Você está na página 1de 22

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Meningkatnya persaingan didalam bidang industri menuntut
perusahaan-perusahaan untuk melakukan berbagai usaha dalam
meningkatkan produktivitas. Usaha-usaha tersebut meliputi seluruh aspek
produksi yang ada seperti bahan, mesin, alat kerja, tenaga kerja, lingkungan,
dan sebagainya. Namun kebanyakan aktifitas dalam suatu industri terutama
proses produksi, yang banyak digunakan berbagai macam mesin-mesin dan
peralatan yang menimbulkan suara yang keras sehingga dampak bising di
industri tersebut semakin dirasakan oleh para pekerja. Suara adalah sensasi
yang timbul apabila getaran longitudinal molekul di lingkungan eksternal,
yaitu masa pemadatan dan pelonggaran molekul yang terjadi berselang seling
mengenai memberan timpani. Plot gerakan-gerakan ini sebagai perubahan
tekanan di memberan timpani persatuan waktu adalah satuan gelombang, dan
gerakan semacam itu dalam lingukangan secara umum disebut gelombang
suara.
Telah diketahui bahwa adanya suatu suara akan menurunkan
kemampuan seseorang mendengar suara lain. Fenomena ini dikenal sebagai
masking (penyamaran). Fenomena ini diperkirakan disebabkan oleh refrakter
relative atau absolute pada reseptor dan urat saraf pada saraf audiotik yang
sebelumnya teransang oleh ransangan lain. Tingkat suatu suara menutupi
suara lain berkaitan dengan nadanya. Kecuali pada lingkungan yang sangat
kedap suara, Efek penyamaran suara lata akan meningkatan ambang
pendengaran dengan besar yang tertentu dan dapat diukur.
Kerusakan pendengaran akibat terpapar bising keras dalam waktu
yang cukup lama yang lazimnya disebut trauma bising diperkirakan mulai
terjadi pada abad perunggu sejak manusia mengenal logam. Penempaan
bahan perunggu dan besi untuk dibuat alat-alat atau senjata yang diperlukan

1
2

dalam kehidupan sehari-hari menimbulkan bising keras yang dapat merusak


pendengaran. Kerusakan organ pendengaran akibat bising terjadi pada
lingkaran basal cochleae yang ditandai dengan menghilangnya sebagian sel-
sel rambut organon spirale cochleae. Selanjutnya dari hasil pengukuran
dengan audiometer terlihat jelas terinci frekuensi-frekuensi organ
pendengaran yang mengalami kerusakan.
Dampak.dari adanya kebisingan terdiri dari dua yaitu auditory effect
dan non auditory effect. Auditory effect yaitu efek akibat dari kebisingan yang
berpengaruh pada organ pendengaran. Sedangakan non auditory effect yaitu
efek akibat dari kebisingan yang berpengaruh pada selain organ pendengaran.
Efek dari organ pendengaran diataranya terjadinya Noise Induced Hearing
Loss, Temporary Treshold Shift, dan Acute Acoustic Trauma. Masing-masing
dari gangguan tersebut mempunyai gejala dan karakteristik yang berbeda-
beda. Juga mempunyai pengendalian ataupun penanganan yang berbeda pula.
Dampak ini dirasakan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Efek pemaparan bising yang secara langsung dirasakan para pekerja adalah
gangguan komunikasi, gangguan konsentrasi, terganggunya daya ingat,
menimbulkan kelelahan psikoligis, cepat marah, detak nadi meningkat, dan
kenaikan nilai ambang pendengaran yang sifatnya sementara. Efek yang tidak
langsung dan biasanya tidak dirasakan oleh para pekerja adalah penurunan
tajam pendengaran secara perlahan-lahan, berlangsung dalam waktu yang
cukup lama yang kemudian bersifat irreversibel sehingga menimbulkan tuli
tetap.
Pengendalian kebisingan adalah hal wajib yang diterapkan dalam
suatu usaha atau industri yang mampu menghasilkan kebisingan. Serta pada
dasarnya pengendalian kebisingan tersebut tidak boleh bertentangan pada
prinsip-prinsip diadakannya perancangan perusahaan atau industri tersebut.
Prinsip-prinsip tersebut dapat berupa kelayakan ekonomi, kemudahan operasi
alat, kemudahan perawatan alat, serta faktor keamanan dan keselamatan di
perusahaan atau industri tersebut. Oleh karena itu, dilakukan praktikum
3

