Você está na página 1de 33

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Data/Fakta


4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Umum daerah Ulin Banjarmasin adalah rumah sakit
umum dengan klasifikasi Kelas A (SK Menkes No.
004/Menkes/SK/I/2013 tanggal 7 Januari 2013 tentang Peningkatan
Kelas RSUD Ulin Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan. RSUD
Ulin Banjarmasin beralamat di Jalan Jenderal A. Yani Km. 1 No. 43
Banjarmasin. RSUD Ulin berdiri di atas lahan seluas 63.920 m2 dan
luas bangunan 55.000 m2.

RSUD Ulin Banjarmasin merupakan rumah sakit pusat rujukan yang


ada di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan
Timur. Saat ini sebagai Lembaga Teknis Daerah Provinsi Kalimantan
Selatan dengan klasifikasi Kelas A telah ditetapkan sebagai PPK
Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) bertahap melalui Keputusan
Gubernur Kalimantan Selatan No.188.44/0456/Kum/2007 tanggal 27
Desember Tahun 2007. PPK-BLUD Penuh melalui Keputusan
Gubernur Kalimantan Selatan No.188.44/0464/Kum/2009. Sebagai
RS-BLUD, RSUD Ulin Banjarmasin mempunyai tugas utama
melaksanakan ”Pelayanan Medik, Pendidikan Kesehatan, Penelitian
dan Pengabdian Masyarakat”. Adapun tujuannya adalah
terselenggaranya pelayanan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP)
secara efektif dan efisien melalui pelayanan kuratif dan rehabilitatif
yang dilaksanakan secara terpadu dengan pelayanan preventif dan
promotif serta pelayanan rujukan, pendidikan, pelatihan dan
penelitian-pengembangan.

4.1.2 Visi dan Misi RSUD Ulin


Visi RSUD Ulin Banjarmasin yaitu ”Terwujudnya Pelayanan Rumah
Sakit yang Profesional dan Mampu Bersaing di Masyarakat Ekonomi
ASEAN” mengutamakan mutu pelayanan, pendidikan dan penelitian
serta keselamatan pasien. Dengan Misi sebagai berikut:
4.1.2.1 Menyelenggarakan pelayanan terakreditasi paripurna yang
berorientasi pada kebutuhan dan keselamatan pasien, bermutu
serta terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
4.1.2.2 Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, penelitian dan
pengembangan sub spesialalis sesuai kebutuhan pelayanan
kesehatan, kemajuan ilmu pengetahuan dan penapisan
teknologi kedokteran.
4.1.2.3 Menyelenggarakan manajemen RS dengan kaidah bisnis
yang sehat, terbuka, efisien, efektif, akuntabel sesuai
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
4.1.2.4 Menyiapkan SDM, sarana prasarana dan peralatannya untuk
mampu bersaing dalam era pasar bebas ASEAN.
4.1.2.5 Mengelola dan mengembangkan SDM sesuai dengan
kebutuhan pelayanan dan kemampuan Rumah Sakit.

4.1.3 Tugas dan fungsi RSUD Ulin Banjarmasin


Selain mengemban fungsi pelayanan juga melaksanakan fungsi
pendidikan dan penelitian. RSUD Ulin Banjarmasin mempunyai tugas
utama melaksanakan ”Pelayanan Medik, Pendidikan Kesehatan,
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat”. Adapun tujuannya adalah
terselenggaranya pelayanan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP)
secara efektif dan efisien melalui pelayanan kuratif dan rehabilitatif
yang dilaksanakan secara terpadu dengan pelayanan preventif dan
promotif serta pelayanan rujukan, pendidikan, pelatihan dan
penelitian-pengembangan. secara tugas simultan; yaitu melaksanakan
upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan
mengutamakan upaya penyembuhan dan pemulihan yang
dilaksanakan dengan serasi dan terpadu dengan upaya meningkatkan
derajat kesehatan dan pencegahan penyakit serta menyelenggarakan
upaya pengobatan penyakit serta menyelenggarakan rujukan, sesuai
dengan kebijakan kesehatan daerah.

4.1.4 Instalasi Gawat Darurat RSUD Ulin Banjarmasin


Instalasi Gawat Darurat RSUD Ulin Banjarmasin adalah salah satu
bagian dari unit RSUD Ulin Banjarmasin. Instalasi Gawat Darurat
(IGD) adalah area di dalam sebuah rumah sakit yang dirancang dan
digunakan untuk memberikan standar perawatan gawat darurat untuk
pasien yang membutuhkan perawatan akut atau mendesak
(Queensland Health ED, 2012). Unit ini memiliki tujuan penting yang
utama yaitu dan memiliki fungsi seperti menerima, melakukan triase,
menstabilisasi, dan memberikan pelayanan kesehatan akut untuk
pasien, termasuk pasien yang membutuhkan resusitasi dan pasien
dengan tingkat kegawatan tertentu (Australian College for Emergency
Medicine, 2014) .

Instalasi gawat darurat ini dapat menjadi pengaruh yang besar bagi
masyarakat tentang bagaimana gambaran rumah sakit itu sebenarnya.
Serta Instalasi gawat darurat merupakan ujung tombak pelayanan yang
menentukan kualitas mutu pelayanan rumah sakit di mata masyarakat.
Tabel 4.1
Ketenagaan perawat pelaksana di Instalasi Gawat
Darurat RSUD Ulin Banjarmasin
No Status Frekuensi Persentase (%)
1 PNS 21 60,0%
2 Non PNS 14 40,0%
Total 35 100%
Sumber : Data IGD RSUD Ulin Banjarmasin 2017
.
4.1.5 Karakteristik Responden
Jumlah perawat pelaksana laki-laki dan perempuan yang berusia
dewasa awal hingga dewasa menengah yang menjadi responden dalam
penelitian ini adalah 35 orang, dengan karakteristik sebagai berikut :
4.1.5.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

Tabel 4.2
Usia Perawat Pelaksana di Instalasi Gawat Darurat
RSUD Ulin Banjarmasin
No Rentang usia Frekuensi Persen (%)
1 23-27 tahun 11 31,4 %
2 28-32 tahun 7 20 %
3 33-37 tahun 17 48,6 %
Total 35 100 %
Sumber : Data IGD RSUD Ulin Banjarmasin 2017

Pada tabel 4.1 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar


responden berumur antara 33-37 tahun dengan jumlah 17
orang (48,6 %). Dan paling sedikit berumur 28-32 tahun
yaitu 7 orang (20 %).

4.1.5.2 Karakteristik Responden Menurut Jenis kelamin

Tabel 4.3
Jenis kelamin Perawat Pelaksana di Instalasi Gawat
Darurat RSUD Ulin Banjarmasin
No Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)
1 laki-laki 16 45,7%
2 Perempuan 19 54,3%
Total 35 100%
Sumber : Data IGD RSUD Ulin Banjarmasin 2017.

Pada tabel 4.2 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar


responden adalah perempuan yaitu sebesar 54,3% dan untuk
laki-laki ada 16 orang yaitu 45,7%.

