Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
ISBN 978-602-70083-4-2
ABSTRACT: Business activities that lead to industry, particularly in manufacturing, became one of
the important highlights that cause negative impacts for environment. One of them contained in
processing and using of raw materials and energy in production process. No exception for
Sungkono’s tofu factory which is main products is tofu.
The efforts are tracing the physical and monetary flow regarding raw materials and energy
used from each production process and conduct strategy management of raw materials and energy
flow to provide benefits for factory in terms of economy and environment. The concept can be used is
Material Flow Cost Accounting (MFCA), one of Environmental Management Accounting (EMA)
tools was focused providing transparent information about the flow of raw materials and energy into
positive output (final product) and negative output (waste/material losses) that occur in any
production process.
The purpose of this research is to analyze whether in any production process of tofu has the
resulting material losses, so that give transparent information about efficiency of using of raw
materials and energy in production process. The method that used are observation, interview, and
documentation. Based on the analysis explained that Sungkono’s tofu factory still have material
losses that occur in production process was 15.01% from raw materials and energy was wasted. The
results of this research provide a recommendations for factory in taking decisions related
improvements to the production process and reduce material losses incurred as an efficiency of
production costs and minimize the negative impacts to environment.
KEYWORDS – environment, raw materials and energy, Material Flow Cost Accounting, material
losses, improvements, production costs
1. PENDAHULUAN
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan sektor usaha yang memberikan
kontribusi signifikan dalam aktivitas ekonomi di Indonesia. Sesuai data dari Kementerian Koperasi &
UKM tahun 2013 bahwa pelaku usaha di Indonesia masih didominasi oleh UMKM yakni sebesar
99,99% dari total unit usaha atau sebesar 57.895.721 unit usaha yang terdiri dari 57.189.393 unit
usaha mikro, 654.222 unit usaha kecil dan 52.106 unit usaha menengah. Dalam menjalankan kegiatan
usaha, baik pelaku usaha berskala besar maupun UMKM tanpa disadari menghasilkan limbah
produksi yang berdampak negatif bagi lingkungan. Dampak negatif terhadap lingkungan tersebut
tidak hanya terjadi pada akhir proses produksi, namun dapat juga bermula dari pengolahan bahan
baku dan energi yang digunakan. Upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak termasuk pemerintah
melalui kementerian, dinas terkait, maupun pemerhati lingkungan baik lembaga maupun individu
agaknya belum menghasilkan sesuatu yang sangat signifikan untuk mengurangi laju dampak negatif
terhadap lingkungan.
Dalam melakukan proses produksinya, pelaku usaha sering kali mengabaikan setiap tahapan
dari proses produksi sehingga tanpa disadari terjadi ketidakefisienan dan material loss (kerugian
material) seperti terbuangnya bahan baku pada saat proses input dan pemborosan energi yang menjadi
limbah perusahaan. Hal tersebut dikarenakan mereka menganggap aktivitas yang terjadi ini bukan
merupakan biaya yang signifikan dan mempengaruhi biaya atas produk yang dihasilkan. Pada
kenyataannya ketidakefisienan ini membuat perusahaan menanggung biaya-biaya yang seharusnya
tidak mereka keluarkan dan membebankannya ke dalam biaya atas produk yang dihasilkan sehingga
dapat menurunkan income yang seharusnya mereka dapatkan.
Indonesia memiliki beragam pelaku usaha yang tergolong dalam sektor UMKM, salah
satunya adalah industri tahu. Saat ini industri tahu tidak hanya berbentuk industri rumah tangga (home
industry) yang dilakukan oleh perorangan, namun sudah berkembang menjadi besar sehingga menjadi
perusahaan yang cukup terkenal di Indonesia. Keberadaan industri ini secara ekonomi cukup
menguntungkan khususnya bagi pengrajin dan pedagang tahu. Demikian pula ditinjau dari segi gizi
masyarakat, industri tahu turut menunjang ketersediaan pangan nabati yang dibutuhkan untuk
kesehatan masyarakat. Di sisi lain pencemaran pun dapat terjadi karena pembuangan limbah dari
industri tahu tersebut yang belum mempunyai unit pemanfaatan dan pengolahan lebih lanjut.
Pemanfaatan dan pengolahan lebih lanjut limbah tersebut melibatkan tiga unsur yang dikenal dengan
3R yaitu reuse, reduce, dan recycle serta berpotensi meningkatkan profitabilitas perusahaan.
Menurut Haryanto (2010) dalam Chairunnisa (2016) perusahaan memerlukan sistem
akuntansi lingkungan sebagai kontrol terhadap tanggung jawab perusahaan sebab pengelolaan limbah
yang dilakukan oleh perusahaan memerlukan pengukuran, penilaian, pengungkapan dan pelaporan
biaya pengelolaan limbah dari hasil kegiatan operasional perusahaan. Sistem Environmental
Management Accounting merupakan sistem yang dibutuhkan perusahaan dalam mengatasi hal
tersebut. Dalam sistem Environmental Management Accounting, perusahaan harus
mempertimbangkan masalah yang berfokus pada kurang efisiennya proses produksi serta
menggambarkan input dan output penggunaan bahan baku dan energi dalam satuan fisik dan moneter
sehingga memberikan pandangan pada perusahaan akan material loss yang terjadi pada arus bahan
baku dan penggunaan energi dalam produk.