pengukuran audiometri untuk mengetahui seberapa besar tingkat kepekaan


pendengaran seseorang.
Untuk mengukur berapa uji pendengaran, kita dapat menggunakan
alat yang disebut audiometer. Suatu sistem uji pendengaran dengan
menggunakan alat listrik yang dapat menghasilkan bunyi nada-nada murni
dari berbagai frekuensi 250-500, 1000-2000, 4000-8000 dan dapat diatur
intensitasnya dalam satuan (dB). Bunyi yang dihasilkan disalurkan melalui
telepon kepala dan vibrator tulang ke telinga orang yang diperiksa
pendengarannya. Masing-masing untuk mengukur ketajaman pendengaran
melalui hantaran udara dan hantaran tulang pada tingkat intensitas nilai
ambang, sehingga akan didapatkan kurva hantaran tulang dan hantaran udara.
Dengan membaca audiogram ini kita dapat mengtahui jenis dan derajat
kurang pendengaran seseorang. Gambaran audiogram rata-rata sejumlah
orang yang berpendengaran normal dan berusia sekitar 20-29 tahun
merupakan nilai ambang baku pendengaran untuk nada murni.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui teori kebisingan.
2. Untuk mengetahui derajat ketulian seseorang.
3. Untuk mengukur tingkat pendengaran dengan Audiometer.
4. Untuk mengetahui cara penggunaan dari alat Audiometer.
5. Untuk menganalisa tingkat pendengaran menggunakan Audiometer.
6. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pengukuran.

C. Manfaat
1. Bagi Praktikan:
a. Dapat mengetahui derajat ketulian seseorang.
b. Dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pengukuran
pendengaran dengan menggunakan audiometer.
c. Dapat mengidentifikasi dan mengetahui ada tidaknya gangguan
pendengaran pada seseorang.
4

2. Bagi Prodi D4 Keselamatan dan Kesehatan Kerja :


a. Dapat dijadikan referensi dan kepustakaan oleh program D.IV
Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
b. Dapat menciptakan mahasiswa D.IV Keselamatan dan Kesehatan
Kerja yang berkualitas dan siap kerja.
c. Dapat mengetahui sejauh mana mahasiswa mampu menguasai dan
memahami materi tentang audiometri.
d. Dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran atau evaluasi untuk
pengabdian kepada masyarakat dan lingkungan kerja.
5

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Teori Bising
Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang
bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang
pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran
(Permenakertrans No. 13 Th 2011). Terdapat 2 (dua) karakteristika utama
yang menentukan kualitas suatu bunyi atau suara, yaitu frekuensi dan
intensitasnya. Frekuensi dinyatakan dalam jumlah getaran per detik
dengan satuan Herz (Hz), yaitu jumlah gelombang bunyi yang sampai di
telinga setiap detiknya. Dan juga intensitas atau arus energi per satuan
luas biasanya dinyatakan dalam suatu satuan logaritmis yang disebut
desibel (dB) dengan memperbandingkannya dengan kekuatan standar
0,0002 dine (dyne) / cm2 yaitu kekuatan bunyi dengan frekuensi 1.000
Hz yang tepat dapat didengar telinga normal (Suma’mur 2013).
Menurut Wilson (1989), bunyi atau suara didefinisikan sebagai
serangkaian gelombang yang merambat dari suatu sumber getar akibat
perubahan kerapatan dan tekanan udara. Kebisingan merupakan
terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki termasuk bunyi yang tidak
beraturan dan bunyi yang dikeluarkan oleh transportasi dan industri,
sehingga dalam jangka waktu yang panjang akan dapat mengganggu dan
membahayakan konsentrasi kerja, merusak pendengaran (kesehatan), dan
mengurangi efektifitas kerja.
2. Gangguan pendengaran akibat bising
Definisi gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara
parsial atau total untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua
telinga. Pembagian gangguan pendengaran berdasarkan tingkatan
beratnya gangguan pendengaran, yaitu mulai dari gangguan pendengaran

5
6

ringan (20-39dB), gangguan pendengaran sedang (40-69 dB), dan


gangguan pendengaran berat (70-89 dB).
Gangguan pendengaran dapat diklasifikasikan sebagai :
a. Tuli konduktif
Disebabkan oleh kondisi patologis pada kanal telinga
eksterna, membrane timpani, atau telinga tengah. Gangguan
pendengaran konduktif tidak melebihi 60 dB karena dihantarkan
menuju koklea melalui tulang (hantaran melalui tulang) bila
intensitasnya tinggi. Seringnya penyebab gangguan pendengaran
jenis ini pada anak adalah otitis media dan disfungsi tuba
eustachius yang disebabkan oleh otitis media sekretori. Kedua
kelainan tersebut jarang menyebabkan kelainan gangguan
pendengaran melebihi 40 dB.
b. Tuli sensorineural
Disebabkan oleh kerusakan atau malfungsi koklea, saraf
pendengaran, dan batang otak sehingga bunyi tidak dapat diproses
sebagaimana mestinya. Bila kerusakan terbatas pada sel rambut di
koklea, maka sel ganglion dapat bertahan atau mengalami
degenerasi transneural. Bila sel ganglion rusak, maka nervus VIII
akan mengalami degenerasi Wallerian.
Penyebabnya antara lain adalah : kelainan bawaan, genetik,
penyakit atau kelainan pada saat anak dalam kandungan, proses
kelahiran, infeksi virus, pemakaian obat yang merusak koklea (kina
antibiotika seperti golongan makrolid), radang selaput otak, dan
kadar bilirubin yang tinggi. Penyebab utama gangguan
pendengaran ini disebabkan genetic atau infeksi, sedangkan
penyebab yang lainnya lebih jarang.
c. Tuli campuran
Bila gangguan pendengaran atau tuli konduktif dan
sensorineural terjadi bersamaan.
7