4.1.5.3 Karakteristik Responden Menurut Pendidikan


Tingkat pendidikan perawat pelaksana yang ada di Instalasi
Gawat Darurat RSUD Ulin Banjarmasin terdiri dari S1
Keperawatan Ners, D.IV Keperawatan Gadar, dan D.III
Keperawatan.
Tabel 4.4
Tingkat pendidikan Perawat Pelaksana di Instalasi
Gawat Darurat RSUD Ulin Banjarmasin
No Pendidikan Frekuensi Persen (%)

1 S1 Keperawatan Ners 10 28,6 %

2 D.IV Kep.Gadar 3 8,6 %

3 D.III keperawatan 22 62,9 %

Total 35 100 %

Sumber : Data IGD RSUD Ulin Banjarmasin 2017.

Pada tabel 4.4 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar


responden berpendidikan D3 Keperawatan yaitu sebesar
62,9%. Untuk pendidikan S1 keperawatan Ners berjumlah 10
orang (28,6%), pendidikan D4 Keperawatan Gadar
berjumlah 3 orang (8,6%).

4.1.5.4 Karakteristik responden menurut masa kerja


Masa kerja perawat dihitung dari TMT (Terhitung masa
tugas)
Tabel 4.5
Masa Kerja Perawat Pelaksana di Instalasi Gawat
Darurat RSUD Ulin Banjarmasin
No Masa Kerja Frekuensi Persen (%)

1 1-5 Tahun 24 68,6 %

2 6-10 Tahun 3 8,6 %

3 11-15 Tahun 8 22,9 %

Total 35 100 %

Sumber : Data IGD RSUD Ulin Banjarmasin 2017


Pada tabel 4.5 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar
perawat memiliki masa kerja 1-5 tahun yaitu sebanyak 24
orang (68,6%).

4.2 Analisis Data


4.2.1 Gambaran stres kerja perawat
Stres kerja perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Ulin
Banjarmasin diukur berdasarkan 3 indikator, yaitu terdiri dari stres
psikologis, fisiologis, dan perilaku. Dari 3 indikator tersebut, dibuat
15 item pertanyaan. Berdasarkan hasil dari analisis kuosioner tersebut
diperoleh hasil stres kerja perawat berdasarkan indikator pada tabel
berikut :
Tabel 4.6
Stres kerja perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Ulin
Banjarmasin berdasarkan dari indikator Psikologis
No Kategori Frekuensi Persen (%)

1 Ringan 12 34,3 %

2 Sedang 20 57,1 %

3 Berat 3 8,6 %

Total 35 100,0 %

Pengukuruan untuk indikator stres psikologis di ukur dengan


menggunakan 5 parameter (pertanyaan) stres psikologis, yaitu tekanan
(depresi), rasa amarah, penarikan diri, kebosanan dan kurang percaya
diri dari. Hasil analisis Pada tabel 4.6 di atas menunjukkan bahwa
stres psikologis perawat pelaksana Instalasi Gawat darurat RSUD Ulin
Banjarmasin sebagian besar pada kategori sedang yaitu 20 orang
(57,1%) Untuk kategori berat ada 3 orang (8,6%) dan untuk kategori
ringan ada 12 orang (34,3%).
Tabel 4.7
Stres kerja perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Ulin
Banjarmasin berdasarkan dari indikator Fisiologis
No Kategori Frekuensi Persen (%)

1 Ringan 5 14,3 %

2 Sedang 23 65,7 %

3 Berat 7 20,0%

Total 35 100,0 %

Pengukuruan untuk indikator stres fisiologis di ukur dengan


menggunakan 5 parameter (pertanyaan) stres fisiologis, yaitu jantung
berdebar-debar, otot kaku, mudah lelah, pusing (sakit kepala) dan
penurunan sistem imun tubuh. Hasil analisis pada tabel 4.7 di atas
menunjukkan bahwa stres fisiologis perawat pelaksana Instalasi
Gawat darurat RSUD Ulin Banjarmasin sebagian besar pada kategori
sedang yaitu 23 orang (65,7%). Untuk kategori berat ada 7 orang
(20,0%) dan untuk kategori ringan ada 5 orang (14,3%).
Tabel 4.8
Stres kerja perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Ulin
Banjarmasin berdasarkan dari indikator Perilaku
No Kategori Frekuensi Persen (%)

1 Ringan 17 48,6 %

2 Sedang 14 40,0 %

3 Berat 4 11,4%

Total 35 100,0 %

Pengukuruan untuk indikator stres perilaku di ukur dengan


menggunakan 5 parameter (pertanyaan) stres perilaku yaitu
menghindar dari pekerjaan, perilaku makan tidak normal
(pengurangan), berprilaku berisiko tinggi, dan menurunnya hubungan
interpersonal. Hasil analisis pada tabel 4.8 di atas menunjukkan bahwa
stres perilaku perawat pelaksana Instalasi Gawat darurat RSUD Ulin
Banjarmasin sebagian besar pada kategori ringan yaitu 17 orang
(48,6%). Untuk kategori sedang ada 14 orang (28,6%) dan untuk
kategori berat ada 4 orang (11,4%).

Berdasarkan hasil dari analisis dari 3 indikator tersebut, maka


diperoleh hasil kesimpulan kategori stres kerja perawat Instalasi
Gawat Darurat secara umum yaitu sebagai berikut:
Tabel 4.9
Tingkat Stres kerja perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD
Ulin Banjarmasin
No Tingkat Stres Kerja Frekuensi Persen (%)
1 Stres ringan 19 48,6 %
2 Stres sedang 13 45,7 %
3 Stres berat 3 5,7 %
Total 35 100 %

Pada tabel 4.9 di atas menunjukan bahwa sebagian besar stres kerja
perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Ulin Banjarmasin berada di
kategori ringan yaitu dengan jumlah 19 orang (45,7%). Untuk stres
ringan terdapat 13 orang (48,6 %) dan untuk stres berat terdapat 3
orang (5,7%).

Tabel 4.10
Tabulasi Silang tingkat stres kerja dan usia
Rentang Usia
Tingkat Stres 23-27 28-32 33-37 Total
No Kerja tahun tahun tahun

1 stres ringan 4 5 10 19

persen (%) 21,1% 26,3% 52,6% 100,0%

2 stres sedang 5 1 7 13

persen (%) 38,5% 7,7% 53,8% 100,0%

3 stres berat 2 1 0 3

persen (%) 66,7% 33,3% 0,0% 100,0%

Total 11 7 17 35
Tabel 4.10 di atas menunjukan bahwa tingkat stres ringan dan sedang
paling banyak pada umur 33-37 tahun yaitu sebanyak 10 orang
(52,6%) yang mengalami stres ringan, dan ada 7 orang (53,8%) dari
untuk stres sedang. Untuk tingkat stres berat ada pada rentang usia 23-
27 tahun berjumlah 2 orang (66,7%) dan pada rentang usia 28-32
tahun berjumlah 1 orang (33,3%) .
Tabel 4.11
Tabulasi Silang tingkat stres kerja dan jenis kelamin
Tingkat Stres Jenis kelamin
Total
No Kerja Laki-Laki Perempuan
1 Stres ringan 10 9 19

persen (%) 52,6% 47,4% 100,0%

2 Stres sedang 4 9 13

persen (%) 30,8% 69,2% 100,0%

3 Stres berat 2 1 3

persen (%) 66,7% 33,3% 100%

Total 16 19 35

Tabel 4.11 di atas menunjukan bahwa tingkat stres ringan paling


banyak di alami oleh laki laki yaitu 10 orang (52,6%) dari total
responden yang mengalami stres ringan, dan stres sedang paling
banyak di alami oleh perempuan yaitu sebanyak 9 orang (69,2%) dari
total responden yang mengalami stres sedang. Untuk stres berat hanya
dialami 2 orang (66,7%) dari respoden laki-laki dan 1 orang (33,3%)
pada perempuan.
Tabel 4.12
Tabulasi Silang tingkat stres kerja dan pendidikan
Pendidikan
Tingkat Stres
S1kep D.IV D.III Total
No Kerja
Ners Kep.Gadar Kep
1 Stres ringan 6 1 12 19

