Você está na página 1de 55

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Masalah Landasan falsafah Indonesia adalah Pancasila yang


terdiri atas 5 sila yang saling melengkapi dan menjiwai satu sama lainnya. Sila yang manjadi landasan
utama dari kelima sila lainnya adalah sila pertama, yaitu Ketuhanan YME. Adanya sila Ketuhanan YME
tersebut menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan dan setiap hukum
yang diterapkan di Indonesia harus berlandaskan Ketuhanan. Sila Ketuhanan YME menunjukkan bahwa
Indonesia merupakan negara yang memberikan kebebasan dan kewajiban kepada setiap warga
negaranya untuk memeluk agama dan mempercayai adanya Tuhan. Dalam perjalanannya, konsep
Ketuhanan YME ini juga mengalami beberapa masalah seperti munculnya organisasi-organisasi atau
individu yang menganut paham komunisme ataupun atheis. Tentunya hal tersebut sangat bertolak
belakang dengan dasar negara kita yang mengharuskan setiap warga negaranya beragama. Paham
komunis adalah paham yang bercita-cita menghapus hak milik perseorangan dan mengganti hak milik
secara bersama (semua diatur dan dimiliki oleh pemerintah). Pada dasarnya komunis itu merupakan
ajaran yang menggusur keberadaan Tuhan. Karena dalam konsep komunis, agama hanya semacam
eskapisme, usaha untuk keluar dari dunia yang nyata agar dapat masuk ke dunia yang tidak ada
penderitaan dan kesusahan atau dunia yang sempurna. Apabila suatu negara menjadikan paham
komunis menjadi suatu ideologi, maka dalam negara itu tidak akan ada lagi paham agama. Sedangkan
paham atheis adalah paham yang tidak mempercayai adanya sesuatu yang dijadikan panutan dalam
suatu agama, seperti Tuhan, Allah, atau dewa dewi. Paham ini berbeda dengan paham komunis. Karena
pada dasarnya yang tidak dipercayai oleh penganut paham komunis adalah agamanya atau ajarannya.
Sementara paham atheis tidak percaya pada sosok yang dijadikan sebagai Tuhan dalam suatu agama.
Salah satu faktor yang menyebabkan munculnya paham atheis di Indonesia adalah adanya globalisasi
dan perkembangan teknologi. Kedua faktor ini akan 1
menyebabkan masuknya paham-paham dari luar yang menyebabkan masyarakat samar akan keyakinan
agamanya sendiri. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa hukum yang berkaitan dengan kewajiban beragama di
Indonesia? 2. Bagaimana perkembangan paham atheis di Indonesia? 3. Mengapa paham atheis
bertentangan dengan dasar negara Indonesia? 4. Bagaimana kontradiksi antara paham atheis dengan
dasar negara Indonesia? 5. Bagaimana pengaruh globalisasi dan teknologi terhadap paham atheis di
Indonesia? 6. Apakah contoh kasus atheis yang terjadi di Indonesia? 7. Bagaiamana pandangan syariah
islam terhadap paham atheis? 1.3 Tujuan Penulisan 1. Untuk lebih memahami nilai-nilai agama atau
filsafat yang terdapat di Indonesia 2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan sila pertama pancasila
bila dikaitkan dengan paham Atheisme 3. Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya perkembangan
paham Atheisme di Indonesia di era globalisasi dan teknologi tinggi 1.4 Metode Penulisan Penulisan
makalah ini dilakukan dengan mengumpulkan data dari berita-berita yang memuat tentang kasus
Atheisme di Indonesia dan mencari sumber-sumber yang menambah pemahaman mengenai makna dari
paham Atheisme itu sendiri serta makna dari nilai agama yang terkandung dalam Pancasila. 1.5
Sistematika Penyajian Dalam makalah ini terdapat empat bab, terdiri dari BAB I Pendahuluan yang
memuat latar belakang masalah, Rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan
sistematika penyajian. Kemudian pada BAB II akan dibahas mengenai paham atheisme yang menjadi inti
permasalahan dalam makalah ini. Pada BAB II akan dibahas pula bagaimana perkembangan paham
Atheisme di Indonesia. Sementara pada BAB III akan dibahas mengenai kontradiksi antara Pancasila
dengan paham Atheisme serta contoh kasus yang terjadi di Indonesia. Lalu pada bab terakhir yaitu BAB
IV akan diuraikan 2
kesimpulan serta saran dari penulis berdasarkan dari studi kasus yang telah dijabarkan pada bab-bab
sebelumnya. 3
BAB II PAHAM ATHEISME 2.1 Pengertian Paham Atheisme Atheisme adalah sebuah pandangan filosofi
yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi ataupun penolakan terhadap teisme. Dalam
arti luas, atheisme adalah ketiadaan kepercayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan. Orang yang
menganut paham atheisme disebut dengan atheis. Atheisme berasal dari Bahasa Yunani ἄθεος (atheos),
digunakan untuk merujuk pada siapapun yang kepercayaannya bertentangan dengan
agama/kepercayaan yang ada di lingkungannya. Ajaran yang menyebarkan pemikiran bebas, skeptisisme
ilmiah, dan kritik terhadap agama, istilah atheis mulai merujuk kepada mereka yang tidak percaya
kepada tuhan. Batasan dasar pemikiran atheistik yang paling luas adalah antara atheisme praktis dengan
ahteisme teoretis. Bentuk-bentuk atheisme teoretis yang berbeda-beda berasal dari argumen filosofis
dan dasar pemikiran yang berbeda-beda pula. Sebaliknya, atheisme praktis tidaklah memerlukan
argumen yang spesifik dan dapat meliputi pengabaian dan ketidaktahuan akan pemikiran tentang
tuhan/dewa. a. Atheisme Praktis Dalam atheisme praktis atau pragmatis, yang juga dikenal sebagai
apatheisme, individu hidup tanpa Tuhan. Menurut pandangan ini, keberadaan tuhan tidaklah disangkal,
namun dapat dianggap sebagai tidak penting dan tidak berguna. Tuhan tidak memberikan kita tujuan
hidup, ataupun mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Atheisme praktis dapat berupa: a. Ketiadaan
motivasi religius, yakni kepercayaan pada tuhan tidak memotivasi tindakan moral, religi, ataupun
bentuk-bentuk tindakan lainnya; b. Pengesampingan masalah tuhan dan religi secara aktif dari
pemikiran dan tindakan praktis; c. Pengabaian, yakni ketiadaan ketertarikan apapun pada permasalahan
Tuhan dan agama; dan d. Ketidaktahuan akan konsep Tuhan dan dewa. 4
b. Atheisme Teoretis Atheisme teoretis secara eksplisit menentang keberadaan tuhan, dan secara aktif
merespon kepada argumen teistik mengenai keberadaan tuhan, seperti misalnya argumen dari
rancangan dan taruhan Pascal. Terdapat berbagai alasan-alasan teoretis untuk menolak keberadaan
tuhan, utamanya secara ontologis dan epistemologis. Selain itu terdapat pula alasan psikologis dan
sosiologis. Argumen Ontologis & Epistimologis Atheisme epistemologis berargumen bahwa orang tidak
dapat mengetahui Tuhan ataupun menentukan keberadaan Tuhan. Argumen lainnya yang mendukung
atheisme yang dapat diklasifikasikan sebagai epistemologis ataupun ontologis meliputi positivisme logis
dan ignostisisme, yang menegaskan ketidakberartian ataupun ketidakterpahaman istilah-istilah dasar
seperti "Tuhan" dan pernyataan seperti "Tuhan adalah mahakuasa." Argumen Psikologis & Sosiologis
Para filsuf seperti Ludwig Feuerbach dan Sigmund Freud berargumen bahwa Tuhan dan kepercayaan
keagamaan lainnya hanyalah ciptaan manusia, yang diciptakan untuk memenuhi keinginan dan
kebutuhan psikologis dan emosi manusia. Hal ini juga merupakan pandangan banyak Buddhis. Karl Marx
dan Friedrich Engels berargumen bahwa kepercayaan pada Tuhan dan agama adalah fungsi sosial, yang
digunakan oleh penguasa untuk menekan kelas pekerja. Menurut Mikhail Bakunin, "pemikiran akan
Tuhan mengimplikasikan turunnya derajat akal manusia dan keadilan; ia merupakan negasi kebebasan
manusia yang paling tegas, dan seperlunya akan berakhir pada perbudakan umat manusia, dalam teori
dan prakteknya." http://www.confucian.me/profiles/blogs/uraian-tentang-atheisme 2.2 Perkembangan
Paham Atheisme di Indonesia Indonesia dikenal sebagai bangsa yang beragama, bahkan sila pertama
berbunyi “Ketuhanan yang maha esa.” Namun, datangnya modernisme, yang juga melahirkan nusantara
sebagai bangsa Indonesia, memunculkan atheisme. Atheisme di Indonesia muncul pada era modern
dengan datangnya paham komunisme yang surut pada tahun 1965-1966 hingga reformasi tahun 1998
dan muncul kembali pasca reformasi. Sejak masuknya komunisme ke Indonesia melalui ISDV
(Perhimpunan Sosialis Demokrat Hindia Belanda) ahteis mulai disebut-sebut. 5
Saat era Soekarno, kampanye anti-atheis muncul bersamaan dengan kampanye antikomunis dari lawan-
lawan PKI. Seperti saat komunisme pertama datang ke nusantara, ada yang tetap mempertahankan
keatesiannya dan ada yang mencoba menyandingkan komunis dan agama seperti tercermin dalam karya
sastra saat itu. Pergesekan antara PKI dengan Islam lebih diakibatkan oleh faktor penerapan UU Pokok
Agraria No. 5 tahun 1960. UU Pokok Agraria tersebut membatasi kepemilikan lahan hingga maksimal 2
hektar yang secara otomatis mengambil kelebihan tanah milik para tuan tanah, yang kebanyakan
merupakan pemuka agama islam untuk diberikan pada petani tak bertanah secara cuma-cuma. Para
tuan tanah menolak menyerahkan kelebihan tanah yang selama ini selalu memberikan penghasilan
tambahan pada mereka lewat keringat petani-petani penggarap walaupun akan mendapat ganti rugi
dari pemerintah. Penyelewengan pelaksanaan UU Agraria tersebut[vi] membangkitkan gejolak para
petani tak bertanah, yang diorganisir oleh BTI, untuk melakukan aksi sepihak, bergejolak dan
menyerukan untuk merebut secara paksa. Gesekan tersebut menjadi konflik yang semakin keras
terutama di daerah Jawa Timur dan Jawa tengah tempat para tuan tanah sebagian besar merupakan
pemuka agama Islam. Peter Edman menulis bahwa pada “bulan Februari dan Maret 1965 kekerasan pun
mencapai puncaknya seruan-seruan perjuangan keagamaan menjadi semakin marak dan bahkan
melampui perjuangn keras yang sedang berusaha diciptakan oleh PKI. Kelompok-kelompok islam
militant bertanggung jawab atas terjadinya banyak kekereasan di mana organisasi kepemuddaan NU
(Nahdatul Ulama), Anshor, menjadi pelopor dalam konflik-konflik tersebut” (Edman, 2005:156). Dalam
mempropagandakan gerakan perlindungan atas tanah mereka, para tuan tanah bersama militer dan
burjuasi nasional sebagai perang agama dan memberi stereotipe pembuat onar, atheis, tidak setia pada
agama dan negara pada petani tak bertanah yang diadvokasi BTI. Stereotipe-steretipe tersebut
digunakan untuk memotori pembantaian massal pada kaum kiri, yang oleh tuan tanah digunakan untuk
merebut kembali tanah yang diambil secara sepihak oleh petani tak bertanah yang diadvokasi BTI, dan
digunakan sebagai stigma oleh orba kepada musuh politiknya. Maka, cap atheis semakin buruk pada
zaman orba dan belum berubah banyak hingga kini. Pada masa orde baru, untuk mendukung proyek
mempertahankan kekuasaan dengan menghancurkan orang-orang kiri munculah buku-buku yang
menyudutkan atheisme secara terang-terangan karena dianggap “bahaya laten”; bahaya tersembunyi
yang siap 6
mengancam setiap waktu. Untuk menanggapinya, muncul buku seperti Bahaja Atheisme terhadap Sila
Ketuhanan J.M.E karya Muchammad Iljas (1967) yang tampaknya bahkan tidak mampu membedakan
atheisme dan komunsime. Pengaburkan perbedaan komunis dan atheis tampak pada asosiasi yang
begitu melekat antara komunsime dengan atheisme dalam pengertian Iljas bahwa atheis merupakan
“hasil penjelidikan jang mendalam setjara ilmiyah (katanja) dan mendjadi dasarlandasan daripada usaha
dan perdjuangan kelandjutannja, dalam membentuk dan menjusun masjarakat jang bahagia, tanpa
aadanja kelas jang bertentangan dan bermusuhan, sama rata dan sama rasa, dengan bentuknnja sendiri
dan susunannja sendiri jang telah direntjanakan. “ (Iljas 1967:4) Dalam bentuk yang lebih halus, muncul
buku-buku filsafat ketuhana yang ditulis orang beragama untuk membantah kaum atheis tanpa adanya
buku atheis untuk membantah orang beragama. Muncul buku seperti Aliran-aliran Besar Atheisme karya
pastur Louis Leahy yang ditulis untuk “suatu „pemandu‟ informative dan kritis mengenai problem-
problem yang paling relevan dari atheisme kontemporer” (Kanisius, 1985:16) namun menggunakan
slogan Pascal bahwa “atheisme, tanda kekuatan dari roh, tetapi hanya sampai batas tertentu” (kanisius,
1985:5) sebagai slogan awal di bagian depan buku. Theodeore Hujiberes menulis Manusia Mencari
Makna yang memberi pembenaran keberadaan Tuhan. Pasca reformasi wacana atheisme mulai
mendapat tempat. Walaupun tetap muncul buku-buku yang menyudutkan atheis seperti Menalar
Tuhan, buku-buku karya atheis dunia mulai diterjemahkan. Banyak buku pengarang atheis, baik yang
lantang menggemborkan atheisme maupun tidak, diterjemahkan, terutama oleh penerbit-penerbit
Yogyakarta. Di antaranya adalah Totem dan Tabu Sigmund Freud yang membedah asalusul agama.
Buku-buku Nietzsche yang atheistis telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, seperti Zarathustra,
Genealogi Moral, Anti-Christ, dsb. Buku-buku atheis baru yang telah diterjemahkan antara lain Senja
Iman karya Sam Harris dan Sungai dari Firdaus karya Richard Dawking. Bahkan buku Rancang Agung
yang menyimpulkan bahwa alam raya dapat muncul tanpa sosok adi-alami muncul terjemahannya
kurang dari enam bulan sejak buku tersebut muncul dalam bahasa Inggris. 7
2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Atheisme di Indonesia Paham Atheisme muncul
di Indonesia disebabkan oleh berbagai macam faktor. Faktor utama yang memberikan pengaruh paling
besar adalah faktor luar. Berkembangnya globalisasi dan teknologi di dunia menyebabkan masuknya
paham-paham baru dari luar, salah satunya adalah paham atheisme yang bertentangan dengan dasar
negara Indonesia. 2.3.1 Faktor Globalisasi Era globalisasi dewasa ini banyak menimbulkan perubahan
pada nilai masyarakat. Perjalanan menjadi era globalisasi mengalami proses evolusi pada pelbagai nilai
kemasyarakatan. Salah satu yang mengalami evolusi dalam nilai masyarakat yaitu nilai agama. Dalam
masyarakat, nilai irasional belum sepenuhnya dapat membentuk psikologi kepribadian masyarakat.
Dalam keadaan seperti ini, evolusi dalam nilai agama akan terjadi yaitu pergerakan fundamentalis
agama. Dimana titik beratnya mengacu pada urusan kepercayaan. Masyarakat mulai berfikir rasional
karena nilai irrasional belum sepenuhnya dapat membentuk psikologi kepribadian masyarakat. Evolusi
nilai agama tersebut dapat membuat pergerakan norma lama menjadi norma baru. Sebagai contoh :
laki-laki dan wanita tidak boleh bersentuhan kecuali telah muhrim (norma lama), sekarang menjadi laki-
laki dan wanita duduk bersama di tempat kerja (norma skrg). Evolusi nilai agama ini terjadi karena
adanya perubahan pola fikir yang tadinya mereka anggap irasional menjadi rasional. Begitupun halnya
dengan pemikiran terhadap Tuhan. Masyakarat mulai tidak mempercayai akan hal gaib. Masyarakat
mulai mengalami proses evolusi pemikiran dari irrasional menjadi rasional. 2.3.2 Faktor Teknologi Para
penganut paham Atheisme, atau secara awam sering dikatakan orang yang tak mempercayai Tuhan
memang masih menjadi kontroversi di Indonesia. Meskipun ada, para penganut paham Atheis di
Indonesia dinilai belum berani 8
terang-terangan untuk mengakui dirinya adalah seorang Atheis kepada khalayak umum dan
merahasiakan kepercayaannya. Perkembangan dunia internet yang semakin pesat ternyata membuat
para penganut paham Atheis di Indonesia mencoba terbuka dan berbagi dengan orangorang yang
memiliki kesamaan pandangan. Segelintir warga Indonesia yang tak percaya dan tak mengakui
keberadaan Tuhan menjadikan internet sebagai tempat berteduh bagi orang-orang yang memiliki
kesamaan pandangan. Berikut adalah statement dari seorang penganut paham atheisme yang dikutip
dari sebuah website : "Bagi saya secara pribadi, dunia online adalah salah satu cara untuk bertukar
pikiran dan bertemu dengan orang-orang yang memiliki kesamaan pandangan dengan saya, karena saya
tak melihat banyak dalam kehidupan nyata,". Ny. X (29 tahun). Menurut narasumber tersebut hidup
sebagai seorang atheis di negara yag mayoritas muslim seperti di Indonesia merupakan hal yang sulit.
Narasumber lain menyatakan bahwa internet merupakan wadah yang paling tepat untuk saling
berinteraksi dengan para penganut paham atheisme yang lain. Kemajuan teknologi berdampak pada
perubahan cara pandang seseorang tentang ketuhanan, karena manusia mengalami transformasi dari
irasionalitas ke rasionalitas, sehingga hal-hal yang berbau magis atau ghaib tidak dapat diterima lagi.
Selain itu kata-kata "Tuhan Tidak Ada" jika diartikan secara konotasi maka bermakna manusia sudah
tidak lagi merasa takut pada hukum Tuhan. Manusia mulai bertuhan pada teknologi yang berkembang
dengan sangat pesat. 9
BAB III PAHAM ATHEISME DAN DASAR NEGARA 3.1 Hukum tentang Kewajiban Beragama di Indonesia
Indonesia menganut falsafah Pancasila, memberikan posisi yang amat penting bagi semua agama yang
dianut masyarakatnya, dan menuntut dari agama dan agamawan peranan yang besar dalam
membangun bangsa dan negara, sesuai dengan fungsi agama yang disebut di atas, yaitu “menata urusan
manusia guna mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan diakhirat. Agama mempunyai
peranan yang penting dalam masyarakat. Agama memiliki nilai-nilai yang dapat memberi sumbangan
dalam segala aspek kehidupan masyarakat, baik aspek sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Dalam
berbagai aspek tersebut, diharapkan: 1. Agama hendaknya menjadi pendorong bagi peningkatan
kualitas sumber dayA manusia. 2. Agama hendaknya memberikan kepada individu dan masyarakat suatu
kekuatan pendorong untuk peningkatan partisipasi dalam karya dan kreasi mereka. 3. Agama dengan
nilai-nilainya harus dapat berperan sebagai isolator yang merintangi seseorang dari segala macam
penyimpangan. Indonesia bukanlah negara sekuler yang memisahkan antara negara dan agama, namun
demikian Indonesia juga bukanlah yang berdasarkan pada suatu agama tertentu, akan tetapi Indonesia
merupakan negara kesatuan yang memberikan kebebasan kepada warga negaranya untuk memiliki