3. Diagnosis tuli akibat kerja


a. Anamnesis
1) Riwayat Pekerjaan
Hal yang harus ditanyakan ketika melakukan pemeriksaan
kasus tuli akibat kerja adalah peristiwa yang terjadi di tempat kerja
pada saat awal terganggu pendengarannya. Untuk memperjelas
progresivitas gangguan pendengaran, dibutuhkan hasil-hasil
audiogran yang pernah dilaksanakan. Seluruh riwayat pekerjaan
pekerja perlu ditanyakan pula secara mendetail, termasuk berbagai
faktor yang dirasakan memperberat gangguan pendengarannya,
seperti jabatan, jenis tugas yang dilaksanakan dan lama kerja.
Gangguan pendengaran umumnya terjadi setelah pajanan
bising lebih dari 5 tahun, progresivitas berkurang bila pajanan
bising dihentikan, dan menjadi permanen bila terpajan terus
menerus selama lebih dari 10 tahun. Hal ini bergantung pada
lamanya pajanan pada tiap tahapan tugas per hari kerja dan umur
pada masa masing-masing aktivitas kerja. Walaupun tanpa pajanan
bising, gangguan pendengaran bertambah sesuai dengan
bertambahnya umur (prebycusis).
Oleh karena itu, selain beratnya ganggguan pendengaran
akibat bertambahnya umur, juga yang diakibatkan pajanan bising
di tempat kerja, harus mempertimbangkan. Hal-hal lain yang perlu
ditanyakan meliputi : lokasi fisik di tempat kerja, produk yang
dihasilkan, jenis pelayanan tugas kerja, kondisi alat pelindung diri
yang digunakan, frekuensi, dan lama penggunaannya selama
bertugas, intensitas bising di tempat kerja, serta jenis bising
(spectrum frekuensi). Untuk terjadinya gangguan pendengaran,
bising dengan frekuensi yang lebih dari 500 Hz mempunyai
potensi yang lebih besar dibandingkan dengan bising dengan
frekuensi yang lebih rendah. Juga perlu ditanyakan suasana
8

sekeliling sumber bising, jarak keterpajanan dari sumber bising,


dan posisi telinga dari sumber bising pada saat bekerja.
2) Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga perlu diketahui untuk menyingkirkan
adanya gangguan pendengaran akibat faktor keturunan.
3) Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita
Beberapa penyakit yang pernah diderita sejak dalam
kandungan perlu ditanyakan, karena penyakit tersebut dapat
menyebabkan gangguan pendengaran sebelum terpajan bising di
tempat kerja, seperti :
a) Infeksi Intrauterine
b) Kelahiran Premature
c) Hipoksia Prenatal
d) Hiperbilirubinemia Perinatal
e) Meningitis
f) Kelainan konginetal pada telinga, kepala atau leher
g) Benturan keras pada kepala atau telinga
4) Penggunaan Obat atau Keracunan Obat-obatan
Penggunaan obat atau keracunan obat ototoksik, seperti :
a) Aminoglikosida (streptosimin, kanamisin, gentamisin)
b) Cisplatin
c) Lasix
d) Aspirin
e) Toluenea
f) CO
g) Karbon disulfide
5) Hobi
Beberapa aktivitas di luar tenpat kerja dapat menyebabkan
gangguan pendengaran, seperti :
a) Membuat kerajinan dari bahan baku kayu atau logam
b) Reparasi otomotif
9

c) Balap motor atau mobil


d) Menembak
e) Musik keras
f) Mengemudi traktor, dll
6) Pemeriksaan fisik
Selama anamnesis dapat diamati bahwa seseorang dengan
tuli sensorik yang ringan sampai menengah biasanya berbicara
dengan suara yang keras sebaliknya seseorang dengan tuli
konduktif biasanya berbicara dengan suara yang halus.
Tanda dini gangguan pendengaran yang lain juga perlu
diamati seperti :
a) Pada tuli sensorik, gangguan pendengaran terutama pada bunyi
dengan frekuensi tinggi, sehingga biasanya mengalami
kesulitan mendengar kata-kata dengan huruf konsonan yang
berdesis seperti S, F, SH, CH, C. Seseorang dengan tuli
sensorik sering kali mengeluhkan bahwa lawan bicara tidak
berbicara dengan jelas, terutama bila lawan bicaranya wanita
atau anak-anak.
b) Terjadi perubahan perilaku berkomunikasi, misalnya
membutuhkan jarak yang dekat dengan lawan bicara atau harus
melihat mulut lawan bicara.
c) Mendapat kesukaran untuk mendengar kata-kata yang
diucapkan pada lingkungan yang bising.
d) Pembicaraan melalui telepon biasanya tidak terganggu, karena
umumnya bunyi pada telepon menggunakan frekuensi kurang
dari 3000 Hz.
e) Terasa ada bunyi mendenging di telinga (tinnitus).
Pemeriksaaan THT yang seksama perlu dilaksanakan.
Fokus infeksi di teliga jelas dapat mengakibatkan gangguan
pendengaran.
10