Salah satu metode Environmental Management Accounting yang dapat digunakan adalah
Material Flow Cost Accounting (MFCA). MFCA adalah alat manajemen yang dirancang untuk
mendukung pengelolaan lingkungan yang lebih baik, meningkatkan daya saing perusahaan dan
mengembangkan teknik manufaktur yang lebih canggih. MFCA adalah alat manajemen yang
mengukur generasi limbah atau emisi dari setiap proses dan mengevaluasi mereka dalam hal cost
reduction (Furukawa, 2008). MFCA lebih berfokus pada “cost reduction” terhadap limbah perusahaan
dalam upaya mencapai efisiensi penggunaan sumber daya dan efisiensi biaya produksi. MFCA
membuat material loss terlihat, dengan cara mengidentifikasi generasi limbah dan emisi bahan baku,
baik secara fisik maupun moneter dan dikonversikan ke dalam produk serta biaya limbah atau biaya
produk negatif. MFCA mengintegrasikan aliran bahan, biaya, dan informasi lain dalam proses
produksi. Informasi yang terintegrasi ini berguna ketika sebuah perusahaan meminta langkah-langkah
pemotongan biaya lintas fungsional yang membutuhkan koordinasi antar divisi atau bagian
perusahaan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis apakah dalam setiap proses produksi
tahu pabrik bapak Sungkono memiliki kerugian material yang dihasilkan melalui perancangan dan
penerapan Material Flow Cost Accounting, sehingga memperoleh informasi mengenai efektivitas dan
efisiensi penggunaan bahan baku dan energi dalam proses produksi tahu. Dengan demikian penelitian
ini mampu memberikan manfaat bagi pabrik tahu Sungkono dan membantu setiap pelaku usaha untuk
menggunakan bahan baku dan energi secara optimal sehingga tidak terjadi kerugian material dan
mampu mengurangi biaya produksi serta meminimalisir dampak negatif bagi lingkungan.
2. TINJAUAN LITERATUR
2.1 Definisi Material Flow Cost Accounting
Material Flow Cost Accounting (MFCA) adalah alat manajemen yang dirancang untuk
mendukung pengelolaan lingkungan yang lebih baik, meningkatkan daya saing perusahaan, dan
mengembangkan teknik manufaktur yang lebih canggih. MFCA mengukur limbah atau emisi
dari setiap proses dan mengevaluasi mereka dalam hal pengurangan biaya. MFCA akan
menjadi alat yang mampu memecahkan masalah terkait dengan biaya limbah industri dalam hal
usaha pemotongan biaya produksi (Furukawa, 2008).
MFCA membuat kerugian material yang terlihat dengan mengidentifikasi limbah dan
hilangnya bahan, baik secara moneter dan fisik maupun hasil konversi mereka ke dalam biaya
produk positif dan biaya produk negatif (emisi). Menerapkan MFCA ke jalur produksi
memberikan gambaran yang jelas tentang masalah di pabrik. Perusahaan dapat mengurangi
limbah dan meningkatkan produktivitas material. Dengan demikian, MFCA adalah alat
manajemen yang mendukung hubungan antara lingkungan dan ekonomi.
Dalam MFCA, penekanan utama diletakkan pada transportasi aliran material dan biaya
yang berkaitan. Dengan demikian, MFCA diciptakan untuk mengusulkan langkah-langkah
yang terhubung dengan bahan baku dan penghematan biaya yang signifikan (Hyrslova et al.,
2011). Metode ini awalnya dikembangkan di Negara Jerman dan telah dikembangkan lebih
lanjut oleh Negara Jepang. Dimasukkannya MFCA ke Organisasi Internasional untuk
Standardisasi (ISO) adalah sebuah inisiatif dari Jepang yang bernama ISO 14051 dan
diterbitkan pada tahun 2011.
dianggap sebagai kerugian material. Dalam beberapa proses, kerugian waste dan sumber
daya terjadi dalam tahap yang berbeda-beda, yaitu meliputi:
a. Kerugian material yang muncul selama proses produksi berlangsung ataupun adanya
produk cacat.
b. Bahan baku yang tersisa pada peralatan produksi.
c. Bahan baku auxiliary, seperti pelarut, deterjen, dan air.
d. Bahan baku yang sama sekali tidak terpakai karena berbagai alasan.
b) Arus Material (Flow)
Unsur utama yang kedua dalam MFCA adalah arus material. MFCA menelusuri
seluruh input bahan material yang mengalir melalui proses produksi dan hasil produksi
yang diubah menjadi produk serta kerugian material (emisi) dalam satuan fisik.
Maka dari itu dalam penerapan MFCA, dibutuhkan informasi tentang arus material
dalam proses produksi baik dalam bentuk fisik maupun moneter.
c) Akuntansi Biaya (Cost Accounting)
Unsur utama yang terakhir dalam MFCA adalah akuntansi biaya. Setelah material
yang mengalir dalam arus material dihitung dalam satuan fisik misalnya massa dan
volume, alokasi biaya akan dilakukan untuk memberikan gambaran tentang perhitungan
secara moneter yaitu dalam satuan rupiah mengenai input bahan baku material yang
diubah menjadi produk dan kerugian material yang dihasilkan.
2.4 Perbedaan antara MFCA dan Conventional Cost Accounting
MFCA mewakili cara yang berbeda dengan akuntansi biaya lainnya. Dalam
conventional cost accounting, informasi data digunakan untuk menentukan apakah biaya yang
dikeluarkan bisa dipulihkan dari penjualan. Tidak perlu menentukan apakah material diubah
menjadi produk atau dibuang sebagai limbah. Dalam akuntansi biaya konvensional, biaya untuk
menghasilkan “kerugian material” dimasukkan sebagai bagian dari total biaya produksi. Di sisi
lain pada penjelasan sebelumnya, MFCA berfokus pada identifikasi dan membedakan antara
biaya yang berkaitan dengan “produk” dan “kerugian material”. Dengan cara ini, kerugian
material dievaluasi sebagi kerugian ekonomi yang mendorong manajemen mencari cara untuk
mengurangi kerugian material dan meningkatkan efisiensi usaha (APO, 2014).
Dalam MFCA, biaya produksi akan dipisahkan antara biaya produk dan biaya kerugian
material. Berbeda dengan akuntansi biaya konvensional, yang menggabungkan biaya produk
dengan biaya kerugian material menjadi satu kesatuan, sehingga tidak terdapat informasi
mengenai alokasi biaya produksi yang sesungguhnya. Tabel 2.1 akan menjelaskan perbedaan
penyajian informasi tentang alokasi biaya produksi dalam MFCA dan akuntansi biaya
konvensional (satuan: USD).
