Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Meningkatnya persaingan didalam bidang industri menuntut
perusahaan-perusahaan untuk melakukan berbagai usaha dalam
meningkatkan produktivitas. Usaha-usaha tersebut meliputi seluruh aspek
produksi yang ada seperti bahan, mesin, alat kerja, tenaga kerja, lingkungan,
dan sebagainya. Namun kebanyakan aktifitas dalam suatu industri terutama
proses produksi, yang banyak digunakan berbagai macam mesin-mesin dan
peralatan yang menimbulkan suara yang keras sehingga dampak bising di
industri tersebut semakin dirasakan oleh para pekerja. Suara adalah sensasi
yang timbul apabila getaran longitudinal molekul di lingkungan eksternal,
yaitu masa pemadatan dan pelonggaran molekul yang terjadi berselang seling
mengenai memberan timpani. Plot gerakan-gerakan ini sebagai perubahan
tekanan di memberan timpani persatuan waktu adalah satuan gelombang, dan
gerakan semacam itu dalam lingukangan secara umum disebut gelombang
suara.
Telah diketahui bahwa adanya suatu suara akan menurunkan
kemampuan seseorang mendengar suara lain. Fenomena ini dikenal sebagai
masking (penyamaran). Fenomena ini diperkirakan disebabkan oleh refrakter
relative atau absolute pada reseptor dan urat saraf pada saraf audiotik yang
sebelumnya teransang oleh ransangan lain. Tingkat suatu suara menutupi
suara lain berkaitan dengan nadanya. Kecuali pada lingkungan yang sangat
kedap suara, Efek penyamaran suara lata akan meningkatan ambang
pendengaran dengan besar yang tertentu dan dapat diukur.
Kerusakan pendengaran akibat terpapar bising keras dalam waktu
yang cukup lama yang lazimnya disebut trauma bising diperkirakan mulai
terjadi pada abad perunggu sejak manusia mengenal logam. Penempaan
bahan perunggu dan besi untuk dibuat alat-alat atau senjata yang diperlukan
1
2
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui teori kebisingan.
2. Untuk mengetahui derajat ketulian seseorang.
3. Untuk mengukur tingkat pendengaran dengan Audiometer.
4. Untuk mengetahui cara penggunaan dari alat Audiometer.
5. Untuk menganalisa tingkat pendengaran menggunakan Audiometer.
6. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pengukuran.
C. Manfaat
1. Bagi Praktikan:
a. Dapat mengetahui derajat ketulian seseorang.
b. Dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pengukuran
pendengaran dengan menggunakan audiometer.
c. Dapat mengidentifikasi dan mengetahui ada tidaknya gangguan
pendengaran pada seseorang.
4
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Teori Bising
Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang
bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang
pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran
(Permenakertrans No. 13 Th 2011). Terdapat 2 (dua) karakteristika utama
yang menentukan kualitas suatu bunyi atau suara, yaitu frekuensi dan
intensitasnya. Frekuensi dinyatakan dalam jumlah getaran per detik
dengan satuan Herz (Hz), yaitu jumlah gelombang bunyi yang sampai di
telinga setiap detiknya. Dan juga intensitas atau arus energi per satuan
luas biasanya dinyatakan dalam suatu satuan logaritmis yang disebut
desibel (dB) dengan memperbandingkannya dengan kekuatan standar
0,0002 dine (dyne) / cm2 yaitu kekuatan bunyi dengan frekuensi 1.000
Hz yang tepat dapat didengar telinga normal (Suma’mur 2013).
Menurut Wilson (1989), bunyi atau suara didefinisikan sebagai
serangkaian gelombang yang merambat dari suatu sumber getar akibat
perubahan kerapatan dan tekanan udara. Kebisingan merupakan
terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki termasuk bunyi yang tidak
beraturan dan bunyi yang dikeluarkan oleh transportasi dan industri,
sehingga dalam jangka waktu yang panjang akan dapat mengganggu dan
membahayakan konsentrasi kerja, merusak pendengaran (kesehatan), dan
mengurangi efektifitas kerja.