suatu keyakinan dan menganut agama tertentu. Kebebasan Beragama di Indonesia diatur dalam :
Undang Undang Dasar 1945 Sebagaimana diketahui, UUD 1945 Pasal 29 Ayat 1 dan 2 menyatakan
sebagai berikut: 1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu. Kemudian dalam Amandemen-amandemen berikutnya, telah ditambahkan
Pasal 28E, yang berbunyi sebagai berikut: 1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih 10
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali. 2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya. 3. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat. Kemudian juga ditambahkan Pasal 28I, yang berbunyi sebagai berikut: Hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun. Ketetapan MPR RI TAP MPR Nomor VII/ MPR 2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan. Pasal 2
Bab IV point 1 TAP MPR tersebut dikemukakan bahwa visi Indonesia 2020 adalah: a. Terwujudnya
masyarakat yang beriman, yang bertakwa, berakhlak mulia sehingga ajaran agama, khususnya yang
bersifat universal dan nilai-nilai luhur budaya terutama kejujuran, dihayati dandiamalkan dalam perilaku
kesehariannya. b. Terwujudnya toleransi intern dan antar umat beragama. c. Terwujudnya
penghormatan terhadap martabat kemanusiaan. Beragama di Indonesia merupakan “keharusan”
(Dengan tidak menyatakan wajib), bahkan itu merupakan identitas bangsa. Indonesia adalah negara
yang majemuk, beragam agama dan budaya ada. Hal ini merupakan kekuatan bagi Indonesia. Jadi
sebagai warga Indonesia yang taat akan Pancasila dan UUD 1945 kita harus beragama. Kebebasan
beragama di Indonesia tidak terlepas dari “harusnya” seorang warga negara Indonesia memiliki agama.
Tidak ada unsur paksaan untuk memilih agama, karena hal tersebut merupakan hak masing-masing
setiap individu yang tinggal di Indonesia. Dikatakan harus beragama karena Indonesia berlandaskan
pada Pancasila, dimana bunyi sila pertama yaitu “Ketuhanan yang Maha Esa”. Hal tersebut menunjukkan
bahwa nilai-nilai ketuhanan harus diterapkan di segala 11
aspek kehidupan terutama agama. Agama sebagai pengikat moral manusia dalam menjalankan
kehidupan di dunia dan akhirat. 3.2 Kontradiksi Paham Atheis dengan Dasar Negara Indonesia Pancasila
sebagai dasar negara merupakan hal yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Bila kita
mengganggu posisi Pancasila sebagai dasar negara maka hal tersebut akan mengganggu persatuan
bangsa dan negara yang sudah dibangun oleh para pemimpin terdahulu. Pada akhirnya Indonesia akan
terpecah menjadi negara-negara kecil yang berbasis agama dan suku. Untuk menghindarinya, maka
penerapan hukum-hukum agama dan hukum-hukum adat dalam sistem hukum negara menjadi penting
untuk diterapkan. Hal ini diperkuat lagi dengan sejarah Indonesia yang terdiri dari beberapa kerajaan
yang berbasis dari berbagai suku dan agama. Pancasila diperjuangkan untuk mengikat agamaagama dan
suku-suku tersebut akan tetapi tetap mengakui jati diri dan ciri khas yang dimiliki oleh setiap agama dan
suku. Sila pertama dari Pancasila merupakan sumber dari nilai-nilai agama yang diterapkan dalam
negara. Dalam perkembangannya, sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu dapat dijabarkan menjadi : a.
Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaanya kepada Tuhan Yang Maha Esa b.
Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab c. Mengembangkan
sikap hormat menghormati dan bekerjasama antarpemeluk agama dan penganut kepercayaan yang
berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa d. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat
beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa e. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha
Esa f. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama
dan kepercayaannya masing-masing g. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain 12
Dari penjabaran sila pertama di atas kita dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya di Indonesia yang
ditekankan dalam hukum negara adalah kebebasan untuk memeluk agama dan wajib untuk meyakini
satu agama namun tidak boleh memaksakan keyakinannya itu untuk diikuti oleh orang lain. Konsep
Ketuhanan Yang Maha Esa yang diterapkan di Indonesia menunjukan bahwa Indonesia menyatukan
agama dengan negara. Oleh karena itu, paham Atheisme yang berkembang di negara lain tidak bisa
diterima di Indonesia. Meskipun di Indonesia diterapkan demokrasi dan diakui bahwa keyakinan adalah
hak asasi yang merupakan urusan manusia dengan Tuhan, namun bukan berarti paham yang tidak
mempercayai adanya Tuhan bisa diterima dan dilegalkan di Indonesia karena Indonesia merupakan
negara yang menjunjung tinggi konsep Ketuhanan dan agama. Indonesia adalah negara Pancasila yang
tidak tunduk pada satu agama, tidak juga mengakui adanya pemisahan antara agama dan negara,
apalagi sampai tidak mengakui agama manapun. Indonesia bukanlah negara agama, bukan pula negara
sekuler apalagi negara atheis. Penerapan nilai-nilai agama dalam negara sangat mungkin untuk
dilakukan akan tetapi harus dapat mencakup semua pemeluk agama di Indonesia. Sila pertama
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah letak kontradiksi antara Pancasila sebagai dasar negara dengan
paham Atheisme secara filosofis. Berdasarkan penjabaran di atas dapat dipahami bahwa keberadaan
paham atheisme di Indonesia bukan hal yang dapat dilegalkan secara hukum seperti agama-agama lain.
Sedangkan secara konstitusional, kontradiksi antara keduanya yang menyebabkan paham Atheisme
tidak dapat dikembangkan di Indonesia terdapat pada UUD 1945 pasal 29, 28 E, 28 I. Kemudian
diperkuat lai dengan adanya TAP MPR No. VII/MPR 2001 Pasal 2 BAB IV poin 1. 13
3.3 Studi Kasus Kasus mengenai pernyataan seorang warga Indonesia yang mengakui dirinya adalah
atheis terjadi di awal tahun 2012 ini. Berikut adalah kutipan berita dari kasus tersebut. “Kepolisian Resor
(Polres) Dharmasraya menetapkan Alexander, pegawai negeri sipil (PNS) yang menganut paham atheis
sebagai tersangka. Ia dijerat dengan pasal berlapis karena diduga menistakan agama, menghina, dan
memalsukan identitas. Kapolres Dharmasraya Ajun Komisaris Besar Chairul Aziz mengatakan, Alexander,
PNS yang bekerja di kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Dharmasraya tersebut,
tidak diusut karena keyakinannya, namun karena berbagai tindakannya yang menistakan agama Islam.
"Kami sudah memperoleh bukti dan pengakuan tersangka. Yang dijadikan model atau bahan-bahan
(penistaan) adalah ayatayat Alquran. Alquran kan milik umat Islam. Ini penistaan agama," katanya,
Jumat (20/1). Karena penistaan tersebut, Alexander dijerat dengan Pasal 156a KUHP, dengan ancaman
hukuman maksimal lima tahun penjara. Selain itu, polisi juga menjerat pemilik akun facebook Alex Aan
tersebut dengan pasal 27 ayat 3 Undang-Undang (UU) No 8 tahun 2011 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE) dan terancam pidana penjara enam tahun serta denda Rp1 miliar. Tidak cukup di situ,
Alexander juga terancam pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Surat terkait dengan pencantuman agama
Islam di dalam identitas yang ia gunakan ketika masuk sebagai PNS di Dharmasraya. Pasal itu memuat
ancaman hukuman penjara maksimal enam tahun. "Ia mengaku atheis. Tetapi, ketika masuk kerja ia
menulis agamanya Islam," kata Chairul. Alexander didatangi puluhan pemuda Pulau Punjung,
Dharmasraya di depan kantor Bappeda pada Rabu (18/1) karena aktivitasnya sebagai admin yang dinilai
menghina agama di group Fecebook 'Atheis Minang'. Polsek Pulau Punjung yang mendapat laporan ada
keributan, langsung membawa Alexander ke kantor polisi dan setelah itu memindahkannya ke Polres
Dharmasraya. "Kami menahan tersangka. Penyidik masih melakukan pemberkasan," jelas Chairul. 14
Dalam pantauan mediaindonesia.com grup facebook Atheis Minang sempat nonaktif selama beberapa
jam pada Kamis (19/1). Namun, pada Jumat sudah kembali diaktifkan admin yang lain. (HR/OL-01)”,
mediaindonesia.com Di Indonesia, fenomena atheisme bukan hal yang sering menjadi pembicaraan
masyarakat Indonesia. Masyarakat lebih sering membicarakan urusan keagamaan dan ketuhanan.
Wacana agama dan Tuhan tetap menjadi topik yang menarik dan tidak akan selesai untuk dibicarakan.
Setiap hari media cetak dan elektronik selalu menyajikan berita yang berkaitan dengan keagamaan. Hal
ini disebabkan paradigma masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa keberadaan kaum atheis
tidak mungkin ada dalam negara yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan, apabila kaum
atheis ini muncul di masyarakat, pemerintah pasti akan melarang keberadaannya. Hal ini dapat terjadi
karena doktrin yang sudah ditanamkan sejak dulu di mana atheisme selalu disinonimkan dengan
komunisme. Sehingga, keberadaan kaum ini pasti dilarang. Sementara itu, para ahli agama juga
memberikan label kaum atheis sebagai orang bebal, bodoh, bid‟ah, zindiq atau kafir. Pembicaraan
ahteisme akhir-akhir ini terlihat lebih marak di situs-situs internet dalam bentuk blog-blog baik berupa
artikel, diskusi, maupun tanya-jawab. Banyak sekali tanggapan dari pandangan kaum teis terhadap kaum
atheis, meski pada kenyataannya mereka tidak mengenali kaum atheis tersebut baik secara personal,
historis, bahkan ideologi kaum atheis. Sedangkan dalam literatur sebuah harian hanya sebuah profokatif
dari eksistensi kaum atheis tersebut yang kian marak di salah satu jaringan komunikasi internet.
Eksistensi kaum atheis di Indonesia dalam realitasnya selain mendapatkan hujatan dan penolakan, pada
dasarnya juga mendapatkan empati dan dukungan khususnya dari masyarakat sekuler dan liberal dalam
keberagamaan. Bagi mereka keberadaan kaum ini seharusnya mendapatkan tempat yang layak.
Contohnya pada kasus Alexander Aan di atas. Pada dasarnya pemerintah tidak dapat memaksakan
keyakinan dan juga kepercayaan kepada setiap individu warganya. Namun, apabila warga negara
tersebut mendeklarasikan dirinya secara terang-terangan sudah tidak mau mempercayai keberadaan
Tuhan maka 15
hukuman secara pidana bukanlah merupakan hal yang tepat. Sebaiknya pemerintah melalui pihak yang
terkait misalnya Departemen Agama beserta pengadilan melakukan pendekatan secara personal atau
psikologis untuk membantu warga negara tersebut agar dapat keluar dari permasalahan keyakinannya.
Selama kaum atheis tersebut tidak mengganggu dan berusaha menyebarkan keyakinannya pada
masyarakat luas maka sebenarnya hukuman secara pidana kurang tepat untuk diterapkan. 3.4
Pandangan Syariah Islam Terhadap Paham Atheisme Dalam pandangan syariah Islam, atheisme
merupakan suatu paham yang tidak bisa diterima akal pikiran pada sebagian besar muslim dikarenakan
pada hakikatnya Tuhan itu seperti “otak manusia”, tidak bisa didengar, disentuh, dan dilihat. Akan
tetapi, fungsi dari keberadaannya sangat penting dalam pembentukan alam ini dan dalam
keberlangsungan hidup umat manusia di dunia. Dalam Islam, seorang muslim diharuskan mempunyai
keyakinan atau tauhid terhadap keesaan Allah karena hal tersebut adalah dasar dari agama Islam. 1.
Pengertian Tauhid Konsep dalam aqidah Islam yang menyatakan keesaan Allah. 2. Kedudukan Tauhid
dalam Islam Seorang muslim meyakini bahwa tauhid adalah dasar Islam yang paling agung dan hakikat
Islam yang paling besar. Disamping harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah, tauhid merupakan salah
satu syarat diterimanya amal perbuatan. 3. Dalil Al-Qur‟an tentang Keutamaan dan Keagungan Tauhid
QS An Nahl: 36 "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu" QS At Taubah: 31 "Padahal mereka hanya disuruh
menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah
dari apa yang mereka persekutukan" QS Az Zumar: 2-3 "Maka sembahlah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)" QS Al
Bayinah: 5 16
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-
Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus" 4. Pembagian Tauhid Rububiyah Beriman bahwa hanya
Allah satu-satunya Rabb yang memiliki, merencanakan, menciptakan, mengatur, memelihara, memberi
rezeki, memberikan manfaat, menolak mudharat serta menjaga seluruh Alam Semesta. "Allah
menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu" (Az Zumar ayat 62) Hal yang seperti ini
diakui oleh seluruh manusia, terkecuali oleh kaum atheis. Pada kenyataannya, kaum atheis
menampakkan keingkarannya hanya karena kesombongan mereka. Padahal, secara tidak langsung
mereka mengakui bahwa tidak mungkin alam semesta ini terjadi kecuali ada yang membuat dan
mengaturnya. “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan?
Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang
mereka katakan).“ (Ath-Thur: 35-36) Uluhiyah / Ibadah Beriman bahwa hanya Allah semata yang
berhak disembah, tidak ada sekutu bagiNya. "Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang orang yang berilmu (juga
menyatakan demikian). Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang Mahaperkasa lagi
Maha Bijaksana" (Al Imran: 18). Mengesakan Allah dalam segala macam ibadah yang kita lakukan.
Seperti salat, doa, nadzar, menyembelih, tawakkal, taubat, dan berbagai macam ibadah lainnya. Kita
harus memaksudkan tujuan dari semua ibadah itu 17
hanya kepada Allah semata. Tauhid inilah yang merupakan inti dakwah para rosul dan merupakan
tauhid yang diingkari oleh kaum musyrikin Quraisy. “Mengapa ia menjadikan sesembahan-sesembahan
itu Sesembahan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.”
(Shaad: 5). Dalam ayat ini kaum musyrikin Quraisy mengingkari jika tujuan dari berbagai macam ibadah
hanya ditujukan untuk Allah semata. Oleh karena pengingkaran inilah maka mereka dikafirkan oleh Allah
dan Rosul-Nya walaupun mereka mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta alam semesta.
Asma wa sifat Beriman bahwa Allah memiliki nama dan sifat baik (asma'ul husna) yang sesuai dengan
keagunganNya. Umat Islam mengenal 99 asma'ul husna yang merupakan nama sekaligus sifat Allah.
Para atheis biasanya mengajukan beberapa pertanyaan yang menjadi andalan dan sering kali bisa
menjebak masyarakat lain ikut dalam diskusi bersama mereka. Berikut adalah beberapa contoh
pertanyaan tersebut. 1. Pertanyaan dan pernyataan mengenai big bang “Dapatkah Tuhan menciptakan
batu yang sangat besar sehingga Tuhan tidak dapat mengangkatnya?” Pertanyaan tersebut
sesungguhnya tidak bisa kita jawab dengan jawaban seperti, “Tuhan dapat menciptakan batu tersebut
dan tidak dapat mengangkatnya.” Karena kaum atheis bisa menyangkalnya dengan “Di mana ke-
Mahakuasaan Tuhan sehingga Ia tidak dapat mengangkat batu tersebut?” Islam mengajak manusia
untuk berfikir ulang “Adakah suatu materi yang dapat berkuasa atas dirinya sendiri?” Jadi dalam ledakan
Big Bang yang meluas ke seluruh penjuru mustahil terjadi bila tidak ada campur tangan Allah Ta‟ala.
Firman Alla Swt. : “Dia Pencipta langit dan bumi.” (QS al-An‟aam [6]: 101). 18
Firman Allah tersebut telah dinyatakan bahwa Allah pencipta langit dan bumi dan permasalahan ledakan
Big Bang yang meluas ke seluruh penjuru tersebut juga bisa kita lihat pada firman Allah Swt. : “Dan langit
itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.” (QS dz-
Dzaariyaat [51]:47) 2. Pertanyaan mengenai penciptaan manusia Atheis Islam : “Untuk apa Tuhan
menciptakan Manusia?” : “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang
Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia
memusnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu). Dan yang
demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi Allah.” (QS Faathir, [35]: 15-17) “Orang-orang yang
menyombongkan diri dari menyembahKu akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS
al-Mukmin [40]: 60) - 19
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Indonesia merupakan negara Pancasila yang tidak tunduk pada satu
agama, tidak juga memisahkan antara agama dengan negara, serta tidak pula sampai tidak mengakui
agama manapun. Sila pertama pada Pancasila menjadi landasan utama yang mencerminkan bahwa
setiap hukum di Indonesia harus menerapkan nilai-nilai agama/Ketuhanan serta warga negaranya harus
meyakini salah satu agama yang sudah dilegalkan oleh pemerintah. Kontradiksi antara paham Atheisme
dengan Pancasila terletak pada sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”, UUD 1945 Pasal 29
ayat 1 dan 2, Pasal 28 E dan 28 I, serta TAP MPR No. VIII/MPR 2001 Pasal 2 BAB IV Poin 1. Pada dasar
negara dan setiap aturan tersebut menegaskan bahwa setiap warga negara Indonesia harus
menganut/mempercayai salah satu agama yang legal di Indonesia. Maka dapat dikatakan bahwa tidak
ada tempat bagi paham Atheisme untuk berkembang dan dijadikan sebagai kepercayaan yang legal di
Indonesia. Menurut pandang syariah islam, atheisme adalah paham yang tidak dapat diterima oleh akal
sehat karena berdasarkan ayat-ayat Al-Quran seorang muslim itu wajib mempunyai kepercayaan atau
tauhid yang menyatakan bahwa Allah itu ada dan Allah itu Esa. 4.2 Saran Menurut penulis, penerapan
hukun pidana kepada para atheis bukan suatu tindakan yang tepat. Terlebih lagi hal tersebut tentunya
akan menyulut kemarahan pihak-pihak yang mendukung keberadaan mereka dan akan menimbulkan
permasalahan pelanggaran hak asasi manusia. Apabila seorang penganut Atheisme mendeklarasikan
dirinya di sebuah forum umum maka penyelesaian masalah yang terbaik adalah dengan melakukan
pendekatan psikologis. 20
DAFTAR PUSTAKA
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2012/01/120119_atheis_minang.shtml
www.mediaindonesia.com Analisis Kritis Terhadap Fenomena Kaum Atheis Di Indonesia «.htm Sejarah
Singkat Atheisme Modern, termasuk Indonesia (Anonim) « garrybrumadyadisty.htm faktor atheis.html
21