4. Audiometri
Audiometri berasal dari kata audire dan metrios yang berarti
mendengar dan mengukur (uji pendengaran). Audiometri tidak saja
dipergunakan untuk mengukur ketajaman pendengaran, tetapi juga dapat
dipergunakan untuk menentukan lokalisasi kerusakan anatomis yang
menimbulkan gangguan pendengaran. Audiometri monitoring /
Pemantauan audiometri dimaksudkan untuk menentukan tingkat ambang
dengar secara akurat dan praktis bukan pemeriksaan diagnostik.
Pemantauan audiometri dilakukan dengan memberikan nada murni
frekwensi tertentu pada hantaran udara sehingga dapat ditentukan tingkat
suara terendah yang masih dapat terdengar. Dengan pemeriksaan ini
dapat ditentukan jenis ketulian yaitu tuli konduktif dan tuli saraf
(sensorineural).
Pada audiometri terdapat pilihan nada dari oktaf yaitu 125, 250,
500, 1000,2000, 4000 dan 8000 Hz yang memungkinkan intensitas lebih
dari 110 dB. Standar alat yang digunakan berdasarkan BS EN 60645-
1(IEC 60645-1). Alat audiometer harusnya selalu dapat dikalibrasi
dengan exhaustiveelectroacoustic calibrations oleh badan pengkalibrasian
nasional. Pemeriksaan termasuk pemeriksaan cara pakai, dan
penyesuaian bioakustik seharusnya dilakukantiap hari sebelum
digunakan, sesuai standar BS EN ISO 389 series.
Audiometer adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengetahui
level pendengaran seseorang. Dengan bantuan sebuah alat yang disebut
dengan audiometer, maka derajat ketajaman pendengaran seseorang
dapat dinilai. Audiometer merupakan suatu peralatan elektronik yang
digunakan untuk menguji pendengaran, dimana audiometer mampu
menghasilkan suara yang memenuhi syarat sebagai bahan pemeriksaan
yaitu frekuensi (125-8000 dan intensitas suara yang dapat diukur (-10 s/d
110 dB).
11

Tes audiometri diperlukan bagi seseorang yang merasa memiliki


gangguan pendengaran atau seseorang yang akan bekerja pada suatu
bidang yang memerlukan ketajaman pendengaran.
Komponen yang ada pada audiometri yaitu :
a. Oscilator : untuk menghasilkan bermacam nada murni
b. Amplifier : alat untuk menambah intensitas nada
c. Interuptor/pemutus : alat pemutus nada
d. Atteneurator : alat mengukur intensitas suara
e. Earphone : alat merubah sinyal listrik yang ditimbulkan audiometer
menjadi sinyal suara yang dapat didengar.
f. Masking noise generator : untuk penulian telinga yang tidak diperiksa.
Audiometer adalah peralatan elektronik untuk menguji
pendengaran atau untuk mengetahui level pendengaran.. Audiometer
diperlukan untuk mengukur ketajaman pendengaran, yaitu :
a. Digunakan untuk mengukur ambang pendengaran.
b. Mengindikasikan kehilangan pendengaran.
c. Pembacaan dapat dilakukan secara manual atau otomatis.
d. Mencatat kemampuan pendengaran setiap telinga pada deret frekuensi
yang berbeda.
e. Menghasilkan audiogram (grafik ambang pendengaran untuk masing-
masing telinga pada suatu rentang frekuensi).
f. Pengujian perlu dilakukan di dalam ruangan kedap bunyi namun di
ruang yang heningpun hasilnya memuaskan.
Audiometri dimanfaatkan dalam bidang yaitu :
a. Untuk kedokteran klinik , khususnya menentuksn penyakit telinga.
b. Untuk kedokteran kehakiman, sebagai dasar tuntutan ganti rugi.
c. Untuk kedokteran pencegahan, mendeteksi ketulian pada anak-anak,
pekerja pabrik
Tujuan pemeriksaan audiometri antara lain sebagai berikut :
a. Mendiagnostik penyakit telinga.
12

b. Mengukur kemampuan pendengaran dalam menangkap percakapan


sehari-hari, atau dengan kata lain validitas sosial pendengaran : untuk
tugas dan pekerjaan, apakah butuh alat pembantu mendengar atau
pendidikan khusus, ganti rugi (misalnya dalam bidang kedokteran
kehakiman dan asuransi).
c. Skrining anak balita dan SD.
d. Memonitor untuk pekerja-pekerja ditempat bising.
Manfaat pemeriksaan audiometri monitoring :
a. Sebagai bagian dari program pemeriksaan awal, sehingga perusahaan
mempunyai data awal tingkat ambang dengar tenaga kerja yang akan
ditempatkan di tempat bising sebagai dasar evaluasi untuk
pemeriksaan berkala.
b. Menentukan efektivitas program konservasi pendengaran.
c. Jika hasil pengukuran kebisingan tidak menunjukan peningkatan
paparan bising dan hasil audiometri tidak ada perubahan, maka
disimpulkan program konservasi pendengaran tesebut efektif.
Pemeriksaan audiometri memerlukan audiometri ruang kedap
suara, audiologis, dan pasien yang kooperatif. Pemeriksaan standar yang
dilakukan adalah :
a. Audiometri nada murni
Audiometri nada murni adalah suatu cara pemeriksaan untuk
mengukur sensivitas pendengaran dengan alat audiometer yang
menggunakan nada murni (puretone). Ambang nada murni diukur
dengan intensitas minimum yang dapat didengar selama satu atau dua
detik melalui antaran udara ataupun hantaran tulang. Frekwensi yang
dipakai berkisar antara 125-8000 Hz dan diberikan secara bertingkat
(Feldman dan Grimes, 1997).
Suatu sistem uji pendengaran dengan menggunakan alat listrik
yang dapat menghasilkan bunyi nada-nada murni dari berbagai
frekuensi 250–500, 1000–2000, 4000–8000 dan dapat diatur
intensitasnya dalam satuan (dB). Pemberian nada murni tersebut
13