Persen (%) 31,6% 5,3% 63,2% 100,0%

2 Stres sedang 3 2 8 13

Persen (%) 23,1% 15,4% 61,5% 100,0%

3 Stres berat 1 0 2 3

Persen (%) 33,3% 0,0% 66,7% 100,0%

Total 10 3 22 35

Tabel 4.12 di atas menunjukan bahwa tingkat stres ringan, sedang dan
berat di dominasi oleh responden yang berpendidikan D3. Yaitu ada
12 orang (63,2%) untuk stres ringan, 8 orang (61,5%) untuk stres
sedang, 2 orang (66,7%) untuk stres berat.
Tabel 4.13
Tabulasi Silang Tingkat Stres Kerja dan Masa Kerja
Masa Kerja
Tingkat Stres
No 1-5 6-10 11-15 Total
Kerja
Tahun Tahun Tahun

1 Stres ringan 11 3 5 19

Persen (%) 57,9% 15,8% 26,3% 100,0%

2 Stres sedang 10 0 3 13

Persen (%) 76,9% 0,0% 23,1% 100,0%

3 Stres berat 3 0 0 3

Persen (%) 100,0% 0,0% 0,0% 100,0%

Total 24 3 8 35

Tabel 4.13 di atas menunjukan bahwa tingkat stres ringan, sedang dan
berat paling banyak pada perawat yang memiliki masa kerja 1-5
tahun, yaitu 11 orang (57,9%) untuk stres ringan, 10 orang (76,9%)
untuk stres sedang, dan 3 orang (100,0%) untuk stres berat.
4.2.2 Gambaran Perilaku Caring
Perilaku caring perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Ulin
Banjarmasin diukur dengan kuosioner yang telah baku. Didalam
kuosioner tersebut terdiri dari 5 indikator, yaitu terdiri dari rasa
hormat, kehadiran, hubungan yang positif, memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang profesional, dan perhatian dengan pengalaman
orang lain. Kuosioner tersebut terdiri dari 42 item pertanyaan.
Berdasarkan hasil dari analisis kuosioner tersebut diperoleh hasil
perilaku caring perawat berdasarkan per indikator pada tabel berikut:
Tabel 4.14
Perilaku caring perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Ulin
Banjarmasin berdasarkan dari indikator Rasa Hormat
No Kategori Frekuensi Persen (%)

1 Kurang 4 11,4%

2 Cukup 24 68,6%

3 Baik 7 20,0%

Total 35 100,0 %

Dari hasil analisis 12 item pertanyaan didapatkan hasil pada tabel 4.14
di atas yang menunjukkan bahwa indikator rasa hormat perawat
pelaksana Instalasi Gawat darurat RSUD Ulin Banjarmasin sebagian
besar pada kategori cukup yaitu 24 orang (68,6%). Untuk kategori
kurang ada 4 orang (11,4%) dan untuk kategori baik ada 7 orang
(20,0%%)
Tabel 4.15
Perilaku caring perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Ulin
Banjarmasin berdasarkan dari indikator Kehadiran
No Kategori Frekuensi Persen (%)

1 Kurang 7 20,0%

2 Cukup 23 65,7 %

3 Baik 5 14,3%
Total 35 100,0 %

Dari hasil analisis 12 item pertanyaan didapatkan hasil pada tabel 4.15
di atas yang menunjukkan bahwa indikator kehadiran perawat
pelaksana Instalasi Gawat darurat RSUD Ulin Banjarmasin sebagian
besar pada kategori cukup baik yaitu ada 23 orang (65,7%). Untuk
kategori kurang baik ada 7 orang (20,0%) dan untuk kategori baik ada
5 orang (14,3%).

Tabel 4.16
Perilaku caring perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Ulin
Banjarmasin berdasarkan dari indikator Hubungan Yang Positif
No Kategori Frekuensi Persen (%)

1 Kurang 12 34,3%

2 Cukup 20 57,1%

3 Baik 3 8,6%

Total 35 100,0 %

Dari hasil analisis 9 item pertanyaan didapatkan hasil pada tabel Dari
tabel 4.16 di atas menunjukkan bahwa indikator “Hubungan yang
positif” perawat pelaksana Instalasi Gawat darurat RSUD Ulin
Banjarmasin sebagian besar pada kategori cukup baik yaitu ada 20
orang (57,1%). Untuk kategori kurang ada 12 orang (34,3%) dan
untuk kategori baik ada 3 orang (8,6%).
Tabel 4.17
Perilaku caring perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Ulin
Banjarmasin berdasarkan dari indikator Pengetahuan dan
Keterampilan yang Professional
No Kategori Frekuensi Persen (%)

1 Kurang 3 8,6%

2 Cukup 20 57,1%
3 Baik 12 34,3%

Total 35 100,0 %

Dari hasil analisis 5 item pertanyaan didapatkan hasil pada tabel 4.17
di atas yang menunjukkan bahwa indikator “Pengetahuan dan
Keterampilan yang Professional” perawat pelaksana Instalasi Gawat
darurat RSUD Ulin Banjarmasin sebagian besar pada kategori cukup
baik yaitu ada 20 orang (57,1%). Untuk kategori baik ada 12 orang
(34,3%) dan untuk kategori kurang baik ada 3 orang (8,6%).
Tabel 4.18
Perilaku caring perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Ulin
Banjarmasin berdasarkan dari indikator Perhatian dengan
Pengalaman Orang lain
No Kategori Frekuensi Persen (%)

1 Kurang baik 4 11,4%

2 Cukup baik 29 82,9%

3 Baik 2 5,7%

Total 35 100,0 %

Dari hasil analisis 4 item pertanyaan didapatkan hasil pada tabel 4.18
di atas yang menunjukkan bahwa indikator “Perhatian dengan
Pengalaman orang lain” perawat pelaksana Instalasi Gawat darurat
RSUD Ulin Banjarmasin sebagian besar pada kategori cukup baik
yaitu ada 29 orang (82,9%). Untuk kategori kurang baik ada 4 orang
(11,4%) dan untuk kategori baik ada 2 orang (5,7%).

