Você está na página 1de 15

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kelompok kami sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul: “Paham Utilitarianisme Dan
Fairness”.
Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun
demikian, kami telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang
dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karena itu dengan rendah
hati kami berharap kepada pembaca untuk memberikan masukan, saran dan kritik
yang sifatnya membangun guna penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
seluruh pembaca.

Garut, Maret 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan ...............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN .....................................................................................3
2.1 Aliran Utilitarianisme .......................................................................3
2.2 Keadilan Sebagai Fairness ................................................................8
BAB III. PENUTUP .............................................................................................11
3.1 Kesimpulan ......................................................................................11
3.2 Saran ................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seperti diketahui, bahwa berbicara tentang kekuatan mengikat dari pada
hukum, atau mengapa hukum ditaati oleh manusia atau masyarakat, maka kita
berhadapan dengan adanya pandangan beberapa aliran atau mazhab dalam kajian
Ilmu Hukum secara umum.
Adanya beberapa aliran atau mazhab ini, antara lain ditegaskan oleh
Sudarsono dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum (1991: 103-104)
menyatakan; "Permasalahan pertama berkaitan erat dengan ketaatan terhadap
hukum, dalam kaitan ini timbul beberapa teori dan aliran pendapat di dalam Ilmu
Pengetahuan Hukum yang lebih dikenal dengan adanya mazhab.
Kendati tidak semua ahli merumuskan klasifikasi aliran hukum seperti
tersebut, namun sekedar pegangan dapat dikatakan bahwa membahas tentang
kekuatan mengikat hukum melahirkan sejumlah aliran atau mashab yang antara
lain dikemukakan di atas.
Salah satu diantara aliran yang akan dibahas dalam makalah ini, adalah
aliran Utilitarianisme dan aliran historis atau aliran sejarah sebagai salah satu
aliran yang relatif cukup tua dalam sejarah perkembangan hukum.
Utilitarianisme ialah idea atau fahaman dalam falsafah moral yang
menekankan prinsip manfaat atau kegunaan dalam menilai sesuatu tindakan
sebagai prinsip moral yang paling dasar. Dengan prinsip kegunaan dimaksudkan
prinsip yang menjadikan kegunaan sebagai tolok ukur pokok untuk menilai dan
mengambil keputusan apakah suatu tindakan itu secara moral dapat dibenarkan
atau tidak. Tindakan yang secara moral benar adalah tindakan yang berguna.
Suatu tindakan dinilai berguna kalau akibat tindakan tersebut, secara keseluruhan,
dengan memperhitungkan semua pihak yang terlibat dan tanpa membeza-bezakan,
membawa akibat baik berupa kegembiraan atau kebahagiaan yang semakin besar
bagi semakin banyak orang.

1
Utilitarianisme atau Utilisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan
sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan ini diartikan sebagai kebahagiaan
(happiness). Jadi baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum, bergantung kepada
apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Oleh
karena itu tugas hukum adalah mengantarkan manusia menuju The Ultimate
Good. Sehingga esensi hukum harus bermanfaat, artinya hukum yang dapat
membahagiakan sebagian terbesar masyarakat.
Lahirnya aliran sejarah adalah sebagai akibat adanya keberatan terhadap
pandangan hukum alam yang dapat berlaku secara universal. Latar belakang
lahirnya aliran historis tersebut, dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo dalam
bukunya yang berjudul Ilmu Hukum (1996: 277) yang menyatakan bahwa "Baik
aliran positivisme dan aliran sejarah serta anthropologi merupakan reaksi terhadap
teori-teori hukum alam. Benih-benih bagi tumbuhnya pendekatan sejarah
tersimpan pada abad-abad sebelumnya, terutama dalam hubungannya dengan
dasar-dasar yang dipakai untuk menyusun teori-teori tersebut".
Sebagian dari pokok aliran historis menyatakan bahwa hukum itu tidak
dibuat, tetapi pada hakekatnya lahir dan tumbuh dari dan dengan rakyat,
berkembang bersama dengan rakyat, namun ia akan mati, manakala rakyat
kehilangan kepribadiannya (das recht wirdnicht gemacht, es wachst mit dem volke
vort, bilden sich aus mit diesem, und strirbt endlich ab sowie das volk seineen
eigentuum lichkeit verliert). Sumber hukum intinya adalah hukum kebiasaan
adalah volksgeist jiwa bangsa atau jiwa rakyat.