dilakukan pada satu telinga, umumnya telinga kanan terlebih dahulu


kemudian telinga kiri. Bunyi yang dihasilkan disalurkan melalui
telepon kepala dan vibrator tulang ke telinga orang yang diperiksa
pendengarannya. Masing-masing untuk mengukur ketajaman
pendengaran melalui hantaran udara dan hantaran tulang pada tingkat
intensitas nilai ambang, sehingga akan didapatkan kurva hantaran
tulang dan hantaran udara.
Audiogram adalah hasil tes audiometri yang berbentuk diagram,
dengan adanya audiogram dokter ataupun praktisi akan dengan mudah
mengenali kondisi pendengaran. Dengan membaca audiogram kita
dapat mengetahui jenis dan derajat kurang pendengaran seseorang.
Audiogram juga digunakan untuk acuan dasar penyetelan atau
pengepasan alat bantu dengar terhadap pasien (Hearing aid Fitting).
Tujuan pemeriksaan adalah menentukan tingkat intensitas terendah
dalam dB dari tiap frekuensi yang masih dapat terdengar pada telinga
seseorang, dengan kata lain ambang pendengaran seseorang terhadap
bunyi.
Telinga manusia normal mampu mendengar suara dengan
kisaran frekuensi 20-20000 Hz. Frekuensi dari 500-2000 Hz yang
paling penting untuk memahami percakapan sehari-hari. Tingkat
intensitas suara minimum yang dapat didengar oleh telinga orang
muda sehat adalah 20 mikropascal atau dikenal sebagai tingkat akustik
0 dB. Pada audiometri digunakan tingkat referensi lain yang dikenal
sebagai tingkat ambang dengar 0 dB.
Pada frekuensi ± 3000 Hz, tingkat ambang dengar lebih tinggi
10 dB di atas tingkat akustik. Hasil pemeriksaan normal berada dalam
kisaran ≤ 25 dB pada seluruh frekuensi. Bila terdapat kecenderungan
hasil pemeriksaan melebihi 25 dB terutama pada frekuensi 500 atau
1000 Hz, kemungkinan terdapat latar belakang kebisingan ruang
pemeriksaan yang terlalu bising. Bila terdapat perbedaan > 40 dB
14

antara telinga kanan dan kiri, maka dilakukan prosedur masking untuk
menentukan tingkat ambang dengar sebenarnya.
Audiogram orang yang menderita tuli akibat bising awal
menunjukkan tingkat ambang dengar normal pada frekuensi 500-2000
Hz (frekuensi rendah) dan penurunan tingkat ambang dengar pada
frekuensi 3000-6000 Hz (frekuensi tinggi) dengan puncaknya pada
frekuensi 4000 Hz, kemudian membaik pada frekuensi 8000 Hz.
Frekuensi rendah menunjukkan kuatnya pembicaraan dan frekuensi
tinggi memberikan kejelasan pembicaraan. Pada tuli akibat bising
mereka tidak bermasalah dengan kerasnya suara tetapi mereka tidak
dapat mendengar kejelasan pembicaraan khususnya konsonan t, k, dan
p.
1) Istilah dalam Audiometri
a) Murnia.Nada murni (pure tone), merupakan bunyi yang hanya
mempunyai satu frekuensi, dinyatakan dalam jumlah getaran
per detik.
b) Bising, merupakan bunyi yang mempunyai banyak frekuensi,
terdiri dari spectrum terbatas (Narrow band), spektrum luas
(White noise).
c) Frekuensi, merupakan nada murni yang dihasilkan oleh
getaran suatu benda yang sifatnya harmonis sederhana (simple
harmonic motion). Dengan satuannya dalam jumlah getaran
per detik dinyatakan dalam Hertz (Hz).
d) Intensitas bunyi : dinyatakan dalam desibel (dB). Dikenal dB
HL (hearing level), dB SL (sensation level), dB SPL (sound
pressurelevel). dB HL dan dB SL dasarnya adalah subjektif,
dan inilah yang biasanya digunakan pada audiometer,
e) Ambang dengar, merupakan bunyi nada murni yang terlemah
pada frekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh
telinga seseorang. Terdapat ambang dengar menurut konduksi
udara (AC) dan menurut konduksi tulang (BC). Bila ambang
15