Berdasarkan dari hasil analisa dari 5 indikator perilaku caring maka


dapat disimpulkan bahwa perilaku caring perawat pelaksana di
Instalasi Gawat Darurat RSUD Ulin Banjarmasin adalah sebagai
berikut :
Tabel 4.19
Perilaku Caring perawat di IGD RSUD Ulin Banjarmasin
No Kategori caring Frekuensi Persen (%)

1 Caring baik 16 45,7%

2 Caring cukup 19 54,3%

3 Caring kurang 0 0%

Total 35 100 %

Pada tabel 4.19 di atas menunjukan bahwa sebagian besar caring


perawat pelaksana di IGD Ulin Banjarmasin adalah cukup yaitu 19
orang (54,3%). Untuk kategori caring baik ada berjumlah 16 orang
(45,7%), dan tidak ada ditemukan perawat yang memiliki caring
kurang.
Tabel 4.20
Tabulasi Silang perilaku caring perawat dan usia
Rentang usia
Kategori 23-27 28-32 33-37 Total
No
caring tahun tahun tahun

1 Caring baik 4 1 11 16

Persen (%) 25,0% 6,3% 68,8% 100,0%

2 Caring cukup 7 6 6 19

Persen (%) 36,8% 31,6% 31,6% 100,0%

3 Caring kurang 0 0 0 0

Persen (%) 0% 0% 0% 0%

Total 11 7 17 35

Pada tabel 4.20 di atas menunjukan bahwa sebagian besar perawat


Instalasi Gawat Darurat yang memiliki caring baik ada pada usia 33-
37 tahun yaitu sebanyak 11 orang (68,8%).
Tabel 4.21
Tabulasi Silang perilaku caring perawat dan jenis kelamin
No Kategori caring Jenis Kelamin Total
laki-laki Perempuan

1 Caring baik 7 9 16

Persen (%) 43,8% 56,3% 100,0%

2 Caring cukup 9 10 19

Persen (%) 47,4% 52,6% 100,0%

3 Caring kurang 0 0 0

Persen (%) 0% 0% 0%

Total 16 19 35

Pada tabel 4.21 di atas menunjukan bahwa perilaku kategori caring


baik dan cukup lebih banyak ada pada perawat pelaksana Instalasi
Gawat Darurat RSUD Ulin Banjarmasin yang berjenis kelamin
perempuan, yaitu 9 orang (56,3%) untuk kategori caring baik, dan 10
orang (52,6%) untuk kategori caring cukup.
Tabel 4.22
Tabulasi Silang perilaku caring perawat dan pendidikan
Pendidikan
Kategori
S1 kep D.IV Total
No Caring D3 kep.
Ners Kep.Gadar

1 Caring baik 7 2 7 16

Persen (% ) 43,8% 12,5% 43,8% 100,0%

Caring
2 3 1 15 19
cukup
15,8% 5,3% 78,9% 100,0%
Persen (% )

Caring
3 0 0 0 0
kurang
0% 0% 0% 0%
Persen (% )

Total 10 3 22 35
Pada tabel 4.22 di atas menunjukan bahwa pendidikan yang paling
banyak berperilaku cukup adalah perawat yang berpendidikan D3
Keperawatan, yaitu ada sebanyak 15 orang (78,9%).

Tabel 4.23
Tabulasi Silang perilaku Caring perawat dan Masa Kerja
Masa Kerja
No Kategori 1-5 6-10 11-15 Total
Caring Tahun Tahun Tahun
1 Caring baik 9 1 6 16
Persen (% ) 56,3% 6,3% 37,5% 100,0%
2 Caring cukup 15 2 2 19
Persen (% ) 78,9% 10,5% 10,5% 100,0%
3 Caring kurang 0 0 0 0
Persen (% ) 0% 0% 0% 0%
Total 24 3 8 35

Pada tabel 4.24 di atas menunjukan bahwa perilaku caring baik dan
cukup paling banyak ada pada masa kerja 1-5 tahun yaitu 9 orang
(56,3%) untuk caring baik dan 15 orang (78,9%) untuk caring cukup.

4.2.3 Hubungan stres kerja perawat dengan perilaku caring perawat


Analisa hubungan antara tingkat stres kerja perawat dengan perilaku
caring perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Ulin Banjarmasin
dapat dilihat pada tabel 4.19 berikut :
Tabel 4.24
Hubungan tingkat Stres kerja perawat dengan perilaku Caring
perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Ulin Banjarmasin
Tingkat Kategori Caring
stres Caring Caring Caring Total
No
Kerja baik cukup kurang
1 Stres ringan 9 10 0 19
persen (%) 47,4 % 52,6 % 0% 100,0%
2 Stres sedang 7 6 0 13
persen (%) 53,8 % 46,2 % 0% 100,0%
3 Stres berat 0 3 0 3
Persen (%) 0% 100,0% 0% 100,0%
Total 16 19 0 35
Korelasi Pearson p = 0,282 > 0,05
r = 0,187

Pada tabel 4.24 di atas menunjukan bahwa yang mengalami stres


ringan memiliki kualitas caring yang cukup berjumlah 10 orang
(52,6%%) dan caring baik berjumlah 9 orang (47,4%). Lalu untuk
stres sedang yang memiliki kualitas caring cukup berjumlah 6 orang
(46,2%) dan caring baik berjumlah 7 orang (53,8%). Untuk stres berat
hanya memiliki caring yang cukup yaitu berjumlah 3 orang (100,0%)

Untuk mengetahui hubungan antara kedua variabel, yaitu tingkat stres


kerja perawat dengan perilaku caring perawat maka dianalisis dengan
menggunakan uji statistik Korelasi Pearson. Bila nilai p < 0,05, maka
Ho ditolak dan Ha diterima, yang berarti ada hubungan antar variabel
yang diuji dan sebaliknya bila nilai p > 0,05, maka Ho diterima dan
Ha ditolak, yang berarti tidak ada hubungan antar Variabel yang diuji.

Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,282 > 0,05 maka Ho diterima,
ini berarti secara statistik tidak ada hubungan antara Hubungan tingkat
stres kerja perawat dengan perilaku caring perawat di Instalasi Gawat
Darurat (IGD) RSUD Ulin Banjarmasin

4.3 Pembahasan
4.3.1 Gambaran Stres Kerja
IGD merupakan salah satu tempat yang memungkinkan muncul nya
stres, karena beban kerja di IGD umumnya cukup tinggi, dan banyak
permasalahan yang dihadapi, mulai menghadapi pasien, keluarga
pasien, hingga konflik antar teman sejawat.

Stres kerja perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Ulin


Banjarmasin diukur berdasarkan dari teori dari Terry Beehr dan Jhon
Newman, yaitu terdiri dari stres psikologis, fisiologis, dan perilaku.
Stres kerja di analisis per indikator.

Untuk Hasil analisis stres psikologis diperoleh bahwa perawat


pelaksana paling banyak mengalami stres psikologi pada pada
kategori sedang yaitu 20 orang (57,1%). Untuk kategori berat ada 3
orang (8,6%) dan untuk kategori ringan ada 12 orang (34,3%). Dari
analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa perawat pelaksana yang
ada di Instalasi Gawat Darurat RSUD Ulin Banjarmasin mengalami
gejala gangguan psikologis mulai dari ringan hingga berat. Gejala
stres psikologi yaitu seperti merasa tertekan dengan kondisi kerja di
IGD, marah tanpa sebab yang jelas, merasa bosan dengan pekerjaan,
menarik diri dari teman sejawat, merasa tidak percaya diri, dan gejala
lain sebagainya (Terry Beehr dan Jhon Newman (Rice, 1999) dalam
Zainal et al, 2014 )

Lalu untuk Stres fisiologis diperoleh bahwa perawat pelaksana


Instalasi Gawat darurat RSUD Ulin Banjarmasin sebagian besar pada
kategori sedang yaitu 23 orang (65,7%), untuk kategori berat ada 7
orang (20,0%), dan untuk kategori ringan ada 5 orang (14,3%). Dari
analisis tersebut didapatkan bahwa perawat pelaksana yang ada di
Instalasi Gawat Darurat RSUD Ulin Banjarmasin mengalami stres
fisiologi dari ringan hingga berat. Gejala stres fisiologi yaitu seperti
kelelahan fisik, otot kaku, detak jantung berdebar-debar, dan
menurunnya imun tubuh sehingga sering terkena flu dan lain
sebagainya (Terry Beehr dan Jhon Newman (Rice, 1999) dalam Zainal
et al, 2014 ).