1.2 Tujuan Penulisan


1. Untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Filsafat Politik
2. Mendeskripsikan tentang aliran Utilitarianisme dan fairness.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Aliran Utilitarianisme


A. Pelopor Aliran Utilitarianisme
Aliran ini dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill
(1806-1873), dan Rudolf von Jhering (1818-1889).

B. Pengertian Aliran Utilitarianisme


Utilitarianisme berasal dari kata Latin utilis, yang berarti berguna,
bermanfaat, berfaedah, atau menguntungkan. Istilah ini juga sering disebut
sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest happiness theory). Utilitarianisme
sebagai teori sistematis pertama kali dipaparkan oleh Jeremy Bentham dan
muridnya, John Stuart Mill. Utilitarianisme merupakan suatu paham etis yang
berpendapat bahwa yang baik adalah yang berguna, berfaedah, dan
menguntungkan. Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah yang tak bermanfaat,
tak berfaedah, dan merugikan. Karena itu, baik buruknya perilaku dan perbuatan
ditetapkan dari segi berguna, berfaedah, dan menguntungkan atau tidak. Dari
prinsip ini, tersusunlah teori tujuan perbuatan.

C. Ajaran Pokok Utilitarianisme


1. Seseorang hendaknya bertindak sedemikian rupa, sehingga memajukan
kebahagiaan (kesenangan) terbesar dari sejumlah besar orang.
2. Tindakan secara moral dapat dibenarkan jika ia menghasilkan lebih banyak
kebaikan daripada kejahatan, dibandingkan tindakan yang mungkin diambil
dalam situasi dan kondisi yang sama.
3. Secara umum, harkat atau nilai moral tindakan dinilai menurut kebaikan dan
keburukan akibatnya.

3
4. Ajaran bahwa prinsip kegunaan terbesar hendaknya menjadi kriteria dalam
perkara etis. Kriteria itu harus diterapkan pada konsekuensi-konsekuensi
yang timbul dari keputusan-keputusan etis.

D. Pandangan Aliran Utilitarianisme


Utilitarianisme ialah idea atau fahaman dalam falsafah moral yang
menekankan prinsip manfaat atau kegunaan dalam menilai sesuatu tindakan
sebagai prinsip moral yang paling dasar. Dengan prinsip kegunaan dimaksudkan
prinsip yang menjadikan kegunaan sebagai tolok ukur pokok untuk menilai dan
mengambil keputusan apakah suatu tindakan itu secara moral dapat dibenarkan
atau tidak. Tindakan yang secara moral benar adalah tindakan yang berguna.
Suatu tindakan dinilai berguna kalau akibat tindakan tersebut, secara keseluruhan,
dengan memperhitungkan semua phak yang terlibat dan tanpa membeda-bedakan,
membawa akibat baik berupa kegembiraan atau kebahagiaaan yang semakin besar
bagi semakin banyak orang.
Bentham berpendapat bahwa alam memberikan kebahagiaan dan
kesusahan.Manusia selalu berusaha memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi
kesusahannya.Kebaikan adalah kebahagiaan dan kejahatan adalah
kesusahan.Tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan.
Dengan kata lain, untuk memelihara kegunaan. Keberadaan hukum diperlukan
untuk menjaga agar tidak terjadi bentrokan kepentingan individu dalam mengejar
kebahagiaan yang sebesar-besarnya, untuk itu perlu ada batasan yang diwujudkan
dalam hukum, jikas tidak demikian, maka akan terjadi homo homini
lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain). Oleh karena itu, ajaran
Bentham dikenal sebagai utilitarianisme yang individual.
Penulis lain yang tidak kalah pentingnya ialah John Stuart Mill yang lebih
banyak dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis. Ia menyatakan bahwa tujuan
manusia ialah kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan melalui
hal-hal yang membangkitkan nafsunya.Mill juga menolak pandangan Kant yang
mengajarkan bahwa individu harus bersimpati pada kepentingan umum.Kemudian
Mill lalu menganalisis hubungan antara kegunaan dan keadilan. Pada hakekatnya,