AKALAH FILSAFAT ATHEISME

PENDAHULUAN

Atheis merupakan aliran filsafat yang ingin mewujudkan sejarah manusia tanpa Tuhan.Penulis asal
Perancis abad ke-18, Baron d'Holbach adalah salah seorang pertama yang menyebut dirinya Atheis.
Waktu dia lahir bernama Paul Heinrich Dietrich di Edesheim, Rhenish Palatinate. Akan tetapi dia tinggal
di Paris. Dia terkenal akan atheismenya dan tulisannya yang anti agama, dengan tulisan yang paling
terkenal adalah System of Nature (1770). dia meninggal umur 65 tahun pada tanggal 21 Januari 1789.

Tokoh atheis lain muncul pada tahun 1844 – 1890 yaitu Friedrich Nietzche. Tuhan dan agama
menurutnya dipandang sebagai formula jahat yang diterapkan dalam setiap fitnah melawan manusia di
dunia.

PENGERTIAN ATHEISME

Atheisme adalah sebuah pandangan filosofi yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan dan dewa –
dewi, ataupun penolakan terhadap theisme. Dalam pengertian yang luas, atheisme adalah ketiadaan
kepercayaan pada keberadaan dewa atau tuhan.

Istilah atheisme berasal dari bahasa Yunani “atheos” yang secara peyoratif digunakan untuk merujuk
pada siapapun yang kepercayaannya bertentangan dengan agama atau kepercayaan yang sudah mapan
di lingkungannya. Dengan menyebarnya pemikiran bebas, skeptisisme ilmiah dan kritikan terhadap
agama, istilah atheis mulai di spesifikasi untuk merujuk kepada mereka yang tidak percaya kepada
Tuhan. Pada zaman sekarang, sekitar 2,3 % populasi dunia mengaku sebagai atheisme, manakala 11,9 %
mengaku sebagai nontheis. Sekitar 65 % orang Jepang mengaku sebagai atheisme, agnostik, ataupun
orang yang tidak beragama dan sekitar 48 % nya di Rusia. Persentase komunitas tersebut di Uni Eropa
berkisar antara 6 % (Itali) sampai 85% (Swedia).Banyak atheis bersikap skeptis kepada keberadaan
fenomena paranormal karena kurangnya bukti empiris. Yang lain memberikan argumen dengan dasar
filosofis, sosial atau sejarah.

Pada kebudayaan Barat, atheis sering kali di asumsikan sebagai tidak beragama atau ireligius.
Beberapa aliran agama Buddha tidak pernah menyebutkan istilah Tuhan dalam berbagai upacara ritual,
namun dalam agama buddha konsep ketuhana yang dimaksud mempergunakan istilah Nibbana.
Karenanya agama ini sering disebut agama atheistik. Walaupun banyak dari yang mendefinisikan dirinya
sebagai atheis cenderung kepada filosofi sekuler seperti humanisme, rasionalisme dan naturalisme,
tidak ada ideologi atau perilaku sfesifik yang di junjung oleh semua atheis.

Pada zaman Yunani kuno, atheos berarti tak bertuhan. Kata ini mulai merujuk pada penolakan tuhan
yang disengajakan dan aktif pada abad ke-5 SM, dengan definisi memutuskan hubungan dengan tuhan
atau dewa atau menolak tuhan atau dewa. Terjemahan modern pada teks – teks klasik kadang – kadang
menerjemahkan atheos sebagai atheistik. Sebagai nomina abstrak, terdapat pula atheotes yang berarti
atheisme.

Cicero mentransliterasi kata Yunani tersebut ke dalam bahasa latin atheos. Istilah ini sering digunakan
pada perdebatan antara umat kristen awal dengan para pengikut agama Yunani kuno (Helenis), yang
mana masing – masing pihak menyebut satu sama lainnya sebagai atheis secara peyoratif.

Atheisme pertama kali digunakan untuk merujuk pada kepercayaan tersendiri pada akhir abad ke-18
di Erapa, utamanya merujuk pada ketidakpercayaan pada Tuhan monoteis. Pada abad ke-20 globalisasi
memperluas definisi istilah ini untuk merujuk pada ketidakpercayaan pada semua tuhan atau dewa,
walaupun masih umum untuk merujuk atheisme sebagai ketidakpercayaan kepada tuhan monoteis.
Akhir – akhir ini, terdapat suatu desakan di dalam kelompok filosofi tertentu untuk mendefinisikan ulang
atheisme sebagai ketiadaan kepercayaan pada dewa dewi, daripada atheisme sebagai kepercayaan itu
sendiri. Definisi ini sangat populer di antara komunitas atheis walaupun penggunaannya masih sangat
terbatas.

DEFINISI DAN PEMBEDAAN SERTA RUANG LINGKUP ATHEISME

Suatu gambaran yang menunjukkan hubungan antara definisi atheisme kuat dan lemah dengan
atheisme implisit dan eksplisit. Atheis implisit tidak memiliki pemikiran akan kepercayaan pada tuhan,
individu seperti itu dikatakan secara implisit tanpa kepercayaan kepercayaan pada Tuhan. Atheis
eksplisit mengambil posisi terhadap kepercayaan pada tuhan, individu tersebut dapat menghindari
untuk percaya pada Tuhan (atheisme lemah) ataupun mengambil posisi bahwa tuhan tidak ada
(atheisme kuat).

Beberapa ambiguitas dan kontroversi yang terlibat dalam pendefinisian atheisme terletak pada
sulitnya mencapai konsensus dalam mendefinisikan kata – kata seperti dewa dan tuhan. Pluralitas dalam
konsep ketuhanan dan dewa menyebabkan perbedaan pemikiran akan penerapan kata atheisme. Dalam
konteks theisme didefinisikan sebagai kepercayaan pada tuhan monoteis, orang – orang yang percaya
pada dewa dewi lainnya akan diklasifikasikan sebagai atheis. Sebaliknya pula, orang – orang Romawi
kuno juga menuduh umat kristen sebagai atheis karena tidaka menyembah dewa dewi paganisme. Pada
abad ke-20 pandangan ini mulai ditinggalkan seiring dengan dianggapnya theisme meliputi keseluruhan
kepercayaan pada dewa atau tuhan. Bergantung pada apa yang para atheis tolak, penolakan atheisme
dapat berkisar dari penolakan akan keberadaan tuhan atau dewa sampai dengan keberadaan konsep –
konsep spiritual dan paranormal seperti yang pada agama Hindu dan Buddha.

Definisi atheisme juga bervariasi dalam halnya sejauh mana seseorang harus mengambil posisi
mengenai gagasan keberadaan tuhan untuk dianggap sebagai atheis. Atheisme kadang – kadang
didefinisikan secara luas untuk meliputi ketiadaan kepercayaan akan keberadaan tuhan atau dewa.
Definisi yang luas ini akan memasukkan orang – orang yang tidak memiliki konsep theisme sebagai
atheis. Pada tahun 1772, Baron d'Holbach mengatakan bahwa semua anak – anak dilahirkan sebagai
atheis, karena mereka tidak tahu akan Tuhan. George H. Smith 1979 juga menyugestikan bahwa orang
yang tidak kenal dengan theisme adalah atheis karena ia tidak percaya pada tuhan. Kategori ini juga
memasukkan anak dengan kapasitas konseptual untuk mengerti isu – isu yang terlibat, tapi masih tidak
sadar akan isu – isu tersebut (sebagai atheis). Fakta bahwa anak ini tidak percaya pada tuhan
membuatnya pantas disebut atheis. Smith menciptakan istilah atheisme implisit untuk merujuk pada
ketiadaan kepercayaan teistik tanpa penolakan yang secara sadar dilakukan dan atheisme eksplisit untuk
merujuk pada definisi ketidakpercayaan yang dilakukan secara sadar.

Dalam kebudayaan barat, pandangan bahwa anak dilahirkan sebagai atheis


merupakan pemikiran yang baru. Sebelum abad ke-18 keberadaan Tuhan diterima dengan sangat luas
sedemikiannya keberadaan atheisme yang benar – benar tidak percaya akan Tuhan itu dipertanyakan
keberadaannya. Hal ini disebut theistic innatism (pembawaan lahir teistik) yaitu bahwa semua orang
percaya pada Tuhan dari lahir. Pandangan ini memiliki konotasi bahwa para atheis hanya menyangkal
diri sendiri. Terdapat pula sebuah posisi yang mengklaim bahwa atheis akan dengan cepat percaya pada
Tuhan saat krisis, bahwa atheis percaya pada Tuhan saat meninggal dunia ataupun bahwa tidak ada
atheis dalam lubang perlindungan perang. Beberapa pendukung pandangan ini mengklaim bahwa
keuntungan antropologis agama membuat manusia dapat mengatasi keadaan susah lebih baik.
Beberapa atheis menitikberatkan fakta bahwa terdapat banyak contoh yang membuktikan sebaliknya, di
antaranya contoh – contoh atheis yang benar – benar berada di lubang perlindungan perang.

Para fisuf seperti Antony Flew, Michael Martin dan William L. Rowe membedakan
antara atheisme kuat/positif dengan atheisme lemah/negatif. Atheisme kuat adalah penegasan bahwa
tuhan tidak ada sedangkan atheisme lemah meliputi seluruh bentuk ajaran nonteisme lainnya. Menurut
kategori ini, siapapun yang bukan theis dapatlah atheis yang lemah ataupun kuat. Istilah lemah kuat ini
merupakan istilah baru namun istilah yang setara seperti atheisme negatif dan positif telah digunakan
dalam berbagai literatur – literatur filosofi dan apologetika katolik (dalam artian yang sedikit berbeda)
menggunakan batasan atheisme ini, kebanyakan agnostik adalah atheis lemah.

Manakala Martin, menegaskan bahwa agnostisisme memiliki bawaan atheisme


lemah. Kebanyakan agnostik memandang pandangan mereka berbeda dari atheisme, yang mereka lihat
atheisme sama saja tidak benarnya dengan theisme. Ketidaktercapaian pengetahuan yang diperlukan
untuk membuktikan atau membatah keberadaan tuhan kadang – kadang dilihat sebagai indikasi bahwa
atheisme memerlukan sebuah lompatan kepercayaan. Respon atheis terhadap argumen ini adalah
bahwa dalil – dalil keagamaan yang tidak terbukti seharusnyalah pantas mendapatkan ketidakpercayaan
yang sama sebagaimana ketidakpercayaan pada dalil – dalil tak terbukti lainnya dan bahwa
ketidakterbuktian keberadaan tuhan tidak mengimplikasikan bahwa probabilitas keberadaan tuhan
sama dengan probabilitas ketiadaan tuhan.