2.5 Langkah-Langkah Implementasi Material Flow Cost Accounting
kegunaan data, seperti fluktuasi musiman. Beberapa proyek MFCA sebelumnya menunjukkan
bahwa pengumpulan data yang tepat bisa dilakukan selama satu bulan, setengah tahun, atau
satu tahun.
Dalam MFCA, produksi, daur ulang, dan sistem lain diwakili model visual yang
menggambarkan batas MFCA dan beberapa pusat kuantitas, tempat bahan baku digunakan atau
diubah, serta pergerakan bahan baku di antara pusat-pusat kuantitas. Gambar 2.4 menunjukkan
sistem aliran material umum. Model aliran material berguna untuk memberikan gambaran
tentang seluruh proses dan mengidentifikasi titik-titik tempat kerugian material terjadi.
Langkah 3: Cost Allocation
MFCA membagi biaya ke dalam kategori berikut ini.
a) Biaya bahan baku, yakni biaya untuk seluruh input bahan baku material yang masuk ke
pusat kuantitas.
b) Biaya energi, yakni biaya untuk listrik, bahan bakar, uap, panas, dan udara terkompresi.
c) Biaya sistem, yakni biaya tenaga kerja, biaya penyusutan dan pemeliharaan, serta biaya
transportasi.
d) Biaya pengelolaan limbah, yakni biaya limbah penanganan yang dihasilkan di pusat
kuantitas.
Biaya bahan baku, biaya energi, dan biaya sistem dialokasikan untuk produk ataupun
kerugian material pada setiap pusat kuantitas berdasarkan proporsi input bahan baku yang
mengalir ke dalam produk dan kerugian material. Biaya bahan baku untuk setiap input dan
output aliran yang diukur dan dihitung dengan mengalikan jumlah fisik dari aliran material
dengan biaya unit material selama periode waktu yang dipilih untuk dianalisis.
Berbeda dengan alokasi biaya output positif dan output negatif, bahan baku, alokasi
biaya energi, dan biaya sistem untuk output positif dan output negatif secara proporsional
ditentukan mengikuti persentase output positif dan output negatif pada penggunaan bahan baku
karena sulit menentukan secara pasti biaya yang teralokasikan pada output positif dan output
negatif dalam penggunaan energi dan sistem. Berikut ini disajikan rumus perhitungan
persentase output positif dan output negatif bahan baku.
Persentase output positif bahan baku:
𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 𝑏𝑎 𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑢
𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 𝑏𝑎 𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑢 +𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑡𝑖𝑓 𝑏𝑎 𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑢
𝑥 100%
Sedangkan untuk biaya pengelolaan limbah, 100% berasal dari biaya yang berkaitan
dengan kerugian material.
Langkah 4: Interpreting and Communicating MFCA Results
3. METODOLOGI PENELITIAN
Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah pabrik tahu Sungkono yang merupakan
salah satu industri rumah tangga di Sentra Produksi Tempe Tahu PRIMKOPTI, Jakarta Selatan.
Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2016. Sampel penelitian yang digunakan adalah proses
produksi tahu pada pabrik tahu Sungkono. Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini
dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
1. Wawancara
Wawancara adalah cara atau teknik untuk mendapatkan informasi atau data dari
interviewee atau responden dengan wawancara secara langsung face to face antara interviewer
dan interviewee (Soewadji, 2012). Wawancara dilakukan dengan pemilik dan karyawan pabrik
yang terkait.
2. Pengamatan Langsung
Pengamatan adalah kegiatan pengumpulan data dengan observasi. Alat pengumpulan
datanya adalah panduan observasi, sedangkan sumber data bisa berupa benda, kondisi, situasi,
proses tertentu bahkan perilaku orang tertentu (Soewadji, 2012). Pengamatan dilakukan pada
proses produksi untuk mengetahui input dan output pada arus material bahan baku dan energi
yang digunakan.
3. Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah membaca, mencari dan mempelajari data-data serta
informasi dari berbagai media seperti artikel, buku, materi kuliah dan media elektronik seperti
internet. Dokumentasi yang dilakukan peneliti merupakan pengumpulan data dari dokumentasi
terkait dengan proses produksi tahu.
Adapun metode analisis data terkait permasalahan dalam penelitian ini terdiri dari lima
tahapan, yakni sebagai berikut.
a. Tahap 1: Menentukan peran serta tanggung jawab pemilik dan karyawan pabrik dalam
implementasi Material Flow Cost Accounting (MFCA)
b. Tahap 2: Menentukan ruang lingkup dan batasan dari proses produksi serta membangun model
arus material
c. Tahap 3: Menentukan alokasi biaya
d. Tahap 4: Menafsirkan dan menginterpretasikan hasil MFCA
e. Tahap 5: Memberikan alternatif untuk mengoptimalkan proses produksi dalam membantu
mengurangi biaya produksi dan meminimalisir kerugian material melalui hasil MFCA
Langkah awal dalam mengimplementasi MFCA pada pabrik tahu Sungkono adalah
melakukan koordinasi dan komunikasi kepada pemilik atau pengrajin beserta para karyawan pabrik
yang terlibat dalam proses produksi untuk membangun pemahaman atas manfaat dan kegunaan dari
penerapan MFCA dalam optimalisasi proses produksi sebagai upaya efisiensi biaya produksi serta
meminimalisir dampak negatif produksi yang dihasilkan terhadap pencemaran lingkungan sekitar
pabrik. Hal ini bertujuan juga untuk membangun komitmen serta tanggung jawab antara pemilik dan
karyawan pabrik yang terlibat.
Setelah melakukan komunikasi dan membangun komitmen, hal yang dilakukan selanjutnya
adalah memberikan peran dan membentuk tim implementasi MFCA. Dalam pembentukan tim ini,
pemilik pabrik yaitu bapak Sungkono akan berperan sebagai pemimpin tim implementasi MFCA.