dengar ini dihubung-hubungkan dengan garis, baik AC


maupun BC, maka akan didapatkan audiogram.
f) Nilai nol audiometrik (Audiometric Zone), merupakan dalam
dB HL dan dB SL, yaitu intensitas nada murni yang terkecil
pada suatu fekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh
telinga rata-rata dewasa muda yang normal (18-30 tahun).
Pada tiap frekuensi intensitas nol audiometrik tidak sama.
Pada audiogram angka- angka intensitas dalam dB bukan
menyatakan kenaikan linier, tetapi merupakan kenaikan
logaritmik secara pembanding. Terdapat dua standar yang
dipakai adalah ISO (International Standard Organization) dan
ASA (American standard Association). Dengan nilai berupa :
0dB ISO = -10 dB ASA atau 10dB ISO = 0 dB ASA
g) Notasi audiogram, untuk pemeriksaan audiogram dipakai
grafik AC, yaitu dibuat dengan garis lurus penuh (intensitas
yang diperiksa antara 125-8000 Hz) dan grafik BC yaitu
dibuat dengan garis terputus-putus (intensitas yang diperiksa :
250-4000 Hz). Untuk telinga kiri dipakai warna biru
sedangkan untuk telinga kanan, warna merah.
h) Grafik audiogram, garis vertical menandakan frekuensi. 125
Hz pada garis vertical paling kiri grafik menandakan frekuensi
nada rendah. Semakin ke kanan maka frekuensi nada makin
tinggi. Frekuensi berbicara terdapat pada 500- 3000 Hz. Garis
horizontal menyatakan intensitas suara. 0 dB pada garis paling
atas menandakan suara yang sangat lemah, dan semakin
kebawah intensitas bunyi makin tinggi.
2) Syarat Pemeriksaan Audiometri Nada Murni.
a) Lingkungan Pemeriksaan yang Baik Orang yang diperiksa
seharusnya dapat dilihat sepenuhnya oleh pemeriksa. Orang
tersebut tidak boleh melihat atau mendengar pemeriksa dan
audiometernya. Pemeriksaan dilakukan di dalalam ruangan
16

dengan tingkat kebisingan terendah sehingga kepekaan


pendengaran pasien tidak terganggu. Suara tambahan tidak
boleh lebih dari 38 dB. Pemeriksaan ini sesuai standard BS
EN ISO 8253-1.
b) Kontrol Infeksi
Alat yang telah terkena kontak dengan pasien harus
dilakukan prosedur kontrol infeksi. Alat yang dipakai harus
dibersihkan dan disinfeksi setiap kali pemakaian. Pemakaian
disposable ear phone sangat direkomendasikan. Pemeriksa
harus cuci tangan dengan sabun ataupun alkohol sebelum
menyentuh pasien.
3) Teknik Pemeriksaan.
a) Pemeriksaan liang telinga
Hanya untuk memastikan kanal tidak tersumbat. Telinga harus
bebas dari serumen. Alat bantu dengar harus dilepas setelah
instruksi pemeriksa sudah dijalankan.
b) Pemberian instruksi berikan perintah yang sederhana dan
jelas. Jelaskan bahwa akan terdegar serangkaian bunyi yang
akan terdengar pada sebelah telinga. Pasien harus memberikan
tanda dengan mengangkat tangannya, menekan tombol atau
mengatakan “ya” setiap terdengar bunyi bagaimanapun
lemahnya.
c) Pemasangan earphone atau bone conductor. Lepaskan dahulu
kacamata atau giwang, regangkan headband, pasangkan
dikepalanya dengan benar, earphone kanan ditelinga kanan
kemudian kencangkan sehingga terasa nyaman. Perhatikan
membrane earphone tepat didepan liang telinga di kedua sisi.
d) Seleksi telinga. Mulailah dengan telinga yang sehat dahulu.
e) Urutan frekuensi prosedur dasar pemeriksaan ini adalah,
(1) dimulai dengan signal nada yang sering didengar
(familiarization),
17

(2) pengukuran ambang pendengaran. Dua cara menentukan


nada familiarization:
(a) Dengan memulai dari 1000 Hz, dimana pendengaran
paling stabil, lalu secara bertahap meningkatkan
oktaf lebih tinggi hingga terdengar.
(b) Pemberian nada 1000 Hz pada 30 dB. Jika
terdengar, lakukan pemeriksaan ambang
pendengaran. Jika tidak terdengar nada awal
ditinggkatkan intensitas bunyi hingga 50 dB, dengan
menaikkan tiap 10dB hingga tedengar.
4) Interpretasi Audiogram.
a) Audiogram Normal
Secara teoritis, bila pendengaran normal, ambang dengar untuk
hantaran udara maupun hantaran tulang sebesar 0 dB. Pada
keadaan tes yang baik, audiogram dengan ambang dengar 10
dB pada 250 dan 500 Hz, sedangkan 0 dB pada 1000, 2000,
4000, dan 10000 Hz dan pada 8000 Hz dapat dianggap normal.
b) Gangguan Dengar Konduktif
Diagnosis gangguan dengar kondukstif ditegakkan berdasarkan
prinsip bahwa gangguan konduktif (telinga tengah)
menyebabkan gangguan hantaran udara yang lebih besar dari
pada hantaran tulang, disini terdapat ambang hantaran tulang
turun menjadi 15 dB pada 200 Hz.
b. Audiometri tutur
Audiometri tutur adalah sistem uji pendengaran yang
menggunakan kata-kata terpilih yang telah dibakukan, dituturkan
melalui suatu alat yang telah dikaliberasi, untuk mengukur beberapa
aspek kemampuan pendengaran. Prinsip audiometri tutur hampir sama
dengan audiometri nada murni, hanya disini sebagai alat uji
pendengaran digunakan daftar kata terpilih yang dituturkan pada
penderita.
18