Filsuf Skotlandia J.J.C Smart bahkan berargumen bahwa kadang -kadang seseorang yang benar – benar
atheis dapat menyebut dirinya sebagai seorang agnostik karena generalisasi skeptisisme filosofis tidak
beralasan yang dapat menghalangi kita dari berkata kita tahu apapun, kecuali mungkin kebenaran
matematika dan logika formal. Karenanya, beberapa penulis atheis populer seperti Richard Dawkins
memilih untuk membedakan posisi theis, agnostik dan atheis sebagai spektrum probabilitas terhadap
pernyataan tuhan ada.

ARGUMEN LOGIS DAN BERDASARKAN BUKTI

Atheisme logis memiliki posisi bahwa berbagai konsep ketuhanan, seperti tuhan personal dalam ke
kristenan dianggap secara logis tidak konsisten. Para atheis ini memberikan argumen deduktif yang
menentang keberadaan tuhan yang menegaskan ketidakcocokan antara sifat – sifat tertentu tuhan,
misalnya kesempurnaan, status pencipta, kekekalan,kemahakuasaan, kemahatahuan,
kemahabelaskasihan, transendensi, kemaha adilan dan kemaha pengampunan Tuhan.

Atheis teodisi percaya bahwa dunia ini tidak dapat dicocokkan dengan sifat – sifat yang terdapat
pada Tuhan dan dewa – dewi sebagaimana yang diberikan oleh para teolog. Mereka berargumen bahwa
kemaha tahuan, kemaha kuasaan dan kemaha belas kasihan Tuhan tidaklah cocok dengan dunia yang
penuh dengan kejahatan dan penderitaan dan belas kasih Tuhan adalah tidak dapat dilihat oleh banyak
orang. Argumen yang sama juga diberikan oleh Siddhartha Gautama pendiri agama Buddha.

POKOK – POKOK PEMIKIRAN FRIEDRICH NIETZCHE

Pokok – pokok filsafatnya di antaranya mengenai kehendak manusia, manusia sempurna dan
kritikan terhadap agama kristen. Pokok – pokok filsafatnya sebagai berikut :

kehendak untuk berkuasa merupakan dasar dan sumber tingkah laku manusia. Kehendak

untuk berkuasa memasuki semua bidang kegiatan manusia: kesadaran hidup, perwujudan

nilai – nilai agama, kebudayaan dan lainnya. Kehendak untuk berkuasa bahkan merupakan

kenyataan yang benar akan dunia ini. Dunia ini adalah kehendak untuk berkuasa, lain tidak.
Kehendak untuk berkuasa ini tampak dalam ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan, manusia
ingin menyelidiki dunia untuk menemukan kenyataan dunia yang menjadi. Dengan ilmu, semua yang
dapat didefinisikan sebagai penjelmaan alam menjadi konsep -konsep dengan tujuan menguasai alam.

Tentang agama juga dinyatakan sebagai perwujudan keehendak untuk berkuasa. Semua agama
pada hakikatnya berasal dari kehendak untuk berkuasa. Karena kehendak untuk berkuasa ini tidak dapat
dipenuhi dengan kekuatan manusia sendiri, maka manusia menyerahkan usahanya kepada pribadi yang
lebih tinggi. Manusia lari kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena ia sendiri tidak dapat mengalahkan
kekuatan yang dihadapinya.

Bagi nietzsche manusia yang ideal adalah superman. Dengan superman kehendak untuk berkuasa
atas dunia menjadi sempurna. Sejarah akan mencapai kesudahannya pada kehadiran manusia superman
ini. Superman adalah manusia yang mengetahui bahwa Tuhan telah mati, bahwa tidak ada sesuatupun
yang melebihi atau mengatasi dunia ini. Superman akan muncul bila manusia telah manusia mempunyai
keberanian untuk mengybah sistem nilai untuk menghancurkan nilai – nilai yang ada terutama nilai ke
kristenan. Sesudah itu manusia yang kuat yang berani menghancurkan nilai – nilai lama, harus
menciptakan dan menyusun nilai – nilai baru yang melebihi nilai sebelumnya. Kehendak untuk kuasa
yang menjelma dalam semua nilai akan mengarah kepada superman, akan merupakan personofikasinya.
Superman tampil di dunia ini seperti Caesar dari Romawi Kuno, Napoleon dari Prancis, Goethe dari
Jerman dan sebagainya.

Kritik terhadap agama kristen walau Nietzsche terdidik di lingkunan kristen namun akhirnya ia
menjadi filosof atheis yang paling ekstrim. Kritik terhadap agama kristen mencapai puncaknya dalam
bukunya anti kristus.

Agama kristen dinyatakan sebagai lambang pemutarbalikkan nilai – nilai, sebab jiwa kristiani
menolak segala yang alamiah dan memusuhi segala yang nafsani. Pengertian Allah agama kristen adalah
penertian yang paling rusak dari segala penertian tentang Allah, sebab Allah dipandang sebagai Allah
anak – anak piatu, janda – janda dan orang sakit. Allah dipandang sebagai roh yang bertentangan sekali
dengan hidup ini. Jiwa kristiani adalah jiwa yang tidak memberi penguasaan dan kebangsawanan. Semua
itu harus dibongkar sehingga ditimbulkan nilai – nilai baru, moral tuan.

Bagi Nietzsche peristiwa yang paling menonjol dalam sejarah di Barat pada zaman modern adalah
bahwa Allah sudah mati. Dimaksudkan dengan itu ialah bahwa kepercayaan kristiani akan allah sudah
layu dan hampir tidak mempunyai peranan riil lagi. Dan Nietzsche merasa terpanggil untuk mewujudkan
sejarah baru tanpa tuhan. Jika Allah sudah mati, jika Allah kristiani dengan segala perintah dan
larangannya sudah tidak merupakan rintangan lagi, itu berarti bahwa dunia sudah terbuka untuk
kebebasan dan kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi kepada sesuatu di belakang atau di atas
dunia dimana ia hidup, tetapi harus setia terhadap dunia ini.
Asah Pena

Belajarlah, berbuat kesalahan lalu tumbuh.

Rabu, 20 November 2013

ATHEISME, BENTUK-BENTUK DAN CARA MEMBANTAHNYA

Atheisme sering dikatakan sebagai paham yang tidak mempercayai Tuhan, baik itu keberadaannya
maupun perannya dalam kehidupan manusia. Sulit untuk merunut sejak kapan paham ini ada di muka
bumi. Walaupun demikian, banyak orang yang mengklaim bahwa dirinya atheis. Atheisme mulai
diberikan landasan rasional ilmiah ketika Ludwig Feuerbach menerbitkan karyanya The Essence of
Christianity dan melakukan kritik agama khususnya agama Kristen.

Atheisme model Ludwig Feuerbach adalah filsafat model “tak lain daripada…”. Hal ini karena pemikiran
yang diajukan hanya melihat sesuatu dibalik/dibelakang masalah yang dibicarakannya. Bukannya secara
jujur mengungkapkan kebenaran dan kesalahan dari agama tapi langsung masuk kedalam adanya
sesuatu di balik layar dari agama itu : “bahwa agama tak lain daripada….”. Landasan filosofis ini sering
disebut dengan nama Reduksionisme.

Dalam tulisan ini saya hanya mengungkapkan 4 landasan berpikir para pemikir aliran utama atheisme,
tentunya dengan penjelasan singkat ala kadarnya. Keempat pemikiran itu, yang mempelopori filsafat
kritis terhadap agama, adalah Ludwig Feuerbach, Sigmund Freud, Friederich Nietzsche, dan Jean-Paul
Sartre.

1. Atheisme Materialistik (karl Vogt, Huxely dan Lamettra.)

Wujud segala sesuatu dipandang dari materi dimana segala sesuatunya bias ditangkap atau
diraba,dipegang,disentuh,dicium dan seterusnya. Hakikatnya alam ini adalah materi atau benda.jiwa dan
pikiran adalah materi hanya saja sangat halus berbeda dengan materi yang lain. Dan menurut mereka
segala sesuatu yang tidak materi itu tidak ada. Tuhan bukan materi, Tuhan tidak bias
dilihat,ditangkap,diraba disentuh, dirasa dan diindera oleh manusia.

Jenis atheisme ini merupakan jenis yang paling kuno, Penganut atheisme ini sudah ada sejak zaman Nabi
Muhammad saw berdakwah di Mekkah. Dalam Al-Qur’an surah Al Jaafsiyah ayat 24 menjelaskan bahwa
Mekkah ada golongan yang tidak percaya adanya Tuhan dan hari kiamat. Mereka mengatakan :
“Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada pula
yang membinasakan kita selain masa!”

Perkataan mereka bahwa “kehidupan ini tidak lain hanyalah di dunia saja. Adalah pengingkaran
terhadap kehidupan di hari kemudian, hari

di mana manusia dibangkitkan dari kematian. Kenapa mereka tidak percaya? Karena itu tadi, mereka
berlandaskan pada materi yang bisa dilihat, diraba dan diindera. Menurut mereka alam itu ya alam
dunia ini yang pada hakikatnya adalah

materi. Di dunia inilah terjadi kehidupan dan kematian. Tidak ada alam selain dunia ini. Kematian dan
kehidupan menurut mereka terjadi begitu saja sesuai hukum alam. Menurut mereka, mereka mati
begitu saja. Yang mematikan adalah masa atau waktu. Mereka mengatakan, 'Tidak ada yang
membinasakan kita selain masaV Ini berarti, secara terang-terangan mereka tidak mengakui adanya
Tuhan yang berkuasa menghidupkan dan mematikan.

Atheisme Materialisme Mencuat pada Abad ke-17 dan ke-19 tokohnya : karl Vogt, Huxely,dll. Karl Vogt
pernah mengatakan : Otaklah yang melahirkan kehidupan ini, melahirkan pikiran sebagaimana ginjal
melahirkan air seni. Maksudnya, tidak ada wujud selain daripada materi. Tuhan bukan materi, kata Vogt.
Jadi ia tidak ada."

Alasan para penganut faham materialisme itu sangat lemah. Pada kenyataannya manusia mengakui
adanya sesuatu yang bukan materi. Misalnya hukum. Hukum itu non materi. Dan hukum itu ada. Diakui
semua manusia termasuk para pengikut materialisme. Contoh lain adalah ide. Siapa bisa mengindera
ide? Ide diakui ada
begitu saja dalam pikiran manusia. Ide. Tapi ide itu ada. Juga spirit. Spirit ada begitu saja, masuk dalam
jiwa manusia. Sama seperti ide, spirit tidak bisa dilihat, disentuh, dicium atau dirasa dengan panca
indera. Tapi spirit itu ada, tak ada yang mengingkarinya."

"Contoh lainnya lagi 'waktu. Siapa bisa melihat waktu? Waktu bukan benda. Bukan materi. Tidak bisa
ditangkap indera manusia. Dengan kamera secanggih apa pun manusia tidak bisa memotret waktu,
bentuknya seperti apa. Sebab waktu memang bukan benda, bukan materi. Tapi waktu itu ada, tak ada
yang menyangkalnya.

Otak manusia meyakini begitu saja waktu itu ada. Jadi, banyak sekali hal-hal yang non materi yang diakui
keberadaannya oleh manusia. Jika mereka bisa mengakui adanya hukum, ide, spirit dan waktu yang
bukan materi, yang tidak bisa ditangkap panca indera, kenapa mereka mengingkari adanya Tuhan? Jadi,
alasan mereka mengingkari adanya Tuhan itu sangat lemah. Tuhan itu ada, sebagaimana waktu ada.
Bahkan, Tuhanlah yang menciptakan waktu dan segala yang ada!"

2. Atheisme Psikologi (Sigmund Freud dan Ludwig Van Feuerbach)

Sigmund Freud adalah seorang psikiater yang menciptkan dan mengembangkan metode Psikoanalisis.
Suatu metode/teori yang kemudian menjadi salah satu aliran besar dalam psikologi.Sedangkan
Feuerbach adalah orang yang pertama kali memberikan landasan rasional ilmiah terhadap atheisme. Dia
juga adalah salah satu pendukung filsafat dialektis Hegelian.

Psikologi semestinya dapat menguatkan iman seseorang tentang keberadaan Tuhan. Karena psikologi
adalah penjelajahan perasaan, batin dan jiwa manusia. Namun untuk satu ini bukanlah seperti itu
namun suatu paham yang tidak meyakini adanya Tuhan melalui penghayatan ilmu jiwa atau psikologi.
Tuhan diyakini hanya semacam proyeksi dari rasa sakit psikologis, sehingga manusia membutuhkan
sosok yang adi kodrati sebagai tempat berlindung kegelisahan psikisnya. Persis seorang anak yang
merintih meminta perlindungan pada ayahnya.

Menurut Sigmund Freud dan Ludwig Van Feuerbach yang merupakan ahli psikologi Jerman pada abad
ke-19.“Mereka berdua mengingkari Tuhan dengan alasan psikologi. Menurut mereka bertuhan adalah
jiwa kekanak-kanakan yang dibawa hingga dewasa. Menurut Freud, saat kecil manusia lemah. Ia
mengalami banyak kekurangan untuk memenuhi kebutuhannya. Meja begitu tinggi bagi seorang bocah.
Ia tidak bisa menggapai benda di atasnya. Kursi terasa berat, ia tidak kuat mengangkatnya. Ia melihat
ayahnya bisa melakukan apa saja. Mengambil benda di atas meja. Mengangkat kursi. Begitu mudah. Ia
kagum pada ayahnya. Ayahnya ia lihat mahakuasa. Ia menjadi sangat memerlukan ayahnya. Ketika anak
itu sudah dewasa ia menciptkan Tuhan dalam benaknya. Tuhan yang ia sebut dalam doanya untuk
memenuhi keinginan-keinginannya. Persis waktu ia kecil dulu saat minta pada ayahnya. Jadi Tuhan,
menurut Freud, hanya rekayasa manusia saja untuk ia jadikan tempat bertumpu atas segala
keinginannya. Freud mengingkari adanya Tuhan dengan alasan seperti itu. Agama menurut Freud dan
Freuebach hanya cerminan keinginan manusia.”

Untuk jenis dari atheisme ini dari awal sampai akhir lemah, dasar falsafah mereka juga lemah. Kita tanya
pada anak-anak kecil di sekitar kita tentang Tuhan, mereka akan menjawab Tuhan itu ada.

Jadi pengalaman psikologi seperti yang digambarkan Freud sangat jauh dari kebenaran. Freud
menggambarkan, ketika orang sudah dewasa dia menciptakan Tuhan dalam benaknya. Yaitu Tuhan yang
dia sebut dalam doanya untuk memenuhi keinginan-keinginannya. Persis waktu ia kecil dulu saat minta
tolong ayahnya. Ini sungguh gambaran yang sangat lucu sekali. Bagaimana dengan orang yang sejak kecil
telah mengenal Tuhan, dan mengakui Tuhan itu ada? Atau bagaimana dengan anak yatim piatu yang
tidak punya bapak dan tidak punya ibu. Hidup sebatangkara sejak kecil, namun ketika dewasa mengakui
adanya Tuhan. Apakah Tuhan yang diakuinya terlahir dalam benaknya sekadar untuk memenuhi
keinginan-keinginannya, persis waktu ia kecil dulu saat minta tolong ayahnya. Bagaimana ia punya
pengalaman minta tolong pada ayahnya padahal ia tidak punya ayah?"

Freud dan Feuerbach sama-sama meyakini bahwa agama tak lain hanyalah cerminan keinginan manusia.
Karenanya, agama juga khayalan otak manusia belaka. Pertanyaannya, benarkah agama itu merupakan
keinginankeinginan? Kodrat manusia menghendaki terpenuhi secara baik kebutuhan jasmani dan
ruhaninya. Nafsu seks manusia menghendaki perhenuhan dengan wanita mana saja tanpa batasan atau
larangan. Demikian pula nafsu perutnya. Tetapi agama melarang pemenuhan demikian.

Manusia wajib memenuhi tuntutan perut dan seksnya dengan beberapa aturan. Manusia wajib menjaga
dorongan seksnya. Manusia tidak boleh melampiaskan keinginan seksnya kecuali pada pasangannya
yang sah. Manusia tidak boleh mengisi

perutnya kecuali dengan yang halal. Manusia harus mengerjakan shalat, puasa, membayar zakat,
shadaqah dan itu bukan suatu keinginan. Tapi kewajiban dan tuntutan yang diajarkan agama.

Jika manusia merupakan keinginan, mengapa banyak rasul yang membawa agama itu justru menderita,
disingkirkan, diteror, bahkan ada yang dibunuh. Jika agama cerminan keinginan, seharusnya semua rasul
diterima dengan penuh sukacita oleh kaumnya. Kenyataannya adalah sebaliknya. Jadi tidak benar agama
merupakan keinginan-keinginan. Dan tidak benar anggapan Tuhan hanya rekaan benak manusia. Tuhan

memang benar-benar ada. Dan agama yang benar seperti Islam adalah agama yang diwahyukan Tuhan.
Bukan cermin keinginan-keinginan manusia!"