Pemilihan pemilik pabrik sebagai pemimpin tim bertujuan agar anggota tim merasa termotivasi
karena tidak hanya karyawan yang terlibat namun pemilik pun ikut andil dalam implementasi MFCA
ini sehingga dalam menjalankan perannya para anggota akan lebih maksimal. Tugas dan tanggung
jawab dari pemimpin tim implementasi MFCA adalah memberikan informasi dan pelatihan dasar
kepada karyawan pabrik serta membimbing dalam pelaksanaan MFCA. Langkah berikutnya adalah
menentukan peran bagi setiap karyawan pabrik untuk berperan sebagai koordinator yang terlibat
sesuai dengan keahlian yang diperlukan. Namun pabrik tahu Sungkono hanya memiliki karyawan
sebanyak 3 orang, sehingga dalam implementasi ini memiliki keterbatasan sumber daya manusia yang
diperlukan dalam mendukung keberhasilan MFCA. Pada Tabel 4.3 menjelaskan peran serta tanggung
jawab dari koordinator yang dibutuhkan oleh pabrik tahu Sungkono untuk keberhasilan pelaksanaan
MFCA.
Langkah 2: Scope and Boundary of the Process and Establishing a Material Flow Model
Langkah kedua dalam implementasi MFCA adalah menentukan ruang lingkup dan batasan
dari proses produksi serta membangun model arus material. Ruang lingkup dan batasan MFCA perlu
ditentukan untuk memahami skala aktivitas pada tahap perancangan MFCA. Untuk tahap
perancangan MFCA kali ini, pabrik tahu bapak Sungkono di Sentra Produksi Tempe Tahu
PRIMKOPTI Jakarta Selatan menentukan ruang lingkup pembahasan pada produk tahu goreng yang
dihasilkan serta batasan prosesnya hanya pada proses produksi tahu goreng itu sendiri.
Setelah menentukan ruang lingkup dan batasan proses produksi dalam tahap perancangan
implementasi MFCA, tahap berikutnya adalah membangun atau membuat model arus material. Dalam
pembuatan model arus material, pusat kuantitas harus lebih dulu ditentukan.
Pusat kuantitas merupakan bagian dari proses ketika input dan output diukur secara fisik.
Pusat kuantitas mewakili bagian dari proses ketika bahan baku diubah. Maka dari itu terdapat delapan
pusat kuantitas yang terjadi pada proses produksi tahu ini, yaitu perendaman, pencucian,
penggilingan, perebusan, penyaringan, pengentalan, pencetakan dan pemotongan, serta penggorengan.
Pada setiap pusat kuantitas tersebut, terjadi pemrosesan bahan baku menjadi produk atau limbah serta
terdapat input dan output yang dapat diukur. Berikut merupakan gambaran keseluruhan tahapan
proses produksi tahu beserta model arus materialnya yang akan digambarkan pada Gambar 4.1.
a) Proses perendaman kedelai. Pada proses ini, kedelai yang dibeli dari pihak supplier yaitu
PRIMKOPTI Jakarta Selatan direndam dengan air di dalam wadah besar khusus perendaman
kedelai yang terbuat dari besi dan plastik. Hal ini bertujuan untuk membuat kedelai tersebut
menjadi lunak dan mempermudah proses penggilingan kedelai sehingga menghasilkan bubur
kedelai yang kental. Selain itu, tahap perendaman ini juga dapat membantu mengurangi jumlah
zat antigizi (Antitripsin) yang ada pada kedelai dimana zat antigizi tersebut dapat mengurangi
daya cerna protein pada produk tahu sehingga perlu diturunkan kadarnya. Proses ini
membutuhkan peralatan dan perlengkapan seperti wadah besi atau plastik berukuran besar dan
selang air. Dalam proses ini, terdapat input bahan baku yaitu kedelai sejumlah 2 kwintal atau
setara 200 Kg ditambahkan input energi berupa air sejumlah 120 liter untuk merendam kedelai
yang dimasukkan ke dalam wadah. Selain itu terdapat input sistem yaitu 1 tenaga kerja yang
menjalankan proses ini selama 120 menit. Output positif dari proses perendaman kedelai ini
menghasilkan kedelai yang sudah terendam sejumlah 174,5 Kg dan energi air yang terserap ke
dalam kedelai sejumlah 105,5 liter serta output negatif berupa kedelai yang mengapung di dalam
wadah sejumlah 25,5 Kg dan sisa air perendaman sejumlah 14,5 liter.
b) Proses pencucian kedelai. Pada proses ini kedelai yang sudah direndam akan dikeluarkan dan
dipindahkan ke wadah plastik berukuran besar kemudian dicuci dengan air mengalir. Hal ini
bertujuan untuk membersihkan biji-biji kedelai dari kotoran-kotoran agar tidak mengganggu
proses penggilingan dan tercampur ke dalam adonan tahu. Setelah selesai dicuci, kedelai
ditiriskan dengan menggunakan saringan bambu berukuran besar. Proses ini membutuhkan
peralatan dan perlengkapan seperti wadah plastik berukuran besar, selang air, dan saringan
bambu. Dalam proses ini, terdapat input bahan baku yang merupakan seluruh output positif yang
dihasilkan dari proses perendaman dan input energi tambahan berupa air sejumlah 270 liter serta
input sistem sebanyak 2 tenaga kerja yang bekerja dalam proses ini selama 35 menit. Proses ini
menghasilkan output positif adalah kedelai yang sudah dicuci sejumlah 139,5 Kg dengan output
negatif kedelai yang terbuang karena kualitas kurang baik sejumlah 35 Kg, air yang tumpah
sejumlah 55 liter, dan sisa air sejumlah 215 liter.
