanan, riwayat perbincangan, kebutuhan sehari-hari, gaya hidup,
tempat yang biasa dikunjungi, profil psikologis, hingga pandangan politik seseorang.

Potensi memanfaatkan penggunaan data tersebut pun beragam, tergantung dari siapa
yang memegang data tersebut. Misalnya, kata Teguh, data tersebut dipegang oleh
suatu korporasi. Korporasi dapat dengan mudah menyasar pasar-pasar potensial.

Data pribadi tersebut juga bisa disalahgunakan salah satunya adalah pemerasan. Pihak
yang memanfaatkan data tersebut bisa tahu latar belakang korbannya sehingga ia
dapat dengan mudah melancarkan aksi pemerasan.

"Karena yang bersangkutan tahu latar belakang korbannya, itu kan bisa terjadi, ada
blackmail (pemerasan) mengatasnamakan ini karena Facebook-nya dibajak, ada yang
melakukan secara negatif, memeras dan segala macam bisa," kata Teguh saat
dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (18/4).

Data pribadi pengguna Facebook yang bocor juga berpotensi digunakan untuk
kepentingan politik. Hal ini berkaca dari kebocoran data pengguna Facebook di
Amerika Serikat. Data pribadi 50 juta pengguna Facebook yang bocor itu
dimanfaatkan oleh Cambridge Analytica, sebuah perusahaan konsultan politik yang
bermarkas di Inggris, untuk memetakan karakteristik pemilih pada pemilihan presiden
AS 2016 yang memenangkan Donald Trump.

Cambridge Analytica kemudian mengolah data tersebut dan digunakan oleh kubu
Trump untuk kampanye pemenangannya. Berdasarkan hasil olahan data tersebut,
kubu Trump kemudian memetakan karakteristik dari para pemilih di AS untuk
membuat kampanye-kampanye politik yang efektif guna menjaring suara mereka.

Teguh menyebut pemanfaatan kebocoran data pribadi Facebook untuk kepentingan


politik seperti di AS itu juga berpotensi besar terjadi di Indonesia yang pada 2019
mendatang menyelenggarakan pesta demokrasi, Pileg dan Pilpres.

"Sangat besar, buktinya yang di Amerika sudah kejadian. Mereka bisa menggiring
voter mereka, terutama untuk voter yang belum memiliki pilihan itu digiring karena
mereka tahu kebiasaan dan kesukaannya," kata Teguh.

Meski demikian, jumlah data pribadi milik pengguna Facebook di Indonesia masih
terbilang kecil untuk digunakan sebagai pendorong elektabilitas. Komisi Pemilihan
Umum (KPU) mencatat data pemilih potensial di Pemilu 2019 mencapai 189 juta
orang, sementara data Facebook yang bocor di Indonesia tidak mencapai satu persen
dari jumlah tersebut.

Jumlah kebocoran tersebut juga masih jauh dibandingkan dengan data bocor milik
pemilih di AS yang mencapai 50 juta data. Hanya saja jumlah 1.096.666 data pemilik
Facebook ini baru sebatas yang dilaporkan. Masih ada potensi-potensi kebocoran data
yang belum tercatat dan pada akhirnya memungkinkan jauh melebihi jumlah yang
tercatat itu.

"Tapi tetap berpotensi ke sana, apalagi kalau yang dilaporkan satu juta tapi
kenyataannya lebih dari itu, kita juga kan tidak tahu. Ini satu juta kan hanya yang
ketahuan," tuturnya.
Senada dengan Teguh, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI)
Kuskridho Ambardhi menyebut data tersebut sangat besar kemungkinannya
digunakan di pilpres 2019 mendatang. Apalagi masyarakat Indonesia yang
karakteristiknya masih belum betul-betul mementingkan privasinya, menjadi satu
celah datanya dimanfaatkan.

"Kalau bisa terjadi di Amerika yang di sana privasi dihargai, apalagi di sini yang
privasi itu tidak begitu dikejar. Indonesia ini merupakan ladang yang sangat mudah
untuk diolah dan dimanfaatkan datanya," terang pria yang akrab disapa Dodi saat
dihubungi terpisah.

Sampai sejauh ini baru ada dua bakal calon yang setidaknya gencar dikabarkan akan
bertarung di pilpres tahun depan. Pertama, petahana Joko Widodo yang sudah
mendeklarasikan diri dan kedua, Prabowo Subianto yang sejauh ini baru sebatas
menerima mandat dari Partai Gerindra perihal pengusuangan sebagai capres

Menurut Dodi, kedua kubu sangat potensial untuk menggunakan data-data yang bocor
tersebut. Pasalnya data itu bisa saja diolah oleh lembaga sejenis Cambridge Analytica
di dalam dan luar negeri.

"Apakah kemudian Cambridge Analytica atau perusahan konsultan di luar negeri dan
menawarkan jasanya ke Indonesia atau kemudian itu dimanfaatkan di dalam negeri itu
kita tidak tahu masih berpotensi semua," kata dia.

Dodi menjelaskan, calon petahana yang paling besar berpotensi memanfaatkan data
pengguna Facebook yang sudah diolah untuk kepentingan strategisnya mengarungi
pilpres. Seperti halnya di AS, calon petahana bisa menggunakan data tersebut untuk
melancarkan kampanye-kampanye politik yang sesuai dengan karakteristik pemilih di
Indonesia.

Dengan begitu, calon petahana, dalam hal ini, Jokowi, bisa mendongkrak tingkat
keterpilihannya untuk pilpres. Di satu sisi, Jokowi selaku presiden bisa juga menjadi
pelindung publik, misalnya dengan meminta pihak Facebook mengamankan data
yang bocor tersebut dari kepentingan-kepentingan.
"Petahana bisa menggunakan kekuasaannya untuk memainkan data strategis untuk
kepentingannya, tetapi bisa juga petahana menggunakan kekuasaannya untuk
melindungi publik," kata dia.

Selain itu, kubu oposisi pun bisa memanfaatkan hal yang sama, meski
kemungkinannya tidak sebesar kubu petahana. Di atas kertas, kata Dodi, kubu oposisi
bisa mencaplok data yang diolah oleh sebuah lembaga untuk kemudian hasilnya
dimanfaatkan dengan pola yang kurang lebih sama.

"Di atas kertas sebenarnya bisa saja dilakukan, hanya tinggal mau atau tidaknya dia
menggunakan data tersebut," terangnya.

Meski pengaruh media sosial, dalam hal ini Facebook cukup besar dalam kontestasi
politik di Indonesia, namun signifikansinya tidak sama dengan di AS. Menurutnya
realita di media sosial seringkali bertolak belakang dengan di kehidupan nyata.

Dodi mencontohkan, belakangan sentimen masyarakat terhadap pemerintah di media


sosial saat ini cenderung negatif. Banyak masyarakat yang cenderung mengkritik
pemerintahan era Jokowi. Namun, pada kenyataannya di berbagai lembaga survei
elektabilitas Jokowi masih tetap saja tinggi.

Dengan demikian pengaruh dari pemanfaatan data Facebook yang bocor untuk
mendongkrak elektabilitas di Pilpres 2019 tidak akan sebesar di AS.

"Ada pengaruhnya tapi terbatas. Penggunaan data di media sosial itu belum tentu
punya efek elektoral sedahsyat yang terjadi di AS," kata Dodi.

Meski kecil, bukan berarti pemanfaatan kebocoran data pengguna Facebook untuk
kepentingan Pilpres 2019 ini diabaikan begitu saja. Sebab lembaga sejenis Cambridge
Analytica dengan mudah mendapatkan data pribadi pengguna untuk kemudian dijual
kepada pihak yang berkepentingan, dalam hal ini capres, seperti yang terjadi di
Pilpres AS.

Diketahui Cambridge Analytica sejak 2014 lalu sudah mengembangkan sebuah teknik
untuk mendapat data Facebook melalui kuis kepribadian. Tipe kuis ini cukup populer
di Facebook dan dikerjakan oleh pihak ketiga, yakni Global Science Research.

Data-data pengguna tersebut kemudian dikumpulkan oleh seorang akademisi


Universitas Cambridge, Aleksandr Kogan melalui aplikasi survei di Facebook. Hasil
survei kemudian digunakan Cambridge Analytica untuk menargetkan
pengguna Facebook dengan iklan politik selama kampanye Pilpres AS 2016.

Dalam hal Pilpres AS, Cambridge Analytica bekerjasama dengan tim pemenangan
Donald Trump. Di akhir pertarungan, Trump berhasil memenangkan kontes pemilu
dan terpilih menjadi presiden.