3. Atheisme Marxisme (Karl Marx)


Pencetusnya adalah Karl Marx. kemudian diteruskan oleh Lenin dan dikukuhkan oleh stalin dan
seterusnya. Marxisme yang melahirkan komunisme juga pernah hidup dan berkembang di Indonesia
dimana hal ini menjadi ideologi yang dijiwai olehPartai Komunis Indonesia atau PKI yang hamper
meruntuhkan Republik Indonesia dengan pemberontakan G-30/SPKI tahun 1965.

Karl Marx menggabungkan atheisme materialism dan atheism psikologi. Ia terang terangan memusuhi
Tuhan dan agama. Agama yang dianggap sebagai candu yang meninabobokan

manusia kepada kehidupan khayali. Agama adalah khayalan manusia yang gagal membangun
surga dunia. Lalu ingin membangun surga di akhirat.

Marxisme yang dibawa olehnya mengajak manusia untuk mendirikan surga dunia karena dunia adalah
segalanya.

Pernyataannya itu tidak berlaku untuk semua agama, terutama Islam. Islam itu tidak hanya membangun
kebahagiaan di akhirat, tetapi juga kehidupan di dunia. Bahkan dunia ini dijadikan sebagai ladang
kebahagiaan akhirat.

"Rasul Islam yaitu Muhammad Saw. Menyeru kepada umatnya untuk bekerja keras membangun
kejayaan duniawi, sebagaimana menyeru umatnya beribadah sebaik-baiknya untuk membangun surga
ukhrawi. Islam sendiri dengan terang dan tegas memerintahkan pemeluknya agar berkerja untuk
dunianya seakan-akan mereka akan hidup selamanya, dan beribadah untuk akhiratnya seolah-olah^
mereka akan mati besok pagi!'

"Dalam hadis yang lain Rasul memberitahukan, seseorang yang bekerja untuk anak-anaknya, maka
pahalanya sama dengan berjuang di jalan Allah. Beliau juga menjelaskan, harta yang diinfakkan untuk
jihadfi sabilillah, harta yang digunakan untuk memerdekakan budak, harta yang diberikan pada fakir
miskin dan harta yang dibelanjakan untuk keluarga, di antara semua itu, maka yang paling besar
keutamaannya adalah harta yang dibelanjakan untuk keluarga. Betapa Islam mengajak manusia
mencapai kebahagiaan dunia. "Lalu Rasulullah menegaskan, 'Dunia adalah ladang akhirat!' Kaitan dunia
dengan akhirat begitu eratnya. Yang dipetik di akhirat adalah apa yang ditanam di dunia. Tanpa
keberhasilan seseorang menempatkan dirinya di dunia ia tidak akan berjaya di akhirat. Islam
mengajarkan keseimbangan dunia dan akhirat. Tidak boleh ada yang timpang salah satunya. Begitu
Islam mengajarkan."

3. Atheisme Optimisme ( Friederich Nietzsche).

“Whiter is God, ‘he cried. ‘I shall tell you. We ahve killed Him-you and I. All of us are murderers…God is
dead. God remain dead. And we have killed him…” (Friederich Nietzsche, The Gay Science, 1882).
Kutipan diatas adalah salah satu pernyataan Nietzsche dalam bukunya. “God is Dead” yang dikatakan
oleh Nietzsche bukanlah pengertian Tuhan secara literal. Jika Tuhan telah mati berarti pada suatu saat
Tuhan pernah ada. Apa yang dinyatakan oleh Nietzsche adalah kematian keagamaan di Eropa.
Pengertian God is Dead adalah Tuhan dalam konteks kekristenan di Eropa. Bahwa kepercayaan terhadap
Tuhan (pada saat itu adalah Kristen) adalah kepercayaan yang salah. Tuhan tidaklah lagi dapat
dipercayai, dan oleh karena itu Dia telah mati, dan seandainya Dia belum mati, adalah tugas manusialah
untuk membunuhnya (and we have killed him…).

Pandangan Nietzsche melegitimasi pandangan dalam bidang keilmuan (science) bahwa ilmu
pengetahuan akan mengeluarkan Tuhan dari ranah kehidupan manusia. Filsafat, ilmu pengetahuan,
politik dan bidang-bidang lain akan memperlakukan Tuhan sebagai sesuatu yang tidak relevan dan tidak
humanis.

Dan tentu saja pemikiran Nietzsche samasekali tidak benar. Bagaimana membuktikan

pemikiran Nietzsche samasekali tidak benar?

Mudah saja, begini, Nietzsche begitu optimis akan mukjizat ilmu pengetahuan yang dengan kekuatannya
menusia dapat menguasai alam, dan bila demikian, maka Tuhan tidak diperlukan lagi. Benarkah ilmu
pengetahuan dapat menjanjikan optimisme yang diyakininya bahwa manusia akan dapat menguasai
alam? Tidak diragukan lagi, manusia dengan ilmu dan teknologinya telah mencapai kemajuan yang luar
biasa. Sekali peristiwa terjadi di ujung dunia, pada saat yang sama dapat dimonitor pada ujung

dunia yang lain. Sekali gagang telpon diangkat, komunikasi antarbenua dapat terlaksana. Manusia telah
berhasil melakukan cangkok ginjal, cangkok jantung dan bahkan mampu menggandakan makhluk hidup
dengan cara cloning. Berbagai penyakit berbahaya seperti TBC, infeksi, raja singa bisa diatasi. Manusia
merasa semakin maju ilmu pengetahuan dan teknologinya, semakin kecil masalah yang tidak bisa
diatasinya,

sehingga pada suatu saat akan sampai pada batas di mana semua masalah akan dapat diatasi.

Tetapi apa yang terjadi tidaklah demikian. Batas di mana manusia ingin mencapainya ternyata selalu
mundur sejalan dengan kemajuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan. Suatu masalah dapat ditangani,
masalah lain muncul.

Demikianlah! Maka selamanya manusia tidak akan dapat mencapai batas itu. Ilmu pengetahuan tidak
dapat mendeteksi kapan persisnya gempa terjadi. Kalau pun bisa mendeteksi, tetap saja ilmu
pengetahuan tidak dapat menolak terjadinya

gempa. Demikian pula untuk selamanya manusia tidak akan melepaskan diri dari ketuaan dan kematian.
Kenyataan ini menyadarkan dia sebagai makhluk lemah. Membawa dia kepada keyakinan akan adanya
suatu Dzat yang kuasa sepenuhnya, yang dapat mengobati segala penyakit. Yang dapat menghidupkan
dan mematikan. Yang tidak terbatas kekuasaannya. Tidak terpengaruh oleh waktu. Yang kekal abadi
tidak terkalahkan oleh kematian, sebab Dialah pencipta kematian. Dialah Tuhan! Dialah Allah,Tuhan seru
sekalian alam.

Jadi hanya orang gila yang mengatakan Tuhan telah mati atau telah sirna. Sebagaimana sejarah
mencatat Nietzsche pada akhirnya adalah gila. Dia mati mengenaskan dalam keadaan gila! Tak ada yang
membantah kenyataan ini. Maka agar kalian tidak gila, kalian jangan mengikuti Nietzsche!"

4. Atheisme Eksistensialisme (Jean-Paul Sartre)

Sartre adalah salah satu tokoh terkemuka dalam Filsafat Eksistensialis. Dia adalah orang yang pertama
kali menyatakan bahwa eksistensi mendahului esensi. Atheisme adalah salah satu inti dari filsafat Sartre.

Sartre menolak konsep tentang Tuhan karena konsep Tuhan berisi kontradiksi dalam dirinya sendiri
(self-contradiction). Sartre mendefinisikan Tuhan sebagai konsep yang being-in-itself-for-itself. Konsep
Tuhan sebagai in-itselfmemproposisikan bahwa Dia adalah eksis, sempurna dalam dirinya sendiri, dan
secara total tidak relevan. Sedangkan konsep for-itself memformulakan bahwa Dia adalah bebas secara
sempurna dan tidak terikat terhadap apapun. Kesimpulan logika haruslah menolak konsep seperti ini
karena konsep ini berisi kontradiksi dalam dirinya. (Jean-Paul Sartre, Being and Nothingnes : An Essay in
Phenomenological Onthology, 1943).

Selain itu, konsep keberadaan Tuhan membatasi kebebasan dan eksistensi manusia. Konsep Tuhan
diadopsi oleh manusia untuk memberiarti dunia ini. Manusia menemukan konsep ini untuk
menerangkan sesuatu yang tidak dapat diterangkan (explain the unexplainable). Konsep Tuhan adalah
keinginan manusia untuk memenuhi ketidaksempurnaan dan ketidakmampuannya.

Ya, kira-kira begitulah pendapat yang dikemukakan oleh Jean-Paul Sartre. Allohu a’lam…..

Ateisme adalah sebuah pandangan filosofi yang tidak memercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi[1]
ataupun penolakan terhadap teisme.[2][3] Dalam pengertian yang paling luas, ia adalah ketiadaan
kepercayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan.[4][5]

Istilah ateisme berasal dari Bahasa Yunani ἄθεος (átheos), yang secara peyoratif digunakan untuk
merujuk pada siapapun yang kepercayaannya bertentangan dengan agama/kepercayaan yang sudah
mapan di lingkungannya. Dengan menyebarnya pemikiran bebas, skeptisisme ilmiah, dan kritik terhadap
agama, istilah ateis mulai dispesifikasi untuk merujuk kepada mereka yang tidak percaya kepada tuhan.
Orang yang pertama kali mengaku sebagai "ateis" muncul pada abad ke-18. Pada zaman sekarang,
sekitar 2,3% populasi dunia mengaku sebagai ateis, manakala 11,9% mengaku sebagai nonteis.[6]
Sekitar 65% orang Jepang mengaku sebagai ateis, agnostik, ataupun orang yang tak beragama; dan
sekitar 48%-nya di Rusia.[7] Persentase komunitas tersebut di Uni Eropa berkisar antara 6% (Italia)
sampai dengan 85% (Swedia).[7]

Banyak ateis bersikap skeptis kepada keberadaan fenomena paranormal karena kurangnya bukti
empiris. Yang lain memberikan argumen dengan dasar filosofis, sosial, atau sejarah.

Pada kebudayaan Barat, ateis seringkali diasumsikan sebagai tak beragama (ireligius).[8] Beberapa aliran
Agama Buddha tidak pernah menyebutkan istilah 'Tuhan' dalam berbagai upacara ritual, namun dalam
Agama Buddha konsep ketuhanan yang dimaksud mempergunakan istilah Nibbana.[9] Karenanya agama
ini sering disebut agama ateistik.[10] Walaupun banyak dari yang mendefinisikan dirinya sebagai ateis
cenderung kepada filosofi sekuler seperti humanisme,[11] rasionalisme, dan naturalisme,[12] tidak ada
ideologi atau perilaku spesifik yang dijunjung oleh semua ateis.[13]

Daftar isi [sembunyikan]

1 Asal istilah

2 Definisi dan pembedaan

2.1 Ruang lingkup

2.2 Implisit dan eksplisit

2.3 Kuat dan lemah

3 Dasar pemikiran

3.1 Ateisme praktis

3.2 Ateisme teoretis

4 Demografi

5 Ateisme, agama, dan moralitas

6 Lihat pula
7 Referensi

8 Pranala luar

Asal istilah[sunting | sunting sumber]

Kata Yunani αθεοι (atheoi), seperti yang tampak pada Surat Paulus kepada Jemaat di Efesus di papirus
abad ke-3.

Pada zaman Yunani Kuno, kata sifat atheos (ἄθεος, berasal dari awalan ἀ- + θεός "tuhan") berarti "tak
bertuhan". Kata ini mulai merujuk pada penolakan tuhan yang disengajakan dan aktif pada abad ke-5
SM, dengan definisi "memutuskan hubungan dengan tuhan/dewa" atau "menolak tuhan/dewa".
Terjemahan modern pada teks-teks klasik kadang-kadang menerjemahkan atheos sebagai "ateistik".
Sebagai nomina abstrak, terdapat pula ἀθεότης (atheotēs), yang berarti "ateisme". Cicero
mentransliterasi kata Yunani tersebut ke dalam bahasa Latin atheos. Istilah ini sering digunakan pada
perdebatan antara umat Kristen awal dengan para pengikut agama Yunani Kuno (Helenis), yang mana
masing-masing pihak menyebut satu sama lainnya sebagai ateis secara peyoratif.[14]

Ateisme pertama kali digunakan untuk merujuk pada "kepercayaan tersendiri" pada akhir abad ke-18 di
Eropa, utamanya merujuk pada ketidakpercayaan pada Tuhan monoteis.[15] Pada abad ke-20,
globalisasi memperluas definisi istilah ini untuk merujuk pada "ketidakpercayaan pada semua
tuhan/dewa", walaupun adalah masih umum untuk merujuk ateisme sebagai "ketidakpercayaan pada
Tuhan (monoteis)".[16] Akhir-akhir ini, terdapat suatu desakan di dalam kelompok filosofi tertentu
untuk mendefinisikan ulang ateisme sebagai "ketiadaan kepercayaan pada dewa/dewi", daripada
ateisme sebagai kepercayaan itu sendiri. Definisi ini sangat populer di antara komunitas ateis, walaupun
penggunaannya masih sangat terbatas.[16][17][18]

Definisi dan pembedaan[sunting | sunting sumber]

Suatu gambaran yang menunjukkan hubungan antara definisi ateisme kuat/lemah dengan ateisme
implisit/eksplisit. Ateis implisit tidak memiliki pemikiran akan kepercayaan pada tuhan; individu seperti
itu dikatakan secara implisit tanpa kepercayaan pada tuhan. Ateis eksplisit mengambil posisi terhadap
kepercayaan pada tuhan; individu tersebut dapat menghindari untuk percaya pada tuhan (ateisme
lemah), ataupun mengambil posisi bahwa tuhan tidak ada (ateisme kuat).

Para penulis berbeda-beda dalam mendefinisikan dan mengklasifikasi ateisme,[19] yakni apakah
ateisme merupakan suatu kepercayaan tersendiri ataukah hanyalah ketiadaan pada kepercayaan, dan
apakah ateisme memerlukan penolakan yang secara sadar dan eksplisit dilakukan. Berbagai kategori
telah diajukan untuk mencoba membedakan jenis-jenis bentuk ateisme.

Ruang lingkup[sunting | sunting sumber]

Beberapa ambiguitas dan kontroversi yang terlibat dalam pendefinisian ateisme terletak pada sulitnya
mencapai konsensus dalam mendefinisikan kata-kata seperti dewa dan tuhan. Pluralitas dalam konsep
ketuhanan dan dewa menyebabkan perbedaan pemikiran akan penerapan kata ateisme. Dalam konteks
teisme didefinisikan sebagai kepercayaan pada Tuhan monoteis, orang-orang yang percaya pada dewa-
dewi lainnya akan diklasifikasikan sebagai ateis. Sebaliknya pula, orang-orang Romawi kuno juga
menuduh umat Kristen sebagai ateis karena tidak menyembah dewa-dewi paganisme. Pada abad ke-20,
pandangan ini mulai ditinggalkan seiring dengan dianggapnya teisme meliputi keseluruhan kepercayaan
pada dewa/tuhan.[20]

Bergantung pada apa yang para ateis tolak, penolakan ateisme dapat berkisar dari penolakan akan
keberadaan tuhan/dewa sampai dengan keberadaan konsep-konsep spiritual dan paranormal seperti
yang ada pada agama Hindu dan Buddha.[21]

Implisit dan eksplisit[sunting | sunting sumber]

Definisi ateisme juga bervariasi dalam halnya sejauh mana seseorang harus mengambil posisi mengenai
gagasan keberadaan tuhan untuk dianggap sebagai ateis. Ateisme kadang-kadang didefinisikan secara
luas untuk meliputi ketiadaan kepercayaan akan keberadaan tuhan/dewa. Definisi yang luas ini akan
memasukkan orang-orang yang tidak memiliki konsep teisme sebagai ateis.