c) Proses penggilingan kedelai. Pada proses ini, kedelai mulai diolah menggunakan mesin
penggiling biji kedelai dengan tenaga penggerak mesin dari motor listrik. Tahap ini bertujuan
untuk memperoleh bubur kedelai yang kemudian akan diproses pada tahap selanjutnya. Saat
proses penggilingan sebaiknya dialiri air untuk mendapatkan kekentalan bubur kedelai yang
diinginkan. Proses ini membutuhkan peralatan dan perlengkapan seperti mesin penggiling
kedelai, selang air dan wadah/ember untuk menampung hasil penggilingan. Dalam proses ini,
input bahan baku yaitu kedelai dari hasil perendaman dan pencucian ditambahkan dengan input
bahan baku yaitu air sejumlah 35 liter, input sistem sebanyak 1 tenaga kerja selama 75 menit dan
input energi mesin penggiling kedelai dengan penggunaan daya listrik 1100 watt. Pada tahap ini,
output positif yang dihasilkan adalah bubur kedelai sejumlah 170,5 Kg dan output negatifnya
adalah bubur kedelai yang tersisa di mesin penggiling sejumlah 4 Kg.
d) Proses perebusan bubur kedelai. Setelah diperoleh hasil bubur kedelai maka proses selanjutnya
adalah perebusan bubur kedelai tersebut yang dilakukan di dalam wadah besar yang terbuat dari
besi dengan saluran pipa pemanas uap yang terdapat di bagian atas wadah menjulur hingga ke
dalam wadah. Uap pemanas tersebut berasal dari ketel uap (boiler) yang ada pada bagian
belakang lokasi proses pembuatan tahu dan dialirkan melalui saluran pipa besi. Bahan bakar
yang digunakan sebagai sumber panas ketel uap adalah bahan bakar gas. Proses ini bertujuan
untuk mendenaturasi protein dari kedelai sehingga protein mudah terkoagulasi saat penambahan
air asam. Titik akhir proses perebusan bubur kedelai ini ditandai dengan timbulnya gelembung-
gelembung panas di dalam wadah. Proses ini membutuhkan peralatan dan perlengkapan seperti
wadah besi berukuran besar, ketel uap (boiler) dan pipa saluran uap pemanas. Pada tahap ini,
output positif yang dihasilkan dari proses penggilingan kedelai mulai diolah dalam proses
perebusan dengan suhu uap panas yang cukup tinggi yang berasal dari boiler atau ketel uap.
Tambahan input energi berupa air sejumlah 75 liter serta input energi mesin boiler dengan
penggunaan bahan bakar gas sejumlah 50 Kg dan input sistem yaitu 1 tenaga kerja yang
menjalankan proses ini selama 60 menit. Output positif dari tahap ini adalah bubur kedelai yang
sudah direbus sejumlah 167,5 Kg dan air yang terserap dalam bubur kedelai 25 liter dengan
output negatif yang dihasilkan yaitu bubur kedelai yang menempel di wadah dan saluran uap dan
keluar dari wadah sejumlah 3 Kg serta biang tahu hasil perebusan sejumlah 50 liter.
e) Proses penyaringan sari kedelai. Tahapan selanjutnya setelah bubur kedelai direbus, maka
dilakukan proses penyaringan dengan menggunakan kain saring. Penyaringan dilakukan secara
terus-menerus dengan air yang ditambahkan di bagian tepi saringan agar tidak ada padatan yang
tersisa di saringan. Penambahan air diakhiri ketika sari kedelai (filtrate) yang dihasilkan sudah
mencukupi kemudian saringan yang berisi ampas diperas hingga benar-benar kering. Proses ini
bertujuan untuk memisahkan antara ampas atau limbah padat dari bubur kedelai dengan sari
(filtrate) kedelai. Proses ini membutuhkan peralatan dan perlengkapan seperti wadah besi
berukuran besar, kain saring, wadah/ember dan gayung. Dalam proses ini, terdapat input bahan
baku berupa hasil output positif dari proses perebusan bubur kedelai dan input sistem yaitu 2
tenaga kerja yang menjalankan proses ini selama 45 menit. Pada proses penyaringan ini
menghasilkan output positif yaitu sari kedelai sejumlah 117,5 Kg dan output negatif berupa
ampas tahu sejumlah 50 Kg.
f) Proses pengentalan sari kedelai. Pada proses ini, sari putih kedelai (filtrate) seperti susu yang
dihasilkan dari proses penyaringan akan ditambahkan bahan pembantu yaitu air asam serta bahan
pengeras tahu (cioko) dalam jumlah tertentu. Fungsi penambahan ini untuk mengendapkan dan
menggumpalkan protein tahu sehingga terjadi pemisahan antara whey (lapisan atas) dengan
endapan tahu (lapisan bawah). Endapan tahu tersebut merupakan bahan utama yang akan dicetak
menjadi tahu. Proses ini membutuhkan peralatan dan perlengkapan seperti wadah besi berukuran
besar, wadah/ember dan gayung. Dalam proses ini, terdapat input bahan baku yaitu output positif
yang dihasilkan dari proses penyaringan diberi input bahan baku tambahan yaitu air asam
sejumlah 40 liter dan pengeras tahu (cioko) sejumlah 160 gram serta input sistem sebanyak 1
tenaga kerja selama 90 menit. Output positif yang dihasilkan pada tahap ini adalah sari kedelai
sejumlah 155,7 Kg. Sedangkan output negatif bahan baku yang dihasilkan dalam tahap ini adalah
sari kedelai yang menempel di wadah pengentalan dan alat pengaduk serta yang terjatuh keluar
wadah sejumlah 1,96 Kg.
g) Proses pencetakan dan pemotongan tahu. Proses ini merupakan tahap akhir dalam pembuatan
tahu. Setelah didapatkan endapan tahu dari proses pengentalan sari kedelai, maka endapan tahu
mulai dicetak sekaligus dipotong menggunakan alat khusus cetakan tahu yang terbuat dari kayu
dengan wadah terbuat dari kayu juga. Proses ini membutuhkan peralatan dan perlengkapan
seperti alat pencetak tahu serta wadah pencetakan dan pemotongan yang terbuat dari kayu.
Dalam proses ini, terdapat input bahan baku yaitu output positif proses pengentalan dengan
tambahan input sistem yaitu 2 tenaga kerja yang menjalankan proses ini selama 180 menit. Pada
proses ini, output positif yang dihasilkan yaitu tahu sejumlah 149,62 Kg dengan output negatif
sari kedelai yang keluar saat pencetakan dan tahu yang tidak tercetak sempurna sejumlah 6,08
Kg.
h) Proses penggorengan tahu. Pada proses ini, tahu yang sudah dicetak dan dipotong akan digoreng
di wajan besar dengan minyak sehingga menghasilkan tahu dengan kulit berwarna cokelat.