2. Gangguan pendengaran akibat bising
Definisi gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara
parsial atau total untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua
telinga. Pembagian gangguan pendengaran berdasarkan tingkatan
beratnya gangguan pendengaran, yaitu mulai dari gangguan pendengaran
5
6
4. Audiometri
Audiometri berasal dari kata audire dan metrios yang berarti
mendengar dan mengukur (uji pendengaran). Audiometri tidak saja
dipergunakan untuk mengukur ketajaman pendengaran, tetapi juga dapat
dipergunakan untuk menentukan lokalisasi kerusakan anatomis yang
menimbulkan gangguan pendengaran. Audiometri monitoring /
Pemantauan audiometri dimaksudkan untuk menentukan tingkat ambang
dengar secara akurat dan praktis bukan pemeriksaan diagnostik.
Pemantauan audiometri dilakukan dengan memberikan nada murni
frekwensi tertentu pada hantaran udara sehingga dapat ditentukan tingkat
suara terendah yang masih dapat terdengar. Dengan pemeriksaan ini
dapat ditentukan jenis ketulian yaitu tuli konduktif dan tuli saraf
(sensorineural).
Pada audiometri terdapat pilihan nada dari oktaf yaitu 125, 250,
500, 1000,2000, 4000 dan 8000 Hz yang memungkinkan intensitas lebih
dari 110 dB. Standar alat yang digunakan berdasarkan BS EN 60645-
1(IEC 60645-1). Alat audiometer harusnya selalu dapat dikalibrasi
dengan exhaustiveelectroacoustic calibrations oleh badan pengkalibrasian
nasional. Pemeriksaan termasuk pemeriksaan cara pakai, dan
penyesuaian bioakustik seharusnya dilakukantiap hari sebelum
digunakan, sesuai standar BS EN ISO 389 series.
Audiometer adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengetahui
level pendengaran seseorang. Dengan bantuan sebuah alat yang disebut
dengan audiometer, maka derajat ketajaman pendengaran seseorang
dapat dinilai. Audiometer merupakan suatu peralatan elektronik yang
digunakan untuk menguji pendengaran, dimana audiometer mampu
menghasilkan suara yang memenuhi syarat sebagai bahan pemeriksaan
yaitu frekuensi (125-8000 dan intensitas suara yang dapat diukur (-10 s/d
110 dB).
11
antara telinga kanan dan kiri, maka dilakukan prosedur masking untuk
menentukan tingkat ambang dengar sebenarnya.
Audiogram orang yang menderita tuli akibat bising awal
menunjukkan tingkat ambang dengar normal pada frekuensi 500-2000
Hz (frekuensi rendah) dan penurunan tingkat ambang dengar pada
frekuensi 3000-6000 Hz (frekuensi tinggi) dengan puncaknya pada
frekuensi 4000 Hz, kemudian membaik pada frekuensi 8000 Hz.
Frekuensi rendah menunjukkan kuatnya pembicaraan dan frekuensi
tinggi memberikan kejelasan pembicaraan. Pada tuli akibat bising
mereka tidak bermasalah dengan kerasnya suara tetapi mereka tidak
dapat mendengar kejelasan pembicaraan khususnya konsonan t, k, dan
p.
1) Istilah dalam Audiometri
a) Murnia.Nada murni (pure tone), merupakan bunyi yang hanya
mempunyai satu frekuensi, dinyatakan dalam jumlah getaran
per detik.
b) Bising, merupakan bunyi yang mempunyai banyak frekuensi,
terdiri dari spectrum terbatas (Narrow band), spektrum luas
(White noise).
c) Frekuensi, merupakan nada murni yang dihasilkan oleh
getaran suatu benda yang sifatnya harmonis sederhana (simple
harmonic motion). Dengan satuannya dalam jumlah getaran
per detik dinyatakan dalam Hertz (Hz).
d) Intensitas bunyi : dinyatakan dalam desibel (dB). Dikenal dB
HL (hearing level), dB SL (sensation level), dB SPL (sound
pressurelevel). dB HL dan dB SL dasarnya adalah subjektif,
dan inilah yang biasanya digunakan pada audiometer,
e) Ambang dengar, merupakan bunyi nada murni yang terlemah
pada frekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh
telinga seseorang. Terdapat ambang dengar menurut konduksi
udara (AC) dan menurut konduksi tulang (BC). Bila ambang
15
dengan bantuan alat bantu dengar (ABD/hearing AID) suara yang ada
diamplifikasi, dikeraskan oleh ABD sehingga bisa terdengar.