Untuk stres perilaku diperoleh bahwa perawat pelaksana Instalasi


Gawat darurat RSUD Ulin Banjarmasin sebagian besar pada kategori
ringan yaitu 17 orang (48,6%). Untuk kategori sedang ada 14 orang
(40,0%) dan untuk kategori berat ada 4 orang (11,4%). Dari analisis
tersebut dapat disimpulkan perawat yang ada di Instalasi Gawat
Darurat RSUD Ulin Banjarmasin mengalami stres perilaku dari ringan
hingga berat. Stres dari aspek perilaku sendiri dapat membahayakan
diri mereka sendiri (perawat) yaitu seperti mengebut dijalan dan lain
sebagainya. Lalu selain itu gangguan perilaku dapat menggangu
kualitas hubungan interpersonal seperti jarang berkomunikasi dengan
keluarga, kerabat maupun teman sejawat. Lalu akibat gangguan
perilaku juga akan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan misalnya
seperti menghindar dari pasien atau keluarga pasien yang bertanya,
membiarkan pasien menunggu dokter begitu saja padahal pasien
tersebut mengeluh kesakitan. (Terry Beehr dan Jhon Newman (Rice,
1999) dalam Zainal et al, 2014 ).

Dari hasil analisis SPSS pada 3 indikator di atas dapat disimpulkan


secara umum bahwa stres kerja perawat di Instalasi Gawat Darurat
RSUD Ulin Banjarmasin sebagian besar berada di kategori ringan
dengan jumlah 19 orang (54,3%). Untuk stres sedang terdapat 13
orang (37,1%) dan untuk stres berat terdapat 3 orang (8,6%).

Stres kerja yang di alami oleh perawat pelaksana bisa di akibatkan


oleh beban kerja. Menurut Davis dan Newstrom (1999) dalam Zainal
et al. (2014) menyebutkan bahwa tugas yang terlalu banyak akan
menyebabkan karyawan stres, dan akan menjadi sumber stres bila
banyaknya tugas tersebut tidak sebanding dengan kemampuan baik
fisik dan keahlian dan waktu yang tersedia bagi karyawan. Pergantian
shift malam kemungkinan juga merupakan faktor pemicu stres kerja
karena apabila kurang tidur maka akan mempengaruhi kadar cortisol
tubuh yang berakibat pada stres (Aden R, 2010). Lalu siklus tidur
perawat yang terganggu akan menyebakan kelelahan. sehingga
perawat kurang istirahat. Lalu selain itu, stres kerja juga bisa
dipengaruhi oleh faktor internal organisasi IGD RSUD Ulin
Banjarmasin dan faktor lainnya. Penyebab Stres di Pekerjaan Menurut
Hurrel (2001) dalam Zainal et al. (2014) menyebutkan ada tujuh
faktor yang menyebabkan stres kerja yaitu: Faktor-faktor instrintik
dalam pekerjaan, Peran individu dalam organisasi, Pengembangan
karier, Hubungan dalam pekerjaan, Struktur dan iklim organisasi,
Tuntutan dari luar organisasi/Pekerjaan, Ciri-ciri individu.

Dari hasil analisis tersebut diharapakan dapat menjadi suatu evaluasi


bagi pihak rumah sakit agar dapat memperhatikan beban kerja yang
ada di IGD agar dapat mengurangi kelelahan fisik perawat pelaksana,
serta memperhatikan psikologis dan kesejahteraan pegawainya dan
memberikan reward sehingga akan memberikan motivasi pada
perawat yang ada di IGD. Pada perawat yang mengalami stres kerja
berat tentunya harus mendapatkan perhatian yang khusus dari pihak
rumah sakit, karena dikhawatirkan akan mengganggu kualitas
pelayanan yang diberikan. Pihak rumah sakit dapat mengidentifikasi
masalah dan memberikan solusi pada perawat yang mengalami stres
berat, lalu juga dapat dengan memberikan pelatihan bagaimana cara
manajemen stres atau bisa dengan mengajak pegawai untuk berlibur
diwaktu libur.

Hasil analisis tingkat stres yang dilakukan oleh peneliti berbeda


dengan penelitian yang dilakukan olehKurniyanti et al dengan judul
jurnal “Hubungan Beban Kerja Dan Stres Kerja Terhadap Perilaku
Caring Perawat Di Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr. Soedarsono
Pasuruan” yang menunjukan bahwa hasil analisis terhadap
karakteristik stres kerja perawat menunjukkan bahwa sebagian besar
responden mengalami stres ringan yaitu sebanyak 17 orang (85%),
sedangkan untuk normal yaitu sebanyak 2 orang (10%) dan stres
sedang yaitu 1 orang (5%).

Lalu pada penelitian yang dilakukan oleh Dewi yana (2014) dengan
judul jurnal “Stres kerja pada perawat pada Instalasi Gawat Darurat di
RSUD Pasar Rebo Tahun 2014”. Penelitian ini mengkaji tentang stres
kerja serta faktor yang mempengaruhi stres kerja pada perawat IGD
(Instalasi Gawat Darurat) RSUD Pasar Rebo Tahun 2014. Pada
penelitian ditemukan 45,8% perawat Instalasi Gawat Darurat di
RSUD Pasar Rebo mengalami stres yang tinggi atau berat.

Perbedaan hasil analisis stres kerja dari setiap penelitian dapat


dipengaruhi oleh faktor lain seperti faktor individu, bisa juga
dipengaruhi oleh beban kerja, faktor organisasi, atau faktor diluar
pekerjaan.

4.3.2 Gambaran perilaku caring


Hasil analisis per indikator perilaku caring perawat di Instalasi Gawat
Darurat RSUD Ulin Banjarmasin didapatkan bahwa indikator yang
cukup bermasalah adalah pada indikator “Hubungan yang positif”
karena dari hasil analisa didapatkan bahwa cukup banyak perawat
memiliki kualitas “hubungan positif” yang kurang dari pada indikator
yang lainnya. Jumlah perawat yang memiliki kualitas hubungan yang
positif yang kurang berjumlah yaitu ada 12 orang (34,3%). Untuk
kategori cukup ada 20 orang (57,1%) dan untuk kategori baik ada 3
orang (8,6%). Kurangnya hubungan yang positif tentu akan
mempengaruhi kualitas pelayanan dan kenyamanan pasien. Kurang
nya hubungan yang positif bisa diakibatkan oleh faktor individu atau
karena faktor yang lain.

Secara teori, Indikator “Hubungan yang positif” adalah aspek yang


terdiri atas menyediakan lingkungan yang suportif, protektif, atau
memperbaiki mental, fisik, sosiokultural, dan spiritual yang mencakup
menjadi harapan bagi pasien, mengijinkan pasien untuk menunjukkan
perasaan dan keyakinan pasien. (Watson dalam Feryansyah, 2013).
Berdasarkan teori diatas tentu hubungan positif mempengaruhi aspek
seperti keamanan pasien di IGD, dan bagaimana memperhatikan
aspek mental maupun spiritual pasien. Jadi dengan begitu diharapkan
perawat yang memiliki kualitas cukup dan kurang untuk
mengevaluasi, memperbaiki serta meingkatkan kualitas pada
hubungan yang positif kepada pasien.