4
perasaan individu akan keadilan dapat membuat individu itu menyesal dan ingin
membalas dendam kepada tiap yang tidak menyenangkannya.
Pendapat lain dilontarkan Rudolf von Jhering yang menggabungkan antara
utilitarianisme yang individual maupun yang sosial, karena Jhering dikenal
sebagai pandangan utilitarianisme yang bersifat sosial, jadi merupakan gabungan
antara teori yang dikemukakan oleh Bentham, Mill, dan positivisme hukum dari
John Austin. Bagi Jhering, tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-
kepentingan. Dalam mendefinisikan kepentingan, ia mengikuti Bentham, dengan
melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan
tetapi kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan
menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang
lain.
Utilitarianisme secara utuh dirumuskan oleh Jeremy Bentham dan
dikembangkan secara lebih luas oleh James Mill dan John Stuart Mill.
Utilitarianisme terkadang disebut dengan Teori Kebahagiaan Terbesar yang
mengajarkan tiap manusia untuk meraih kebahagiaan (kenikmatan) terbesar untuk
orang terbanyak. Karena, kenikmatan adalah satu-satunya kebaikan intrinsik, dan
penderitaan adalah satu-satunya kejahatan intrinsik. Bagi Bentham, moralitas
bukanlah persoalan menyenangkan Tuhan atau masalah kesetiaan pada aturan-
aturan abstrak, melainkan tidak lain adalah upaya untuk mewujudkan sebanyak
mungkin kebahagiaan di dunia ini. Oleh karena itu, Bentham memperkenalkan
prinsip moral tertinggi yang disebutnya dengan ‘Asas Kegunaan atau Manfaat’
(the principle of utility).
Maksud Asas Manfaat atau Kegunaan, kata Bentham, ialah asas yang
menyuruh setiap orang untuk melakukan apa yang menghasilkan kebahagiaan
atau kenikmatan terbesar yang diinginkan oleh semua orang untuk sebanyak
mungkin orang atau untuk masyarakat seluruhnya. Oleh karena itu, menurut
pandangan utilitarian, tujuan akhir manusia, mestilah juga merupakan ukuran
moralitas. Dari sini, muncul ungkapan ‘tujuan menghalalkan cara’.
Bentham memperkenalkan metode untuk memilih tindakan yang disebut
denganutility calculus, hedonistic calculus, atau felicity calculus. Menurutnya,

5
pilihan moral harus dijatuhkan pada tindakan yang lebih banyak jumlahnya dalam
memberikan kenikmatan daripada penderitaan yang dihasilkan oleh tindakan
tersebut. Jumlah kenikmatan ditentukan oleh intensitas, durasi, kedekatan dalam
ruang, produktivitas (kemanfaatan atau kesuburan), dan kemurnian (tidak diikuti
oleh perasaan yang tidak enak seperti sakit atau kebosanan dan sejenisnya).
1. Para utilitarian menyusun argumennya dalam tiga langkah berikut
berkaitan dengan pembenaran euthanasia (mercy killing):
2. Perbuatan yang benar secara moral ialah yang paling banyak memberikan
jumlah kenikmatan dan kebahagiaan pada manusia.
3. Setidaknya dalam beberapa kesempatan, perbuatan yang paling banyak
memberikan jumlah kenikmatan dan kebahagiaan pada manusia bisa
dicapai melalui euthanasia.
4. Oleh karena itu, setidaknya dalam beberapa kesempatan, euthanasia dapat
dibenarkan secara moral.
Sekalipun mungkin argumen di atas tampak bertentangan dengan agama,
Bentham mengesankan bahwa agama akan mendukung, bukan menolak, sudut-
pandang utilitarian bilamana para pemeluknya benar-benar memegang pandangan
mereka tentang Tuhan yang penuh kasih sayang.
Pada sisi lain, para utilitarian menolak eksperimen2 saintifik tertentu yang
melibatkan binatang, lantaran kebahagiaan atau kenikmatan harus dipelihara
terkait dengan semua makhluk yang bisa merasakannya—terlepas apakah ia
mukhluk berakal atau tidak. Lagi2, buat mereka, melakukan hal yang menambah
penderitaan adalah tindakan imoral.
Singkatnya, Utilitarianisme Klasik yang diusung oleh Jeremy Bentham,
James Mill dan, anaknya, John Stuart Mill, dapat diringkas dalam tiga proposisi
berikut:Pertama, semua tindakan mesti dinilai benar/baik atau salah/jelek semata-
mata berdasarkan konsekuensi2 atau akibat2nya. Kedua, dalam menilai
konsekuensi2 atau akibat2 itu, satu-satunya hal yang penting adalah jumlah
kebahagiaan atau penderitaan yang dihasilkannya. Jadi, tindakan2 yang benar
adalah yang menghasilkan surplus kebahagiaan terbesar ketimbang
penderitaan. Ketiga, dalam mengkalkulasi kebahagiaan atau penderitaan yang