Pada tahun 1772, Baron d'Holbach mengatakan bahwa "Semua anak-anak dilahirkan sebagai ateis,
karena mereka tidak tahu akan Tuhan."[22] George H. Smith (1979) juga menyugestikan bahwa: "Orang
yang tidak kenal dengan teisme adalah ateis karena ia tidak percaya pada tuhan. Kategori ini juga akan
memasukkan anak dengan kapasitas konseptual untuk mengerti isu-isu yang terlibat, tetapi masih tidak
sadar akan isu-isu tersebut (sebagai ateis). Fakta bahwa anak ini tidak percaya pada tuhan membuatnya
pantas disebut ateis."[23] Smith menciptakan istilah ateisme implisit untuk merujuk pada "ketiadaan
kepercayaan teistik tanpa penolakan yang secara sadar dilakukan" dan ateisme eksplisit untuk merujuk
pada definisi ketidakpercayaan yang dilakukan secara sadar.

Dalam kebudayaan Barat, pandangan bahwa anak-anak dilahirkan sebagai ateis merupakan pemikiran
yang baru. Sebelum abad ke-18, keberadaan Tuhan diterima secara sangat luas sedemikiannya
keberadaan ateisme yang benar-benar tidak percaya akan Tuhan itu dipertanyakan keberadaannya. Hal
ini disebut theistic innatism (pembawaan lahir teistik), yakni suatu nosi bahwa semua orang percaya
pada Tuhan dari lahir. Pandangan ini memiliki konotasi bahwa para ateis hanyalah menyangkal diri
sendiri.[24] Terdapat pula sebuah posisi yang mengklaim bahwa ateis akan dengan cepat percaya pada
Tuhan pada saat krisis, bahwa ateis percaya pada tuhan pada saat meninggal dunia, ataupun bahwa
"tidak ada ateis dalam lubang perlindungan perang (no atheists in foxholes)."[25] Beberapa pendukung
pandangan ini mengklaim bahwa keuntungan antropologis agama membuat manusia dapat mengatasi
keadaan susah lebih baik. Beberapa ateis menitikberatkan fakta bahwa terdapat banyak contoh yang
membuktikan sebaliknya, di antaranya contoh-contoh "ateis yang benar-benar berada di lubang
perlindungan perang."[26]

Kuat dan lemah[sunting | sunting sumber]

Para filsuf seperti Antony Flew,[27] Michael Martin,[16] dan William L. Rowe[28] membedakan antara
ateisme kuat (positif) dengan ateisme lemah (negatif). Ateisme kuat adalah penegasan bahwa tuhan
tidak ada, sedangkan ateisme lemah meliputi seluruh bentuk ajaran nonteisme lainnya. Menurut
kategorisasi ini, siapapun yang bukan teis dapatlah ateis yang lemah ataupun kuat.[29] Istilah lemah dan
kuat ini merupakan istilah baru; namun istilah yang setara seperti ateisme negatif dan positif telah
digunakan dalam berbagai literatur-literatur filosofi[27] dan apologetika Katolik (dalam artian yang
sedikit berbeda).[30] Menggunakan batasan ateisme ini, kebanyakan agnostik adalah ateis lemah.

Manakala Martin, menegaskan bahwa agnostisisme memiliki bawaan ateisme lemah,[16] kebanyakan
agnostik memandang pandangan mereka berbeda dari ateisme, yang mereka liat ateisme sama saja
tidak benarnya dengan teisme.[31] Ketidaktercapaian pengetahuan yang diperlukan untuk
membuktikan atau membantah keberadaan tuhan/dewa kadang-kadang dilihat sebagai indikasi bahwa
ateisme memerlukan sebuah lompatan kepercayaan. Respon ateis terhadap argumen ini adalah bahwa
dalil-dalil keagamaan yang tak terbukti seharusnyalah pantas mendapatkan ketidakpercayaan yang sama
sebagaimana ketidakpercayaan pada dalil-dalil tak terbukti lainnya,[32] dan bahwa ketidakterbuktian
keberadaan tuhan tidak mengimplikasikan bahwa probabilitas keberadaan tuhan sama dengan
probabilitas ketiadaan tuhan.[33] Filsuf Skotlandia J. J. C. Smart bahkan berargumen bahwa "kadang-
kadang seseorang yang benar-benar ateis dapat menyebut dirinya sebagai seorang agnostik karena
generalisasi skeptisisme filosofis tak beralasan yang akan menghalangi kita dari berkata kita tahu
apapun, kecuali mungkin kebenaran matematika dan logika formal."[34] Karenanya, beberapa penulis
ateis populer seperti Richard Dawkins memilih untuk membedakan posisi teis, agnostik, dan ateis
sebagai spektrum probabilitas terhadap pernyataan "Tuhan ada" (spektrum probabilitas teistik).[35]

Dasar pemikiran[sunting | sunting sumber]


"Salah satu anak dari gerombolan orang pernah menanyai seorang ahli astronomi siapa ayah yang
membawanya ke dalam dunia ini. Cendekiawan tersebut menunjuk langit dan seorang tua yang sedang
duduk, dan berkata:

'Yang di sana adalah ayah tubuhmu, dan yang itu adalah ayah jiwamu.'

Anak lelaki tersebut membalas:

'Apa yang di atas kita bukanlah urusan kita, dan saya malu menjadi anak dari orang setua itu!'

'Oh sangatlah tidak berbudi, tidak ingin mengenali ayahmu, dan tidak berpikir bahwa Tuhan adalah
penciptamu!' [36] Ilustrasi ateisme praktis dan asosiasi historisnya dengan amoralitas, judul "Supreme
Impiety: Atheist and Charlatan", dari Picta poesis, oleh Barthélémy Aneau, 1552.

Batasan dasar pemikiran ateistik yang paling luas adalah antara ateisme praktis dengan ateisme teoretis.
Bentuk-bentuk ateisme teoretis yang berbeda-beda berasal dari argumen filosofis dan dasar pemikiran
yang berbeda-beda pula. Sebaliknya, ateisme praktis tidaklah memerlukan argumen yang spesifik dan
dapat meliputi pengabaian dan ketidaktahuan akan pemikiran tentang tuhan/dewa.

Ateisme praktis[sunting | sunting sumber]

Dalam ateisme praktis atau pragmatis, yang juga dikenal sebagai apateisme, individu hidup tanpa tuhan
dan menjelaskan fenomena alam tanpa menggunakan alasan paranormal. Menurut pandangan ini,
keberadaan tuhan tidaklah disangkal, namun dapat dianggap sebagai tidak penting dan tidak berguna;
tuhan tidaklah memberikan kita tujuan hidup, ataupun memengaruhi kehidupan sehari-hari.[37] Salah
satu bentuk ateisme praktis dengan implikasinya dalam komunitas ilmiah adalah naturalisme
metodologis, yaitu pengambilan asumsi naturalisme filosofis dalam metode ilmiah yang tidak diucapkan
dengan ataupun tanpa secara penuh menerima atau memercayainya."[38]

Ateisme praktis dapat berupa:

Ketiadaan motivasi religius, yakni kepercayaan pada tuhan tidak memotivasi tindakan moral, religi,
ataupun bentuk-bentuk tindakan lainnya;

Pengesampingan masalah tuhan dan religi secara aktif dari penelusuran intelek dan tindakan praktis;

Pengabaian, yakni ketiadaan ketertarikan apapun pada permasalahan tuhan dan agama; dan

Ketidaktahuan akan konsep tuhan dan dewa.[39]


Ateisme teoretis[sunting | sunting sumber]

Ateisme teoretis secara eksplisit memberikan argumen menentang keberadaan tuhan, dan secara aktif
merespon kepada argumen teistik mengenai keberadaan tuhan, seperti misalnya argumen dari
rancangan dan taruhan Pascal. Terdapat berbagai alasan-alasan teoretis untuk menolak keberadaan
tuhan, utamanya secara ontologis, gnoseologis, dan epistemologis. Selain itu terdapat pula alasan
psikologis dan sosiologis.

Argumen epistemologis dan ontologis[sunting | sunting sumber]

Ateisme epistemologis berargumen bahwa orang tidak dapat mengetahui Tuhan ataupun menentukan
keberadaan Tuhan. Dasar epistemologis ateisme adalah agnostisisme. Dalam filosofi imanensi,
ketuhanan tidak dapat dipisahkan dari dunia itu sendiri, termasuk pula pikiran seseorang, dan kesadaran
tiap-tiap orang terkunci pada subjek. Menurut bentuk agnostisisme ini, keterbatasan pada perspektif ini
menghalangi kesimpulan objektif apapun mengenai kepercayaan pada tuhan dan keberadaannya.
Agnostisisme rasionalistik Kant dan Pencerahan hanya menerima ilmu yang dideduksi dari rasionalitas
manusia. Bentuk ateisme ini memiliki posisi bahwa tuhan tidak dapat dilihat sebagai suatu materi secara
prinsipnya, sehingga tidak dapat diketahui apakah ia ada atau tidak. Skeptisisme, yang didasarkan pada
pemikiran Hume, menegaskan bahwa kepastian akan segala sesuatunya adalah tidak mungkin, sehingga
seseorang tidak akan pernah mengetahui keberadaan tentang Tuhan. Alokasi agnostisisme terhadap
ateisme adalah dipertentangkan; ia juga dapat dianggap sebagai pandangan dunia dasar yang
independen.[37]

Argumen lainnya yang mendukung ateisme yang dapat diklasifikasikan sebagai epistemologis ataupun
ontologis meliputi positivisme logis dan ignostisisme, yang menegaskan ketidakberartian ataupun
ketidakterpahaman istilah-istilah dasar seperti "Tuhan" dan pernyataan seperti "Tuhan adalah
mahakuasa." Nonkognitivisme teologis memiliki posisi bahwa pernyataan "Tuhan ada" bukanlah suatu
dalil, namun adalah omong kosong ataupun secara kognitif tidak berarti.

Argumen metafisika[sunting | sunting sumber]

Informasi lebih lanjut: Monisme dan Fisikalisme

Ateisme metafisik didasarkan pada monisme metafisika, yakni pandangan bahwa realitas adalah
homogen dan tidak dapat dibagi. Ateis metafisik absolut termasuk ke dalam beberapa bentuk
fisikalisme, sehingga secara eksplisit menolak keberadaan makhluk-makhluk halus. Ateis metafisik relatif
menolak secara implisit konsep-konsep ketuhanan tertentu didasarkan pada ketidakkongruenan antara
filosofi dasar mereka dengan sifat-sifat yang biasanya ditujukan kepada tuhan, misalnya transendensi,
sifat-sifat personal, dan keesaan tuhan. Contoh-contoh ateisme metafisik relatif meliputi panteisme,
panenteisme, dan deisme.[40]

Epikouros sering disebut sebagai orang yang pertama menguraikan secara terperinci masalah kejahatan.
David Hume dalam bukunya Dialogues Concerning Natural Religion (1779) mengutip argumen Epikouros
dalam bentuk sederet pertanyaan:[41] "Apakah [Tuhan] berniat mencegah kejahatan, namun tidak
dapat? maka apakah ia impoten. Apakah ia dapat, namun tidak berniat? Maka apakah ia berhati dengki.
Apakah ia dapat dan berniat? maka darimanakah kejahatan?"

Argumen psikologis, sosiologis, dan ekonomi[sunting | sunting sumber]

Para filsuf seperti Ludwig Feuerbach[42] dan Sigmund Freud berargumen bahwa Tuhan dan kepercayaan
keagamaan lainnya hanyalah ciptaan manusia, yang diciptakan untuk memenuhi keinginan dan
kebutuhan psikologis dan emosi manusia. Hal ini juga merupakan pandangan banyak Buddhis.[43] Karl
Marx dan Friedrich Engels, dipengaruhi oleh karya Feuerbach, berargumen bahwa kepercayaan pada
Tuhan dan agama adalah fungsi sosial, yang digunakan oleh penguasa untuk menekan kelas pekerja.
Menurut Mikhail Bakunin, "pemikiran akan Tuhan mengimplikasikan turunnya derajat akal manusia dan
keadilan; ia merupakan negasi kebebasan manusia yang paling tegas, dan seperlunya akan berakhir pada
perbudakan umat manusia, dalam teori dan praktiknya." Ia membalikkan aforisme Voltaire yang
terkenal yang berbunyi jika "Tuhan tidak ada, maka adalah perlu untuk menciptakanNya", dengan
menulis: "Jika Tuhan benar-benar ada, maka adalah perlu untuk menghapusnya."[44]

Argumen logis dan berdasarkan bukti[sunting | sunting sumber]

Ateisme logis memiliki posisi bahwa berbagai konsep ketuhanan, seperti tuhan personal dalam
kekristenan, dianggap secara logis tidak konsisten. Para ateis ini memberikan argumen deduktif yang
menentang keberadaan Tuhan, yang menegaskan ketidakcocokan antara sifat-sifat tertentu Tuhan,
misalnya kesempurnaan, status pencipta, kekekalan, kemahakuasaan, kemahatahuan,
kemahabelaskasihan, transendensi, kemahaadilan, dan kemahapengampunan Tuhan.[45]

Ateis teodisi percaya bahwa dunia ini tidak dapat dicocokkan dengan sifat-sifat yang terdapat pada
Tuhan dan dewa-dewi sebagaimana yang diberikan oleh para teolog. Mereka berargumen bahwa
kemahatahuan, kemahakuasaan, dan kemahabelaskasihan Tuhan tidaklah cocok dengan dunia yang
penuh dengan kejahatan dan penderitaan, dan belas kasih tuhan/dewa adalah tidak dapat dilihat oleh
banyak orang.[46] Argumen yang sama juga diberikan oleh Siddhartha Gautama, pendiri Agama
Buddha.[47]
Argumen antroposentris[sunting | sunting sumber]

Informasi lebih lanjut: Antropologi filosofis dan Humanisme

Ateisme aksiologis atau konstruktif menolak keberadaan tuhan, dan sebaliknya menerima keberadaan
"kemutlakan yang lebih tinggi" seperti kemanusiaan. Ateisme dalam bentuk ini menganggap
kemanusiaan sebagai sumber mutlak etika dan nilai-nilai, dan mengizinkan individu untuk
menyelesaikan permasalahan moral tanpa bergantung pada Tuhan. Marx, Nietzsche, Freud, dan Sartre
semuanya menggunakan argumen ini untuk menyebarkan pesar-pesan kebebasan, Übermensch, dan
kebahagiaan tanpa kekangan.[37]

Salah satu kritik yang paling umum terhadap ateisme adalah bahwa menolak keberadaan Tuhan akan
membawa pada relativisme moral, menyebabkan seseorang tidak bermoral ataupun tidak memiliki
dasar etika,[48] atau membuat hidup tidak berarti dan menyedihkan.[49] Blaise Pascal memaparkan
argumen ini pada tahun 1669.[50]

Demografi[sunting | sunting sumber]

Kadar ateisme dan agnostisisme di seluruh dunia[51][52]

Adalah sulit untuk menghitung jumlah ateis di dunia. Para responden survei dapat mendefinisikan
"ateisme" secara berbeda-beda ataupun menarik garis batas yang berbeda antara ateisme, kepercayaan
non-religius, dan kepercayaan religius non-teis dan spiritual.[53] Selain itu, masyarakat di beberapa
belahan dunia enggan melaporkan dirinya sebagai ateis untuk menghindari stigma sosial, diskriminasi,
dan penganiayaan. Survei tahun 2005 yang dipublikasi dalam Encyclopædia Britannica menunjukkan
bahwa kelompok non-religius mencapai sekitar 11,9% populasi dunia, dan ateis sekitar 2,3%. Jumlah ini
tidak termasuk orang-orang yang memeluk agama ateistik, seperti agama Buddha.[6]

Survei November-Desember 2006 yang dilakukan di Amerika Serikat dan lima negara Eropa, dan
dipublikasi di Financial Times menunjukkan bahwa orang Amerika (73%) cenderung lebih percaya
kepada tuhan/dewa atau makhluk tertinggi dalam bentuk apapun daripada orang Eropa. Di antara orang
dewasa Eropa yang disurvei, orang Italia adalah yang paling banyak percaya (62%) dan orang Perancis
adalah yang paling rendah (27%). Di Perancis, 32% mengaku dirinya sebagai ateis, dan 32% lainnya
mengaku sebagai agnostik.[54]
Survei resmi Uni Eropa memberikan hasil-hasil berikut: 18% populasi Uni Eropa tidak percaya pada
tuhan; 27% yakin akan keberadaan beberapa "makhluk halus atau roh", manakala 52% percaya pada
tuhan-tuhan tertentu. Proporsi orang yang percaya naik menjadi 65% pada orang-orang yang putus
sekolah pada usia 15; responden survei yang menganggap dirinya berasal dari latar belakang keluarga
yang keras juga lebih cenderung percaya pada tuhan daripada yang merasa dirinya tumbuh di
lingkungan tanpa aturan yang keras.[55]

Sebuah surat yang dipublikasi di Nature pada tahun 1998 melaporkan sebuah survei bahwa kepercayaan
pada tuhan personal ataupun kehidupan setelah mati berada dalam posisi terendah di antara para
anggota Akademi Sains Nasional Amerika Serikat, hanya 7,0% anggota yang percaya pada tuhan
personal, dibandingkan dengan lebih dari 85% masyarakat AS secara umumnya.[56] Pada tahun yang
sama pula, Frank Sulloway dari Institut Teknologi Massachusetts dan Michael Shermer dari California
State University melakukan sebuah kajian yang menemukan bahwa pada sampel survei mereka yang
terdiri dari orang dewasa AS yang "dipercayai" (12% Ph.D dan 62% lulusan perguruan tinggi), 64%-nya
percaya pada Tuhan, dan terdapat sebuah korelasi yang mengindikasikan menurunnya tingkat
kepercayaan seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan.[57]

Korelasi yang berbanding terbalik antara keimanan dengan kecerdasan juga telah ditemukan pada 39
kajian yang dilakukan antara tahun 1927 sampai dengan tahun 2002, menurut sebuah artikel dalam
Majalah Mensa.[58] Penemuan ini secara luas sesuai dengan meta-analisis statistis tahun 1958 yang
dilakukan oleh Profesor Michael Argyle dari Universitas Oxford. Ia menganalisa tujuh kajian riset yang
telah menginvestigasi korelasi antara sikap terhadap agama dengan pengukuran kecerdasan pada
pelajar-pelajar sekolah dan perguruan tinggi AS. Walaupun korelasi negatif ditemukan dengan jelas,
analisis ini tidak mengidentifikasi sebab musababnya, namun menilai bahwa faktor-faktor seperti latar
belakang keluarga yang otoriter dan kelas sosial mungkin memainkan sebagian peran penting.[59]

Pada sensus pemerintah Australia pada tahun 2006, pada pertanyaan yang menanyakan Apakah agama
anda? Dari keseluruhan populasi, 18,7% mencentang kotak tak beragama ataupun menulis sebuah
respon yang diklasifikasikan sebagai non-religius (humanisme, agnostik, ateis). Pertanyaan ini bersifat
sukarela dan 11,2% tidak menjawab pertanyaan ini.[60] Pada sensus Selandia Baru 2006 yang
menanyakan Apakah agama anda?, 34,7% mengindikasikan tidak beragama, 12,2% tidak merespon
ataupun keberatan untuk menjawab pertanyaan tersebut.[61]

Ateisme, agama, dan moralitas[sunting | sunting sumber]


Karena ketiadaan Tuhan pencipta, Agama Buddha umumnya dideskripsikan sebagai nonteis.

Walaupun orang yang mengaku sebagai ateis biasanya diasumsikan tak beragama, beberapa sekte
agama tertentu pula ada yang menolak keberadaan dewa pencipta yang personal.[62] Pada akhir-akhir
ini, aliran-aliran keagamaan tertentu juga telah menarik banyak penganut yang secara terbuka ateis,
seperti misalnya Yahudi ateis atau Yahudi humanis[63][64] dan Kristen ateis.[65][66][67]

Dikarenakan artian paling kaku ateisme positif tidak memerlukan kepercayaan spesifik apapun di luar
ketidakpercayaan pada dewa/tuhan, ateis dapat memiliki kepercayaan spiritual apapun. Untuk alasan
yang sama pula, para ateis dapat berpegang pada berbagai kepercayaan etis, mulai dari universalisme
moral humanisme, yang berpandangan bahwa nilai-nilai moral haruslah diterapkan secara konsisten
kepada seluruh manusia, sampai dengan nihilisme moral, yang berpendapat bahwa moralitas adalah hal
yang tak berarti.[68]

Walaupun ia merupakan kebenaran filosofis, yang secara ringkas dipaparkan dalam karya Plato dilema
Euthyphro bahwa peran tuhan dalam menentukan yang benar dari yang salah adalah tidak diperlukan
maupun adalah sewenang-wenang, argumen bahwa moralitas haruslah diturunkan dari Tuhan dan tidak
dapat ada tanpa pencipta yang bijak telah menjadi isu-isu yang terus menerus muncul dalam debat
politik.[69][70][71] Persepsi moral seperti "membunuh adalah salah" dilihat sebagai hukum Tuhan, yang
memerlukan pembuat hukum dan hakim. Namun, banyak ateis yang berargumen bahwa
memperlakukan moralitas secara legalistik adalah analogi salah, dan bahwa moralitas tidak seperlunya
memerlukan seorang pencipta hukum sama halnya hukum itu sendiri.[72]

Filsuf Susan Neiman[73] dan Julian Baggini[74] menegaskan bahwa perilaku etis yang dilakukan hanya
karena mandat Yang Di atas bukanlah perlaku etis yang sebenarnya, melainkan hanyalah kepatuhan
buta. Baggini berargumen bahwa ateisme merupakan dasar etika yang lebih superior, dan mengklaim
bahwa dasar moral di luar perintah agama adalah diperlukan untuk mengevaluasi moralitas perintah itu
sendiri. Sebagai contoh, perintah "anda haruslah mencuri" adalah amoral bahkan jika suatu agama
memerintahkannya, sehingga ateis memiliki keuntungan untuk dapat lebih melakukan evaluasi tersebut
daripada umat beragama yang mematuhi perintah agamanya sendiri.[75]

Filsuf politik kontemporer Britania Martin Cohen menawarkan contoh historis perintah Alkitab yang
menganjurkan penyiksaan dan perbudakan sebagai bukti bahwa perintah-perintah religius mengikuti
norma-norma sosial dan politik, dan bukannya norma-norma sosial dan politik yang mengikuti perintah
religius. Namun ia juga mencatat bahwa kecenderungan yang sama jugalah terjadi pada filsuf-filsuf yang
tidak memihak dan objektif.[76] Cohen memperluas argumen ini dengan lebih mendetail pada Political
Philosophy from Plato to Mao dalam kasus kitab Al-Qur'an yang ia lihat telah memiliki peran yang
disesalkan dalam memelihara kode-kode sosial zaman pertengahan di tengah-tengah perubahan
masyarakat sekuler.[77]

Walaupun demikian, para ateis seperti Sam Harris berargumen bahwa kebergantungan agama Barat
pada otoritas Yang Di Atas berkontribusi pada otoritarianisme dan dogmatisme.[78] Sebenarnya pula,
fundamentalisme agama dan agama ekstrinsik (agama dipeluk karena ia lebih menguntungkan)[79]
berkorelasi dengan otoritarianise, dogmatisme, dan prasangka.[80] Argumen ini, bersama dengan
kejadian-kejadian historis seperti Perang Salib, Inkuisisi, dan penghukuman tukang sihir, sering
digunakan oleh para ateis yang antiagama untuk membenarkan pandangan mereka.[81]
ATHEIS PRAKTIS DAN ATHEIS TEORITIS

1. Pengertian Atheisme

Kata Atheis berasal dari bahaasa yunani yakni Atheos yang berarti tanpa Tuhan, a artinya tidak
dan theos berarti tuhan. Dan di dalam kamus filsafat disebutkan atheisme barasal dari a “tidak”
dan Teisme paham tentang Tuhan.[1] Secara terminologi Atheis adalah suatu aliran yang tidak
mengakui adanya Tuhan dan juga menolak agama sebagai jalan kehidupan. [2]

Atheis adalah suatu aliran yang muncul pada abad ke 19 masehi yang meyakini bahwa Tuhan di
dalam kehidupan manusia tidaklah ada. sebenarnya atheis bukanlah suatu paham yang meyakini
bahwa Tuhan tidak ada, melainkan tidak percaya bahwa Tuhan itu ada.

Atheis bukanlah suatu keyakinan atau kepercaayaan (Agama) melainkan suatu sistem ketidak
percayaan atau ketidak yakinan. Atheis bukanlah sebuah agama, yang memiliki ajaran secara
resmi, sebab tidak punya ajaran tertentu, tidak punya kitab suci tertentu dan tidak juga
menyembah apapun.

Atheis hanyalah suatu keadaan sebatas tidak percaya bahwa Tuhan ada, tidak lebih dari itu, tapi
tidak ada jaminan seorang beragama dan percaya pada tuhan akan berbuat baik. Sebenar nya
pemikran bahwa tidak ada Tuhan tidak berarti juga berpikir bahwa manusia bebas melakukan
apapun.

2.Latar belakang munculnya Atheis

Ateis adalah suatu paham yang muncul sekitar abad ke-19 masehi, yang mana pada masa itu
sekelompok orang telah di pengaruhi oleh alam, keaktualan diri sendiri, percaya pada faktual
nyata alam panca indra. Sehingga sesuatu yang di luar diri manusia itu tidaklah ada.

Pengaruh eksistensialisme pada abad ke-19 awal abad-20 telah mempengaruhi manusia. Dalam
filsafat eksistensialisme, mengajarkan bahwa manusia yang sesungguhnya bereksistensi.
Maksudnya manusia sama sekali bebas, ia dihukum untuk hidup dengan bebas. Dapat kita
pahami bahwa eksistensilisme inilah yang sangat mempengaruhi untuk tidak percaya kepada
Tuhan.[3]

Dari rujukan lain penulis mendapatkan bahwa, latar belakang munculnya Atheis ini
pertama kali di gunakan untuk merujuk pada ”kepercayaan tersendiri” pada akhir abad ke- 18 di
eropa, utama nya merujuk kepada ketidak percayaan pada tuhan monoteis. Pada abad ke-20,
globalisasi memperluas definisi istilah ini untuk merujuk pada “ketidakpercayaan pada semua
Tuhan/Dewa” walaaupun masih umum untuk merujuk atheis sebagai “ketidakpercayaan pada
tuhan (monoteis).”

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya Atheis ini yakni;

À Perkembangan teknologi dan sains


À Faham sosial progresif

À Faktor moraliti

Pembagian Atheis

Atheis dapat di kelompokkan menjadi beberapa bagian yakni;

1. Atheis klasik

Atheis klasik adalah penyangkalan tuhan nerdasarkan pengalaman-pengalaman pahit yang dilalui
oleh manusia dalam hidupnya. Di dalam kelompok ini di yakini bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi manusia menjadi atheis, yakni;

· Faktor yang meyakini bahwa bumi dan alam semesta ini tidak memperhatikan
kesempurnaan yang diharapkan oleh sang pencipta.

· Faktor yang meyakini bahwa Tuhan itu tidak adil.[4]

2. Atheis praktis dan atheis teoritis

Di dalam paham ini, yakni atheis praktis, sebenarnya masih meyakini akan adanya Tuhan, tetapi
menolak dengan cara hidupnya. Dalam hidupnya ia bertindak seolah olah tuhan tidak ada.
kemudian atheis teoritis, di dalam atheis teotitis ini dapat di bagi menjadi dua yakni;

· Atheis Teoritis Negatif, penganut paham ini mengakui bahwa tidak mengetahui tuhan,
maksudnya ia kacau dalam masalah tentang ketuhanan. Meragukan keberadaan tuhan karena
argumen mengenai ketuhanan itu mustahil.

· Atheis Teoritis Positif, paham ini meyakini bahwa secara sabjektif tuhan itu tidak ada.

3. Atheis Materialisme Dan Posiotifisme, bentuk atheis ini secara gamlang dapat di temukan
dalam materialisme dan posiotifisme. Aliran aliran ini menolak keberadaan Tuhan yang rohani
dan Trasenden.[5]

Atheisme Praktis Dan Atheis Teoritis

Atheisme Teoritis
Atheis teoritis secara eksplisit memberikan argumen menentang keberadaan Tuhan, dan secara
aktif merespon kepada argumen teistik mengenai keberadaan Tuhan, seperti misalnya argumen
dari rancangan dan taruhan dari pascal terhadap berbagai alasan-alasan teoriis untuk menolak
keberadaan Tuhan, utamanya secara ontologis, aksiologis, dan epistemologis. Selain itu terdapat
pula alasan psikologis dan sosiologis.[6]

Atheis Praktis

Dalam atheis praktis atau prakmaatis, yang juga dikenaal sebaagai apetaisme, individu hidup
tanpaa Tuhan dan menjelaskan penomena alam tanpa menggunakan alasan paranormal. Menurut
pandangan ini, keberadaan Tuhan tidaklah disangkal, namun dapaat dianggap sebagaai tidak
penting dan tidak berguna, tuhan tidaklah memberikan kita tujuan hidup, ataupun mempengaruhi
kehidupan sehari-hari kita. Salah satu bentuk ateisme praktis dengan implikasinya dalam
komunitas ilmiah adalah naturalisme motodologis, yaaitu pengambilan asumsi naturaalisme
filosofis dalam metode ilmiah yang tidak di ucapkan dengan ataaupun tanpa secara penuh
menerima atau menerimanya.

Atheis praktis ini dapat berupa;

· Ketiadaaan motivasi religius, yakni kepercayaan pada tuhan tidak memotivasi tindakan
moral, religi, ataupun bentuk-bentuk lainnya.

· Mengesampingkan masalah tuhan daan religi secara aktif dan dan penelusuran intelek dan
tindakaan praktis

· Pengabaian, yakni ketiadaan ketertarikan apapun pada permaasalahan tuhan dan agamaa

· Ketidak taahuaan akaan konsef tuhan dan dewa.[7]

15 Penganut Atheis Paling Berpengaruh Di Dunia

May 17, 2017 4423 Views

Mungkin kata atheis bukanlah hal yang asing lagi bagi kehidupan sekarang ini. Ateisme adalah
sebuah pandangan filosofi yang tidak memercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi ataupun
penolakan terhadap teisme. Dalam pengertian yang paling luas, ia adalah ketiadaan kepercayaan
pada keberadaan dewa atau Tuhan. Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
membuat penganut atheis semakin bertambah. Banyak sekali para ilmuan dan juga orang yang
memiliki pendidikan tinggi menjadi seorang atheis.
Untuk membuat daftar atheis yang berpengaruh pada SuperScholar, seorang ateis tidak hanya
kafir kepada Tuhan tetapi juga secara aktif mendorong orang lain untuk tidak percaya kepada
Tuhan. Bill Maher dan Penn & Teller, misalnya, menggunakan keunggulan mereka sebagai
penghibur untuk mempromosikan ateisme. Tapi mereka melakukannya terutama sebagai
popularis, bukan sebagai ilmuwan yang berusaha membuat kasus yang dianggap bertentangan
dengan teisme dan ateisme. Banyak atheis yang merupakan ilmuwan terkenal dengan hak
mereka sendiri dan mereka menggunakan beasiswa mereka untuk mempromosikan ateisme
secara eksplisit atau untuk mempromosikan bentuk pemikiran yang membuat kepercayaan
kepada Tuhan tidak dapat dipertahankan.

Banyak ilmuwan yang terdaftar di sini telah memberikan kehidupan baru kepada ateisme,
dengan mengundang istilah “neo-ateisme” untuk menggambarkan dampak dan gerakan mereka.
Sejak bangkitnya neo-atheisme dalam dekade terakhir, penerimaan publik terhadap ateisme di
Amerika Serikat telah meningkat pesat. Dalam jajak pendapat Gallup sampai sepuluh tahun yang
lalu, mereka yang bersedia menyebut diri mereka ateis melayang sekitar 10 persen. Sekarang
sampai di bawah 15 persen. Mungkin anda penasaran siapa saja tokoh yang menganut atheis.
Rasa penasaran anda akan kami jawab pada pembahasan kali ini.

1. Richard Dawkins

Clinton Richard Dawkins FRS FRSL (lahir 26 Maret 1941) adalah seorang ahli etologi, ahli
biologi evolusioner dan penulis Inggris. Dia adalah rekan emeritus dari New College, Oxford
dan merupakan Profesor Ilmu Pengetahuan Umum dari Universitas Oxford tahun 1995 sampai
2008. Dawkins pertama kali menjadi terkenal dengan buku 1976 The Selfish Gene, yang
mempopulerkan pandangan gen tentang evolusi dan memperkenalkan istilah meme. Dengan
bukunya The Extended Phenotype (1982), ia memperkenalkan teori evolusi bahwa konsep
fenotipik suatu gen tidak terbatas pada tubuh organisme, namun dapat menyebar jauh ke
lingkungan. Pada tahun 2006, ia mendirikan Yayasan Richard Dawkins untuk Reason and
Science.