Pada Indikator “Rasa hormat” didapatkan bahwa sebagian besar


perawat pelaksana memiliki rasa hormat yang cukup yaitu ada 24
orang (68,6%). Untuk kategori baik didapatkan 7 orang (20,0%) dan
untuk kategori kurang terdapat 4 orang (11,4%). Penyebab kurang nya
pada indikator “Rasa Hormat” perawat bisa disebabkan oleh faktor
individu itu sendiri atau karena faktor lain.

Kategori “Rasa Hormat” terdiri atas dua caratif yaitu mengembangkan


hubungan peduli manusia yang membantu dan percaya, meningkatkan
dan menerima ungkapan perasaan positif dan negatif. Kategori ini
termasuk bersikap jujur kepada pasien, menunjukkan rasa hormat dan
memberi informasi kepada pasien sehingga dia bisa membuat
keputusan. (Watson dalam Feryansyah, 2013).

Lalu untuk indikator “kehadiran” sebagian besar ada pada kategori


cukup baik yaitu ada 23 orang (65,7%). Untuk kategori kurang baik
ada 7 orang (20,0%) dan untuk kategori baik ada 5 orang (14,3%).
Dari analisis tersebut didapatkan 20,0% yang kurang baik.
Kemungkinan kurang nya kehadiran tersebut diakibatkan oleh faktor
individu, atau karena beban kerja di IGD, sehingga perawat tidak
sempat berfokus secara maksimal pada aspek kehadiran untuk pasien.

“Kehadiran” adalah indikator yang terdiri dari tiga caratif yaitu


membentuk nilai-nilai sistem humanistik-altruistik, memelihara
kepercayaan dan harapan, menumbuhkan kepekaan terhadap diri dan
orang lain. Kategori kehadiran seperti membantu pasien, berbincang-
bincang dengan pasien, menghargai pasien sebagai seorang manusia
dan merespon secara cepat panggilan pasien. (Watson dalam
Feryansyah, 2013)

Dari teori diatas dapat disimpulkan bahwa kehadiran erat kaitannya


dengan memelihara kepercayaan atau membina hubungan saling
percaya antara perawat dengan pasien sehingga proses asuhan
keperawatan dan tindakan medis akan berjalan dengan lancar dan
sesuai tujuan tanpa ada kendala. Jadi dengan begitu diharapakan
perawat yang memiliki kualitas kehadiran yang cukup dan kurang
baik untuk meningkatkan dan memperbaiki kehadiran nya pada
pasien. Karena dengan kehadiran perawat akan membuat pasien
menjadi nyaman dan aman.

Lalu pada indikator “Pengetahuan dan Keterampilan yang


Professional” didapatkan bahwa perawat pelaksana Instalasi Gawat
darurat RSUD Ulin Banjarmasin sebagian besar ada pada kategori
cukup baik yaitu ada 20 orang (57,1%). Untuk kategori baik ada 12
orang (34,3%) dan untuk kategori kurang baik ada 3 orang (8,6%).
Dari Hasil analisis tersebut hanya sebagian kecil perawat yang
memiliki kualitas “Pengetahuan dan Keterampilan yang Professional”
yang kurang baik. Kurangnya pengetahuan atau keterampilan bisa di
akibatkan oleh faktor individu seperti kurangnya pengetahuan, yang
mana hal tersebut bisa disebabkan oleh kurangnya perawat
mempelajari atau mendalami komponen caring saat mengenyam
pendidikan atau pada saat pelatihan.

Secara teori indikator “Pengetahuan dan Keterampilan yang


Professional” adalah komponen caring yang terdiri atas penggunaan
proses pemecahan masalah kreatif, meningkatkan belajar-mengajar
transpersonal yang mencakup menyediakan waktu untuk
mengobservasi pasien, merasa percaya diri berhadapan dengan pasien,
memberikan perhatian. (Watson dalam Feryansyah, 2013).

Dari teori diatas tentu perawat diharapkan dapat memperluas


pengatahuan atau skill agar dapat memberikan solusi atau pemecahan
masalah secara tepat. pengetahuan yang professional merupakan hal
mutlak dimiliki oleh seorang perawat apalagi perawat tersebut bekerja
di IGD. Dengan begitu diharapkan perawat yang memiliki kualitas
kurang, cukup maupun pada kualitas skill yang sudah baik agar tetap
untuk mengevaluasi, memperbaiki serta meingkatkan kualitas pada
“Pengetahuan dan Keterampilan yang Professional” misalnya dengan
cara mengikuti pelatihan atau workshop keperawatan.

Analisis indikator yang terakhir adalah indikator “Perhatian dengan


Pengalaman orang lain”. Hasil analisis tersebut didapatkan bahwa
perawat pelaksana Instalasi Gawat darurat RSUD Ulin Banjarmasin
sebagian besar pada kategori cukup baik yaitu ada 29 orang (82,9%).
Untuk kategori kurang baik ada 4 orang (11,4%) dan untuk kategori
baik ada 2 orang (5,7%). Dari hasil analisis indikator tersebut juga
hanya sebagian kecil yang memiliki kualitas yang kurang baik.
Kurang nya “Perhatian dengan Pengalaman orang lain” mungkin bisa
disebabkan oleh banyaknya pasien di IGD sehingga ada beberapa
perawat yang tidak maksimal menjalankan fungsi “Perhatian dengan
Pengalaman orang lain”.

Secara teori “Perhatian akan pengalaman orang lain” adalah aspek


yang terdiri atas membantu memuaskan kebutuhan-kebutuhan pasien
selama berada dirumah sakit, memberikan keleluasan untuk kekuatan
eksistensal-fenomologis-spiritual yang mencakup mengurangi gejala-
gejala sakit pasien, memprioritaskan pasien dan memberikan
perawatan fisik yang baik. (Watson dalam Feryansyah, 2013).
Dari teori diatas dapat disimpulkan bahwa perhatian akan pengalaman
orang lain merupakan hal penting untuk dijaga, karena indikator
tersebut merupakan salah satu aspek yang memberikan kepuasan
kepada pasien.

Untuk hasil analisis berdasarkan dari ke 5 indikator perilaku caring


disimpulkan bahwa sebagian besar perawat pelaksana di IGD Ulin
Banjarmasin memiliki perilaku caring yang cukup yaitu 19 orang
(54,3%), untuk kategori caring baik ada berjumlah 16 orang (45,7%)
dan tidak ada perawat pelaksana yang memiliki perilaku kurang
caring.

Menurut pengamatan peneliti (berdasarkan subjektif) secara tidak


langsung, peneliti juga melihat beberapa perawat pelaksana yang ada
di Instalasi Gawat Darurat sering tersenyum (ramah), perawat juga
cepat merespon ketika dipanggil pasien. Lalu ketika pasien bertanya,
perawat menjawab dengan kata-kata lembut. Dari pengamatan secara
tidak langsung ini dapat dijadikan untuk memperkuat hasil dari
pengisian kuosioner perilaku caring. Tetapi dari segelintir pengamatan
yang dilakukan oleh peneliti ini hanya sebagian kecil dari perilaku
caring, karena peneliti belum melihat lebih jauh lagi tentang perilaku
caring perawat yang ada di Instalasi gawat darurat RSUD Ulin
Banjarmasin, karena peneliti hanya menggunakan metode
pengumpulan data melalui kuosioner bukan menggunakan metode
observasi.