6
dihasilkan, tidak boleh kebahagiaan seseorang dianggap lebih penting daripada
kebahagiaan orang lain. Kesejahteraan tiap orang sama penting dalam penilaian
dan kalkulasi untuk memilih tindakan.
Gagasan Utilitarianisme yang menyatakan bahwa ‘kebahagiaan itu adalah
hal yang diinginkan dan satu-satunya tujuan yang diinginkan, semua hal lain
diinginkan demi mencapai tujuan itu’ jelas mirip dengan gagasan Hedonisme. Dan
Hedonisme, seperti kita tahu, adalah keyakinan klasik bahwa kenikmatan,
kebahagiaan atau kesenangan adalah kebaikan tertinggi dalam
kehidupan.Istilah Hedonisme sendiri beasal dari kata Yunani yang bermakna
kesenangan. Hanya saja, Epicurus, tokoh utama Hedonisme percaya bahwa
manusia seharusnya mencari berbagai kesenangan, kebahagiaan dan kenikmatan
pikiran ketimbang tubuh. Katanya, orang bijak harus menghindari kesenangan2
yang akhirnya akan berujung pada penderitaan.
Utilitarianisme cenderung menyamakan kebaikan dengan kebahagiaan.
Hedonisme gagal karena kesenangan inderawi sederhana pada akhirnya
bertentangan dengan tujuan-tujuan yang lebih kompleks. Asketisme gagal karena
usahanya memberangus nafsu dan tujuan-tujuan alamiah. Egoisme gagal karena
kebebasan personal yang tidak dapat diganggu gugat pada akhirnya akan
bertentangan dengan perlindungan maksimalnya. Stoisisme menyamakan
kebaikan dengan kebajikan.
Definisi Nilai Nilai, dalam filsafat, adalah suatu prinsip atau standar untuk
mempertimbangkan baik buruknya sesuatu. Baik adalah sesuatu yang
menyenangkan dan sesuai bagi maksud tertentu, sedangkan buruk berarti yang
tidak menyenangkan dan tidak sesuai bagi maksud tertentu. Benar adalah
kesesuaian putusan atau hasil kebaikan tertinggi (dan tidak sekedar mendekati
kebaikan), sedangkan salah berarti ketidaksesuaian putusan atau hasil kebaikan
tertinggi.
Sumber Nilai-Nilai Nilai-nilai diturunkan dari maksud-maksud dan
keinginan-keinginan. Keinginan adalah hasrat-hasrat yang muncul dari muatan
rasa senang dan rasa sakit. Keinginan-keinginan tersebut bisa saja berbenturan
antara satu dengan yang lain, seiring dengan maksud dan kemampuan. Maksud

7
adalah hasrat bagi tercapainya tujuan tertentu. Kebahagiaan adalah kecenderungan
manusia untuk mencapai pemenuhan keinginan-keinginan dan hasrat-hasratnya.
Tujuan tertinggi bagi sebagian besar umat manusia adalah keterjagaan diri yang
menampak pada tiga hal: Keberlangsungan hidup personal: keberlanjutan tubuh,
pikiran dan jiwa Keberlangsungan genetis: keberlanjutan keluarga
Keberlangsungan memetic: keberlanjutan ingatan dan kreasi-kreasi Minoritas
umat manusia memilih tujuan-tujuan alternatif seperti rasa senang, sakit,
pengetahuan, keindahan, kasih sayang, keadilan, kelanjutan ekosistem,
kapabilitas, ketentraman, atau pembinasaan. Nilai intrinsik adalah nilai yang
berasal dari maksud atau keinginan yang berujung pada maksud dan keinginan itu
sendiri, dan tidak murni muncul dari maksud dan keinginan yang lain.