Proses ini membutuhkan peralatan dan perlengkapan seperti wajan dan sodet penggorengan,
tabung dan saluran gas, kompor, saringan, wadah untuk hasil penggorengan tahu. Dalam proses
ini, terdapat input bahan baku berupa tahu yang sudah dicetak dan dipotong ditambahkan input
bahan baku tambahan minyak goreng sejumlah 45 liter, input energi kompor penggorengan
dengan penggunaan bahan bakar gas sebanyak 24 Kg, dan input sistem yaitu 1 tenaga kerja
selama 55 menit. Output positif yang dihasilkan adalah tahu goreng (tahu dengan kulit berwarna
cokelat) sejumlah 174,62 Kg dan output negatif berupa serpihan tahu yang tergoreng tidak
sempurna sejumlah 2 Kg dan sisa minyak goreng sejumlah 18 liter.
Pada setiap pusat kuantitas dalam proses produksi tahu ternyata memiliki output positif yang
berupa produk atau bagian dari produk dan output negatif berupa limbah atau kerugian material yang
dihasilkan dari penggunaan bahan baku, energi dan sistem. Namun, karena perhitungan fisik output
positif dan output negatif dari beberapa penggunaan energi dan sistem mengalami beberapa kesulitan
dalam menentukannya secara jelas. Maka dari itu, penentuannya akan proporsional sesuai dengan
persentase output positif dan output negatif bahan baku produk yang akan dijelaskan pada penentuan
alokasi biaya.
Langkah 3: Cost Allocation
Langkah ketiga dalam implementasi MFCA adalah menentukan alokasi biaya untuk
mendapatkan perhitungan secara moneter mengenai arua material yang menjadi produk dan kerugian
material. Dalam konsep MFCA, proses alokasi biaya diklasifikasikan menjadi empat elemen, yaitu
biaya bahan baku, biaya energi, biaya sistem, dan biaya pengolahan limbah/disposal.
1. Proses alokasi biaya bahan baku
Bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan produk tahu goreng adalah kedelai.
Sedangkan bahan baku tambahan dari produk tahu goreng ini adalah air, air asam, bahan pengeras
tahu (cioko) serta minyak goreng. Dalam perhitungan alokasi biaya bahan baku, pabrik tahu
mengukur alokasi biaya dengan mengalikan jumlah fisik dari input material yang digunakan dengan
biaya material per unit selama periode waktu yang dipilih yaitu bulan November 2016.
Bahan baku yang diproses dalam tahapan produksi akan menghasilkan output positif yang
berupa produk akhir atau bagian dari produk. Dari bahan baku yang diproses tersebut terdapat juga
limbah produksi yang dihasilkan pada setiap tahapan produksi yang dianggap sebagai output
negatif atau kerugian material. Perhitungan alokasi biaya untuk output positif dan output negatif
yang dihasilkan adalah dengan cara menghitung alokasi berdasarkan proporsional penggunaan
bahan baku terhadap keseluruhan input bahan baku yang digunakan. Pada Tabel 4.4 menyajikan
ringkasan perhitungan alokasi biaya input, output positif, dan output negatif dari penggunaan bahan
baku dalam setiap tahapan produksi.
2. Proses alokasi biaya energi
Dalam proses produksi tahu juga terdapat pemakaian energi dalam setiap tahapan produksi,
seperti kebutuhan energi untuk menggunakan mesin produksi, sehingga alokasi biaya energi juga
harus dilakukan guna mengetahui penggunaan dan kerugian energi yang dihasilkan.
Perhitungan alokasi untuk input energi dilakukan dengan cara menghitung kebutuhan energi dan
kebutuhan waktu yang digunakan pada setiap tahapan produksi dikalikan biaya setiap energi.
Berbeda dengan proses alokasi biaya output positif dan output negatif bahan baku, proses
alokasi biaya energi untuk output positif dan output negatif secara proporsional ditentukan
mengikuti persentase output positif dan output negatif pada penggunaan bahan baku. Hal ini terjadi
karena sulit menentukan secara pasti biaya yang teralokasikan pada output positif dan output
negatif dalam penggunaan energi. Perhitungan alokasi biaya untuk output positif dan output negatif
dari energi yang dihasilkan adalah dengan cara menghitung alokasi berdasarkan persentase
penggunaan bahan baku terhadap keseluruhan input bahan baku yang digunakan lalu dikalikan
dengan alokasi biaya input energi. Pada Tabel 4.5 akan menjelaskan ringkasan perhitungan alokasi
biaya input, output positif, dan output negatif dari penggunaan energi dalam setiap tahapan
produksi.
3. Proses alokasi biaya sistem
Setiap tahapan produksi tidak akan berjalan apabila tidak terdapat sistem yang menjalankan
proses produksi tersebut, seperti operator atau tenaga kerja. Karena itu, alokasi biaya sistem dalam
proses produksi juga perlu dilakukan guna mengetahui penggunaan dan kerugian yang dihasilkan
dari biaya sistem. Perhitungan alokasi untuk input sistem dilakukan dengan cara menghitung
kebutuhan kebutuhan waktu dan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan pada setiap tahapan produksi
dikalikan upah tenaga kerja sesuai dengan waktu jam kerjanya, yaitu dalam satu hari mencapai
delapan jam kerja.
Perhitungan alokasi biaya output positif dan output negatif pada sistem secara proporsional
ditentukan mengikuti persentase output positif dan output negatif pada penggunaan bahan baku
terhadap keseluruhan input bahan baku yang digunakan lalu dikalikan dengan alokasi biaya input
sistem, yang sama dengan perhitungan alokasi biaya output positif dan negatif pada energi. Pada
Tabel 4.6 akan menjelaskan ringkasan perhitungan alokasi biaya input, output positif, dan output
negatif dari penggunaan sistem dalam setiap tahapan produksi.