Hasil penelitian peneliti berbeda dengan beberapa penelitian yang


lain. Misalnya pada penelitian yang dilakukan oleh Kurniyanti et al,
2015. dengan judul jurnal “Hubungan Beban Kerja Dan Stres Kerja
Terhadap Perilaku Caring Perawat Di Instalasi Gawat Darurat RSUD
Dr. Soedarsono Pasuruan. Pada penelitian ini hanya membagi kategori
caring menjadi 2 yaitu caring dan tidak caring. Tentu pembagian
kategori ini berbeda dengan pembagian kategori oleh peneliti yaitu
peneliti membagi menjadi 3 kategori caring seperti caring baik, cukup
dan kurang. Pada penelitian Kurniyanti et. al didapatkan bahwa 13
orang (65%) perawat yang menjalankan perilaku caring dan 7 orang
(35%) yang tidak berperilaku caring. Hasil penelitian kurniyanti et.al
tidak diketahui secara pasti untuk jumlah perawat yang memiliki
kategori caring cukup, dan bisa saja kategori caring cukup tersebut
sudah dimasukkan pada kategori “caring”.

Lalu pada penelitian Mulyadi & Kumaat, L & Angelina R. 2015.


Hubungan Beban kerja dengan Caring Perawat di Instalasi Gawat
Darurat Medik Prof.Dr.R.D Kandao Manado. Didapatkan perilaku
caring yang kurang yaitu sebanyak 7 orang (23,3%) dan yang baik
terdapat 23 orang (76,7%). Dari hasil penelitian tersebut didapatkan
bahwa paling banyak perawat memiliki IGD yang baik.

Perbedaan hasil penelitian bisa disebabkan oleh faktor individu yaitu


Sesuai dengan pendapat Gibson et al, seperti yang disitasi Zees (2011)
yang mengemukakan ada tiga faktor yang berpengaruh pada perilaku
caring yaitu faktor individu, psikologis, dan organisasi. Faktor
individu terdiri dari kemampuan dan keterampilan (kecerdasan dasar
meliputi kecerdasan intelektual, emosional dan spritual (Novetasari,
2015)

Pada penelitian ini tentunya diharapkan dapat menjadi suatu evaluasi


bagi pihak rumah sakit dan perawat yang bersangkutan agar dapat
lebih memperhatikan aspek aspek yang bermasalah seperti rasa
hormat, hubungan yang positif maupun indikator yang
mengindikasikan adanya kualitas yang kurang baik, sehingga akan
meningkatkan kualitas dan mutu pelayanan di Instalasi Gawat Darurat
RSUD Ulin Banjarmasin.
4.3.3 Hubungan tingkat stres kerja perawat dengan perilaku caring perawat
Pada umumnya, stres akan menyebabkan gangguan perilaku pada
seseorang. Perilaku di sini yaitu bisa seperti terganggunya hubungan
interpersonal, lalu bila dilihat dari sisi psikologis maka stres akan
menyebabkan yang nama nya gejolak jiwa seperti muncul nya rasa
amarah yang tanpa diketahui penyebabnya, frustasi, menghindar dari
pekerjaan serta terjadi sabotase dalam pekerjaan, menghindar dari
teman sejawat, tidak percaya diri, dan lain sebagainya. Tentu dari
gejala ini mungkin dapat mempengaruhi kualitias caring yang ada di
IGD. Beberapa jurnal juga telah menyebutan bahwa terdapat
hubungan antara stres kerja dengan perilaku caring perawat. Misalnya
pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Desima (2013)
dengan judul jurnal Tingkat Stres Kerja Perawat Dengan Perilaku
Caring Perawat ”menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara stres
kerja dengan perilaku caring perawat. Lalu dari penelitian yang
dilakukan oleh Nur Hamim (2015) dengan judul jurnal “Workload and
Work Stress on Caring Behavior in nurse on Nursing Services” juga
menyatakan terdapat hubungan antara stres kerja dan perilaku caring.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Peneliti berbeda dari penelitian


yang dilakukan oleh Desima (2013) dan Nur Hamim (2015). Karena
hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti menunjukan angka
p=0,282 > 0,05 yang berarti tidak ada hubungan antara stres kerja
dengan perilaku caring. Peneliti beranggapan bahwa tidak adanya
hubungan antara tingkat stres kerja dan perilaku caring kemungkinan
disebabkan oleh faktor lain seperti kecerdasan emosional. Anggapan
peneliti juga Sesuai dengan pendapat Gibson et al, seperti yang
disitasi Zees (2011) yang mengemukakan ada tiga faktor yang
berpengaruh pada perilaku caring yaitu faktor individu, psikologis,
dan organisasi. Faktor individu terdiri dari kemampuan dan
keterampilan (kecerdasan dasar meliputi kecerdasan intelektual,
emosional dan spritual (Novetasari, 2015). Lalu pendapat Gibson et al
juga diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yusuf
Bejo Sarifudin (2015) dengan judul “Hubungan kecerdasan emosi
dengan perilaku caring perawat pada praktek keperawatan di ruang
inap RSI PKU Muhammadiyah Pekajangan Kabupaten Pekalongan”
yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara
kecerdasan emosi dengan perilaku caring perawat.

Menurut Goleman (2016) mengungkapkan bahwa kecerdasan


emosional merupakan suatu kemampuan seperti kemampuan
memotivasi diri, bertahan terhadap frustrasi, mengendalikan dorongan
hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati
agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati
dan berdoa. Dari pendapat definisi oleh Goleman ada kita temukan
kata “ bertahan terhadap frustasi” yang mana maksud dari makna kata
tersebut adalah berarti walaupun perawat mengalami berbagai macam
tekanan, perawat masih mampu untuk survive atau bertahan dalam
kondisi tersebut. Lalu dari pendapat Goleman juga kita juga
menemukan kata “mengatur suasana hati agar beban stres tidak
melumpuhkan kemampuan berpikir”. Maksud dari kata tersebut
adalah walaupun perawat stres, perawat masih bisa memanajemen
rasa stresnya agar rasa stres tersebut tidak merusak kemampuan
berpikir yang positif dan kinerja perawat.

Pendapat ke dua dari Chandra (2010, disitasi oleh Sunaryo, 2013)


mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional adalah suatu bidang
yang menyelidiki dan menggali cara manusia mempergunakan
keterampilan subjektif dan nonkognitifnya agar dapat mengelola dan
meningkatkan hubungan sosial dan kondisi kehidupan mereka. Dari
pendapat Chandra kita dapat lihat pada kalimat ”mempergunakan
keterampilan subjektif dan nonkognitifnya agar dapat mengelola dan
meningkatkan hubungan sosial dan kondisi kehidupan mereka” yang
mana maksud dari makna kata tersebut adalah dimana seseorang
mampu memanajemen perasaan dengan tujuan supaya tetap menjaga
suatu hubungan sosial. Hubungan sosial sangat erat kaitannya dengan
karakteristik perilaku caring

Lalu menurut Patricia Patton (1998, dalam Riyanto, 2009) juga


mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan
individu dalam menggunakan (mengelola) emosinya secara efektif
untuk mencapai tujuan, membangun hubungan yang produktif dengan
orang lain dan meraih keberhasilan (di tempat kerja). Dapat kita
pahami bahwa maksud dari definisi Patricia Patton mengungkapkan
bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam
memanajemen emosi secara tepat serta membina hubungan dengan
maksud untuk mencapai suatu tujuan. Seperti yang kita ketahui bahwa
pada dasar nya caring merupakan suatu cara pendekatan dan membina
hubungan yang bertujuan untuk mencapai kesembuhan pasien.