2.2 Keadilan Sebagai Fairness


Masyarakat dalam kehidupan sosial adalah sebagai suatu bentuk hubungan
kerja sama yang saling menguntungkan diantara idividu, yang merupakan suatu
perwujudan bahwa manusia merupakan makhluk sosial. Namun, di dalam
masyarakat disamping terjadi suatu hubungan yang bersifat kooperatif juga
terdapat suatu hubungan yang bersifat kompetitif bahkan juga saling menjatuhkan
diantara satu dengan yang lain. Dengan demikian maka diperlukan suatu konsep
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang mengatur bagaimana kehidupan
individu yang berbeda-beda namun juga memiliki kepentingan sendiri agar dapat
berjalan bersama saling menguntungkan dan tidak merugikan pihak lain, sehingga
muncul suatu konsep keadilan untuk mencakup hal tersebut.
John Rawls menyatakan bahwa keadilan sebagai fairness adalah kebajikan
utama dalam institusi sosial, yang mengandung konsekuensi bahwa teori yang
tidak benar harus ditolak, begitu juga hukum yang tidak adil harus di reformasi.
Dapat dikatakan bahwa bertindak secara sewenang-wenang dalam konsep
keadilan ini adalah dilarang. Oleh karena itu, aparatur pemerintah
dalam mengambil keputusan tidak boleh melampaui batas keadilan dan
kewajaran, apabila bertentangan dengan asas ini maka keputusannya
dapat dibatalkan, karena dalam asas ini menuntut ditegakkannya aturan hukum

8
agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Sehingga konsepsi keadilan merupakan
suatu konsepsi yang memberikan sebuah standar bagaimana aspek-aspek struktur
dasar masyarakat itu diukur.
Kehidupan bermasyarakat yang tertata dengan baik adalah jika dirancang
untuk meningkatkan kesejahteraan bagi anggotanya serta secara efektif diatur oleh
konsepsi publik mengenai prinsip-prinsip keadilan1, yaitu:
1. Setiap orang memiliki, menerima dan mengetahui bahwa orang lain
menganut prinsip keadilan yang sama (kebebasan yang sama).
2. Institusi sosial dasar yang sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut, yaitu
tidak ada pembedaan sewenang-wenang antara orang dalam memberikan
hak dan kewajiban serta ketika aturan menentukan keseimbangan
berdasarkan konsep keadilan yang pas ketika terdapat perbedaan yang
saling berseberangan demi kemanfaatan kehidupan sosial.
3. Adanya prinsip keseimbangan dan kelayakan dalam suatu kesenjangan
sosial dan ekonomi yang dapat memberikan persamaan dan kebebasan
yang sama dalam perbedaan yang ada mengenai pembagian keuntungan
dalam kehidupan sosial.
4. Yang termasuk subyek keadilan menurut John Rawls2, antara lain:
5. Hukum, institusi, sistem sosial, tindakan-tindakan tertentu, termasuk
keputusan, penilaian dan tuduhan.
6. Subyek utama keadilan adalah struktur dasar masyarakat atau cara
lembaga sosial mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta
menentukan pembagian keuntungan dari kerja sama sosial.
Subyek utama keadilan dalam hal ini merupakan lembaga sosial ekonomi
yang menetapkan aturan dalam hubungan kerja sama sosial berdasarkan prinsip

1 Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo. 2006. Teori Keadilan, Dasardasar Filsafat Politik untuk
Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Terjemahan dari
Rawls, John. 1997. A Theory of Justice, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts.
hlm. 65-72
2 Ibid. hlm. 7-12