4. Proses alokasi biaya pengolahan limbah/disposal
Berdasarkan hasil wawancara dengan pabrik tahu Sungkono, diketahui pengolahan limbah
yang dikeluarkan pabrik sebesar Rp500.000 per hari untuk keseluruhan produksi tahu. Pengolahan
limbah yang dimaksud seperti tempat pembuangan dan penyimpanan limbah padat tahu yakni
kedelai yang rusak dan ampas tahu. Biaya pengolahan limbah ini keseluruhannya dialokasikan
100% sebagai output negatif.
Langkah 4: Interpreting and Communicating MFCA Results
Setelah menentukan alokasi seluruh biaya yang terkait dengan proses produksi tahu, langkah
keempat adalah menafsirkan dan menginter-pretasikan hasil MFCA dengan menyiapkan matriks
aliran biaya. Semua biaya diklasifikasikan sebagai bagian dari produk atau kerugian material. Adapun
tujuan utama dari matriks aliran biaya ini adalah memberikan hasil analisis MFCA dalam format tabel
yang mudah untuk dipahami dan dimengerti seluruh pihak dan organisasi. Pada Tabel 4.7 menyajikan
matriks aliran biaya yang terjadi pada proses produksi pabrik tahu Sungkono.
Berdasarkan analisis yang telah dibuat, persentase output positif dan output negatif yang
terjadi dalam penggunaan bahan baku selama proses produksi tahu adalah 89,09% dan 10,91%,
sedangkan persentase output positif dan output negatif yang terjadi dalam penggunaan energi selama
proses produksi adalah 86,48% dan 13,52%. Lalu persentase output positif dan output negatif yang
terjadi dalam penggunaan sistem selama proses produksi adalah 91,33% dan 8,67%, sedangkan dalam
pengolahan limbah dialokasikan seluruhnya atau 100% ke dalam output negatif sehingga tidak
terdapat output positif yang dihasilkan dari pengolahan limbah ini.
Pada matriks aliran biaya, terlihat kerugian material yang masih dihasilkan pabrik tahu
Sungkono terkait dengan proses produksi tahu sebesar 15,01% atau senilai Rp1.679.980. Kerugian
material tersebut menunjukkan bahwa dalam setiap tahapan produksi yang dilakukan pabrik masih
kurang efisien dan masih perlu diadakannya perbaikan berkelanjutan sebagai upaya optimalisasi
proses serta efisiensi biaya produksi.
Langkah-langkah yang dapat diambil untuk mencapai perbaikan berkelanjutan ini mencakup
subtitusi penggunaan bahan baku dan energi, modifikasi atau rekayasa nilai proses, serta kegiatan
penelitian dan pengembangan yang berkaitan dengan efisiensi bahan baku dan energi.
Langkah 5: Improving Production Practices and Reducing Material Loss Through MFCA Results
Pada langkah kelima ini, peneliti melakukan komunikasi dan koordinasi dengan pihak pabrik
tahu terutama pemilik pabrik yaitu bapak Sungkono untuk memberikan beberapa alternatif sebagai
upaya optimalisasi proses produksi tahu dalam hal biaya bahan baku dan energi serta biaya produksi.
Berdasarkan wawancara dengan pihak pabrik, pabrik tahu Sungkono sudah melakukan
pengolahan limbahnya seperti menjual limbah padat tahu yaitu ampas tahu ke pihak ketiga yang
digunakan sebagai pakan ternak dan menyediakan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) untuk
mengolah limbah cair tahu agar air yang dibuang oleh pabrik tidak tercemar sehingga mampu
mengurangi biaya output negatif pabrik tersebut. Namun pengolahan tersebut belum dilakukan secara
maksimal karena masih memiliki output negatif lainnya yang belum dimanfaatkan dan dioptimalkan
agar biaya produksi pabrik berkurang. Melalui penelitian ini, peneliti mencoba memberikan beberapa
rekomendasi dan solusi yang dapat diterapkan oleh pabrik tahu Sungkono sehingga biaya output
negatif dapat diminimalisir, antara lain:
a. Waste Water Treatment (Penyaringan Air Limbah Tahu), dimana hal ini bertujuan untuk
mengoptimalisasi air limbah tahu yang berasal dari proses perendaman dan pencucian kedelai
sehingga mengurangi biaya produksi terkait energi air yang digunakan.
b. Pembuatan Biogas dari Limbah Cair Tahu, dimana hal ini bertujuan untuk mengolah limbah
cair tahu yang memiliki banyak kandungan senyawa berbahaya menjadi energi alternatif yang
terbarukan agar bermanfaat bagi pabrik dan masyarakat sebagai bahan bakar pengganti untuk
keperluan memasak atau lampu penerangan.
c. Pembuatan Nata de Soya dari Limbah Cair Tahu, dimana hal ini bertujuan untuk mengolah
kembali limbah cair tahu melalui proses senyawa kimia menjadi produk makanan yaitu Nata
de Soya sehingga mampu meningkatkan pendapatan perusahaan dibandingkan langsung dijual
tanpa adanya pengolahan kembali.
d. Pembuatan Tempe Gembus/Bongkrek dari Ampas Tahu, dimana hal ini bertujuan untuk
mengolah kembali limbah padat tahu yaitu ampas tahu melalui proses fermentasi menjadi
produk makanan yaitu Tempe Gembus/Bongkrek sehingga mampu meningkatkan pendapatan
perusahaan dibandingkan langsung dijual tanpa adanya pengolahan kembali.