Dawkins adalah seorang ateis dan terkenal karena kritiknya tentang penciptaan dan desain
cerdas. Dalam The Blind Watchmaker (1986), dia menentang analogi pembuat jam, sebuah
argumen untuk keberadaan pencipta supranatural yang didasarkan pada kompleksitas organisme
hidup. Sebagai gantinya, dia menggambarkan proses evolusioner sebagai analog dengan pembuat
jam buta dalam reproduksi, mutasi dan seleksi itu tidak terarah oleh perancang manapun. Dalam
The God Delusion (2006), Dawkins berpendapat bahwa pencipta supranatural hampir tidak ada
dan bahwa iman religius adalah khayalan belaka. Dia juga menentang ajaran penciptaan di
sekolah.

2. Sam Harris

Penganut atheis setelah Dawkins adalah Sam Harris. Samuel Benjamin Harris (lahir 9 April
1967) adalah seorang penulis, filsuf dan neuroscientist Amerika.Dengan mengeluarkan honor $
50K dan bepergian dengan rombongan yang mencakup detail keamanan (untuk kritiknya
terhadap Islam), Harris adalah “bintang rock” ateis kontemporer. Meskipun menemukan agama
sebagai ide yang buruk pada umumnya, dia terbuka terhadap aspek-aspek tertentu dari
paranormal yang mengangkat alis di antara beberapa ateis.

3. Christopher Hitchens

Christopher Hitchens adalah orang yang paling pandai bicara dan sopan di kalangan atheis
intelektual kontemporer. Lucu dan membakar, dia tidak memperdebatkan debat. Sebagai jurnalis
kelas dunia dan koresponden, dia memerintahkan sebuah platform yang sangat terlihat untuk
mempromosikan ateisme.

4. Daniel Dennett

Daniel Dennett bersama dengan Dawkins, Harris dan Hitchens, melengkapi apa yang disebut
“empat penunggang kuda” (mengacu pada empat penunggang kuda di kitab alkitabiah Wahyu).
Dennett adalah filsuf profesional kelas dunia yang telah memperdebatkan ateisme materialistik
dalam segala hal mulai dari kesadaran manusia hingga biologi evolusioner. Pada tahun 2017 ia
adalah co-director dari Center for Cognitive Studies dan Austin B. Fletcher Professor of
Philosophy at Tufts University. Dennett adalah seorang atheis dan sekuler, anggota dewan
penasihat Sekuler Koalisi untuk Amerika dan anggota Komite Penyelidikan Skeptis, serta
pendukung gerakan Bright yang terang-terangan.

5. Stephen Hawking
Stephen Hawking adalah salah satu fisikawan teoritis besar di dunia. Buku dagangnya berjudul A
Brief History of Time ini membawa badai dunia pada akhir 1980an. Di dalamnya ia mengangkat
prospek alam semesta yang menciptakan dirinya sendiri, yang sejak saat itu berkembang panjang
lebar. Tema yang terus dibenturkannya adalah keanehan hipotesis Tuhan. Hawking dikenal
karena karyanya menjadi dasar hukum yang mengatur alam semesta. Dia telah membuat
ketidakpercayaannya kepada Tuhan dengan sangat jelas dan terkenal mengatakan: “Ilmu
pengetahuan dapat menjelaskan alam semesta, kita tidak membutuhkan Tuhan untuk
menjelaskan mengapa ada sesuatu dan bukan apa-apa.”

6. Steven Pinker

Sebagai ilmuwan kognitif, Steven Pinker mendekonstruksi semua aspek pemikiran manusia yang
mungkin ditafsirkan sebagai menunjuk pada asal non-material. Dengan jabatan profesor Harvard
dan aliran buku-buku populer yang memperdebatkan pandangan materialistik tentang kognisi,
dia telah menjadi ahli apologi atheisme yang sangat efektif.

7. Michael Shermer

Seorang mantan Kristen evangelis, Michael Shermer mempromosikan skeptisisme yang


menghilangkan sisa-sisa supernaturalisme. Pendiri dan penerbit Skeptic Magazine, dia adalah
penyuara yang tak kenal lelah untuk ateisme melalui buku-buku populer, debat yang sangat
terlihat dalam wawancara televisi dan sebuah kolom bulanan dengan Scientific American.

8. Peter Singer

Peter Albert David Singer, AC (lahir 6 Juli 1946) adalah seorang filsuf moral Australia. Dia
adalah Profesor Biofisika Ira W. DeCamp di Universitas Princeton dan Profesor Laureate di
Pusat Filsafat Terapan dan Etika Publik di Universitas Melbourne. Dia mengkhususkan diri pada
etika terapan dan pendekatan isu etis dari perspektif sekuler, utilitarian. Dia dikenal secara
khusus untuk bukunya Animal Liberation (1975), dimana dia berpendapat mendukung
vegetarianisme dan esainya tentang kelaparan, kekayaan dan moralitas, dimana dia berpendapat
untuk menyumbangkan bantuan untuk membantu masyarakat miskin global.

Untuk sebagian besar karirnya, dia lebih memilih utilitarian, tapi dia mengumumkan di The
Point of View of the Universe (2014) bahwa dia telah menjadi seorang utilitarian hedonis.
Bioethicist Princeton Peter Singer berpendapat bahwa masalah utama agama adalah promosi dari
apa yang dia sebut “speciesisme”, pandangan bahwa spesies manusia dalam beberapa hal luar
biasa dibandingkan dengan populasi hewan lainnya. Dengan demikian menantang human
exceptionalism, Singer pada dasarnya merongrong semua monoteisme barat.

9. Alan Turing

Turing telah disebut sebagai pendiri ilmu komputer dan kecerdasan buatan yang terkenal dengan
karyanya di Bletchley Park. Dia percaya pada Tuhan ketika masih remaja. Tapi dia melepaskan
agamanya saat seorang teman meninggal karena tuberkulosis dan dia memutuskan bahwa
materialisme lebih masuk akal daripada agama.

10. Rosalind Franklin

Pekerjaan Franklin sangat penting dalam penemuan struktur heliks ganda DNA dari Watson dan
Crick.

Dalam salah satu suratnya, dia berkata: “Saya mempertahankan bahwa iman di dunia ini
mungkin saja tanpa iman di dunia lain.”

11. Neil deGrasse Tyson

Tyson adalah astrofisikawan Amerika dan komunikator sains. Dia menggambarkan dirinya
sebagai agnostik, bukan ateis. Dalam sebuah wawancara baru-baru ini, dia berkata: “Saya tetap
tidak yakin dengan klaim siapa pun yang pernah dibuat tentang keberadaan atau kekuatan
kekuatan ilahi yang beroperasi di alam semesta”.
12. Thomas Edison

Edison telah digambarkan sebagai salah satu penemu terbesar AS dan terkenal karena penemuan
bola lampu di tahun 1879. Dia terkenal mengatakan: “Saya belum pernah melihat bukti ilmiah
sekecil apapun dari gagasan religius tentang surga dan neraka, kehidupan masa depan untuk
individu atau tentang Tuhan pribadi”.

13. Steven Weinberg

Peraih Nobel, Steven Weinberg adalah salah satu ilmuwan besar di zaman kita. Dia juga seorang
penulis yang sangat baik. Seperti yang ditunjukkan dalam buku populer tentang fisika, yang
memajukan pandangan atheistik tentang alam semesta. Menurutnya, prestasi budaya sains
terbesar adalah membasmi agama.

14. Paul Kurtz

Paul Kurtz adalah pendukung utama humanisme sekuler, yang menjauhkan agama dalam usaha
untuk mewujudkan manusia. Dia telah sangat produktif dalam menumbuhkan humanisme
sekuler antara lain, mengarahkan Dewan Humanisme Sekuler, mengedit Skeptis Inquirer dan
mendirikan Prometheus Press.

15. Lawrence Krauss

Ketika jaringan televisi membutuhkan ilmuwan yang baik dan dipercaya untuk membahas
hubungan antara sains dan agama, Lawrence Krauss adalah orangnya. Seorang fisikawan dengan
kredensial yang solid dan juga sangat siap, dia telah menulis serangkaian buku sains populer
yang sukses. Krauss telah secara efektif menggunakan platform ini untuk mempromosikan
ateisme.
Agnostisisme adalah suatu pandangan filsafat bahwa suatu nilai kebenaran dari suatu klaim
tertentu yang umumnya berkaitan dengan teologi, metafisika, keberadaan Tuhan, dewa, dan
lainnya yang tidak dapat diketahui dengan akal pikiran manusia yang terbatas.[1][2] Seorang
agnostik mengatakan bahwa adalah tidak mungkin untuk dapat mengetahui secara definitif
pengetahuan tentang "Yang-Mutlak"; atau , dapat dikatakan juga, bahwa walaupun perasaan
secara subyektif dimungkinkan, namun secara obyektif pada dasarnya mereka tidak memiliki
informasi dasar yang dapat diverifikasi secara rasional. Filsuf William L. Rowe menyatakan
bahwa dalam arti sempit, bagaimanapun agnostisisme adalah pandangan bahwa manusia saat ini
tidak memiliki pengetahuan yang diperlukan dan/atau alasan untuk memberikan landasan secara
rasional yang cukup untuk membenarkan keyakinan bahwa dewa/tuhan baik melakukan atau
tidak ada.[3] Dalam kedua hal ini maka agnostikisme mengandung unsur skeptisisme.

Daftar isi

1 Etimologi

2 Definisi agnostitisme

2.1 Perkembangan istilah

2.2 Kualifikasi agnostisisme

2.3 Jenis agnostisisme

3 Lihat pula

4 Referensi

5 Bacaan lanjutan

6 Pranala luar

Etimologi

Agnostisisme berasal dari perkataan Yunani gnostein (artinya "tahu; mengetahui") dan a (artinya
"tidak"). Arti harfiahnya "seseorang yang tidak mengetahui".

Agnostisisme bukan sinonim dari ateisme.


Thomas Henry Huxley, seorang ahli biologi Inggris, mencetuskan kata "agnostik" pada tahun
1869. [4] Namun, pemikir sebelumnya dan karya tulisnya telah mempromosikan poin pandangan
agnostik. Mereka yang lainnya termasuk Sanjaya Belatthaputta, abad-5 SM filsuf India yang
menyatakan agnostisisme tentang akhirat apapun, [5] Protagoras, abad-5 SM filsuf Yunani yang
agnostik tentang dewa/Tuhan/Allah,[6] dan Nasadiya Sukta dalam Rig Veda yang agnostic
tentang asal usul alam semesta.[7]

Sejak Huxley mencetuskan istilah ini, banyak pemikir lain telah menulis tentang agnostisisme.

Definisi agnostitisme

Menurut filsuf William L. Rowe, dalam arti populer seorang "agnostik" adalah seseorang yang
tidak percaya atau mendustakan keberadaan dewa atau dewa, sedangkan teis dan ateis masing-
masing adalah orang percaya dan tidak percaya akan Allah, tetapi bahwa dalam agnostisisme arti
sempit adalah pandangan bahwa akal manusia tidak mampu secara rasional membenarkan
keyakinan tentang apa yang dilakukan Allah atau juga apakah Allah itu ada atau tidak.[3]

Thomas Henry Huxley mengatakan:

Agnostisisme, pada kenyataannya, tidak kredo, tapi metode, esensi yang terletak pada aplikasi
ketat satu prinsip ... Positif prinsip dapat dinyatakan: Dalam hal kecerdasan, ikuti alasan Anda
sejauh akan membawa Anda, tanpa memperhatikan pertimbangan lain. Dan negatif: Dalam hal
intelek tidak berpura-pura bahwa kesimpulan yang tertentu yang tidak menunjukkan atau
dibuktikan.

— Thomas Henry Huxley[8]

Perkembangan istilah

Agnostik (dari Yunani Kuno ἀ-(a-), yang berarti "tanpa", dan γνῶσις (gnosis), berarti
"pengetahuan") digunakan oleh Thomas Henry Huxley dalam pidatonya pada pertemuan
Metafisika Masyarakat pada tahun 1869 [9] untuk menggambarkan filsafat yang menolak semua
klaim pengetahuan spiritual atau mistis. Para pemimpin gereja Kristen awal menggunakan kata
Yunani "gnosis" (pengetahuan) untuk menggambarkan "pengetahuan spiritual". Agnostisisme
tidak sama dengan pandangan keagamaan menentang gerakan keagamaan kuno "Gnostisisme"
pada khususnya,. Huxley menggunakan istilah dalam lebih luas, pengertian yang lebih abstrak
[10] Huxley mengidentifikasi "agnostisisme" bukan sebagai "kredo" melainkan sebagai "metode
penyelidikan skeptik, berbasis bukti". [11]

Dalam beberapa tahun terakhir, literatur ilmiah yang berhubungan dengan ilmu saraf dan
psikologi telah menggunakan kata itu dalam makna "tidak dapat diketahui". [12] Dalam literatur
teknis dan pemasaran, "agnostik" sering memiliki arti dekat dengan "independen", misalnya,
"platform agnostik " atau "perangkat keras agnostik".[13]

Kualifikasi agnostisisme

Filsuf zaman Pencerahan asal Skotlandia, David Hume berpendapat bahwa pernyataan yang
berarti tentang alam semesta selalu dikualifikasi oleh suatu tingkat keraguan.[14] Ia menegaskan
bahwa kelemahan manusia untuk dapat membuat kesalahan berarti bahwa mereka tidak dapat
memperoleh kepastian yang mutlak kecuali dalam kasus sepele di mana suatu pernyataan itu
benar menurut suatu definisi (yaitu "tautologi" seperti "semua bujangan belum menikah" atau
"semua segitiga memiliki tiga sudut"). Semua pernyataan rasional yang menegaskan klaim
faktual tentang alam semesta yang dimulai "Saya percaya bahwa ...." hanya singkatan untuk,
"Berdasarkan pengetahuan saya, pemahaman, dan interpretasi dari bukti yang berlaku, saya
secara ragu-ragu percaya bahwa ...." Misalnya, ketika seseorang mengatakan, "Saya percaya
bahwa Lee Harvey Oswald menembak John F. Kennedy", seseorang tidak menyatakan suatu
kebenaran mutlak tetapi keyakinan tentatif berdasarkan interpretasi dari bukti-bukti yang dirakit.
Meskipun seseorang dapat mengatur jam alarm pada hari sebelumnya, dan percaya bahwa ia
mungkin akan terbangun, keyakinan tersebut bersifat tentatif, masih dihantui oleh suatu
tingkatan keraguan tertentu, meskipun kecil (bahwa jam atau mekanisme alarm mungkin rusak,
atau seseorang mungkin mati sebelum alarm berbunyi).

Jenis agnostisisme

Agnostisisme dapat dibagi menjadi beberapa kategori, beberapa di antaranya dapat


diperdebatkan. Variasinya termasuk:

Agnostik ateisme
Pandangan mereka yang tidak percaya pada keberadaan dewa/Tuhan apapun, tetapi tidak
mengklaim tahu apakah dewa itu ada atau tidak ada. [15]

Agnostik teisme

Pandangan mereka yang tidak mengaku tahu konsep keberadaan dewa/Tuhan apapun, tapi
masih percaya pada keberadaan tersebut.[15]

Apatis atau agnostisisme pragmatis

Pandangan bahwa tidak ada bukti baik ada atau tidaknya dewa/Tuhan apapun, tapi karena
setiap dewa yang mungkin saja ada itu dapat bersikap tidak peduli kepada alam semesta atau
kesejahteraan penghuninya, pertanyaan ini lebih bersifat akademik.[16]

Agnostisisme kuat (juga disebut "keras", "tertutup", "ketat", atau "agnostisisme permanen")

Pandangan bahwa pertanyaan tentang ada atau tidak adanya dewa/Tuhan, dan sifat realitas
tidak dapat diketahui dengan alasan ketidakmampuan alamiah kita untuk memverifikasi
pengalaman dengan apapun selain pengalaman subyektif lain. Seorang penganut agnostik kuat
akan mengatakan, "Saya tidak bisa tahu apakah dewa itu ada atau tidak, begitu juga kamu."

Agnostisisme lemah (juga disebut "lunak", "terbuka", "empiris", atau "agnostisisme duniawi")

Pandangan bahwa ada atau tidaknya setiap dewa saat ini tidak diketahui, tetapi belum tentu
untuk kemudian hari, sehingga orang akan menahan penilaian sampai muncul bukti yang
menurutnya bisa menjadi alasan untuk percaya. Seorang penganut agnostik lemah akan berkata,
"Saya tidak tahu apakah ada dewa ada atau tidak, tapi mungkin suatu hari, jika ada bukti, kita
dapat menemukan sesuatu."

Você também pode gostar