Prinsipnya semua tes pendengaran agar akurat hasilnya, tetap
harus pada ruang kedap suara minimal sunyi. Karena kita memberikan
tes pada frekuensi tertentu dengan intensitas lemah, kalau ada
gangguan suara pasti akan mengganggu penilaian. Pada audiometri
tutur, memang kata-kata tertentu dengan vokal dan konsonan tertentu
yang dipaparkan kependerita. Intensitas pada pemeriksaan audiometri
bisa dimulai dari 20 dB bila tidak mendengar 40 dB dan seterusnya,
bila mendengar intensitas bisa diturunkan 0 dB, berarti pendengaran
baik.
Dalam menghitung cacat akibat bising (NIHL) diperlukan
audiogram nada murni pada saat mulai bekerja di lingkungan bising
dan audiogram yang terakhir. Penialian tingkat kecacatan yaitu :
1) Tingkat pendengaran (Hearing Threshold Level)
Rata-rata tingkat bunyi terendah yang masih dapat terdengar pada
frekuensi 500, 1000, 2000, dan 3000 Hz.
2) Tingkat Ketulian
Tingkat pendengaran dikurangi 25 dB (Low fance).
3) Prosentase Ketulian
Koreksi Prebycusis untuk perhitungan prosentase ketulian :
sesudah umur 40 tahun, setiap kenaikan 1 tahun Low Fance naik
0,5 dB.
No. Umur (Tahun) Koreksi Low fance (dB)
1. < 40 25,0
2. 41 25,5
3. 42 26
4. 43 26,5
5. 44 27,0
.... ...... ........
24 >64 37
20
b. Mekanisme Pendengaran
Suara ditangkap daun telinga dan dialirkan melalui saluran
telinga. Getaran suara ditangkap gendang telinga dan diteruskan ke
telinga tengah. Getaran diteruskan oleh tulang-tulang sanggurdi ke
jendela rumah siput. Getaran memenuhi rumah siput sehingga dapat
ditangkap oleh sel-sel saraf, sel-sel saraf rambut getar di rumah siput
menghantarkan sinyal listrik akibat getarannya ke saraf
pendengaran.Saraf pendengaran menghantarkan sinyal listrik ke otak,
otak menerjemahkan sinyal listrik sebagai sensasi bunyi.
22
B. Perundangan –Undangan
1. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan
2. Undang-undang No. 13 thn 2003 tentang Ketenagakerjaan.
3. Permenkes no.363/menkes/per/IV/1998 tentang Kalibrasi alat kesehatan
pada sarana kesehatan.
4. Kepmenaker No. KEP-51/MEN/1999 Tentang NAB Faktor Fisika di
Tempat Kerja.
5. Per Menaker No.13/MEN/2011: tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika
di Tempat Kerja
6. Peraturan MENKES No.718/Men.Kes/Per/XI/1987 Tentang Kebisingan
yang Berhubungan dengan Kesehatan.
7. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996 tentang
Baku Tingkat Kebisingan.
8. Permenaker No. 01/MEN/1981 tentang Kewajiban Melaporkan Penyakit
Akibat Kerja.
9. UU No. 03 tahun 1992 “Jamsostek menetapkan ketulian akibat kerja
sebagai penyakit yang diberikan kompensasi berupa uang.
10. Kepres No. 22 tahun 1993 Penyakit akibat hubungan kerja dan ketulian
akibat kerja termasuk di dalamnya.
11. Kepmenaker No. 02 tahun 1980 yang mengatur pemeriksaan kesehatan
bagi karyawan.
12. Kepmenaker No. 03 tahun 1992 tentang pelayanan kesehatan kerja di
perusahaan.
13. ANSI 3. 6-1969. R 1973 tentangspesifikasi audiometer.
14. Permenaker No. 25/MEN/VII/2008 tentang Pedoman Diagnosis dan
Penilaian Cacat pada Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja.