Você está na página 1de 5

Ancient religious hatreds: Dua kelompok yang mengklaim tanah yang sama

Pada awal abad ke-20, Timur Tengah berada di bawah kekuasaan Ottoman, termasuk Palestina.
Israel-Palestina merupakan suatu daerah yang memiliki banyak perbedaan agama, yaitu Islam,
Kristen, Yahudi, dan Druze yang hidup berdampingan dalam kedamaian.

Kemudian, kondisi tersebut berubah menjadi 2 hal:

1. Semakin banyak pihak yang semakin merasa ingin memiliki sebuah negara independen
dikarenakan menyebarnya paham nasionalisme—termasuk etnik Arab di wilayah
Palestina; dan
2. Orang-orang Yahudi dari Eropa menggandrungi paham Zionism yang mengatakan bahwa:
Yahudi tidak hanya tentang kepercayaan, tapi sebuah negara. Setelah berabad-abad
dipersekusi, banyak Yahudi yang mulai memikirkan tanah air mereka di Timur Tengah dan
berencana akan membangun negara atasnya. Pada awal dekade abad ke-20, 10.000 Yahudi
pun bermigraso ke Timur Tengah.
Setelah Perang Dunia I, Ottoman runtuh dan Imperium Brittania Raya mulai berkembang—
menguasai wilayah Timut Tengah. Imperium Inggris menguasai wilayah yang dinamakan
“British Mandate of Palestine”. Pada mulanya, Inggris memperbolehkan para Yahudi
berimigrasi ke Palestina mulai tahun 1919. Namun, semakin hari semakin banyak Yahudi yang
datangenetap dan tentu dalam membangun tempat tinggal, mereka memerlukan lahan.
Timbullah ketegangan antara Yahudi dengan penduduk Palestina disebabkan perebutan lahan.
Kedua pihak tak luput menggunakan jalan kekerasan. Hingga pada 1930, Inggris pun mulai
membatasi migrasi Yahudi ke Timur-Tengah. Pada saat yang sama, kelompok Yahudi yang
telah berada di wilayah Palestina membentuk kelompok-kelompok milisi guna memerangi
orang-orang Arab Palestina dan menolak aturan Imperium Inggris.

Holocaust (1941-1945)

Kejadian Holocaust menyebabkan banyak Yahudi melarikan diri dari Eropa menuju
wilayah British Mandate of Palestina, dengan mengumpulkan dukungan dunia atas negara
Yahudi.

Pada 1947, kekerasan sektarian antara Yahudi-Arab tumbuh. Dalam Proposal PBB di
tahun 1947, PBB menyetujui rencana untuk membagi British Mandate of Palestine menjadi
dua negara terpisah; yakni Israel dan Palestina. Kota Jerusalem merupakan situs suci bagi
agama Islam, Kristen, dan Yahudi menjadi kota internasional. Tujuannya partisi tersebut
adalah untuk meengakomodasi keinginan dua pihak sebagaimana telah disebutkan di awal;
mndirikan negara untuk orang Yahudi dan memberikan kemerdekaan untuk orang Arab-
Palestina. Orang-orang Yahudi pun menerima rencana ini dan mendeklarasikan
kemerdekaannya. Namun, berbeda dengan orang-orang Arab di wilayah tersebut yang melihat
rencana itu sebagai bentuk kolonialisme Eropa, dengan tujuan mencoba mencuri tanah mereka.

Arab-Israeli war (1948-1949)

Banyak negara Arab yang baru saja mendeklarasikan kemerdekaannya menyatakan


perang dengan Israel sebagai usaha menjaga kedaulatan wilayah Palestina seutuhnya. Perang
tersebut dikenal sebagai Perang Arab-Israel yang berlangsung hungga tahun 1949. Israel,
dengan dukungan-dukungan yang Ia peroleh dari negara-negara pemenang Perang Dunia,
memenangkan peperangan tersebut sehingga terwujudlah UN Partition Plan yabg melahirkan
dua negara baru, Israel dan Palestina. Dalam prosesnya, Israel melewati perbatasan yang telah
ditetapkan dalam Keputusan PBB, serta mengambil setengah wilayah barat Jerussalem yang
masuk dalam bagian Palestina dalam plan tersebut. Mereka juga mengusir orang-orang
Palestina dari rumahnya, melakukan pengusiran besar-besaran yang hingga kini korbannya
mencapai sekitar 7 juta jiwa. Pada akhir peperangan, Israel pun mengontrol wilayah Palestina
secara keseluruhan, kecuali Gaza (karena di bawah kontrol Mesir) dan West Bank (dibawah
kontrol Jordan). Ini merupakan awal dari konflik berkepanjangan Israel-Palestina.

Six-Days War 1967

Pada masa ini, banyak Yahudi di mayoritas negara Arab diusir dan berpindah ke Israel.
Saat itu, Israel dan negara-negara Arab di sekitarnya tengah berperang lantaran urusan yang
lain. Ketika perang itu berakhir dengan kemenangan Israel, Israel berhasil menyita dataran
tinggi Golan di Suriah, West Bank dari Jordan dan Gaza, serta Semenanjung Sinai dari Mesir.
Sekarang, Israel menduduki seluruh wilayah Palestina beserta kota sucinya.

Pada tahun 1978, Israel dan Mesir menandatangani Camp David Accord yang ditengahi
oleh AS. Tidak lama setelah itu, Israel kembali melepas Semenanjung Sinai pada Mesir sebagai
bagian dari perjanjian damai. Hal tersebut menimbulkan kontroversi di
kalangan negara-negara Arab. Presiden Mesir, Anwar Sadat dibunuh oleh amarah dan
penentangan rakyat Mesir terhadapnya. Hal ini secara luas menjadi akhir dari perang negara-
negara Arab dengan Israel. Setelah beberapa dekade, negara-negara Arab pun mulai berdamai
dengan Israel, meskipun tidak pernah menandatangani perjanjian damai. Namun, milisi Israel
masih menduduki wilayah Palestina di West Bank dan Gaza—di sinilah konflik menjadi
mengerucut dan semakin intensif, antara Isarel dengan Palestina.

The Palestinian Liberation Organization atau PLO dibentuk sekitar tahun 1960 dengan
tujuan mempertahankan Palestina melawan Israel, termasuk melalui jalan terorisme. PLO
menginginkan wilayah Palestina secara utuh seperti saat British-Palestina, yang artinya ingin
menyapu habis keberadaan Israel. Peperangan Israel dengan PLO pun berlangsung selama
bertahun-tahun. Kemudian, PLO menyetujui untuk membagi wilayah Palestina dan Israel,
namun konflik ini tidak selesai.

Namun, sesuatu yang dramatik terjadi setelahnya, dimana orang-orang Israel sebagai
pendatang (atau pemukim) mulai menempati wilayah Gaza dan West Bank dan mendirikan
pemukiman di beberapa wilayah yang seharusnya menjadi milik Palestina, tanpa sepersetujuan
penduduk Palestina. Beberapa pindah dengan alasan agama, beberapa karena mereka mengakui
tanah milik Palestina sebagai tanah mereka, beberapa hanya karena rumah di wilayah-wilayah
tersebut harganya murah karena disubsidi oleh pemerintah Israel. Walhasil timbul lah babak
baru dalam konflik Israel-Palestina.

Para pemukim Israel ini diikuti oleh tentara yang menjaga mereka dan memaksa warga
Palestina meninggalkan tempat asalnya dikarenakan adanya ketimpangan kekuatan. Dalam
jangka waktu yang singkat, mereka membuat pendudukan yang semakin menyengsarakan
orang-orang Palestina. Lambat laun, dengan membagi-bagi wilayah pemukimann, rakyat
Palestina semakin kesulitan mendirikan negara independen. Hingga saat ini, terdapat beberapa
ratus ribu pemukim di wilayah pendudukan, meski masyarakat internasional menganggap hal
ini sebagai sesuatu yang ilegal.