B. ANALISIS BERITA
Berita diatas dianalisis menggunakan tiga pendekatan dasar dalam merumuskan
tingkah laku etika bisnis, yaitu:
1) Utilitarian Approach
Utilitarianisme adalah paham dalam filsafat moral yang menekankan manfaat
atau kegunaan dalam menilai suatu tindakan sebagai prinsip moral yang paling
dasar, untuk menentukan bahwa suatu perilaku baik jika bisa memberikan manfaat
kepada sebagian besar konsumen atau masyarakat.
Menurut paham Utilitarianisme bisnis adalah etis, apabila kegiatan yang
dilakukannya dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya pada konsumen
dan masyarakat. jadi kebijaksanaan atau tindakan bisnis yang baik adalah
kebijakan yang menghasilkan berbagai hal yang baik, bukan sebaliknya malah
memberikan kerugian.
Jika dilihat dari manfaatnya, Facebook sendiri mempunyai banyak manfaat
untuk masyarakat, baik Indonesia ataupun luar negeri. Facebook merupakan suatu
media sosial dengan user tebanyak di dunia. Facebook digunakan untuk keperluan
pribadi atau bahkan bisnis seperti onlineshop. Penggunaan yang relatif mudah
membuat Facebook merupakan sosial media yang banyak diminati oleh
masyarakat. Dengan adanya Facebook, masyarakat bisa berkomunikasi dengan
mudah baik chatting ataupun video call, bisa untuk menambah teman dan juga
bisa menjadi sarana untuk menjualkan produk-produk secara online. Namun,
dalam kasus ini, telah disebutkan bahwa sekitar 87 juta data pengguna aplikasi
Facebook bocor ke pihak ketiga untuk berbagai kepentingan. Dari jumlah
tersebut, di Indonesia tercatat 1.096.666 data pribadi pemilik akun Facebook yang
bocor. Data tersebut memuat berbagai informasi pribadi yang dimiliki oleh sang
pemilik akun. Dari tanggal lahir, jenis kelamin, tempat tinggal, lokasi, kebiasaan,
lingkaran pertemanan, riwayat perbincangan, kebutuhan sehari-hari, gaya hidup,
tempat yang biasa dikunjungi, profil psikologis, hingga pandangan politik
seseorang.
Untuk kasus kebocoran data pengguna Facebook di Amerika Serikat, data
pribadi 50 juta pengguna Facebook yang bocor itu dimanfaatkan oleh Cambridge
Analytica, sebuah perusahaan konsultan politik yang bermarkas di Inggris, untuk
memetakan karakteristik pemilih pada pemilihan presiden AS 2016 yang
memenangkan Donald Trump. Cambridge Analytica kemudian mengolah data
tersebut dan digunakan oleh kubu Trump untuk kampanye pemenangannya.
Berdasarkan hasil olahan data tersebut, kubu Trump kemudian memetakan
karakteristik dari para pemilih di AS untuk membuat kampanye-kampanye politik
yang efektif guna menjaring suara mereka.
Dalam kasus ini memang sebenarnya yang menyalahgunakan data tanpa seizin
sang pemilik akun adalah Cambridge Analytica, namun di sisi lain Facebook juga
kurang dalam hal keamanan atau pengamanan data. Data yang dimiliki Facebook
bisa dengan mudah diakses oleh Cambridge Analytica tanpa sistem keamanan
atau mungkin setidaknya ada perjanjian antara kedua belah pihak. Facebook
dengan media sosial yang paling banyak diminati dan paling banyak pengguna,
seharusnya sudah dilengkapi dengan keamanan data yang ekstra. Dengan adanya
kasus ini, banyak masyarakat yang menjadi resah dan tidak percaya dengan
system yang telah dibuat Facebook.
2) Individual Rights Approach
Dalam prakteknya pendekatan ini akan sangat berpengaruh dalam menghargai
dan menghormati tindakan orang lain. Secara teori, pengguna Facebook
seharusnya mempunyai hak untuk dilindungi privasinya seperti informasi-
informasi pribadi mengenai pengguna oleh system Facebook. Namun pada
nyatanya, terbukti pada kasus ini jika data yang dimiliki pengguna bisa diakses
dengan gampang oleh pihak lain yaitu pada kasus ini, Cambridge Analytica.
Facebook mempunya pengguna dengan jumlah angka yang tidak sedikit. Jika
Facebook mempunyai banyak pengguna, dapat dipastikan pengguna-pengguna ini
telah mempercayai Facebook untuk dijadikan salah satu pilihan sosial media.
Namun nyatanya justru Facebook sendiri yang telah merusak kepercayaan-
kepercayaan penggunanya dengan membocorkan data-data pribadi milik pemilik
akun. Dengan adanya kasus ini, Facebook jelas melanggar hak penggunanya yang
seharusnya pengguna mendapat hak atas keamanan informasi pribadinya
bukannya malah membocorkan informasi pribadi pengguna.
3) Justice Approach
Justice Approach memiliki artian para pembuat keputusan mempunyai
kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada
pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.
Dalam kasus ini jelas Facebook bertindak tidak adil terhadap para
penggunanya karena sebagian pengguna mengalami kebocoran data. Menurut
kasus ini, Cambridge Analytica membuat sebuah survei online (berupa kuis) yang
ditujukan untuk mengetahui kepribadian setiap orang dan hasil survei kemudian
digunakan Cambridge Analytica untuk menargetkan pengguna Facebook dengan
iklan politik selama kampanye Pilpres AS 2016. Kuis tersebut diujikan pada
sekitar 270 ribu pengguna. Namun tanpa disadari, Cambridge Analytica juga
memanen data puluhan juta pengguna dari jaringan perkawanan peserta kuis
tersebut. Jadi untuk setiap pengguna yang mengikuti kuis ini, Cambridge
Analytica bisa dengan mudah mengakses data pengguna dan juga data milik
teman pengguna tersebut. Data inilah yang kemudian dijadikan bahan kampanye
untuk pemenangan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Pada dasarnya yang membuat kebocoran data adalah dari pihak Cambridge
Analytica, namun jika Facebook mempunyai system keamanan bagi setiap data
penggunanya, Cambridge Analytica tidak akan bisa mengaksesnya.

Você também pode gostar