Kata-kata tersebut dapat dituturkan langsung oleh pemeriksa


melalui mikrofon yang dihubungkan dengan audiometri tutur,
kemudian disalurkan melalui telepon kepala ke telinga yang diperiksa
pendengarannya, atau kata-kata rekam lebih dahulu pada piringan
hitam atau pita rekaman, kemudian baru diputar kembali dan
disalurkan melalui audiometer tutur.
Penderita diminta untuk menirukan dengan jelas setiap kata
yang didengar, dan apabila kata-kata yang didengar makin tidak jelas
karena intensitasnya makin dilemahkan, pendengar diminta untuk
menebaknya. Pemeriksa mencatat presentase kata-kata yang ditirukan
dengan benar dari tiap denah pada tiap intensitas. Hasil ini dapat
digambarkan pada suatu diagram yang absisnya adalah intensitas
suara kata-kata yang didengar, sedangkan ordinatnya adalah presentasi
kata-kata yanag diturunkan dengan benar.
Dari audiogram tutur dapat diketahui dua dimensi kemampuan
pendengaran yaitu :
1) Kemampuan pendengaran dalam menangkap 50% dari sejumlah
kata-kata yang dituturkan pada suatu intensitas minimal dengan
benar, yang lazimnya disebut persepsi tutur atau NPT, dan
dinyatakan dengan satuan desibel (dB).
2) Kemampuan maksimal perndengaran untuk mendiskriminasikan
tiap satuan bunyi (fonem) dalam kata-kata yang dituturkan yang
dinyatakan dengan nilai diskriminasi tutur atau NDT. Dengan
demikian, berbeda dengan audiometri nada murni pada
audiometri tutur intensitas pengukuran pendengaran tidak saja
pada tingkat nilai ambang (NPT), tetapi juga jauh diatasnya.
Audiometri tutur pada prinsipnya pasien disuruh mendengar
kata-kata yang jelas artinya pada intensitas mana mulai terjadi
gangguan sampai 50% tidak dapat menirukan kata-kata dengan tepat.
Pada dasarnya tuli mengakibatkan gangguan komunikasi,
apabila seseorang masih memiliki sisa pendengaran diharapkan
19

dengan bantuan alat bantu dengar (ABD/hearing AID) suara yang ada
diamplifikasi, dikeraskan oleh ABD sehingga bisa terdengar.
Prinsipnya semua tes pendengaran agar akurat hasilnya, tetap
harus pada ruang kedap suara minimal sunyi. Karena kita memberikan
tes pada frekuensi tertentu dengan intensitas lemah, kalau ada
gangguan suara pasti akan mengganggu penilaian. Pada audiometri
tutur, memang kata-kata tertentu dengan vokal dan konsonan tertentu
yang dipaparkan kependerita. Intensitas pada pemeriksaan audiometri
bisa dimulai dari 20 dB bila tidak mendengar 40 dB dan seterusnya,
bila mendengar intensitas bisa diturunkan 0 dB, berarti pendengaran
baik.
Dalam menghitung cacat akibat bising (NIHL) diperlukan
audiogram nada murni pada saat mulai bekerja di lingkungan bising
dan audiogram yang terakhir. Penialian tingkat kecacatan yaitu :
1) Tingkat pendengaran (Hearing Threshold Level)
Rata-rata tingkat bunyi terendah yang masih dapat terdengar pada
frekuensi 500, 1000, 2000, dan 3000 Hz.
2) Tingkat Ketulian
Tingkat pendengaran dikurangi 25 dB (Low fance).
3) Prosentase Ketulian
Koreksi Prebycusis untuk perhitungan prosentase ketulian :
sesudah umur 40 tahun, setiap kenaikan 1 tahun Low Fance naik
0,5 dB.
No. Umur (Tahun) Koreksi Low fance (dB)
1. < 40 25,0
2. 41 25,5
3. 42 26
4. 43 26,5
5. 44 27,0
.... ...... ........
24 >64 37
20