e. Cleanet Production (Produksi Bersih), dimana hal ini merupakan strategi preventif untuk
pengelolaan lingkungan sebagai tindakan efisiensi pemakaian bahan baku, air dan energi, dan
pencegahan pencemaran, dengan sasaran peningkatan produktivitas perusahaan dan
meminimalisasi timbulnya limbah.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, diperoleh informasi bahwa biaya bahan baku yang
menjadi output positif (produk akhir) sebesar 89,09% dan output negatif (limbah/kerugain material)
dari biaya bahan baku sebesar 10,91%. Sedangkan biaya energi yang digunakan dalm proses produksi
tahu yang menjadi output positif (produk akhir) sebesar 86,48% dan output negatif (limbah/kerugain
material) dari biaya energi sebesar 13,52%. Lalu biaya sistem berupa tenaga kerja yang menjalankan
setiap proses produksi yang menjadi output positif (produk akhir) sebesar 91,33% dan output negatif
(limbah/kerugain material) dari biaya sistem sebesar 8,67%. Selain itu, biaya pengolahan
limbah/disposal yang dikeluarkan pabrik tahu sepenuhnya sebesar 100% menjadi output negatif
(limbah.kerugian material). Dari keseluruhan total biaya yang dikeluarkan perusahaan dalam
memproduksi tahu yaitu Rp11.192.882, yang merupakan biaya produksi yang sebenarnya adalah
sebesar Rp9.512.902 atau 84,99% sedangkan perusahaan mengalami kerugian material sebesar
Rp1.679.980 atau 15,01%. Dengan demikian, metode Material Flow Cost Accounting mampu
memberikan manfaat yang besar bagi pabrik tahu Sungkono dalam meningkatkan transparansi serta
praktik produksi dalam aliran material berupa bahan baku, energi, dan sistem yang mempengaruhi
proses produksi baik secara fisik maupun moneter dan dikonversikan ke dalam bagian produk atau
kerugian material untuk dilakukan perbaikan berkelanjutan agar dapat mengurangi biaya produksi dan
meminimalisir dampak negatif bagi lingkungan
REFERENSI:
Chairunnisa, A. Perancangan Material Flow Cost Accounting (MFCA) dalam Upaya Efisiensi
Penggunaan Bahan Baku dan Energi, bachelor degree, Universitas Trilogi, Jakarta, 2016.
Furukawa, Y. Material Flow Cost Accounting. Japan. 2008.
Kementrian Koperasi dan UKM, 2013. Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM)
dan Usaha Besar (UB), dilihat 26 Januari 2017, <http://www.depkop.go.id/berita-
informasi/data-umkm/>.
Marota, et al.,Perancangan Penerapan Material Flow Cost Accounting untuk Peningkatan
Keberlanjutan Perusahaan PT. XYZ, Jurnal Manajemen & Agribisnis, 2015.
Ministry of Economy, Trade and Industry (METI), Material Flow Cost Accounting MFCA Case
Examples, 2010.
Schmidt and Nakajima, Material Flow Cost Accounting as an Approach to Improve Resource
Efficiency in Manufacturing Companies, Resources Journal, 2013.
Schmidt,A., Hache, B., and Herold, F., Material Flow Cost Accounting with Umberto, Jurnal IT
Support for Material Flow Cost Accounting, 2013..
Soewadji, J. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta, 2012.
Tachikawa, H., Manual on Material Flow Cost Accounting: ISO 14051. Asian Productivity
Organization (APO). 2014.
LAMPIRAN
Tabel 4.4 Alokasi Biaya, Output Positif, dan Output Negatif Bahan Baku
Jumlah Harga Satuan Alokasi Biaya Jumlah Jumlah Biaya Output
Input Output Positif Persentase Biaya (Rp) Output Negatif Persentase
(Kg) (Rp) (Rp) (Kg) (Kg) Negatif (Rp)
1. Tahu
22,39 250 5.598 22,09 5.523 Tahu yang Kurang 0,3 75
37,86 12.500 473.250 Tahu Goreng 37,36 89,72% 467.000 Sempurna dan Sisa 0,5 10,28% 6.250
0,14 60.000 8.400 0,13 7.800 Minyak Goreng 0,01 600
2. Minyak Goreng 45 12.000 540.000 27 324.000 18 216.000
Jumlah 194,62 1.696.473 174,62 1.464.623 20 231.850
Total 10.027.340 89% 8.933.613 11% 1.093.728
Sumber: Wawancara Pabrik Tahu Sungk ono PRIMKOPTI Jak -Sel, November 2016 (diolah)
Tabel 4.5 Alokasi Biaya, Output Positif, dan Output Negatif Energi
Harga
Energi yang Kebutuhan Kebutuhan Alokasi Persentase Biaya Output Persentase Biaya Output
Tahapan Produksi Satuan/jam
Dipakai Energi Waktu (menit) Biaya (Rp) Output Positif Positif (Rp) Output Negatif Negatif (Rp)
(Rp)
Perendaman Kedelai Air 120 liter 120 250 60.000 87,92% 52.750 12,08% 7.250
Pencucian Kedelai Air 270 liter 35 250 39.375 0% - 100% 39.375
Penggilingan Kedelai Listrik 1,1 kWh 75 2.000 2.750 97,71% 2.687 2,29% 63
Gas 50 Kg 6.500 325.000 98,24% 319.282 1,76% 5.718
Perebusan Bubur Kedelai 60
Air 75 liter 250 18.750 33,33% 6.250 66,67% 12.500
Penyaringan Sari Kedelai - - - - - - - - -
Pengentalan Sari Kedelai - - - - - - - - -
Pencetakan dan Pemotongan
- - - - - - - - -
Tahu
Penggorengan Tahu Gas 24 Kg 55 6.500 143.000 89,72% 128.305 10,28% 14.695
Total 588.875 86,48% 509.273 13,52% 79.602
Sumber: Wawancara Pabrik Tahu Sungkono PRIMKOPTI Jak-Sel, November 2016 (diolah)
Tabel 4.6 Alokasi Biaya, Output Positif, dan Output Negatif Sistem
Jumlah Persentase Persentase
Kebutuhan Alokasi Biaya Biaya Output Biaya Output
Tahapan Produksi Tenaga Upah/Hari (Rp) Output Positif Output Negatif
Waktu (menit) (Rp) Positif (Rp) Negatif (Rp)
Kerja Bahan Baku Bahan Baku
Pencetakan dan
2 180 40.000 30.000 96,10% 28.829 3,90% 1.171
Pemotongan Tahu