Keresahan warga Palestina berujung pada adanya Intifada (pemberontakan) pertama


pada 1987-1993. Dimulai dengan adanya protes dan boikot yang kemudian menjelma menjadi
kekerasan, dan Israel meresponnya dengan kekuatan besar. Ratusan orang Israel dan ribuan
orang Palestina meninggal pada pemberontakan pertama. Di waktu yang sama,
sekelompok orang Palestina di Gaza yang menyadari bahwa PLO terlalu sekuler dan terlalu
berkompromi dengan Israel dalam mewujudkan Negara Palestina yang berdaulat. Orang-orang
tersebut pun berinisiasi untuk membentuk kelompok ekstrimis brutal untuk mengalahkan
Israel, bernama Hamas.

Hingga awal 1990-an, jelas bahwa Palestina (setidaknya PLO) dan Israel ingin
mencapai perdamaian. Pemimpin kedua pihak pun menandatangani Oslo Accords pada 1993.
Perjanjian ini dimaksudkan sebagai langkah awal bilamana Israel akan menarik warganya dari
wilayah Palestina dan menerima kemerdekaan Palestina. Oslo Accords membangun otoritas
Palestina, memperbolehkan Palestina lebih bebas dalam mengatur negaranya di beberapa
tempat. Namun, aliran garis keras dari kedua pihak melanggarnya. Hamas meluncurkan bom
bunuh diri dan berusaha menyabotase prosesnya, sementara golongan kanan Israel yang
menentang adanya perdamaian mengorkestrasikan pembunuhan terhadap Perdana Menteri
Yitzhak Rabin. Tidak lama setelah Rabin menandatangani Oslo Accord, dua orang dari
golongan kanan tersebut membunuhnya di Tel Aviv. Kedua golongan ekstrimis ini menjauhkan
kedua negara tersebut dari perdamaian dan terus membuat konflik yang permanen, dimana
mereka menginginkan kehancuran pihak lawan secara total.

Camp David II (2000)

Negosiasi dimaksudkan untuk menuntaskan perincian akhir mengenai ihwal


perdamaian selama bertahun-tahun, namun Camp David ini berakhir tanpa hasil. Orang-orang
Palestina pun mulai berpikir bahwa perdamaian tidak akan terjadi, hingga mereka memulai
Intifada kedua pada 2000-2005. Pemberontakan ini menjatuhkan jauh lebih banyak korban dari
Intifada pertama; sekitar 1.000 orang Israel dan 3.200 orang Palestina meninggal.

Intifada kedua benar-benar mengubah jalannya konflik. Israel menjadi lebih curiga dan
skeptis; apakah Palestina akan menerima perdamaian atau bahkan apakah feasible untuk
menempuh jalur perdamaian. Politisi Israel pun bergeser pemikiran politiknya menjadi lebih
ekstrem dan bahkan megupayakan pembangunan dinding barikade serta pos pemeriksaan
untuk mengontrol pergerakan orang-orang Palestina. Orang-orang Palestina juga mulai
berpikir bahwa negosiasi tidak berjalan dengan baik dalam menghasilkan perdamaian.

Pada tahun itu pula, Israel melepas diri dari Gaza, Hamas bertambah kekuatannya dan
memisahkan diri dari otoritas Palestina, pada perang sipil yang memisahkan Gaza dari West
Bank. Israel meninggalkan Gaza dibawah blokade total yang mencekik penghuninya. Di West
Bank pun semakin banyak penduduk Israel yang meresahkan orang-orang Palestina, terkadang
mereka merespon dengan protes atau bahkan dengan kekerasan, meskipun banyak orang yang
hanya ingin hidup dengan tenang. Di Gaza, Hamas dan grup ekstrimis lainnya melakukan
perang secara berkala dengan Israel. Peperangan ini membunuh banyak warga sipil palestina.
Kini, orang-orang Israel menjadi apatis dan sebagian besar pekerjaan menjaga konflik relatif
dihapus dari kehidupan sehari-hari. Mereka menggantinya dengan momen kekerasan yang
singkat tetapi mengerikan.

Rilis ini disusun oleh Salam Palestine and International Center (SPICE).

Você também pode gostar