Tabel 1. Penilaian Tingkat Kecacatan


Ada jenis lain pemeriksaan audiometri yaitu audiometri klinik
yang digunakan dalam klinik atau medis untuk penentuan diagnosis
oleh dokter ahli Telinga Hidung Tenggorokan (THT). Pada
pemeriksaan audiometri klinik dilakukan pengukuran baik pada
hantaran udara maupun hantaran tulang. Pengukuran pada hantaran
udara berupa pemberian nada murni ke telinga luar, kemudian nada
tersebut berjalan melalui telinga tengah ke telinga dalam. Sedangkan
pengukuran pada hantaran berupa penempatan vibrator nada murni di
prosesus mastoid (bagian dari tulang kepala di belakang telinga).
Signal nada tersebut kemudian menggetarkan tulang temporal, dalam
hal ini nada tidak mengikuti aliran hantaran udara tetapi merangsang
telinga dalam secara langsung melalui hantaran tulanPenyebab
ketulian koduktif seperti penyumbatan liang telinga, contohnya
serumen, terjadinya OMA, OMSK, dan penyumbatan tuba eustachius.
Setiap keadaan yang menyebabkan gangguan pendengaran seperti
fiksasi kongenitalm fiksasi karena trauma, dislokasi rantai tulang
pendengaran, juga akan menyebabkan peninggian ambang hantaran
udara dengan hantaran tulang normal. Gap antara hantaran tulang
dengan hantaran udara menunjukkan beratnya ketulian konduktif.
Konfigurasi audiogram pada tuli konduktif biasanya menunjukkan
pendengaran lebih pada frekuensi rendah.
5. Anatomi Telinga dan Mekanisme Pendengaran
a. Telinga terdiri dari 3 bagian utama yaitu:
1) Telinga Bagian Luar.
Terdiri dari daun telinga dan liang telinga (audiotory canal),
dibatasi oleh membran timpani. Telinga bagian luar berfungsi
sebagai mikrofon yaitu menampung gelombang suara dan
menyebabkan membran timpani bergetar. Semakin tinggi frekuensi
getaran semakin cepat pula membran timpani bergetar begitu juga
sebaliknya.
21

2) Telinga Bagian Tengah.


Terdiri atas osside yaitu tulang kecil (tulang pendengaran yang
halus). Martil-landasan-sanggurdi yang berfungsi memperbesar
getaran dari membran timpani dan meneruskan getaran yang telah
diperbesar ke oval window yang bersifat fleksibel. Oval window ini
terdapat pada ujung dari cochlea.
3) Telinga Bagian Dalam.
Yang juga disebut cochlea dan berbentuk rumah siput. Cochlea
mengandung cairan, di dalamnya terdapat membran basiler dan
organ corti yang terdiri dari sel-sel rambut yang merupakan reseptor
pendengaran. Getaran dari oval window akan diteruskan oleh cairan
oleh cochlea, menghantarkan membran basiler. Getaran ini
merupakan impuls bagi organ corti yang selanjutnya diteruskan ke
otak melalui syaraf pendengaran (nervuscochlearis).

b. Mekanisme Pendengaran
Suara ditangkap daun telinga dan dialirkan melalui saluran
telinga. Getaran suara ditangkap gendang telinga dan diteruskan ke
telinga tengah. Getaran diteruskan oleh tulang-tulang sanggurdi ke
jendela rumah siput. Getaran memenuhi rumah siput sehingga dapat
ditangkap oleh sel-sel saraf, sel-sel saraf rambut getar di rumah siput
menghantarkan sinyal listrik akibat getarannya ke saraf
pendengaran.Saraf pendengaran menghantarkan sinyal listrik ke otak,
otak menerjemahkan sinyal listrik sebagai sensasi bunyi.
22

B. Perundangan –Undangan
1. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan
2. Undang-undang No. 13 thn 2003 tentang Ketenagakerjaan.
3. Permenkes no.363/menkes/per/IV/1998 tentang Kalibrasi alat kesehatan
pada sarana kesehatan.
4. Kepmenaker No. KEP-51/MEN/1999 Tentang NAB Faktor Fisika di
Tempat Kerja.
5. Per Menaker No.13/MEN/2011: tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika
di Tempat Kerja
6. Peraturan MENKES No.718/Men.Kes/Per/XI/1987 Tentang Kebisingan
yang Berhubungan dengan Kesehatan.
7. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996 tentang
Baku Tingkat Kebisingan.
8. Permenaker No. 01/MEN/1981 tentang Kewajiban Melaporkan Penyakit
Akibat Kerja.
9. UU No. 03 tahun 1992 “Jamsostek menetapkan ketulian akibat kerja
sebagai penyakit yang diberikan kompensasi berupa uang.
10. Kepres No. 22 tahun 1993 Penyakit akibat hubungan kerja dan ketulian
akibat kerja termasuk di dalamnya.
11. Kepmenaker No. 02 tahun 1980 yang mengatur pemeriksaan kesehatan
bagi karyawan.
12. Kepmenaker No. 03 tahun 1992 tentang pelayanan kesehatan kerja di
perusahaan.
13. ANSI 3. 6-1969. R 1973 tentangspesifikasi audiometer.
14. Permenaker No. 25/MEN/VII/2008 tentang Pedoman Diagnosis dan
Penilaian Cacat pada Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja.

Você também pode gostar