9
kemanusiaan dan keadilan, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dalam
pembagian keuntungan dari kerja sama sosial.
Berdasarkan kompleksitas gagasan pokok tentang keadilan
sebagai fairness, maka dapat dicoba untuk menyimpulkan bahwa prinsip keadilan
sebagai fairness terdiri atas 2 bagian, yaitu:
1. Interpretasi terhadap situasi awal atas persoalan pilihan yang ada.
Posisi asali adalah menegaskan kesepakatan fundamental yang dicapai
adalah fair dan tidak adadiskriminasi terhadap hak-hak dasar individu
dalam masyarakat.
2. Adanya seperangkat prinsip yang akan disepakati.
Keadilan sebagai fairness merupakan teori pilihan rasional, pengertian
rasional adalah bagaimana cara paling efektif untuk mencapai tujuan.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa keadilan sebagai fairness adalah menekankan
pada pengakuan hak dalam posisi asali individu dengan tetap berdasarkan pada
hasil kesepakatan bersama dalam hubungan kerjasama sosial.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa teori keadilan John Rawls tentang prinsip
keadilan sebagai fairness adalah menghargai hak-hak dasar individu dalam posisi
asali, tanpa diskriminasi, untuk mewujudkan keadilan sosial melalui prinsip
demokrasi/hasil kesepakatan bersama. Hal ini adalah sama seperti dalam
pandangan Pancasila mengenai makna “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Dalam berbagai perbedaan kepentingan dalam masyarakat,
demokrasi/kesepakatan bersama akan menghasilkan kesepakatan tentang keadilan
sosial, sehingga tidak menghalalkan segala cara dengan mengorbankan
kepentingan/hak individu demi kepentingan sosial.

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Menurut kaum utilitarianisme, tujuan perbuatan sekurang-kurangnya
menghindari atau mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan yang
dilakukan, baik bagi diri sendiri ataupun orang lain. Adapun maksimalnya adalah
dengan memperbesar kegunaan, manfaat, dan keuntungan yang dihasilkan oleh
perbuatan yang akan dilakukan. Perbuatan harus diusahakan agar mendatangkan
kebahagiaan daripada penderitaan, manfaat daripada kesia-siaan, keuntungan
daripada kerugian, bagi sebagian besar orang. Dengan demikian, perbuatan
manusia baik secara etis dan membawa dampak sebaik-baiknya bagi diri sendiri
dan orang lain.
Seseorang hendaknya bertindak sedemikian rupa, sehingga memajukan
kebahagiaan (kesenangan) terbesar dari sejumlah besar orang. Tindakan
secara moral dapat dibenarkan jika ia menghasilkan lebih banyak kebaikan
daripada kejahatan, dibandingkan tindakan yang mungkin diambil dalam situasi
dan kondisi yang sama. Secara umum, harkat atau nilai moral tindakan dinilai
menurut kebaikan dan keburukan akibatnya. Ajaran bahwa prinsip kegunaan
terbesar hendaknya menjadi kriteria dalam perkara etis. Kriteria itu harus
diterapkan pada konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari keputusan-keputusan
etis.
Lahirnya aliran sejarah adalah sebagai akibat adanya keberatan terhadap
pandangan hukum alam yang dapat berlaku secara universal. Aliran menyatakan
bahwa hukum merupakan pencerminan atau penjelmaan dari jiwa rakyat yang ada
dalam suatu tempat tertentu, Oleh karena jiwa rakyat relatif berbeda dengan
rakyat di tempat lainnya dan pada waktu tertentu, maka konsekwensinya adalah
bahwa hukum tidak mungkin ada yang bersifat universal seperti pandangan aliran
hukum alam.

11
Ini berarti bahwa hukum tidak selalu sama antara tempat yang satu dengan
tempat yang lainnya, karena pada setiap tempat di dunia ini didiami oleh
penduduk atau rakyat yang memiliki semangat dan jiwa yang berbeda-beda yang
menentukan isi hukum yang ada di tempat yang bersangkutan.

3.2 Saran
Kami memberi saran kepada dunia pendidikan dan khususnya kepada guru
Pendidikan kewarganegaraan agar mengenai materi aliran utilitarianisme dan
aliran sejarah agar dapat diajarkan kepada peserta didik dengan maksimal supaya
para peserta didik dapat memahaminya dengan baik.

12
DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat (Jakarta : Gramedia, 1996)


Burhanuddin Salam, “Pengantar Filsafat”, Jakarta, Bumi Aksara, 2000, Cetakan
IV
KATTSOFF. LOVIS O. “Pengantar Filsafat”. Yogyakarta; Tiara Wacana, Yogya,
2004, cetakan IX.
Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo. 2006. Teori Keadilan, Dasardasar Filsafat
Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam
Negara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Terjemahan dari Rawls, John.
1997. A Theory of Justice, Harvard University Press, Cambridge,
Massachusetts.

Você também pode gostar