Salovey (disitasi oleh Goleman, 2016) mengemukakan lima


komponen dasar kecerdasan emosional yaitu:
4.3.3.1 Mengenali emosi diri
Merupakan kemampuan individu memantau perasaannya dari
waktu ke waktu, orang yang mampu mengenali emosi diri
mempunyai kepekaan yang lebih tinggi dalam pengambilan
keputusan-keputusan masalah pribadi.
4.3.3.2 Mengelola emosi
Merupakan kemampuan individu menghibur diri sendiri,
melepaskan kecemasan, kemurungan, ketersinggungan, dan
akibat-akibat yang timbul karena gagalnya keterampilan
emosional. Orang yang buruk dalam keterampilan ini akan
terus-menerus bertarung melawan perasaan murung,
sementara mereka yang pintar dapat bangkit kembali dengan
jauh lebih cepat
4.3.3.3 Memotivasi diri sendiri
Merupakan kemampuan individu mengatur emosi sebagai
alat ukur untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat
penting untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri
sendiri dan menguasai diri sendiri, dan untuk
berkreasi.Orang-orang yang memiliki keterampilan ini
cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun
yang dikerjakan.
4.3.3.4 Mengenali emosi orang lain/empati
Merupakan kemampuan individu yang bergantung pada
kesadaran diri emosional dan keterampilan dalam bergaul.
Orang yang empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal
sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan kebutuhan atau
kehendak orang lain. Meliputi pekerjaan keperawatan,
mengajar, penjualan dan manajemen
4.3.3.5 Membina hubungan
Merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain,
meliputi keterampilan yang menunjang popularitas,
kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas disimpulkan bahwa


kecerdasan emosional adalah kemampuan seorang perawat
menggunakan keterampilan (mengelola) emosinya secara akurat dan
efisien untuk mencapai tujuan dan meningkatkan hubungan sosial dan
hubungan yang produktif dengan orang lain termasuk dalam
pengaplikasian perilaku caring.

Selain teori di atas, peneliti juga memiliki jurnal pendukung yaitu


jurnal penelitian yang dilakukan oleh Kurniyanti et al tahun 2015
dengan judul junal “Hubungan Beban Kerja Dan Stres Kerja Terhadap
Perilaku Caring Perawat Di Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr.
Soedarsono Pasuruan”. Hasil dari penelitian oleh Kurniyanti et al
didapatkan bahwa nilai untuk beban kerja dengan perilaku caring
didapatkan nilai korelasinya yaitu sebesar 0.692 dan nilai p sebesar
0.00 yang berarti korelasi kuat. Sedangkan untuk perilaku caring dan
stres kerja adalah 0.275 dan nilai p sebesar 0.060 > 0.05 yang berarti
tidak ada hubungan tingkat stres kerja dengan perilaku caring, Dari
hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hubungan yang
paling berpengaruh terhadap perilaku caring perawat adalah beban
kerja, bukan stres kerja.

Lalu Selain dari penelitian kurniyanti et al. Peneliti juga menemukan


jurnal lain yang mendukung, yaitu penelitian yang dilakukan oleh
Rusmini et al (2012) dengan judul jurnal “Perbedaan Dan Pengaruh
Stres Kerja Terhadap Kinerja Perawat Unit Perawatan Intensif Dan
Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara
Barat Tahun 2012”. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rusmini et
al didapatkan nilai untuk pengaruh stres kerja terhadap kinerja
perawat di Instalasi gawat darurat sebesar p= 0,712 > 0.05 yang
berarti dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh antara stres kerja
dengan kinerja perawat. Lalu menurut penelitian oleh Yulianti et al
dengan judul jurnal Hubungan Tingkat Stres Kerja dengan Kinerja
Perawat di Poliklinik Rumah Sakit Dr. OEN Solo Baru 2015”
didapatkan hasil analisa bivariat dengan uji Fisher diperoleh nilai
signifikansi 1.000 untuk 2-sided dan 0,455 untuk 1-sided sehingga
dapat dapat ditarik kesimpulan tidak ada hubungan stres kerja dengan
kinerja perawat. Seperti yang kita ketahui, bahwa perilaku caring
merupakan salah satu bagian dari kinerja perawat

Menurut Ilyas (2002) sebagaimana dikutip oleh Hariyati (2014),


kinerja adalah penampilan hasil karya personil baik kuantitas maupun
kualitas dalam suatu organisasi. Indikator yang dapat dilihat dari
kinerja perawat adalah misal nya seperti Kemampuan dan
Implementasi asuhan Keperawatan, tanggung jawab dan pelaksanaan
kepemimpinan, pengembangan profesi, kemampuan berorientasi pada
mutu, keselamatan pasien dan berorientasi pada pelanggan
(Kemenkes, 2013 dalam Yulianti et al, 2015)

Jadi berdasarkan teori dan jurnal di atas, dapat kesimpulan bahwa


perawat yang mengalami stres kerja belum tentu caringnya secara
langsung atau sertamerta menjadi tidak baik. Bisa saja caring perawat
tersebut baik. hal ini kemungkinan bisa dipengaruhi oleh faktor lain
seperti faktor individu (kecerdasan emosi, spiritual, motivasi),
organisasi, reward dan faktor lainnya.

4.4 Keterbatasan
Keterbatasan yang dihadapi peneliti dalam penelitian ini adalah:
4.4.1 Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan untuk semua variabel
pada saat yang bersamaan tidak dipisah untuk memudahkan penelitian
dan mempersingkat waktu penelitian

4.4.2 Pengumpulan data pada variabel caring tidak dilakukan pemeriksaan


lebih spesifik untuk melihat seberapa jauh perilaku caring pada
responden, hal ini dikarenakan peneliti belum memahami lebih jauh
tentang perilaku caring.

4.4.3 Pengumpulan data pada penelitian ini hanya menggunakan kuesioner


tanpa melalui deep interview untuk menggali lebih dalam masalah
yang berhubungan dengan variabel penelitian ini, sehingga kebenaran
data tergantung pada kejujuran dan ketekunan responden dalam
mengisi kuesioner.

4.4.4 Peneliti hanya meneliti tentang tingkat stres kerja saja, tanpa melihat
secara spesifik faktor-faktor lain yang berhubungan dengan perilaku
caring.
4.5 Implikasi Hasil Dalam Keperawatan
Sebagai bahan masukan dan informasi bagi profesi keperawatan agar bisa
mengelola tingkat stres menjadi ke arah positif dan konstruktif sehingga akan
terbentuk suatu pola perilaku caring yang baik dan tercapainya mutu
pelayanan rumah sakit yang berkualias dan prima. Serta menjunjung tinggi
etika dalam keperawatan.

Você também pode gostar